Hadits: Segera Minta Halal atas Kedzaliman Sebelum Hari Pembalasan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
الْحَمْدُ لِلَّهِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُ
Jamaah yang dirahmati Allah,
Pada kesempatan yang mulia ini, kita akan bersama-sama mengkaji sebuah hadits Nabi ﷺ yang sangat penting, namun sering kali dilupakan dalam kehidupan sehari-hari. Hadits ini bukan hanya berbicara tentang ibadah, bukan pula tentang shalat atau puasa secara langsung, tetapi tentang hak manusia — tentang bagaimana kita memperlakukan sesama, tentang kezaliman kecil maupun besar yang mungkin pernah kita lakukan, dan tentang akibat besar yang menanti jika itu tidak kita selesaikan di dunia.
Mengapa hadits ini menjadi penting untuk kita pelajari? Karena di tengah masyarakat kita hari ini, begitu banyak kasus yang menunjukkan bahwa hubungan antarsesama Muslim tidak terjaga dengan baik. Ada yang meminjam uang lalu tidak mengembalikan. Ada yang memfitnah atau membuka aib saudaranya di media sosial. Ada yang memutus silaturahmi hanya karena warisan. Bahkan tidak sedikit yang merasa sudah cukup dengan ibadah mahdhah-nya, lalu menganggap remeh hak orang lain. Seolah-olah urusan dengan manusia bisa selesai hanya dengan beristighfar kepada Allah.
Padahal, Islam adalah agama yang sangat adil dan seimbang. Allah tidak akan mengampuni dosa kita terhadap manusia kecuali setelah manusia itu sendiri memaafkan kita. Maka dari itu, hadits yang akan kita pelajari ini adalah alarm bagi kita semua, agar tidak menunda penyelesaian masalah, agar tidak merasa aman hanya karena kita rajin ibadah, dan agar kita sadar bahwa musuh kita di akhirat bisa jadi adalah orang yang kita sakiti di dunia — bukan karena ia jahat, tapi karena kita yang lalai.
Maka mari kita buka hati, buka pikiran, dan renungkan bersama pesan besar dari hadits ini. Semoga Allah menjadikan kajian ini sebagai jalan untuk memperbaiki hubungan kita dengan sesama dan menyelamatkan kita dari kebangkrutan di akhirat.
Dari Abu
Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
مَن
كانَتْ عِنْدَهُ مَظْلِمَةٌ لأخِيهِ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْها، فإنَّه ليسَ ثَمَّ
دِينَارٌ ولَا دِرْهَمٌ، مِن قَبْلِ أنْ يُؤْخَذَ لأَخِيهِ مِن حَسَناتِهِ، فإنْ
لَمْ يَكُنْ لهُ حَسَناتٌ أُخِذَ مِن سَيِّئَاتِ أَخِيهِ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ.
Barang siapa yang memiliki kezaliman terhadap saudaranya, hendaklah ia meminta kehalalan darinya (meminta maaf) sekarang juga, sebelum datang hari di mana tidak ada lagi dinar dan dirham (sebagai alat pembayaran). Jika ia memiliki amal kebaikan, maka diambil dari amal kebaikannya untuk (mengganti) kezaliman itu. Namun jika ia tidak memiliki kebaikan, maka dosa saudaranya akan diambil dan dilemparkan kepadanya.
HR. al-Bukhari
dalam Shahih al-Bukhari (6534).
Arti
dan Penjelasan Per Kalimat
مَن كانَتْ عِنْدَهُ مَظْلِمَةٌ لأخِيهِ
Barang siapa yang memiliki kezaliman terhadap saudaranya
Perkataan ini membuka dengan peringatan bagi setiap Muslim
tentang adanya tanggungan moral dan sosial terhadap sesama.
Islam sangat menekankan keadilan antarindividu dalam
masyarakat, baik dalam bentuk fisik, kehormatan, maupun hak-hak lainnya.
Kata mazhlamah mencakup segala bentuk kezaliman—baik
merampas harta, mencemarkan nama baik, ataupun menyakiti hati sesama.
