Khutbah: Wudu Sebagai Syarat Sahnya Shalat

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ. وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ.

أَمَّا بَعْدُ، فَيَا عِبَادَ اللّٰهِ، أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللّٰهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُونَ.


KHUTBAH PERTAMA


Ma’asyiral Muslimin Jamaah Jumat rahimakumullah,

Segala puji hanya milik Allah Subhanahu wa Ta'ala, Rabb semesta alam yang telah menganugerahkan kepada kita nikmat iman, Islam, dan kesempatan untuk berkumpul di rumah-Nya yang mulia ini.

Kita panjatkan syukur atas karunia-Nya yang tak terhingga. 

Shalawat serta salam semoga senantiasa terlimpah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, sahabat, serta seluruh umatnya hingga akhir zaman.

Khotib mengajak diri sendiri dan semua kaum muslimin untuk meningkatkan takwa kita kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala

Kaum Muslimin yang Dirahmati Allah,

Dalam realitas kehidupan kita saat ini, seringkali kita saksikan betapa lemahnya penyampaian ilmu agama di tengah masyarakat. 

Ilmu seakan menjadi barang mewah yang hanya dimiliki oleh segelintir orang.

Lebih menyedihkan lagi, ada kebiasaan di mana orang-orang yang berilmu justru memilih diam, enggan menyebarkan cahaya pengetahuan kepada umat.

Mereka merasa cukup dengan apa yang mereka ketahui, padahal Allah telah memerintahkan kita untuk senantiasa menyebarkan kebaikan dan ilmu.

Fenomena ini menimbulkan kegersangan spiritual dan praktik ibadah yang seringkali tidak sesuai dengan tuntunan syariat.

Banyak di antara kita yang mungkin hanya beribadah berdasarkan kebiasaan, tanpa memahami esensi dan syarat-syarat sahnya.

Di mimbar yang mulia ini, kita akan merenungkan sebuah hadits penting dari Rasulullah  yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari.

Hadits ini bukan sekadar informasi, melainkan fondasi bagi keabsahan ibadah shalat kita.

Sebuah ibadah yang merupakan tiang agama, yang sangat bergantung pada syarat-syarat kesucian.

Hadits ini dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah bersabda:

لَا تُقْبَلُ صَلَاةُ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ. قَالَ رَجُلٌ مِنْ حَضْرَمَوْتَ: مَا الْحَدَثُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ؟ قَالَ: فُسَاءٌ أَوْ ضُرَاطٌ.

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam Shahih al-Bukhari (135), Abu Dawud dalam Sunan Abi Dawud (61), dan an-Nasa’i dalam Sunan an-Nasa’i (76).

Hadits ini akan kita bedah, kita uraikan maknanya per bagian, agar kita memahami betul bagaimana menjaga shalat kita, ibadah yang paling agung, diterima di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Kaum Muslimin yang Dirahmati Allah,


Hadits yang mulia ini adalah tuntunan utama bagi setiap Muslim. Ia menegaskan syarat fundamental diterimanya shalat kita.

Mari kita pahami setiap perkataan dari hadits ini dengan seksama.


لَا تُقْبَلُ صَلَاةُ

 Tidak diterima shalat seseorang...

Ini adalah kalimat pembuka yang sangat tegas. Maknanya bukan sekadar shalatnya tidak sah, tetapi Allah tidak menerima dan tidak memberikan pahala atas ibadah tersebut.

Ini menunjukkan betapa seriusnya perkara bersuci dalam Islam.

Ibadah shalat adalah dialog antara hamba dan Rabb-nya; dialog ini harus diawali dengan kesucian.

Tanpa syarat ini, seakan-akan pintu penerimaan telah tertutup rapat.


مَن أحْدَثَ

 ...yang berhadats...

Kata 'man ahdatsa' merujuk pada kondisi seseorang yang telah mengalami pembatal wudhu.

Hadats adalah kondisi tidak suci yang menghalangi seseorang untuk melakukan ibadah tertentu, terutama shalat dan tawaf.

