Hadits: Larangan Menjual Bagian Hewan Kurban dan Dampaknya terhadap Keabsahan Ibadah

 

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

الْحَمْدُ لِلَّهِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُ

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah mensyariatkan ibadah kurban sebagai bentuk ketaatan, ketundukan, dan rasa syukur seorang hamba atas nikmat kehidupan dan rezeki yang diberikan. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah ﷺ, keluarga, sahabat, dan seluruh umat Islam yang mengikuti sunnah beliau hingga akhir zaman.

Jamaah yang dirahmati Allah, setiap kali datangnya Idul Adha, kita dapati semarak ibadah kurban di tengah masyarakat. Hewan-hewan terbaik disiapkan, niat yang tulus dilafadzkan, lalu sembelihan dilakukan dengan penuh pengharapan akan ridha dan pahala dari Allah. Namun, di balik semangat yang tinggi ini, masih banyak kekeliruan dalam pelaksanaan kurban yang disebabkan oleh kurangnya pemahaman terhadap adab dan hukum-hukumnya. Salah satu kekeliruan yang sering terjadi dan jarang disadari adalah menjual bagian dari hewan kurban, seperti kulitnya, tanduknya, atau bahkan dagingnya.

Padahal, dalam hadits yang akan kita bahas hari ini, Rasulullah ﷺ memberikan peringatan yang sangat tegas kepada pekurban yang menjual bagian dari hewan kurban.

Hadits ini menunjukkan bahwa ada syarat keikhlasan dan larangan tertentu yang jika dilanggar, dapat menggugurkan pahala kurban atau bahkan menghilangkan nilai ibadahnya sama sekali. Maka, sangat penting bagi kita untuk memahami makna di balik larangan ini: Mengapa kulit kurban tidak boleh dijual? Apa hubungannya dengan keikhlasan? Apakah masih sah kurbannya jika sudah terlanjur dijual? Dan bagaimana seharusnya kita memperlakukan bagian-bagian dari hewan kurban?

Kajian hari ini akan mengupas hadits ini secara menyeluruh, baik dari sisi lafadznya, kandungan hukumnya, maupun hikmah spiritual yang terkandung di dalamnya. Semoga dengan memahami hadits ini, kita bisa lebih berhati-hati dalam berkurban dan menjaga agar ibadah kita diterima dengan sempurna di sisi Allah ﷻ.


Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah bersabda:

مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَتِهِ فَلَا أُضْحِيَةَ لَهُ

“Barangsiapa yang menjual kulit hewan kurbannya, maka tidak ada kurban baginya.”

HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak (2/422), al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubra (19708), dan ad-Dailami dalam al-Firdaus (5509).

Maraji: https://dorar.net/h/v8TaPESV


Arti dan Penjelasan Per Kalimat


مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَتِهِ

Barangsiapa yang menjual kulit hewan kurbannya

Perkataan ini menunjukkan larangan secara tidak langsung dengan menggunakan bentuk syarat, yaitu siapa saja yang menjual kulit hewan kurban.

Kulit hewan kurban adalah bagian dari tubuh hewan yang termasuk dalam keutamaan ibadah kurban.

Penjualan kulit menunjukkan adanya pengalihan manfaat dari tujuan ibadah menjadi tujuan duniawi atau komersial.

Hal ini bertentangan dengan esensi kurban sebagai bentuk pendekatan diri kepada Allah yang murni dan tidak boleh dicampuri motif keuntungan pribadi.

Dalam fiqh, para ulama menegaskan bahwa seluruh bagian dari hewan kurban tidak boleh diperjualbelikan, termasuk kulitnya, karena hal itu mengurangi nilai pengorbanan dan keikhlasan yang seharusnya menjadi ruh utama ibadah ini.

Larangan ini juga melindungi kesucian amal dari niat-niat duniawi yang bisa mencemari nilai spiritual dan sosial dari kurban.


فَلَا أُضْحِيَةَ لَهُ

maka tidak ada kurban baginya

Perkataan ini menyampaikan akibat dari perbuatan menjual kulit hewan kurban, yaitu ibadah kurbannya tidak sah atau tidak bernilai.

Makna “tidak ada kurban” bukan berarti fisik hewannya tidak disembelih, tapi bahwa pahalanya tidak diterima atau gugurnya kewajiban tidak diakui secara sempurna.

Ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga adab dan syarat dalam menjalankan ibadah kurban, agar diterima di sisi Allah.

Dalam konteks ini, menjual bagian dari hewan kurban mengindikasikan penyimpangan dari tata cara yang telah ditetapkan oleh Rasulullah .

Ibadah kurban bukan hanya menyembelih hewan, tetapi juga melibatkan pengelolaan hasil sembelihan sesuai dengan syariat, yaitu seluruhnya dimanfaatkan untuk Allah, baik dengan disedekahkan maupun digunakan sendiri tanpa mengambil keuntungan dari bagiannya.

Dengan demikian, kalimat ini menjadi peringatan keras bahwa pelanggaran adab dalam ibadah dapat membatalkan nilainya di sisi Allah, walau secara lahiriah telah dilaksanakan.

 


Syarah Hadits


 Al-Manawi rahimahullah berkata:

"Maka tidak ada kurban baginya" maksudnya adalah tidak diperoleh pahala yang dijanjikan bagi orang yang berkurban atas kurbannya itu. Maka menjual kulit hewan kurban adalah haram. Demikian pula memberikannya kepada tukang jagal sebagai upah. Namun orang yang berkurban boleh memanfaatkan kulit itu.


As-Shan’ani rahimahullah berkata:
"Maka tidak ada kurban baginya" maksudnya adalah tidak ada keutamaan kurban baginya seperti keutamaan orang yang tidak menjual kulitnya. Dari sini dapat dipahami adanya larangan menjualnya, dan terlebih lagi menjual bagian dari dagingnya, karena telah ditegaskan bahwa semuanya adalah dalam timbangan amal si hamba.


Al-‘Azizi rahimahullah berkata:
Menjual kulit hewan kurban adalah haram dan tidak sah, baik kurban itu merupakan nadzar ataupun bukan. Begitu pula haram menjadikannya sebagai upah untuk tukang jagal. Namun orang yang berkurban boleh memanfaatkan kulit hewan kurban yang bersifat sunnah, tidak wajib karena nadzar.


Al-Lakhmi al-Maliki rahimahullah berkata:
Tidak boleh menjual apa pun dari hewan kurban setelah disembelih, baik dagingnya, kulitnya, maupun bulunya, karena setelah disembelih, hewan itu telah menjadi sarana taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Maka barang siapa yang menjual sesuatu dari itu, maka jualannya batal.


Al-Qadhi ‘Abdul Wahhab al-Maliki rahimahullah berkata:
Tidak boleh menjual apa pun dari hewan kurban, baik dagingnya, kulitnya, bulunya, maupun selainnya, dan tidak boleh diganti dengan sesuatu, dan tidak boleh diberikan sebagai upah kepada tukang jagal atau penyamak kulit. Ini berbeda dengan pendapat Abu Hanifah yang membolehkan menjual kulitnya dengan selain uang, seperti barang pinjaman yang bisa dimanfaatkan, namun pendapat ini ditolak karena adanya larangan dari Nabi ﷺ atas penjualan kulit-kulit hewan kurban. Dan Ali رضي الله عنه berkata: “Beliau memerintahkanku agar tidak memberikan apa pun dari kurban itu kepada tukang jagal.” Dan beliau ﷺ bersabda: “Kami akan memberinya dari harta kami sendiri.” Karena kulit itu adalah bagian dari hewan kurban sebagaimana dagingnya. Dan karena hewan kurban itu telah menjadi hak milik untuk orang-orang miskin, dan si penyembelih (mushahhi) bukanlah wakil atau pengelola untuk mereka sebagaimana dalam zakat.


Ibnu Hazm rahimahullah berkata:
Tidak halal bagi orang yang berkurban untuk menjual apa pun dari hewan kurbannya setelah disembelih, baik kulit, bulu, rambut, bulu halus, lemak, daging, tulang, rawan (yakni bagian lunak dari tulang di mana pun berada), kepala, anggota tubuh, isi perut; dan tidak boleh juga menjadikannya sebagai mahar, tidak boleh dijadikan upah, dan tidak boleh dipakai untuk membeli apa pun, baik barang rumah tangga, saringan, penyaring tepung, bumbu dapur (seperti jinten dan lainnya), atau apa pun juga.
Namun ia boleh memanfaatkan semuanya itu, menginjaknya, menjahit kulitnya dan mengenakannya, menghadiahkannya atau menyedekahkannya. Maka siapa pun yang memiliki bagian itu karena hadiah, sedekah, atau warisan, ia boleh menjualnya jika ia menghendaki.
Dan tidak halal memberikan bagian dari hewan kurban kepada tukang jagal sebagai upah penyembelihan atau pengulitannya. Ia hanya boleh memberikan upah dari selain hewan kurban. Segala bentuk transaksi yang menyelisihi hal ini wajib dibatalkan selamanya.