Makna ‘indahu menunjukkan bahwa kezaliman itu masih
belum diselesaikan, masih berada dalam tanggung jawab pelaku.
Frasa li-akhīhi
menegaskan bahwa yang dizalimi adalah saudaranya seiman, sehingga dosa itu
bukan hanya kejahatan sosial, tetapi juga pelanggaran ukhuwah Islamiyah.
Dengan demikian, Islam tidak membiarkan pelanggaran hak
sekecil apa pun antara satu Muslim dan lainnya berlalu tanpa penyelesaian.
فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْها
Maka hendaklah ia meminta kehalalan darinya (meminta maaf)
Perkataan ini memerintahkan tindakan proaktif sebelum
datangnya penyesalan.
Permintaan
kehalalan bukan sekadar meminta maaf, tetapi mencari kerelaan dari pihak yang
terzalimi agar tidak menuntut kelak di akhirat.
Kata kerja fal-yataḥallalhu dalam bentuk fi'il amr
(kata perintah) menunjukkan bahwa ini bukan pilihan, tetapi kewajiban moral.
Islam menekankan pentingnya menyelesaikan urusan sesama
manusia sebelum berhadapan dengan keadilan Allah di akhirat.
Kalimat ini juga mengisyaratkan pentingnya kerendahan hati
dan kesadaran akan dosa sosial, yang seringkali lebih berat dari dosa ritual.
Sikap meminta kehalalan mencerminkan keberanian mengakui
kesalahan dan keinginan tulus untuk memperbaiki diri.
فَإِنَّهُ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلَا
دِرْهَمٌ
Karena sesungguhnya di sana tidak ada dinar dan tidak ada dirham
Perkataan ini menjelaskan urgensi dari perintah sebelumnya
dengan menyoroti keadaan akhirat.
Dalam kehidupan dunia, pelanggaran bisa ditebus dengan
harta atau materi, tetapi di akhirat, semua bentuk pembayaran duniawi tidak
berlaku.
Istilah dīnār dan dirham mewakili alat tukar
dunia yang dianggap bernilai tinggi, namun kehilangan fungsinya di hadapan
pengadilan Allah.
Perkataan laysa thamma mengisyaratkan ketiadaan
total segala bentuk kekuasaan dan harta di akhirat.
Orang yang menunda menyelesaikan masalahnya di dunia akan
menemukan bahwa waktu dan alat penyelesaian sudah habis di akhirat.
Dengan demikian, hadits ini mendorong umat Islam untuk
tidak menunda penyelesaian konflik dengan sesama.
مِنْ قَبْلِ أَنْ يُؤْخَذَ لِأَخِيهِ مِنْ
حَسَنَاتِهِ
Sebelum diambil dari kebaikannya untuk (mengganti) hak saudaranya
Perkataan ini mengungkapkan cara pengadilan Allah dalam
menyelesaikan kezaliman antar manusia di akhirat.
Karena tak ada dinar dan dirham, maka amal saleh (ḥasanāt)
pelaku kezaliman akan diberikan kepada korban sebagai kompensasi.
Amal pribadi seseorang tidak lagi menjadi milik mutlaknya
ketika hak orang lain belum ditunaikan.
Ini menunjukkan bahwa dalam Islam, amal tidak hanya dilihat
secara vertikal kepada Allah, tetapi juga horizontal kepada sesama manusia.
Seseorang bisa kehilangan seluruh amalnya hanya karena
menyia-nyiakan hak sesama.
Kalimat ini juga memperkuat makna pentingnya menjaga
hubungan sosial yang adil dan saling menghormati.
فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ
Jika ia tidak memiliki kebaikan
Perkataan ini menggambarkan kondisi tragis dari orang yang
datang di akhirat dalam keadaan bangkrut secara spiritual.
Meski ia dahulu
hidup dengan banyak ibadah, semua itu bisa habis karena dosa-dosa sosial yang
belum dituntaskan.
Ketika tak ada lagi amal saleh, maka pelaku kezaliman
kehilangan alat tukar untuk menebus kesalahannya.