Pembatalan wudhu dapat terjadi karena berbagai sebab, baik dari dalam tubuh maupun hal-hal lain yang ditetapkan syariat.

Ini adalah peringatan bagi kita bahwa kesucian fisik adalah prasyarat spiritual.


حَتَّى يَتَوَضَّأَ

 ...sampai dia berwudhu kembali.

Ini adalah solusi yang jelas dan gamblang. Jika hadats telah terjadi, status kesucian telah hilang.

Jalan untuk kembali suci dan dibolehkan shalat hanyalah dengan berwudhu.

Kalimat ini menegaskan bahwa tidak ada ibadah yang lebih utama dari bersuci saat seseorang berhadats.

Wudhu bukan sekadar rutinitas, melainkan proses penyucian yang mengembalikan kita pada kondisi siap bermunajat.


Kaum Muslimin yang Dirahmati Allah,

Hadits ini kemudian memberikan penjelasan langsung tentang makna hadats melalui dialog yang sangat berharga:

قَالَ رَجُلٌ مِن حَضْرَمَوْتَ: ما الحَدَثُ يا أبَا هُرَيْرَةَ؟

 Seorang laki-laki dari Hadramaut bertanya (kepada Abu Hurairah): "Apakah yang dimaksud hadats, wahai Abu Hurairah?"

Ini menunjukkan pentingnya bertanya tentang sesuatu yang tidak dipahami, sebuah tradisi mulia di kalangan para sahabat.

Mereka tidak malu untuk bertanya demi mendapatkan kejelasan dalam urusan agama. Pertanyaan ini mewakili kehausan kita semua akan ilmu.


قَالَ: فُسَاءٌ أوْ ضُرَاطٌ

. Abu Hurairah menjawab: "(Hadats itu adalah) kentut pelan atau kentut keras."

Jawaban Abu Hurairah r.a. memberikan definisi yang sangat spesifik dan praktis mengenai salah satu bentuk hadats yang sering terjadi, yaitu keluarnya angin dari dubur.

Jawaban ini memecah keraguan dan memberikan kejelasan hukum secara langsung.

Dalam konteks yang lebih luas, keluarnya sesuatu dari dua jalan (dubur atau kemaluan) adalah pembatal wudhu.

Dengan memahami hadits ini secara mendalam, kita menyadari bahwa menjaga shalat kita adalah tanggung jawab serius.

Kita harus memastikan bahwa setiap kali kita berdiri menghadap Allah, kita berada dalam keadaan suci yang sempurna.


Faedah Hadits Berdasarkan Urutan Perkataan


Kaum Muslimin yang Dirahmati Allah,

Hadits ini mengandung pelajaran berharga yang sangat aplikatif dalam kehidupan spiritual kita. Mari kita telaah satu per satu hikmah di balik setiap kalimatnya.


Pelajaran Pertama:

Pentingnya Thaharah (Bersuci) sebagai Syarat Diterimanya Shalat

Hadits ini menegaskan bahwa shalat tidak diterima (laa tuqbalu shalaatu) tanpa bersuci.

Ini menunjukkan bahwa kesucian bukan sekadar sunnah, melainkan syarat sah ibadah.

Shalat adalah ibadah yang paling agung setelah syahadat, dan Allah menjadikan wudhu sebagai kunci untuk memasukinya.

Kita sering kali tergesa-gesa dalam berwudhu, bahkan mengabaikan kesempurnaannya. Padahal, wudhu adalah "pembersihan" yang membersihkan dosa-dosa kecil, sebagaimana sabda Rasulullah :

إذَا تَوَضَّأَ العَبْدُ المُسْلِمُ أوِ المُؤْمِنُ، فَغَسَلَ وجْهَهُ، خَرَجَ مِن وجْهِهِ كُلُّ خَطِيئَةٍ نَظَرَ إلَيْهَا بعَيْنَيْهِ مع المَاءِ، أوْ مع آخِرِ قَطْرِ المَاءِ

... “Apabila seorang hamba Muslim atau Mukmin berwudhu, lalu dia mencuci wajahnya, keluarlah dari wajahnya setiap dosa yang dia lihat dengan matanya bersama air wudhu, atau bersama tetesan air terakhir...” HR. Muslim (244)

Mari kita jadikan wudhu sebagai momen muhasabah, bukan sekadar rutinitas, karena kesucian fisik mencerminkan kesucian hati.


