Hadits: Larangan Wasiat kepada Ahli Waris

 بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

الْحَمْدُ لِلَّهِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُ

Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah ﷻ yang telah menyempurnakan agama ini dengan aturan yang adil dan bijaksana. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad ﷺ, suri teladan dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam mengatur harta dan membagi warisan sesuai wahyu dari Allah ﷻ.

Jama’ah sekalian yang dirahmati Allah,
Pada kesempatan ini kita akan mengkaji satu hadits yang singkat namun memiliki dampak besar dalam menjaga keadilan dan keharmonisan dalam keluarga, khususnya dalam hal pembagian harta warisan. Hadits ini menjadi pondasi penting dalam hukum faraidh, dan banyak terjadi kekeliruan di masyarakat yang sebenarnya bisa dicegah jika hadits ini dipahami dengan benar.

Kita menyaksikan sendiri, betapa banyak konflik warisan yang mencuat di tengah keluarga. Ada yang saling gugat, putus silaturahmi, bahkan sampai memutus hubungan darah gara-gara tidak puas dengan pembagian warisan. Ada pula yang merasa berhak lebih karena merasa lebih berjasa, atau bahkan sebaliknya—ada ahli waris yang tidak mendapatkan haknya karena dianggap tidak penting. Ironisnya, semua ini terjadi karena ketidaktahuan atau ketidaktaatan terhadap hukum Allah yang sudah sangat jelas dalam Al-Qur’an dan hadits Rasul-Nya.

Lebih dari itu, ada pula fenomena penyalahgunaan wasiat, di mana seseorang memberi wasiat kepada anak kandungnya yang sebenarnya sudah pasti mendapatkan warisan. Padahal, Rasulullah ﷺ dengan tegas melarang hal tersebut. Kadang niatnya tampak baik, misalnya ingin “memberi lebih” kepada anak yang dianggap berbakti. Tapi dalam kacamata syariat, hal ini justru melanggar keadilan yang telah ditetapkan Allah ﷻ.

Oleh karena itu, hadits yang akan kita kaji ini sangat penting. Karena ia tidak hanya mengatur siapa mendapatkan apa, tapi juga mengajarkan sikap tunduk kepada keputusan Allah. Hadits ini menegaskan bahwa setiap orang sudah memiliki hak yang pasti dalam syariat, dan kita dilarang mengubah-ubahnya dengan wasiat. Bila kita pahami dan amalkan dengan baik, maka akan tercipta keluarga yang adil, damai, dan saling menghormati setelah wafatnya seorang kerabat.

Maka mari kita siapkan hati dan pikiran kita untuk mengkaji hadits ini dengan sungguh-sungguh. Semoga Allah ﷻ memberi kita pemahaman yang benar dan menjadikan kita bagian dari orang-orang yang menegakkan keadilan syariat, meskipun itu bertentangan dengan keinginan pribadi kita.


Dari Abu Umamah al-Bahili radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah bersabda:

إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ، فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ

Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang berhak akan haknya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.

HR. Abu Dawud dalam Sunan Abi Dawud (2870), at-Tirmidzi dalam Sunan at-Tirmidzi (2120), dan Ibnu Majah dalam Sunan Ibni Majah (2713).


Arti dan Penjelasan Per Kalimat


إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ
Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang berhak akan haknya.

Perkataan ini menunjukkan prinsip dasar keadilan dalam Islam bahwa segala hak telah ditetapkan oleh Allah secara adil dan sempurna.

Islam tidak membiarkan urusan hak manusia diserahkan kepada hawa nafsu atau keputusan subjektif manusia.

Dalam hal warisan, misalnya, Allah telah merinci bagian masing-masing ahli waris secara tegas dalam Al-Qur'an, khususnya dalam Surah an-Nisa ayat 11, 12, dan 176.

Hal ini menunjukkan bahwa distribusi harta setelah kematian bukanlah ranah yang dapat diatur seenaknya oleh manusia, bahkan oleh si pemilik harta sekalipun.

Penetapan ini bertujuan untuk menjaga keadilan sosial, mencegah konflik dalam keluarga, dan melindungi hak orang-orang yang lemah.

Maka dari itu, setiap orang wajib tunduk kepada ketetapan Allah dalam perkara hak, terutama dalam pembagian harta warisan.


فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
Maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.