Al-Quduri rahimahullah berkata:

Ulama kami (mazhab Hanafiyah) –semoga Allah merahmati mereka– mengatakan: Boleh menjadikan kulit hewan kurban sebagai perlengkapan rumah, seperti alas duduk, ayakan, alas makanan, atau tempat air, yang bisa dimanfaatkan oleh orang yang dipinjamkan. Dan boleh juga menukar kulit itu dengan barang-barang tersebut.
Sedangkan Imam Asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: Tidak boleh menjual kulit-kulit hewan kurban.


Ibnu Juzayy rahimahullah berkata:
Tidak boleh menjual dari hewan kurban baik dagingnya, kulitnya, bulunya, ataupun selainnya. Namun Abu Hanifah membolehkan menjualnya dengan barter barang (al-‘urudh), bukan dengan dinar atau dirham. Dan ‘Atha’ membolehkan menjualnya dengan apa pun.


Syaikh Abdullah al-Bassam rahimahullah berkata:
Para ulama telah sepakat bahwa tidak boleh menjual daging kurban atau hewan hadyu.
Mayoritas ulama juga berpendapat: Tidak boleh pula menjual kulit, bulu, wol, dan rambutnya.
Namun Abu Hanifah membolehkan menjual kulit dan rambut serta yang sejenis dengan barter barang, bukan dengan uang, karena ia melihat bahwa pertukaran dengan uang adalah bentuk jual beli yang jelas (sarih), sedangkan dengan barang-barang ada unsur pertukaran manfaat (bukan semata-mata transaksi jual beli murni).


Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
Nash-nash Imam Syafi‘i dan para pengikutnya sepakat bahwa tidak boleh menjual apa pun dari hewan hadyu dan kurban, baik itu karena nadzar maupun sunnah (tathawwu‘), termasuk daging, lemak, kulit, tanduk, bulu, dan lainnya.
Tidak boleh pula menjadikan kulit atau selainnya sebagai upah bagi tukang jagal, tetapi orang yang berkurban atau yang berhadyu menyedekahkannya atau memanfaatkannya secara langsung seperti tempat air, ember, atau sandal dari kulit, dan sejenisnya.


Ibnu Qudamah rahimahullah berkata:
Tidak boleh menjual apa pun dari hewan kurban, baik daging maupun kulitnya, baik itu kurban wajib maupun sunnah; karena hewan itu telah menjadi hak Allah dengan disembelih.
Imam Ahmad berkata: “Jangan dijual, dan jangan menjual apa pun darinya.”
Beliau juga berkata: “Subhanallah, bagaimana bisa dijual sementara dia telah menjadikannya untuk Allah Tabaraka wa Ta‘ala?”


Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata:
Perkataan Al-Hajjawi, “Dan tidak boleh menjual kulitnya,” setelah disembelih, karena hewan itu telah dikhususkan seluruhnya untuk Allah, dan segala sesuatu yang telah dikhususkan untuk Allah, maka tidak boleh diambil gantinya.
Dalilnya adalah hadis Umar bin Khattab رضي الله عنه yang menyerahkan seekor kuda di jalan Allah (untuk jihad), namun orang yang menerimanya menyia-nyiakan kuda itu. Lalu Umar meminta izin kepada Nabi ﷺ untuk membelinya kembali, karena ia menyangka orang itu akan menjualnya dengan harga murah.
Namun Nabi ﷺ bersabda:
“Jangan kamu membelinya, sekalipun ia memberikannya kepadamu hanya dengan satu dirham.”
Alasannya: Karena ia telah mengeluarkannya untuk Allah, dan apa yang telah dikeluarkan seseorang untuk Allah, maka tidak boleh ia mengambilnya kembali.


1. Jumhur Ulama (Syafi’iyah, Malikiyah, Hanabilah): Larangan Mutlak Penjualan

  • Alasan utama: Setelah disembelih, hewan kurban menjadi hak Allah dan harus disalurkan sebagai ibadah sosial, sehingga tidak boleh dijadikan sarana komersial.