Pelajaran ke-2:

Memahami Makna Hadats dan Pembatal Wudhu

Hadits ini memberikan pemahaman jelas tentang hadats, khususnya melalui jawaban Abu Hurairah (fusaa-’un aw dhuraathun - kentut pelan atau kentut keras).

Meskipun terlihat sederhana, ini adalah pelajaran mendalam tentang kejelasan syariat.

Hadats membatalkan kesucian yang diperoleh melalui wudhu. Kita harus selalu waspada terhadap hal-hal yang membatalkan wudhu sebelum dan saat shalat.

Jangan sampai kita shalat dalam keadaan berhadats, yang secara langsung membuat shalat kita tidak diterima.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita mungkin ragu apakah telah berhadats atau belum.

Rasulullah memberikan panduan yang menenangkan dalam menghadapi keraguan ini:

إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا، فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا

“Apabila salah seorang dari kalian merasakan sesuatu di perutnya dan menjadi ragu apakah keluar sesuatu (angin) darinya atau tidak, maka janganlah ia keluar dari masjid (membatalkan shalat) sampai ia mendengar suara atau mencium baunya.” HR. Muslim (362)

Pelajaran ini mengajarkan kita untuk meyakini status kesucian kita hingga ada kepastian bahwa hadats telah terjadi.


Pelajaran ke-3:

Pentingnya Bertanya dan Menyebarkan Ilmu

Narasi hadits ini, di mana seorang laki-laki dari Hadramaut bertanya kepada Abu Hurairah (Maa al-hadatsu yaa Abaa Hurairah?), adalah pengingat bagi kita tentang pentingnya menuntut ilmu dan tidak malu bertanya.

Para sahabat memahami bahwa ilmu adalah cahaya, dan cara terbaik untuk mendapatkannya adalah dengan bertanya kepada ahlinya.

Rasulullah bersabda:

إِنَّمَا شِفَاءُ الْعِيِّ السُّؤَالُ

(Sesungguhnya penyembuh dari ketidaktahuan adalah bertanya) – HR. Abu Dawud (336). 


Pelajaran ke-4:

Adab Menjawab Pertanyaan dengan Jelas dan Sederhana

Abu Hurairah menjawab pertanyaan dengan kalimat ringkas namun sangat jelas.

Ini menunjukkan bahwa menyampaikan ilmu tidak perlu bertele-tele, tetapi harus disesuaikan dengan kebutuhan dan pemahaman audiens.

Keterangan seperti “فُسَاءٌ أَوْ ضُرَاطٌ” sangat mudah dipahami oleh siapa pun, termasuk masyarakat awam.

Rasulullah pun dikenal dengan cara mengajar yang jelas dan tidak mempersulit. Dalam hadits disebut:

كَانَ يُحَدِّثُ حَدِيثًا لَوْ عَدَّهُ الْعَادُّ لَأَحْصَاهُ

(Beliau menyampaikan hadits dengan cara yang kalau dihitung, bisa dihitung dengan jari) – HR. al-Bukhari (3567). 

Ini menandakan bahwa dalam berdakwah dan mengajar, kejelasan adalah kunci.

 

Sebaliknya, hadits ini juga menekankan tanggung jawab bagi mereka yang berilmu untuk menjelaskan, seperti yang dilakukan oleh Abu Hurairah r.a.

Menyembunyikan ilmu adalah dosa besar.

Ilmu yang bermanfaat harus disebarkan agar umat memahami agamanya dengan benar.


Pelajaran ke-5:

Kebersihan Adalah Bagian dari Keimanan

Hadits ini juga mengajarkan pentingnya kebersihan sebagai bagian dari keimanan, karena bersuci adalah awal dari ibadah.