Perkataan ini merupakan penegasan syariat bahwa seorang muslim tidak boleh menetapkan wasiat untuk ahli warisnya, karena mereka sudah mendapatkan bagian warisan yang pasti dari Allah.

Wasiat hanya boleh diberikan kepada orang-orang yang tidak mendapat bagian warisan, seperti sahabat dekat, anak angkat, atau lembaga sosial.

Jika seseorang memberikan wasiat kepada ahli warisnya, maka hal tersebut dianggap batal kecuali jika seluruh ahli waris lain merelakannya setelah pewaris wafat.

Larangan ini melindungi keadilan dan menghindari diskriminasi atau ketimpangan antara para ahli waris.

Selain itu, larangan ini mengajarkan bahwa manusia tidak boleh mencampuri urusan yang sudah diatur secara eksplisit oleh Allah dan Rasul-Nya.

Dalam konteks yang lebih luas, ini juga merupakan bentuk penjagaan terhadap keutuhan keluarga dan keharmonisan sosial pasca wafatnya seseorang.


Syarah Hadits


خَطَبَ النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ خُطبةً في حِجَّةِ الوَداعِ
Nabi berkhutbah dalam Haji Wada' (perpisahan)

فكانتْ خُطبةً جامِعةً مانِعةً
Maka khutbah itu bersifat menyeluruh dan melindungi (dari kesesatan)

جمَعَ فيها مِن الأوامرِ والنَّواهي
Beliau menghimpun di dalamnya perintah-perintah dan larangan-larangan

إذا تَمسَّك بها المُسلِمُ، نَجَا في الدُّنيا والآخرةِ
Jika seorang muslim berpegang teguh padanya, maka ia akan selamat di dunia dan akhirat

وهذا الحَديثُ فيه بَعضٌ مِن ذلك
Dan hadits ini mengandung sebagian dari hal tersebut

حَيثُ يَقولُ عَمْرُو بْنُ خارِجةَ: "خَطَبَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ"
Di mana ‘Amru bin Kharijah berkata: “Rasulullah berkhutbah”

وكان ذلك في خُطبةِ حجَّةِ الوداعِ
Dan itu terjadi dalam khutbah Haji Wada’

فقال في خُطبَتِه عامَ حِجَّةِ الوَداعِ: "إنَّ اللهَ قد أعْطى كلَّ ذي حقٍّ حقَّه"
Maka beliau bersabda dalam khutbahnya pada tahun Haji Wada’: “Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap yang berhak haknya”

أي: إنَّ اللهَ بيَّنَ وحدَّد لكلِّ وارثٍ نَصيبَه مِن الميراثِ
Yaitu: Sesungguhnya Allah telah menjelaskan dan menentukan untuk setiap ahli waris bagian warisannya

"فلا وصيَّةَ لوارثٍ"
“Maka tidak ada wasiat bagi ahli waris”

أي: فلا يَجوزُ أنْ يُوصِيَ أحَدٌ بجُزءٍ مِن الميراثِ لوارثٍ له حظٌّ ونَصيبٌ في الميراثِ
Artinya: Tidak boleh seseorang mewasiatkan bagian dari warisan kepada ahli waris yang sudah memiliki bagian

لكونِه أخَذَ حقَّه المُستَحَقَّ له، فلا يجوزُ أنْ يُوصَى له
Karena ia telah mengambil hak yang memang menjadi bagiannya, maka tidak boleh diwasiatkan lagi kepadanya

حتَّى لا يأخُذَ زِيادةً على بقيَّةِ الورثةِ
Agar ia tidak mengambil kelebihan dari bagian warisan dibanding para ahli waris lainnya

فتَحصُلَ الشَّحناءُ والبَغضاءُ بذلك
Sehingga tidak timbul permusuhan dan kebencian karenanya

وقال أيضًا: "الولَدُ للفِراشِ"
Dan beliau juga bersabda: “Anak (itu) milik tempat tidur”

أي: إنَّ المولودَ يُنسَبُ لصاحبِ الفِراشِ، وهو الزَّوجُ
Artinya: Anak yang lahir dinisbatkan kepada pemilik tempat tidur, yaitu suami

"وللعاهِرِ الحجَرُ"
“Dan bagi pezina adalah batu”

أي: وللزَّاني الرَّجمُ بالحجَرِ
Artinya: Bagi pezina adalah hukuman rajam dengan batu

