Hadits: Larangan Menjual Barang Yang Tidak Dimiliki

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

الْحَمْدُ لِلَّهِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُ

Hadirin yang dirahmati Allah,

Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Islam sebagai agama yang sempurna, yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk dalam bidang ekonomi dan transaksi muamalah. Shalawat dan salam kita curahkan kepada Nabi Muhammad ﷺ, yang telah membimbing umatnya dengan petunjuk yang jelas dalam urusan jual beli, sehingga kita bisa terhindar dari transaksi yang mengandung gharar, riba, dan kezaliman.

Latar Belakang Permasalahan

Di zaman sekarang, perdagangan berkembang dengan pesat, terutama dengan adanya kemajuan teknologi dan sistem jual beli online. Namun, di balik kemudahan tersebut, ada banyak praktik yang bertentangan dengan prinsip syariah, seperti menjual sesuatu yang belum dimiliki.

Beberapa contoh permasalahan di masyarakat yang berkaitan dengan tema ini:

  1. Dropshipping yang Tidak Sesuai Syariah
    Banyak orang yang menjalankan bisnis dropshipping tanpa memastikan bahwa barang yang dijual benar-benar tersedia. Mereka menawarkan produk, menerima pembayaran, lalu baru mencari barangnya. Jika barang tidak ada atau terlambat datang, maka pembeli bisa dirugikan.

  2. Jual Beli Properti Tanpa Kepemilikan Sah
    Banyak terjadi kasus seseorang menjual tanah atau rumah yang belum menjadi miliknya secara sah. Akibatnya, transaksi menjadi tidak jelas, dan bisa menyebabkan sengketa hukum.

  3. Jual Beli Saham dengan Sistem Short Selling
    Di dunia investasi, ada praktik menjual saham yang belum dimiliki dengan harapan harga turun, lalu membelinya kembali dengan harga lebih murah. Ini adalah bentuk gharar (ketidakpastian) yang dilarang dalam Islam.

  4. Transaksi Pre-Order Tanpa Kepastian Barang
    Banyak penjual menawarkan barang dengan sistem pre-order, padahal mereka belum memastikan keberadaan stoknya. Jika barang tidak tersedia atau mengalami keterlambatan, pelanggan bisa merasa tertipu.

Permasalahan ini sering terjadi di masyarakat karena kurangnya pemahaman tentang hukum jual beli dalam Islam, atau karena keinginan mencari keuntungan dengan cara yang tidak benar. Oleh karena itu, hadits yang akan kita bahas hari ini menjadi sangat relevan untuk dipelajari dan diterapkan dalam kehidupan kita.

Urgensi Tema Kajian Ini

Mengapa kita harus membahas tema ini? Karena dalam Islam, transaksi jual beli bukan hanya tentang mencari keuntungan, tetapi juga tentang keadilan, kejujuran, dan keberkahan. Jika prinsip ini tidak dijaga, maka dampaknya adalah:

  • Meningkatnya penipuan dan praktik jual beli yang tidak transparan.
  • Timbulnya sengketa antara penjual dan pembeli karena barang yang dijanjikan tidak tersedia.
  • Hilangnya kepercayaan dalam dunia bisnis, sehingga banyak orang ragu dalam bertransaksi.

Dalam hadits yang akan kita bahas, ada larangan Rasulullah ﷺ dalam jual beli, yang mana larangan ini bukan sekadar aturan, tetapi bertujuan untuk menjaga keadilan dalam muamalah dan menghindari praktik gharar yang merugikan banyak pihak.

Apa yang Akan Didapatkan dari Kajian Ini?

Setelah mengikuti kajian ini, insyaAllah kita akan mendapatkan beberapa pelajaran penting, di antaranya:

  1. Memahami hadits tentang larangan menjual sesuatu yang belum dimiliki dan hikmahnya dalam Islam.
  2. Mengetahui jenis-jenis transaksi yang dilarang dalam Islam dan alasannya.
  3. Memahami bagaimana cara berdagang yang halal dan sesuai dengan syariat.
  4. Menjadi lebih berhati-hati dalam bertransaksi, agar bisnis yang kita jalankan penuh keberkahan dan jauh dari perkara yang haram.