Kondisi ini sangat menakutkan karena seseorang bisa datang kepada
Allah dengan wajah ibadah, namun pergi dengan kehinaan.
Ungkapan ini juga memperingatkan umat agar tidak tertipu
oleh ibadah pribadi sambil menyepelekan hak orang lain.
Allah Maha Adil, dan keadilan-Nya menuntut pelunasan hak
melalui mekanisme yang tak bisa dihindari.
أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ أَخِيهِ فَطُرِحَتْ
عَلَيْهِ
Maka dosa saudaranya akan diambil dan dilemparkan kepadanya
Perkataan ini menunjukkan bentuk penggantian yang paling
berat dalam pengadilan akhirat.
Jika tak bisa membayar dengan kebaikan, maka keburukan
orang yang dizalimi akan dibebankan kepada pelaku.
Ini merupakan bentuk balasan timbal balik yang sangat
mengerikan: bukan hanya kehilangan pahala, tetapi juga menerima dosa tambahan.
Konsep ini menegaskan bahwa kerugian di akhirat jauh lebih
berat dan menyakitkan daripada hukuman dunia.
Dengan frasa faṭuriḥat
‘alayh, hadits ini menggambarkan seolah-olah dosa itu dilemparkan dengan
keras, menunjukkan kesengsaraan dan kehinaan pelaku.
Peringatan ini
seharusnya menyadarkan kita bahwa menyakiti sesama tidak hanya berdampak pada
kehidupan dunia, tetapi bisa menjadi sebab kehancuran di akhirat.
Syarah Hadits
حرَّمَ اللهُ تَعَالَى الظُّلْمَ عَلَى
نَفْسِهِ
Allah Ta'ala mengharamkan kezaliman atas diri-Nya.
وَجَعَلَهُ مُحَرَّمًا بَيْنَ عِبَادِهِ
Dan menjadikannya haram di antara hamba-hamba-Nya.
وَتَوَعَّدَ الظَّالِمِينَ بِالْقِصَاصِ
مِّنْهُمْ وَالْعَذَابِ
Dan mengancam para zalim dengan pembalasan dari mereka dan azab.
فَإِنْ أَفْلَتَ الظَّالِمُ فِي الدُّنْيَا
بِظُلْمِهِ
Jika seorang zalim terlepas di dunia dengan kezalimannya.
فَلَا مَفَرَّ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا
مَلْجَأَ لَهُ مِنَ اللَّهِ
Maka tidak ada tempat lari baginya pada hari kiamat dan tidak ada tempat
perlindungan baginya dari Allah.
حَيْثُ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ
Di hari itu tidak berguna harta dan anak-anak.
وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ يَأْمُرُ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dan dalam hadits ini, Nabi ﷺ memerintahkan.
كُلَّ مَنْ ظَلَمَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ فِي
عِرْضِهِ
Setiap orang yang telah menzalimi saudaranya sesama Muslim dalam kehormatannya.
بِالذَّمِّ وَالْقَدْحِ
Dengan celaan dan penghinaan.
سَوَاءٌ كَانَ فِي نَفْسِ أَخِيهِ الْمُسْلِمِ
Baik itu terhadap diri saudaranya sesama Muslim.
أَوْ أَصْلِهِ كَأَبِيهِ وَأُمِّهِ
Atau terhadap asal usulnya seperti ayah dan ibunya.
أَوْ فَرْعِهِ كَابْنِهِ وَابْنَتِهِ
Atau terhadap keturunannya seperti anak laki-laki dan anak perempuan.
أَوْ ظَلَمَهُ فِي شَيْءٍ آخَرَ
كَالْأَمْوَالِ وَالْجِرَاحَاتِ وَغَيْرِهَا
Atau menzaliminya dalam hal lainnya seperti harta, luka, dan lainnya.
أَنْ يَتَحَلَّلَهُ
Agar dia meminta kehalalan darinya.
يَعْنِي: يَطْلُبُ مِنْهُ أَنْ يُحِلَّهُ
وَيُسَامِحَهُ الْيَوْمَ فِي أَيَّامِ الدُّنْيَا
Maksudnya, dia meminta agar orang tersebut menghalalkan dan memaafkannya pada
hari-hari dunia ini.