وقيل: المقصودُ بالحجَرِ الخَيبةُ والخُسرانُ
Dan ada yang mengatakan, maksud dari “batu” adalah kehampaan dan kerugian

 

Maraji: https://dorar.net/hadith/sharh/117467


Pelajaran dari Hadits ini


 1. Keadilan Allah dalam Memberi Hak

Dalam perkataan إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ (Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang berhak akan haknya), kita belajar bahwa Allah adalah Tuhan yang Maha Adil dan Maha Bijaksana dalam membagi hak kepada setiap hamba-Nya. Tidak ada yang luput dari perhatian-Nya, baik yang besar maupun kecil. Dalam urusan harta warisan, misalnya, Allah telah menetapkan secara rinci siapa saja yang berhak mendapat bagian dan berapa banyak bagiannya. Ini bisa kita temukan dalam firman Allah (QS An-Nisa: 11):

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنثَيَيْنِ...

Artinya: (Allah mewasiatkan kepada kalian tentang (pembagian warisan untuk) anak-anak kalian: bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan...)
Ayat ini menunjukkan bahwa pembagian hak sudah ditetapkan Allah dan tidak boleh dilanggar atau dimanipulasi. Maka kita diajarkan untuk menerima dengan ridha ketetapan Allah dan tidak membuat aturan sendiri di atas aturan-Nya.


2. Larangan Memberi Wasiat kepada Ahli Waris

Perkataan فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ (Maka tidak ada wasiat bagi ahli waris) menjelaskan bahwa seseorang tidak boleh membuat wasiat harta kepada orang yang memang sudah berhak mendapatkan warisan. Wasiat hanya sah jika diberikan kepada orang yang bukan ahli waris, misalnya sahabat, tetangga, atau lembaga sosial. Hal ini untuk mencegah seseorang menambah atau mengurangi bagian ahli waris yang sudah ditetapkan oleh Allah. 

Hadits ini memperkuat prinsip bahwa manusia tidak boleh mengatur seenaknya harta yang sudah ditetapkan Allah, bahkan setelah ia meninggal. Jika tetap membuat wasiat kepada ahli waris, maka wasiat itu batal kecuali disetujui oleh semua ahli waris lainnya setelah kematian pewaris.


3. Wasiat adalah Amanah, Bukan Alat Mengatur Ulang Warisan

Meskipun tidak disebutkan langsung dalam hadits, tetapi makna yang tersirat mengajarkan bahwa wasiat bukanlah cara untuk mengatur ulang harta sesuai keinginan pribadi. Islam membatasi wasiat maksimal sepertiga dari harta, dan tidak boleh diberikan kepada ahli waris. Ini ditegaskan dalam hadits:

الثُّلُثُ وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ

Artinya: (Sepertiga, dan sepertiga itu sudah banyak)
Hadits ini keluar dari lisan Nabi ﷺ ketika Sa'ad bin Abi Waqqash ingin mewasiatkan dua pertiga hartanya. Nabi mengajarkan bahwa wasiat harus seimbang dan tidak merugikan ahli waris lainnya. Maka dari itu, wasiat adalah sarana kebaikan sosial, bukan sarana menyetir warisan sesuai hawa nafsu.


4. Menerima Ketetapan Allah adalah Bentuk Keimanan

Kandungan hadits ini juga mengajarkan bahwa menerima ketetapan Allah tentang hak dan warisan adalah bagian dari iman. Orang yang merasa tidak puas dengan pembagian warisan berarti tidak ridha terhadap hukum Allah. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman (QS An-Nisa: 65):

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ...

Artinya: (Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sampai mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan...)
Ketika seseorang rela dan tunduk terhadap pembagian yang telah ditetapkan Allah, maka dia menunjukkan kualitas keimanannya. Namun bila ia protes atau mencoba mencari celah untuk menambah bagian tertentu lewat wasiat, maka ia telah merusak keadilan yang ditetapkan oleh syariat.


5. Menghindari Konflik Keluarga dalam Urusan Harta

Hadits ini juga mengajarkan pentingnya menjaga keharmonisan keluarga setelah seseorang wafat. Banyak konflik keluarga yang berawal dari perselisihan soal warisan. Dengan mengikuti aturan Allah secara tegas—tanpa ada tambahan wasiat kepada ahli waris—maka potensi pertikaian bisa diminimalkan. Ketika harta dibagi secara adil dan sesuai dengan syariat, maka setiap anggota keluarga merasa dihargai dan tidak dirugikan. Islam sangat menjaga hubungan kekerabatan dan melarang perpecahan hanya karena urusan dunia seperti harta warisan.