Semoga dengan kajian ini, kita bisa lebih memahami ajaran Islam dalam bidang ekonomi dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.


عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، يَأْتِينِي الرَّجُلُ فَيُرِيدُ مِنِّي الْبَيْعَ لَيْسَ عِندِي، أَفَأَبْتَاعُهُ لَهُ مِنَ السُّوقِ؟ فَقَالَ: لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ.

Dari Hakim bin Hizam, ia berkata: "Wahai Rasulullah, seseorang datang kepadaku ingin membeli sesuatu dariku, tetapi aku tidak memilikinya. Bolehkah aku membelinya terlebih dahulu dari pasar untuknya?" Maka beliau bersabda: "Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu."

HR An-Nasa'i (4603) dan Ahmad (15316).


Arti dan Penjelasan Per Kalimat


 يَا رَسُولَ اللَّهِ

Wahai Rasulullah.

Perkataan ini menunjukkan sikap sopan dan penuh takzim dari Hakim bin Hizam saat bertanya kepada Nabi Muhammad ﷺ.

Pertanyaan yang diajukan bukan sekadar bertanya hukum, tetapi mencerminkan keinginan kuat untuk mengikuti syariat dalam praktik bisnis.

Penyebutan langsung nama Rasul ﷺ dengan seruan “Ya Rasulallah” menunjukkan bahwa konteks hadits ini adalah interaksi langsung antara sahabat dan Nabi, menjadikan hukum yang keluar darinya sebagai jawaban yang bersifat normatif dan bukan fatwa individual.


يَأْتِينِي الرَّجُلُ

Seorang lelaki datang kepadaku.

Perkataan ini menunjukkan bahwa Hakim bin Hizam adalah seorang yang sudah dikenal sebagai pedagang dan aktif dalam kegiatan jual beli pasar.

Ia kerap menerima permintaan barang dari orang lain, yang menandakan adanya kebutuhan pelanggan yang tidak selalu tersedia secara langsung.

Konteks ini memperlihatkan adanya sistem permintaan yang menuntut respon cepat dari pedagang, bahkan ketika barang belum tersedia di tangannya.


فَيُرِيدُ مِنِّي الْبَيْعَ 

Lalu dia ingin membeli dariku.

Permintaan jual beli di sini bersifat langsung, yaitu pelanggan ingin melakukan transaksi saat itu juga.

Ini menggambarkan adanya bentuk jual beli yang didasarkan atas kepercayaan (trust-based transaction), namun secara syar’i tetap harus memperhatikan keberadaan barang.

Permintaan seperti ini bisa mengarah kepada akad jual beli yang batil jika syarat sah jual beli tidak terpenuhi, yaitu adanya kepemilikan dan kemampuan menyerahkan barang (qabd).


لَيْسَ عِندِي

Padahal barang itu tidak ada padaku.

Perkataan ini menjadi pusat permasalahan yang diajukan oleh Hakim bin Hizam kepada Rasulullah ﷺ.

Perkataan ini menandakan bahwa ia belum memiliki, belum menguasai, dan bahkan belum mengetahui dengan pasti apakah barang itu bisa dia dapatkan.

Ketiadaan barang saat akad bisa membuka peluang gharar (ketidakjelasan) dan mengandung unsur spekulasi yang dilarang dalam Islam.

Jual beli semacam ini rawan menimbulkan sengketa karena bisa saja barang tidak ditemukan, kualitas tidak sesuai, atau harga berubah, sehingga merugikan salah satu pihak.


أَفَأَبْتَاعُهُ لَهُ مِنَ السُّوقِ؟

Bolehkah aku membelinya dari pasar untuknya?

Pertanyaan ini menunjukkan bahwa Hakim bin Hizam berusaha mencari jalan tengah: ia tidak memiliki barang, tetapi berencana mencarikannya di pasar.

Perkataan ini menyiratkan bentuk akad salam atau wakalah, tetapi ia belum secara eksplisit mengatur syarat-syarat tersebut dalam transaksi.

Dalam praktik modern, hal ini menyerupai dropshipping atau pre-order, tetapi tetap harus memenuhi prinsip kepemilikan dan tanggung jawab terhadap barang yang dijual.