  • Dalil utama: Hadits Nabi ﷺ:

    «مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَتِهِ فَلَا أُضْحِيَةَ لَهُ»
    (HR. al-Hakim, dishahihkan olehnya dan disetujui adz-Dzahabi)
    → “Barang siapa yang menjual kulit hewan kurbannya, maka tidak ada kurban baginya.”

  • Konsekuensi:

    • Tidak boleh menjual daging, kulit, bulu, tanduk, dan sebagainya.

    • Tidak boleh menjadikannya upah tukang sembelih (jazzar).

    • Hanya boleh diambil manfaatnya langsung oleh si mudhahi (seperti dibuat wadah air, sepatu, dll) atau disedekahkan.

Contoh Ulama yang berpendapat demikian:

  • Imam al-Nawawi, Ibnu Qudamah, al-Mawardi, al-Rafi’i, Ibnu al-Mulaqqin, al-Khatib al-Syarbini, dan Ibnu Hajar al-Haitami.


2. Mazhab Hanafi: Diperbolehkan dengan Syarat

  • Dibolehkan menjual kulit hewan kurban selama tidak dibayar dengan uang tunai (dinar/dirham).

  • Diperbolehkan menukarnya dengan barang (عُرُوض), seperti baju, makanan, alat rumah tangga, dan sejenisnya.

  • Tidak boleh menjadikannya upah bagi penyembelih.

  • Dasar logika: pertukaran barang tidak dianggap sebagai jual beli murni yang merusak ibadah, melainkan bentuk pemanfaatan timbal balik.

Contoh Ulama Hanafiyah:

  • Imam al-Kasani, al-Quduri, Abu Hanifah sendiri, dan dinukil pula oleh Ibnu Juzay.


3. Catatan Penting dari Para Ulama

  • Ibnu Hajar al-Haitami sampai menggolongkan penjualan kulit sebagai dosa besar, karena merusak ibadah kurban secara keseluruhan.

  • Ibnu Qudamah dan Ahmad bin Hanbal menegaskan bahwa kurban adalah "milik Allah", sehingga menjualnya setelah disembelih seperti "mengambil kembali" milik Allah, yang diibaratkan seperti menggasab (merampas hak).

Kesimpulan dari pandangan para ulama ini:

  • Mayoritas ulama (jumhur), seperti dari mazhab Syafi‘i, Maliki, dan Hanbali: Melarang mutlak menjual apa pun dari hewan kurban, termasuk kulitnya, dan juga tidak boleh menjadikannya sebagai upah untuk tukang jagal. Kulit dan bagian lainnya harus disedekahkan atau dimanfaatkan langsung (bukan diperjualbelikan).

  • Mazhab Hanafi membolehkan menukar kulit dengan barang (bukan uang), dan menganggap pertukaran dengan barang itu bukan jual beli sarih (eksplisit), melainkan pertukaran manfaat.

  • Pandangan yang paling hati-hati dan sesuai dengan sunnah Nabi ﷺ adalah tidak menjual sama sekali bagian dari kurban, karena semua itu telah dipersembahkan untuk Allah.

Sumber: https://alsunna.net/hadith/837


Pelajaran dari Hadits ini


1. Larangan menjual bagian dari hewan kurban

Perkataan مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَتِهِ (Barangsiapa yang menjual kulit hewan kurbannya) mengajarkan bahwa ibadah kurban bukan sekadar menyembelih hewan, tapi juga menjaga nilai-nilai keikhlasan dan ketundukan kepada syariat. Menjual bagian dari hewan kurban, termasuk kulit, menunjukkan adanya upaya mencari keuntungan duniawi dari ibadah yang seharusnya diniatkan semata karena Allah. Rasulullah ﷺ bersabda: مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَتِهِ فَلَا أُضْحِيَةَ لَهُ (Barangsiapa menjual kulit hewan kurbannya, maka tidak ada kurban baginya). Ini adalah bentuk larangan keras yang menunjukkan bahwa nilai ibadah bisa hilang hanya karena kesalahan dalam niat dan pengelolaan hasil kurban. Allah Ta’ala juga berfirman dalam Surah Al-Hajj ayat 37:

لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَٰكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَىٰ مِنكُمْ

(Artinya: Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu.)