قَبْلَ أَنْ يَأْتِيَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ
Sebelum datangnya hari kiamat.
حَيْثُ لَا دِينَارَ مِنْ ذَهَبٍ وَلَا
دِرْهَمَ مِنْ فِضَّةٍ
Di hari itu tidak ada dinar dari emas dan tidak ada dirham dari perak.
يَدْفَعُهُ لِمَنْ ظَلَمَهُ لِيَفْدِيَ بِهِ
نَفْسَهُ
Tidak ada yang dapat diberikan kepada orang yang dizalimi untuk menebus
dirinya.
إِذْ الْقِصَاصُ يَوْمَاهَا بِالْحَسَنَاتِ
وَالسَّيِّئَاتِ
Karena pembalasan pada hari itu dengan amal kebaikan dan keburukan.
بِأَنْ يُؤْخَذَ هَذَا الْمَظْلُومُ مِمَّنْ
ظَلَمَهُ مِنْ ثَوَابِ عَمَلِهِ الصَّالِحِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Dengan cara orang yang dizalimi mengambil pahala amal baik dari orang yang
menzaliminya pada hari kiamat.
بِقَدْرِ مَظْلِمَتِهِ الَّتِي ظُلِمَتْهَا
Sesuai dengan kadar kezalimannya yang dialaminya.
فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لِلظَّالِمِ حَسَنَاتٌ
وُضِعَ مِنْ سَيِّئَاتِ هَذَا الْمَظْلُومِ عَلَى الظَّالِمِ
Jika orang yang zalim tidak memiliki amal baik, maka diletakkan dosa-dosa orang
yang dizalimi pada orang zalim tersebut.
Maraji: https://dorar.net/hadith/sharh/16325
Pelajaran dari Hadits ini
1. Kewajiban Menghindari Kezaliman Terhadap Sesama Muslim
Perkataan مَن كانَتْ عِنْدَهُ مَظْلِمَةٌ لأخِيهِ (Barang siapa yang memiliki kezaliman terhadap saudaranya) mengajarkan bahwa setiap Muslim harus sangat berhati-hati dalam memperlakukan orang lain, terutama sesama Muslim. Kezaliman dalam Islam bukan hanya soal merampas harta atau memukul, tapi juga bisa berupa menyebar aib, menipu, atau menahan hak orang lain. Perkataan ini memperingatkan bahwa sekecil apa pun bentuk kezaliman, jika tidak diselesaikan, akan menjadi tanggungan berat di akhirat. Islam menjunjung tinggi keadilan dan tidak membiarkan satu pun bentuk pelanggaran hak sesama dibiarkan begitu saja tanpa pertanggungjawaban.
2. Segera Minta Maaf Sebelum Terlambat
Perkataan فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْها (Maka hendaklah ia meminta kehalalan darinya) mengandung pesan mendesak agar kita segera menyelesaikan masalah dengan orang yang pernah kita zalimi, dengan cara meminta maaf atau mengembalikan haknya. Dalam Islam, meminta maaf bukan hanya sopan santun, tapi menjadi kewajiban sebelum ajal tiba. Jangan menunda minta maaf, karena bisa jadi orang yang kita zalimi lebih dulu wafat atau kita sendiri yang tidak sempat. Jika dibiarkan, kezaliman ini akan dibayar dengan pahala kita sendiri di akhirat, sebuah penyesalan besar yang seharusnya bisa dihindari di dunia.
3. Harta Tidak Berguna di Akhirat
Perkataan فَإِنَّهُ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ (Karena sesungguhnya di sana tidak ada dinar dan tidak ada dirham) menjelaskan bahwa di akhirat tidak ada lagi transaksi atau penyelesaian masalah dengan uang seperti di dunia. Dinar dan dirham adalah simbol kekayaan, tapi semua itu tidak berlaku dalam pengadilan Allah. Satu-satunya alat tukar saat itu adalah amal perbuatan kita. Ini mengajarkan bahwa menyelesaikan urusan dan mengganti kerugian orang lain harus dilakukan selama masih hidup, karena di akhirat uang sebanyak apa pun tidak bisa menolong kita dari tuntutan orang yang pernah kita zalimi.