Nabi akan memberikan jawaban yang tidak hanya menilai niat baik Hakim, tetapi juga menegaskan batasan legal syariat dalam berbisnis.


 فَقَالَ: لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ.

Beliau bersabda: Jangan engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu.

Ini adalah inti dari hadits dan hukum yang tegas dari Nabi ﷺ.

Larangan ini bukan hanya teknis, tetapi memiliki dimensi pencegahan terhadap praktik bisnis yang mengandung spekulasi, penipuan, dan ketidakpastian.

Prinsip utama dalam jual beli syariah adalah (1) kejelasan (bayan), (2) kepemilikan (milk), dan (3) kemampuan menyerahkan (qabdh), yang semuanya tidak terpenuhi jika barang belum dimiliki.

Dengan larangan ini, Nabi ﷺ membentengi umat dari bentuk transaksi yang mengandung risiko yang tidak seimbang (asymmetrical risk) antara penjual dan pembeli.

Namun, Islam tetap memberikan solusi melalui akad seperti salam, istishna’, dan wakalah, di mana skema pemesanan barang diperbolehkan dengan aturan yang jelas.


Syarah Hadits


جَاءَ الْإِسْلَامُ بِنِظَامٍ اِقْتِصَادِيٍّ مُتَكَامِلٍ
Islam datang dengan sistem ekonomi yang sempurna.

وَضَعَ فِيهِ قَوَاعِدَ مُنْضَبِطَةً لِحِفْظِ حُقُوقِ النَّاسِ
(Islam) meletakkan aturan-aturan yang teratur untuk menjaga hak-hak manusia.

مَنْعًا لِلْغِشِّ وَالْغَرَرِ وَالْخِدَاعِ فِي الْمُعَامَلَاتِ التِّجَارِيَّةِ وَالْمَالِيَّةِ
Untuk mencegah kecurangan, ketidakpastian, dan penipuan dalam transaksi perdagangan dan keuangan.

حَتَّى يَتَسَامَحَ النَّاسُ فِي بَيْعِهِمْ وَشِرَائِهِمْ
Sehingga manusia dapat bertransaksi dengan saling toleransi dalam jual beli mereka.

وَيَسُودَ بَيْنَهُمُ الْعَدْلُ وَالرَّحْمَةُ
Dan agar keadilan serta kasih sayang tersebar di antara mereka.


وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ يُوَضِّحُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَدَ أَحْكَامِ الْبَيْعِ وَالشِّرَاءِ
Dalam hadits ini, Nabi menjelaskan salah satu hukum jual beli.

حَيْثُ سَأَلَهُ حَكِيمُ بْنُ حِزَامٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
Ketika Hakim bin Hizam رضي الله عنه bertanya kepada beliau.

فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، يَأْتِينِي الرَّجُلُ فَيُرِيدُ مِنِّي الْبَيْعَ لَيْسَ عِنْدِي، أَفَأَبْتَاعُهُ لَهُ مِنَ السُّوقِ؟
Lalu ia berkata: "Wahai Rasulullah, seseorang datang kepadaku ingin membeli sesuatu yang tidak ada padaku, bolehkah aku membelinya untuknya dari pasar?"

أَيْ: إِنَّ حَكِيمَ بْنَ حِزَامٍ كَانَ تَاجِرًا
Maksudnya: Hakim bin Hizam adalah seorang pedagang.

فَيَأْتِيهِ الْبَائِعُ يَطْلُبُ مِنْهُ سِلْعَةً لَيْسَتْ مَوْجُودَةً عِنْدَهُ حَالَ طَلَبِهَا
Seorang pembeli datang kepadanya meminta barang yang tidak tersedia saat itu.

فَيَسْأَلُ: هَلْ أَبِيعُهُ السِّلْعَةَ وَهِيَ لَيْسَتْ عِنْدِي، ثُمَّ أَبْتَاعُهَا؟
Lalu ia bertanya: "Bolehkah aku menjual barang itu meskipun tidak ada padaku, kemudian aku membelinya?"

أَيْ: أَشْتَرِيهَا مِنَ السُّوقِ، ثُمَّ أُسَلِّمُهَا لِلْمُشْتَرِي؟
Maksudnya: Aku membelinya dari pasar, lalu menyerahkannya kepada pembeli?

فَأَجَابَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِنَهْيِهِ عَنْ ذَلِكَ
Maka Nabi melarangnya melakukan hal itu.

فَقَالَ: «لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ»
Beliau bersabda: "Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu."

أَيْ: لَا تَبِعْ شَيْئًا لَيْسَ فِي مِلْكِكَ حَالَ الْعَقْدِ
Maksudnya: Janganlah menjual sesuatu yang belum menjadi milikmu saat akad berlangsung.


وَهَذَا نَهْيٌ عَنْ بَيْعِ عَيْنِ الشَّيْءِ الَّذِي لَيْسَ فِي الْمِلْكِ
Larangan ini berlaku untuk menjual barang yang belum dimiliki.

وَإِنَّمَا نَهَى عَنْ ذَلِكَ لِأَنَّهُ إِذَا بَاعَ مَا لَيْسَ عِنْدَهُ، فَلَيْسَ هُوَ عَلَى ثِقَةٍ مِنْ حُصُولِهِ
Beliau melarangnya karena jika seseorang menjual sesuatu yang tidak ada padanya, maka ia tidak yakin apakah ia bisa mendapatkannya atau tidak.

فَقَدْ يَحْصُلُ لَهُ وَقَدْ لَا يَحْصُلُ
Bisa jadi ia mendapatkannya, dan bisa jadi tidak.

فَيَكُونُ غَرَرًا
Sehingga itu menjadi gharar (ketidakpastian).

وَالْغَرَرُ كُلُّ بَيْعٍ اشْتَمَلَ عَلَى أَيِّ نَوْعٍ مِنْ أَنْوَاعِ الْخِدَاعِ، أَوْ كَانَ مَجْهُولًا أَوْ مَعْجُوزًا عَنْهُ
Gharar adalah setiap transaksi yang mengandung unsur penipuan, ketidakjelasan, atau sesuatu yang tidak bisa diwujudkan.


وَيَدْخُلُ فِي ذَلِكَ كُلُّ شَيْءٍ لَيْسَ بِمَضْمُونٍ عِنْدَ الْبَائِعِ
Termasuk dalam larangan ini setiap barang yang tidak dijamin oleh penjual.

مِثْلُ أَنْ يَشْتَرِيَ سِلْعَةً فَيَبِيعَهَا قَبْلَ أَنْ يَقْبِضَهَا
Seperti seseorang membeli barang lalu menjualnya sebelum ia menerimanya.

وَيَدْخُلُ فِي ذَلِكَ بَيْعُ الرَّجُلِ مَالَ غَيْرِهِ دُونَ إِذْنِ مَالِكِهِ مَوْقُوفًا عَلَى إِجَازَةِ الْمَالِكِ
Termasuk juga menjual barang milik orang lain tanpa izinnya, dengan syarat menunggu persetujuan pemiliknya.

لِأَنَّهُ يَبِيعُ مَا لَيْسَ عِنْدَهُ وَلَا فِي مِلْكِهِ وَضَمَانِهِ
Karena ia menjual sesuatu yang tidak ada padanya, bukan miliknya, dan tidak dalam tanggung jawabnya.

وَلَا يَدْرِي هَلْ يُجِيزُهُ صَاحِبُهُ أَمْ لَا
Dan ia tidak tahu apakah pemiliknya akan mengizinkannya atau tidak.

وَقَدْ لَا يَسْتَطِيعُ تَسْلِيمَهُ لِلْمُشْتَرِي
Bisa jadi ia tidak mampu menyerahkannya kepada pembeli.

وَأَيْضًا يَدْخُلُ فِيهِ بَيْعُ أَيِّ شَيْءٍ لَيْسَ مَقْدُورًا عَلَيْهِ وَقْتَ الْبَيْعِ
Termasuk juga menjual sesuatu yang tidak dapat dikuasai saat transaksi berlangsung.

كَأَنْ يَبِيعَهُ جَمَلَهُ الشَّارِدَ
Seperti menjual untanya yang sedang lari (tidak dapat ditangkap).