Dalam Islam, menjaga kebersihan tubuh, pakaian, dan tempat shalat merupakan bagian dari ibadah itu sendiri. Rasulullah bersabda:

الطُّهُورُ شَطْرُ الْإِيمَانِ

(Bersuci adalah separuh dari iman) – HR. Muslim (223). 

Maka dari itu, hadits ini bukan hanya mengajarkan syarat sah shalat, tapi juga gaya hidup seorang Muslim yang bersih, rapi, dan siap untuk menghadap Tuhannya dalam keadaan terbaik.


Penutup Khutbah Pertama


Kaum Muslimin yang Dirahmati Allah,

Secara keseluruhan, hadits ini menegaskan pentingnya menjaga kesucian sebelum shalat, menjelaskan dengan detail apa yang membatalkan wudhu, serta menunjukkan pentingnya belajar agama melalui tanya jawab. Ia juga memberi pelajaran bahwa bersuci adalah bagian dari keimanan, dan dalam menyampaikan ilmu harus jelas dan sederhana. Semua ini merupakan panduan agar ibadah kita diterima dan sesuai dengan tuntunan Nabi .


أَقُولُ قَوْلِي هَذَا، وَأَسْتَغْفِرُ ٱللَّهَ لِي وَلَكُمْ وَلِجَمِيعِ ٱلْمُسْلِمِينَ وَٱلْمُسْلِمَاتِ، فَٱسْتَغْفِرُوهُ، إِنَّهُ هُوَ ٱلْغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ.


KHUTBAH KEDUA


اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ حَمْدًا كَثِيْرًا كَمَا أَمَرَ. أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ.

Kaum Muslimin yang Dirahmati Allah,

Hadits yang telah kita kaji bersama adalah pelajaran penting yang mengingatkan kita tentang nilai agung dalam setiap ibadah.

Shalat yang kita dirikan tidak akan sempurna tanpa kesucian yang mendahuluinya.

Hadits tentang larangan shalat bagi orang yang berhadats sampai ia berwudhu, mengajarkan kita untuk mengubah cara pandang terhadap ilmu dan praktik ibadah.

Janganlah kita memandang wudhu hanya sebagai rutinitas yang membosankan.

Wudhu adalah momen penyucian diri yang mendalam, membersihkan tidak hanya fisik, tetapi juga spiritual.

Wudhu adalah gerbang menuju munajat kepada Allah.

Marilah kita tingkatkan perhatian kita pada wudhu.

Pastikan setiap gerakan wudhu kita sesuai sunnah, sempurna, dan dilakukan dengan penuh kesadaran. Jangan terburu-buru.

Jika kita merasa ragu telah berhadats, segeralah berwudhu kembali. Shalat adalah hal yang terlalu penting untuk diremehkan keabsahannya.

Mari kita berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى 

Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, kesucian diri, dan kecukupan.

اللَّهُمَّ فَقِّهْنَا فِي الدِّينِ وَعَلِّمْنَا التَّأْوِيلَ 

Ya Allah, jadikanlah kami faqih dalam agama dan ajarkanlah kami tafsir (pemahaman yang benar).

اللَّهُمَّ انْفَعْنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا وَعَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا وَزِدْنَا عِلْمًا 

Ya Allah, berikanlah kami manfaat dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, ajarkanlah kami apa yang bermanfaat bagi kami, dan tambahkanlah ilmu bagi kami.

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ 

Ya Allah, ampunilah dosa kaum Muslimin dan Muslimat, Mukminin dan Mukminat, baik yang masih hidup maupun yang telah wafat.

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ 

Ya Tuhan kami, berikanlah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab api neraka.

 

[Penutup]

عِبَادَ اللّٰهِ، إِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيمَ يَذْكُرْكُمْ، وَاسْأَلُوهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ، وَلَذِكْرُ اللّٰهِ أَكْبَرُ، وَاللّٰهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ.

وَأَقِمِ الصَّلاةَ

 

 

Tampilkan Kajian Menurut Kata Kunci