2. Kurban yang tidak sah jika tidak sesuai syariat

Perkataan فَلَا أُضْحِيَةَ لَهُ (maka tidak ada kurban baginya) menunjukkan akibat berat dari tindakan menjual kulit hewan kurban, yaitu ibadah kurbannya tidak sah atau tidak bernilai. Ini berarti ibadah tersebut tidak diterima oleh Allah meski secara lahiriah telah dilakukan. Penekanan ini menunjukkan bahwa dalam Islam, ibadah tidak hanya dinilai dari bentuknya tetapi juga dari kepatuhan pada aturan dan niat yang ikhlas. Rasulullah ﷺ pernah bersabda dalam hadits sahih:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

(Artinya: Sesungguhnya amal-amal itu tergantung niatnya.) – HR. al-Bukhari dan Muslim.

Maka seseorang yang berkurban tapi kemudian menjual sebagian hasilnya demi keuntungan, berarti niatnya sudah bercampur dan ibadahnya rusak. Kesempurnaan ibadah sangat ditentukan oleh niat yang benar dan pelaksanaan yang sesuai tuntunan.


3. Kurban sebagai bentuk ketundukan total kepada Allah

Melalui perkataan مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَتِهِ فَلَا أُضْحِيَةَ لَهُ, kita belajar bahwa kurban sejatinya adalah wujud penyerahan total kepada Allah, tanpa mengambil keuntungan materi dari hewan yang disembelih. Ketika seseorang menyembelih hewan kurban, ia menyerahkan hewan tersebut untuk kepentingan ibadah, bukan bisnis. Allah mengajarkan kita untuk memberi, bukan mengambil dalam ibadah ini. Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman:

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، لَا شَرِيكَ لَهُ

(Artinya: Katakanlah: Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya.) – QS. Al-An'am: 162-163.

Maka orang yang benar-benar berkurban akan menyerahkan seluruh bagian hewannya untuk Allah dan tidak mencari untung sedikit pun darinya.


4. Adab terhadap hasil kurban dan penerima manfaatnya

Hadits ini juga memberi pelajaran bahwa hasil dari hewan kurban, seperti kulit dan daging, seharusnya digunakan untuk kebaikan, terutama disedekahkan kepada fakir miskin atau digunakan dalam kegiatan yang bermanfaat, bukan diperjualbelikan. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya adab terhadap hasil kurban. Rasulullah ﷺ bersabda kepada Ali radhiyallahu 'anhu dalam riwayat yang sahih:

كُلْ وَأَطْعِمْ وَادَّخِرْ، وَلَا تَبِعْ مِنْهُ شَيْئًا

(Artinya: Makanlah darinya, berilah makan (orang lain), dan simpanlah, serta jangan menjual sedikit pun darinya.) – HR. al-Bukhari dan Muslim.

Ini menunjukkan bahwa keutamaan kurban bukan hanya dalam penyembelihannya, tapi juga dalam bagaimana hasilnya dimanfaatkan sesuai syariat dan adab.


5. Kurban bukan ajang mencari keuntungan ekonomi

Hadits ini menolak secara jelas pemahaman sebagian orang yang menjadikan ibadah kurban sebagai peluang bisnis, misalnya menjual kulitnya untuk mendapatkan uang kembali. Ini sangat berbahaya bagi nilai keikhlasan dalam beribadah. Islam melarang segala bentuk penyimpangan niat ibadah yang berubah menjadi transaksi duniawi. Allah berfirman:

مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ. أُو۟لَـٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِى ٱلْـَٔاخِرَةِ إِلَّا ٱلنَّارُ

(Artinya: Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, Kami akan berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dan mereka tidak akan dirugikan. Mereka itu adalah orang-orang yang tidak memperoleh (apa-apa) di akhirat kecuali neraka.) – QS. Hud: 15–16.

Maka kurban harus dijauhkan dari niat-niat untuk mendapatkan keuntungan dunia.


6. Menjaga kesucian ibadah dari niat tersembunyi

Hadits ini juga mengingatkan kita agar berhati-hati dengan niat tersembunyi yang bisa merusak ibadah. Terkadang seseorang tidak menyadari bahwa tindakannya, seperti menjual kulit kurban, bisa berasal dari keinginan duniawi yang tidak disadari. Ini bentuk riya' atau keinginan mendapat keuntungan terselubung. Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ

(Artinya: Sesungguhnya hal yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil.)