 

Maraji: https://dorar.net/hadith/sharh/30194


Pelajaran dari hadits ini


1. Menghormati Nabi sebagai Sumber Petunjuk

Perkataan يَا رَسُولَ اللَّهِ (Wahai Rasulullah) menunjukkan bahwa dalam urusan muamalah, para sahabat tidak mengambil keputusan sendiri, tetapi selalu merujuk kepada Nabi Muhammad ﷺ sebagai sumber utama ajaran Islam. Ini mengajarkan kita untuk menjadikan ajaran Rasulullah sebagai rujukan utama dalam setiap aspek kehidupan, termasuk jual beli. Penghormatan ini juga mencerminkan adab yang tinggi dalam bertanya kepada ulama atau pemimpin agama, karena dari merekalah kita bisa memahami syariat secara benar.


2. Realitas Pedagang yang Melayani Permintaan Konsumen

Perkataan يَأْتِينِي الرَّجُلُ (Seorang lelaki datang kepadaku) menggambarkan kondisi umum dalam dunia usaha, yaitu banyak konsumen datang kepada pedagang untuk mencari barang tertentu. Ini menunjukkan bahwa pedagang adalah pihak yang aktif melayani kebutuhan orang lain. Namun, Islam mengajarkan bahwa melayani kebutuhan orang lain tetap harus dalam batasan syariat. Melayani pembeli adalah amal yang baik, tetapi tidak boleh sampai menghalalkan segala cara.


3. Transaksi Harus Berdasarkan Kesepakatan yang Jelas

Perkataan فَيُرِيدُ مِنِّي الْبَيْعَ (Lalu dia ingin membeli dariku) menegaskan bahwa transaksi terjadi atas dasar keinginan dan kesepakatan dua belah pihak. Namun, keinginan tidak cukup untuk menjadikan sebuah jual beli sah. Harus ada kejelasan tentang barang, harga, dan kewenangan. Dalam Islam, jual beli tidak cukup dengan niat baik saja, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang jelas agar tidak merugikan salah satu pihak.


4. Dilarang Berjualan Barang yang Tidak Dimiliki

Perkataan لَيْسَ عِندِي (Padahal barang itu tidak ada padaku) merupakan inti dari permasalahan yang diajukan Hakim bin Hizam. Ini menunjukkan bahwa ia tidak memiliki barang tersebut secara fisik atau hukum saat transaksi dilakukan. Dalam Islam, tidak boleh seseorang menjual sesuatu yang belum ia miliki karena dapat menimbulkan ketidakpastian dan potensi penipuan. Nabi melarang jual beli seperti ini karena bisa merugikan pembeli jika barang tidak sesuai atau tidak tersedia.

Jika seseorang menjual barang yang belum dimilikinya, ada kemungkinan barang itu tidak bisa diperoleh, sehingga dapat merugikan pembeli.

Jika barang itu masih dalam penguasaan orang lain atau belum diterima, maka tidak boleh dijual. Contoh: Seorang pedagang membeli stok barang dari pemasok, tetapi sebelum barang tiba di tangannya, ia sudah menjualnya ke orang lain. Ini tidak diperbolehkan.



5. Keinginan Baik Tidak Membenarkan Cara yang Salah

Perkataan أَفَأَبْتَاعُهُ لَهُ مِنَ السُّوقِ؟ (Bolehkah aku membelinya dari pasar untuknya?) menunjukkan bahwa Hakim bin Hizam punya niat baik: ia ingin mencarikan barang yang diminta dan menjualkannya kepada pembeli. Namun, Islam tidak membenarkan niat baik jika caranya salah. Jika ingin menjual barang yang belum ada, harus dengan akad yang sesuai seperti akad salam (jual beli pesan) atau akad wakalah (perwakilan). Tanpa akad yang sah, transaksi menjadi tidak valid dan dilarang dalam syariat.

Contoh dalam dunia modern:

  • Jual beli dropship tanpa sistem yang jelas dan tanpa kepastian stok.
  • Menjual properti yang belum resmi dimiliki dengan janji akan mengurus kepemilikan nanti.