6. Wasiat adalah Wadah Kebaikan Sosial

Karena ahli waris tidak boleh diberi wasiat, maka Islam membuka peluang wasiat bagi pihak-pihak di luar ahli waris yang membutuhkan, seperti orang miskin, anak yatim, lembaga dakwah, atau pembangunan masjid. Inilah bentuk kontribusi sosial dari orang yang akan meninggal, sebagai amal jariyah yang terus mengalir pahalanya. Ini sesuai dengan sabda Nabi ﷺ:

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلاثٍ...

Artinya: (Apabila manusia meninggal, maka terputus amalannya kecuali dari tiga perkara...)
Dengan wasiat yang tepat dan tidak melanggar syariat, seseorang bisa meninggalkan jejak kebaikan di tengah masyarakat setelah wafat.


7. Ilmu Waris adalah Bagian Penting dari Syariat Islam

Dari hadits ini kita juga belajar bahwa ilmu waris bukanlah ilmu sekunder, tetapi bagian penting dari agama. Bahkan, Allah menyebutkan aturan waris dalam Al-Qur’an secara panjang dan rinci.
Ini menunjukkan pentingnya menyebarluaskan ilmu waris agar umat Islam tidak membuat kesalahan dalam pembagian harta yang dapat berujung pada dosa dan pertikaian.


8. Hak Waris adalah Ketetapan, Bukan Hadiah

Hadits ini juga mengingatkan bahwa warisan bukanlah pemberian yang bisa dipilih sesuai suka atau tidak suka. Perkataan قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ menyiratkan bahwa hak waris adalah ketetapan dari Allah, bukan hadiah dari orang yang meninggal. Maka tidak boleh ada niat untuk memberikan lebih kepada yang disukai dan mengurangi kepada yang tidak disukai. Harta warisan harus dibagi sesuai ketetapan syariat, bukan berdasarkan hubungan emosional.


Secara keseluruhan, hadits ini mengajarkan prinsip keadilan dalam pembagian hak menurut aturan Allah, khususnya dalam urusan warisan. Wasiat tidak boleh diberikan kepada ahli waris karena hak mereka sudah ditetapkan. Islam menempatkan hukum waris sebagai sistem yang menjaga keadilan, keharmonisan keluarga, dan peluang untuk beramal sosial setelah wafat.


Penutup Kajian


 Setelah kita mempelajari hadits mulia ini, kita semakin menyadari betapa Islam sangat memperhatikan keadilan dalam harta warisan. Hadits "إِنَّ اللهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ، فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ" bukan hanya pernyataan hukum, tapi juga ajakan untuk tunduk pada aturan Allah, menjaga hak orang lain, dan mencegah terjadinya kezaliman dalam keluarga.

Hadits ini mengajarkan bahwa Allah-lah yang membagi hak-hak manusia, termasuk dalam hal warisan, dan kita tidak boleh mengganti ketetapan-Nya dengan keinginan pribadi, bahkan dengan niat yang kelihatan baik sekalipun. Ini menunjukkan betapa pentingnya akhlak ketaatan kepada syariat, keikhlasan dalam membagi harta, dan kesadaran bahwa keadilan yang sejati datang dari aturan Allah ﷻ, bukan dari pertimbangan manusia semata.

Maka harapan kita setelah kajian ini adalah, semoga setiap dari kita tidak hanya memahami hukum ini secara teori, tapi juga berkomitmen untuk menjadi pelaku keadilan dalam keluarga. Baik sebagai anak, orang tua, ahli waris, atau yang sedang mempersiapkan wasiat, hendaknya kita selalu merujuk pada hukum Allah, agar hidup kita penuh keberkahan, dan kematian kita menjadi awal kebaikan, bukan permulaan konflik bagi keluarga yang ditinggalkan.

Semoga Allah ﷻ menjadikan kita termasuk orang-orang yang adil, jujur, dan amanah dalam mengelola harta, serta menerima setiap ketetapan-Nya dengan ridha dan lapang dada. Mari kita amalkan ilmu ini, kita ajarkan kepada yang lain, dan kita jaga warisan syariat ini untuk generasi berikutnya.

 

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

وَصَلَّى اللَّهُ عَلَىٰ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَىٰ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ


Tampilkan Kajian Menurut Kata Kunci

Followers