4. Amal Baik Bisa Menjadi Milik Orang Lain
Perkataan مِنْ قَبْلِ أَنْ يُؤْخَذَ لِأَخِيهِ مِنْ حَسَنَاتِهِ (Sebelum diambil dari kebaikannya untuk [mengganti] hak saudaranya) menunjukkan bahwa amal saleh kita bisa diberikan kepada orang lain sebagai ganti rugi dari kezaliman yang pernah kita lakukan. Ini adalah sistem keadilan Allah yang sangat adil tapi juga sangat mengkhawatirkan. Orang yang tekun beribadah bisa bangkrut di akhirat karena tidak menjaga hubungannya dengan sesama. Ini sesuai dengan sabda Nabi ﷺ:
أَتَدْرُونَ مَنِ الْمُفْلِسُ؟ ...
(“Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut?” …) — HR. Muslim
Karena itu, Islam mengajarkan keseimbangan antara ibadah kepada Allah dan menjaga hubungan baik dengan manusia.
5. Bahaya Menjadi Bangkrut di Hari Kiamat
Perkataan فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ (Jika ia tidak memiliki kebaikan) menunjukkan bahwa seseorang bisa saja datang pada hari kiamat dalam keadaan tidak membawa amal baik yang cukup, atau semua amal baiknya sudah habis diberikan kepada orang yang ia zalimi. Ini adalah gambaran tragis tentang bangkrutnya seseorang yang mungkin dahulu terlihat saleh dan taat. Tidak cukup hanya beribadah, kita juga harus memastikan bahwa kita tidak menyakiti atau mengambil hak orang lain. Jangan sampai orang yang dizalimi justru masuk surga berkat pahala kita, sedangkan kita masuk neraka karena kesalahan terhadap sesama.
6. Dosa Orang Lain Bisa Dilemparkan Kepada Kita
Perkataan أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ أَخِيهِ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ (Maka dosa saudaranya akan diambil dan dilemparkan kepadanya) adalah bentuk balasan yang sangat berat. Ketika tidak ada lagi pahala yang bisa diberikan, maka dosa orang yang dizalimi akan dipindahkan kepada pelaku kezaliman. Artinya, kita bisa memikul beban dosa yang sama sekali tidak kita lakukan, hanya karena pernah menzalimi seseorang. Inilah bentuk keadilan Allah yang tidak ada cela. Maka lebih baik kita hidup dengan menjauhi segala bentuk kedzaliman agar tidak menjadi tempat pembuangan dosa orang lain di akhirat.
7. Tidak Ada Dosa yang Diabaikan
Hadits ini mengajarkan bahwa setiap dosa terhadap manusia tidak akan diampuni hanya dengan tobat kepada Allah, tetapi harus diselesaikan langsung dengan orang yang kita zalimi. Ini sejalan dengan firman Allah:
إِنَّ
رَبَّكَ لَبِالْمِرْصَادِ
(Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi) — QS. Al-Fajr: 14
Tidak ada satu pun kezaliman yang lolos dari catatan Allah. Oleh karena itu, jangan pernah meremehkan dosa yang berkaitan dengan manusia, bahkan sekadar memfitnah atau memutus silaturahmi.
8. Keutamaan Memaafkan
Di balik perintah meminta kehalalan, tersimpan juga pesan penting bagi pihak yang dizalimi, yaitu anjuran untuk memaafkan. Memaafkan adalah akhlak mulia yang Allah cintai:
فَمَنْ
عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ
(Barang siapa memaafkan dan memperbaiki, maka pahalanya di sisi Allah) — QS. Asy-Syura: 40
Memang sulit memaafkan kezaliman, tetapi bila seseorang melakukannya dengan ikhlas, Allah akan memberinya balasan yang lebih besar daripada balasan duniawi.