6. Larangan Jual Beli Tanpa Kepemilikan

Perkataan فَقَالَ: لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ (Beliau bersabda: Jangan engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu) adalah perintah langsung dari Nabi ﷺ yang menjadi kaidah penting dalam fiqih muamalah. Jual beli harus dilakukan terhadap barang yang sudah ada dan dimiliki secara hukum oleh penjual. Hal ini mencegah kerugian dan sengketa. Larangan ini termasuk dalam upaya Islam untuk menegakkan keadilan dan keterbukaan dalam transaksi.

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا
(Artinya: Siapa yang menipu kami, maka ia bukan termasuk golongan kami.)
(HR. Muslim)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ
(Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan perniagaan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu.)
(QS. An-Nisa’: 29)


7. Pentingnya Kepemilikan dan Penguasaan Barang dalam Islam

Meskipun tidak tersurat dalam pertanyaan Hakim bin Hizam, hadits ini mengandung pelajaran penting tentang syarat sah jual beli, yaitu adanya kepemilikan atau penguasaan nyata atas barang. Seorang penjual tidak boleh menjual sesuatu yang belum ia kuasai, bahkan jika ia yakin bisa mendapatkannya nanti. Kepemilikan ini bisa berupa fisik (barang di tangan), atau secara hukum (barang dalam kendali penuh meski belum di tempat). Tanpa ini, transaksi rawan gagal dan menyebabkan ketidakadilan.

✔ Jika barang tidak ada atau belum dalam kekuasaan penjual, transaksi menjadi tidak sah.
✔ Contohnya:

  • Seseorang menjual tanah yang bukan miliknya tanpa izin pemiliknya.
  • Menjual mobil yang masih dalam pengiriman sebelum diterima oleh penjual.

8. Alternatif Akad yang Sesuai Syariat Tetap Tersedia

Hadits ini tidak bermaksud menutup peluang bisnis bagi mereka yang tidak punya stok barang. Namun Islam memberikan solusi melalui akad-akad syariah seperti akad salam (jual beli pesan dengan pembayaran di awal), akad istishna’ (pemesanan barang produksi), atau akad wakalah (perwakilan mencari barang). Dengan syarat yang jelas, cara ini halal dan aman. Pedagang tetap bisa menjalankan usaha meski tidak menyimpan stok barang, asalkan mengikuti aturan syariat.

✔ Alternatif yang diperbolehkan dalam Islam:

  • Salam (jual beli pesanan) → Pembeli membayar di awal, dan penjual berkomitmen menyerahkan barang sesuai kesepakatan.
  • Istishna’ (pesanan produksi) → Digunakan dalam jual beli barang yang harus diproduksi terlebih dahulu, seperti pembuatan pakaian atau bangunan.
  • Wakalah bil ujrah → Seseorang bisa menjadi perantara atau agen yang mencari barang atas nama pembeli tanpa menjual barang yang tidak dimilikinya.

9. Larangan Gharar dan Spekulasi dalam Jual Beli

Hadits ini juga mengajarkan agar transaksi bebas dari unsur gharar (ketidakpastian). Ketika seseorang menjual barang yang belum ia miliki, maka bisa jadi barang itu tidak ditemukan, kualitasnya buruk, atau harganya berubah drastis. Ini semua adalah bentuk spekulasi yang tidak sehat dan dilarang dalam Islam. Nabi ﷺ bersabda:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
(Artinya: Rasulullah ﷺ melarang jual beli yang mengandung gharar.)
(HR. Muslim)

✔ Contoh gharar dalam transaksi, yaitu:

  • Menjual ikan di laut sebelum ditangkap.
  • Menjual burung di udara yang belum ditangkap.
  • Menjual hasil panen sebelum tampak baik.

 


10. Etika Bisnis: Kejujuran dan Tanggung Jawab

Hadits ini mengandung pesan kuat tentang etika dalam bisnis: seorang pedagang harus jujur tentang ketersediaan barang dan bertanggung jawab atas apa yang dijual. Menjual sesuatu yang belum dimiliki bisa mengarah pada pemalsuan informasi dan tidak bertanggung jawab bila barang gagal didatangkan. Islam menuntut kejujuran dan akhlak tinggi dalam bisnis, karena pedagang yang jujur dijanjikan kedudukan bersama para nabi dan orang-orang shalih.