Dan para sahabat bertanya, “Apa itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab:

الرِّيَاءُ

(Artinya: riya'.) – HR. Ahmad.

Maka kita harus benar-benar menjaga kemurnian niat dan tidak mencampurinya dengan motivasi duniawi.


7. Kurban sebagai sarana sosial, bukan personal

Hewan kurban seharusnya menjadi sarana untuk berbagi dengan sesama, bukan untuk kepentingan pribadi. Hadits ini mengajarkan bahwa bagian hewan kurban harus dimanfaatkan untuk membantu fakir miskin dan masyarakat luas. Allah menyebutkan tujuan kurban dalam QS. Al-Hajj: 36:

فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ

(Artinya: Makanlah sebagian darinya dan berilah makan kepada orang yang rela dengan apa yang ada dan orang yang meminta.)

Ini menegaskan bahwa fungsi sosial kurban harus dikedepankan. Menjual kulit kurban mengabaikan aspek sosial ini dan menjadikan ibadah bersifat eksklusif dan materialistik.


8. Penerimaan kurban tergantung pada ketundukan terhadap syariat

Hadits ini memberi pelajaran penting bahwa ibadah diterima jika sesuai dengan aturan yang ditetapkan syariat. Tidak cukup hanya niat baik, tetapi pelaksanaan pun harus sesuai dengan sunnah. Allah berfirman dalam QS. Al-Ma'idah: 27:

إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ ٱللَّهُ مِنَ ٱلْمُتَّقِينَ

(Artinya: Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa.)

Maka seorang yang berkurban dengan menyimpang dari tuntunan Nabi ﷺ, seperti menjual bagian dari kurban, berarti telah meninggalkan sikap takwa dalam beramal, sehingga ibadahnya tidak diterima.


Secara keseluruhan, hadits ini menekankan pentingnya menjaga kesucian niat, adab terhadap ibadah, dan kepatuhan terhadap aturan syariat dalam melaksanakan kurban. Kurban bukan hanya tentang menyembelih hewan, tapi juga tentang bagaimana mempersembahkan pengorbanan yang murni dan bermanfaat secara sosial. Setiap bagian dari hewan kurban adalah amanah ibadah, bukan komoditas dagang. 



Penutup Kajian


 Jama’ah yang dirahmati Allah,

Demikianlah kajian kita hari ini yang membahas hadits mulia tentang larangan menjual bagian dari hewan kurban, termasuk kulitnya, sebagai bentuk penghormatan terhadap ibadah yang telah dipersembahkan untuk Allah Ta'ala. Dari penjelasan para ulama yang telah kita pelajari, tampak bahwa mayoritas ulama melarang penjualan bagian kurban karena hewan tersebut telah menjadi hak Allah, bukan lagi hak mutlak kita. Bahkan sebagian ulama menganggap bahwa menjual bagian darinya dapat merusak nilai ibadah kurban itu sendiri.

Faedah besar dari hadits ini, di antaranya adalah:

  1. Mengajarkan kepada kita untuk menyempurnakan ibadah dengan keikhlasan dan adab, tanpa mencampurkannya dengan niat duniawi.

  2. Mengingatkan kita bahwa ibadah kepada Allah itu bukan hanya niat dan pelaksanaan, tetapi juga etika pasca pelaksanaan.

  3. Menanamkan sikap zuhud dan kepedulian sosial, bahwa yang kita sembelih bukan untuk keuntungan pribadi, melainkan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan berbagi dengan sesama.

Harapan kami, semoga setelah mengikuti kajian ini, kita semua semakin hati-hati dalam menjalankan ibadah kurban. Jangan sampai semangat beribadah ternoda oleh sikap keliru dalam memanfaatkan sisa kurban, seperti menjual kulitnya untuk keuntungan pribadi. Mari kita niatkan seluruh bagian kurban sebagai wujud cinta dan ketaatan kita kepada Allah, serta sebagai jalan untuk menebar manfaat kepada orang lain.

Semoga Allah menerima amal ibadah kita semua, memberikan pemahaman yang benar, dan menjadikan kita termasuk orang-orang yang menghidupkan syiar Islam dengan adab dan keikhlasan.

وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ، وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْـحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

 

Tampilkan Kajian Menurut Kata Kunci

Followers