9. Jangan Menunda Penyelesaian Masalah
Hadits ini menekankan pentingnya menyelesaikan konflik dan meminta maaf secepat mungkin. Waktu adalah nikmat yang tidak bisa diulang, dan kita tidak tahu kapan ajal datang. Banyak orang menyesal karena menunda minta maaf, tetapi semuanya sudah terlambat. Rasulullah ﷺ bersabda:
بَادِرُوا
بِالْأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ
(Segeralah beramal sebelum datang fitnah seperti potongan malam yang gelap) — HR. Muslim (118)
Segera selesaikan semua tanggungan sosial kita sebelum datang saat di mana amal tidak lagi bermanfaat.
10. Menjaga Lisan dan Sikap adalah Bentuk Ibadah
Hadits ini secara tidak langsung juga mengajarkan pentingnya menjaga lisan dan sikap kita sehari-hari. Kebanyakan bentuk kezaliman dimulai dari lisan, seperti gibah, fitnah, dan makian. Nabi ﷺ bersabda:
وَهَلْ
يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ إِلَّا حَصَائِدُ
أَلْسِنَتِهِمْ؟
(Bukankah kebanyakan manusia dijatuhkan ke dalam neraka karena hasil dari lisannya?) — HR. At-Tirmidzi (2616), An-Nasa'i dalam Al-Kubra (11330) dan Ibnu Majah (3973).
Maka menjaga lisan dan sikap bukan hanya adab, tapi juga perlindungan dari kehancuran di akhirat.
Secara keseluruhan, hadits ini memberi peringatan kuat bahwa kezaliman terhadap sesama manusia bisa menjadi penyebab terbesar kerugian di akhirat. Amal ibadah saja tidak cukup jika kita merusak hubungan dengan orang lain. Menyelesaikan hak orang lain, meminta maaf, dan menjaga diri dari menyakiti sesama adalah bagian penting dari iman.
Penutup
Kajian
Jamaah sekalian yang dimuliakan Allah,
Setelah kita bersama-sama menelaah hadits agung ini, kita bisa memahami bahwa ajaran Islam bukan hanya mengatur hubungan kita dengan Allah, tapi juga sangat menekankan pentingnya menjaga hubungan kita dengan sesama manusia. Hadits ini mengajarkan bahwa sebaik-baiknya amal bisa sirna jika hak orang lain belum kita tunaikan. Bahkan pada hari kiamat kelak, kebaikan kita bisa dipindahkan kepada orang yang pernah kita zalimi, atau bahkan dosa orang itu yang akan dilemparkan kepada kita — na’ūdzu billāh.
Faedah besar dari hadits ini adalah membangun kesadaran bahwa tidak ada jalan pintas menuju surga jika kita masih meninggalkan beban kezaliman kepada orang lain. Baik itu berupa harta, kehormatan, maupun perasaan yang tersakiti. Islam menginginkan umatnya hidup dengan saling menunaikan hak, saling memaafkan, dan saling memperbaiki, agar umat ini menjadi umat yang bersih bukan hanya secara lahiriah tapi juga secara sosial.
Maka harapan besar dari kajian ini adalah agar kita semua mulai hari ini berani untuk introspeksi. Jika ada urusan yang belum selesai dengan sesama, maka selesaikanlah. Jika ada yang perlu kita minta maaf, maka mintalah. Jika ada hak yang belum kita kembalikan, maka kembalikanlah sebelum hari di mana tak ada lagi dinar dan dirham yang bisa digunakan untuk membayar. Jangan tunggu sampai ajal tiba baru sadar bahwa kita belum bersih dari beban dosa kepada sesama.
Semoga hadits ini menjadi cahaya bagi kita dalam melangkah, dan menjadi penggerak untuk memperbaiki hubungan antarsesama sebelum datang hari yang tidak ada lagi kesempatan untuk meminta maaf. Semoga Allah menerima taubat kita, melapangkan hati kita untuk memaafkan, dan menjadikan kita semua termasuk orang-orang yang selamat di dunia dan akhirat.
Kita tutup dengan doa kafaratul majelis:
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ
وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ
إِلَيْكَ
وَصَلَّى اللَّهُ
عَلَىٰ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَىٰ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ
رَبِّ الْعَالَمِينَ