التَّاجِرُ الصَّدُوقُ الأَمِينُ مَعَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ
(Artinya: Pedagang yang jujur dan amanah akan bersama para nabi, orang-orang yang jujur, dan para syuhada.)
(HR. Tirmidzi)


Secara keseluruhan, hadits ini memberikan panduan penting dalam dunia usaha: bahwa transaksi harus dilakukan atas dasar kepemilikan yang sah, kejujuran, dan tanggung jawab penuh dari penjual. Larangan Nabi ﷺ terhadap jual beli barang yang tidak dimiliki bukan hanya masalah hukum, tetapi juga perlindungan terhadap keadilan dan kepercayaan dalam masyarakat. Islam mengajarkan perdagangan yang bersih, transparan, dan berkah. 


Penutup Kajian


 Alhamdulillah, kita telah selesai mengikuti kajian mengenai hadits tentang larangan menjual barang yang tidak dimiliki. Sebagai penutupan, marilah kita simpulkan pokok-pokok yang telah kita bahas dalam kajian ini.

Kesimpulan Pokok-Pokok Pembahasan

  1. Nabi ﷺ Melarang Menjual Sesuatu yang Tidak Dimiliki:
    Nabi Muhammad ﷺ dalam hadits ini dengan tegas melarang kita untuk menjual sesuatu yang tidak kita miliki pada saat transaksi dilakukan. Hal ini bertujuan untuk menjaga transaksi kita tetap jelas, transparan, dan bebas dari unsur ketidakpastian (gharar) yang dapat merugikan pihak lain.

  2. Pentingnya Kepemilikan dan Kejelasan dalam Transaksi:
    Dalam ekonomi Islam, kepemilikan dan kejelasan sangatlah penting. Penjual harus memiliki barang yang dijual dan bisa menyerahkannya kepada pembeli tanpa ada keraguan. Ini untuk menghindari penipuan, kezaliman, dan potensi kerugian bagi kedua belah pihak.

  3. Jenis-Jenis Praktik yang Terkait dengan Gharar:
    Kami juga membahas beberapa contoh transaksi yang mengandung gharar, seperti dropshipping tanpa memastikan barang, jual beli properti tanpa kepemilikan sah, dan transaksi pre-order yang tidak pasti. Semua ini bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam dalam muamalah.

Saran dan Nasehat

  • Berhati-hatilah dalam Bertransaksi:
    Sebagai umat Islam, kita harus selalu memastikan bahwa setiap transaksi yang kita lakukan telah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Islam. Jangan terburu-buru dalam mencari keuntungan yang bisa membawa kita kepada praktik yang haram.

  • Periksa Kejelasan dan Kepemilikan:
    Pastikan bahwa barang yang kita jual adalah milik kita dan bisa diserahkan dengan mudah. Jangan sampai kita terjerumus dalam praktik yang merugikan diri sendiri dan orang lain.

  • Jaga Kejujuran dalam Berbisnis:
    Kejujuran adalah kunci utama dalam setiap transaksi. Jauhkan diri kita dari segala bentuk penipuan, meskipun itu terlihat menguntungkan sementara. Keberkahan dalam bisnis hanya akan tercapai dengan cara yang jujur dan sesuai dengan syariat.

Harapan untuk Peserta Kajian

Semoga setelah mengikuti kajian ini, kita semua bisa menjadi pribadi yang lebih bijak dalam menjalankan aktivitas jual beli, baik di dunia nyata maupun dalam transaksi digital. Kita diharapkan bisa menjaga prinsip-prinsip syariat dalam setiap langkah bisnis yang kita jalankan, agar usaha kita tidak hanya membawa keuntungan dunia, tetapi juga berkah di akhirat.

Mari kita berdoa agar Allah memberi petunjuk dan kekuatan kepada kita untuk senantiasa menjalankan transaksi yang halal dan menjaga integritas dalam setiap perbuatan kita. Semoga kita menjadi umat yang benar-benar menjadikan ajaran Islam sebagai pedoman hidup, terutama dalam muamalah dan transaksi ekonomi.

Kita tutup dengan doa kafaratul majelis.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

وَصَلَّى اللَّهُ عَلَىٰ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَىٰ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ


Tampilkan Kajian Menurut Kata Kunci