Hadits: Perintah Memuliakan Tamu, Tetangga dan Berkata Baik atau Diam
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، الْحَمْدُ لِلَّهِ، وَالصَّلَاةُ
وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاهُ،
أَمَّا بَعْدُ:
Hadirin yang dirahmati Allah,
Pada kesempatan kali ini, kita berkumpul dalam rangka mendalami sebuah hadits yang sangat penting bagi kehidupan sosial kita sebagai umat Islam. Hadits ini tidak hanya berisi perintah, tetapi juga mengandung nilai-nilai akhlak yang sangat relevan dengan tantangan yang kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Saudaraku sekalian, dalam kehidupan sosial kita, sering kali kita melihat bagaimana hubungan antar sesama manusia semakin tergerus oleh perbedaan, egoisme, dan ketidakharmonisan. Hubungan tetangga yang dulu sangat erat, kini banyak yang mulai renggang. Sebagai contoh, kita dapat melihat banyaknya kasus ketegangan antar tetangga, baik yang terjadi di perkotaan maupun di desa-desa, yang disebabkan oleh berbagai faktor—mulai dari kesibukan pribadi, sikap tidak peduli, hingga bahkan ketidakpedulian terhadap hak-hak tetangga. Padahal, kita semua tahu bahwa dalam Islam, hubungan baik dengan tetangga adalah salah satu pilar yang sangat ditekankan dalam ajaran kita.
Selain itu, dalam kehidupan kita sebagai umat Islam, tamu adalah bagian yang tak terpisahkan. Namun, sering kali kita juga melupakan bagaimana seharusnya kita memperlakukan tamu dengan sebaik-baiknya. Tidak sedikit orang yang merasa tamu itu hanya sebagai orang yang datang untuk mengganggu, atau ada yang merasa keberatan untuk menerima tamu dengan sepenuh hati. Padahal, Rasulullah SAW telah memberikan tuntunan yang sangat jelas tentang bagaimana seharusnya kita memperlakukan tamu dan bagaimana pentingnya memberi mereka hak-hak yang layak.
Hadits yang akan kita bahas ini, yaitu tentang "menghormati tetangga dan tamu", adalah ajaran yang seharusnya tidak hanya dibaca dan dipahami, tetapi juga diterapkan dalam kehidupan sehari-hari kita. Hadits ini mengajarkan kita tentang bagaimana seharusnya seorang Muslim memperlakukan orang-orang di sekitarnya, baik itu tetangga, tamu, maupun orang-orang yang berinteraksi dengan kita dalam kehidupan sehari-hari. Rasulullah SAW dengan tegas mengaitkan penghormatan terhadap tetangga dan tamu dengan kesempurnaan iman. Sebagai seorang Muslim, kita harus menanamkan bahwa setiap tindakan baik yang kita lakukan kepada sesama adalah bagian dari ibadah yang akan mendatangkan pahala.
Namun, meskipun ajaran ini sangat jelas, kenyataan yang ada menunjukkan bahwa masih banyak di antara kita yang belum sepenuhnya menerapkannya. Banyak dari kita yang mungkin sudah mengenal hadits ini, namun kita belum sepenuhnya memahami atau mengamalkannya dengan baik. Dalam kehidupan yang serba cepat ini, sering kali kita lupa untuk memperhatikan hak-hak orang lain di sekitar kita, baik itu hak tetangga maupun hak tamu. Padahal, hadits ini mengingatkan kita bahwa tidak ada keimanan yang sempurna tanpa kita mengamalkan ajaran ini.
Maka dari itu, kajian hari ini sangat penting untuk kita semua, terutama untuk memahami urgensi dari hadits ini dalam kehidupan kita. Dengan mempelajari hadits ini lebih mendalam, kita diharapkan dapat mengembalikan keharmonisan dalam hubungan antar sesama, baik di lingkungan tetangga, dalam keluarga, maupun dalam masyarakat yang lebih luas. Kita akan mempelajari tentang bagaimana Rasulullah SAW mengajarkan kita untuk menghormati tetangga dan tamu sebagai bentuk kesempurnaan iman, serta bagaimana menjaga lisan agar tidak menimbulkan keburukan.
Saudaraku, marilah kita membuka hati dan pikiran kita untuk mendalami hadits ini dengan penuh keikhlasan dan semangat untuk mengamalkannya dalam kehidupan kita sehari-hari. Semoga dengan mempelajari dan mengamalkan hadits ini, kita dapat menjadi pribadi yang lebih baik, lebih peduli terhadap orang lain, dan semakin dekat dengan Allah SWT.
Semoga kajian ini menjadi berkah bagi kita semua dan menjadikan kita lebih baik dalam hubungan sosial kita. Aamiin.
Mari kita membaca haditsnya:
Dari Abu Syarih al-Adawi, Khuwailid bin Amr radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
جَائِزَتَهُ. قَالَ: وَمَا جَائِزَتُهُ يَا رَسُوْلَ اللَّهِ؟ قَالَ: يَوْمٌ
وَلَيْلَةٌ وَالضِّيافَةُ ثَلاَثَةُ أَيَّامٍ فَمَا كَانَ وَرَاءَ ذَٰلِكَ فَهُوَ
صَدَقَةٌ عَلَيْهِ وَمَن كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
"Barang siapa yang beriman kepada
Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tetangganya, dan barang siapa
yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya
dengan haknya. Lalu ada yang bertanya, 'Apa hak tamu itu, wahai Rasulullah?'
Rasulullah menjawab, 'Satu hari satu malam, dan kedermawanan terhadap tamu
adalah tiga hari. Apa yang lebih dari itu, maka itu adalah sedekah. Dan barang
siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik
atau diam."
HR Al-Bukhari (6019), dan Muslim (48)
Arti Per
Kalimat
مَن كانَ يُؤْمِنُ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
"Barang siapa yang beriman kepada
Allah dan hari akhir"
Ini adalah syarat pertama yang harus
dipenuhi untuk mendapatkan perintah-perintah berikutnya. Keimanan kepada Allah
dan hari akhir merupakan pokok ajaran Islam dan menjadi landasan bagi perilaku
yang baik.
فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ
"Hendaklah ia memuliakan
tetangganya"
Memuliakan tetangga berarti berbuat
baik kepada mereka, memberi perhatian, dan membantu ketika mereka membutuhkan.
Ini adalah bagian dari etika sosial dalam Islam yang menekankan pentingnya
hubungan yang baik antar sesama.
وَمَن كانَ يُؤْمِنُ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ جَائِزَتَهُ
"Dan barang siapa yang beriman kepada
Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya dengan haknya"
Memuliakan tamu
adalah menunjukkan keramahan dan kebaikan kepada tamu yang datang, termasuk
memberi mereka tempat yang layak dan menyuguhkan makanan atau minuman. Adanya
istilah "hak tamu" menunjukkan bahwa ada batasan tertentu yang harus
dipenuhi dalam memuliakan tamu.
قَالَ: وَمَا
جَائِزَتُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟
"Lalu ada yang bertanya, 'Apa hak tamu
itu, wahai Rasulullah?'"
Sahabat bertanya kepada Rasulullah untuk
mengetahui secara rinci mengenai hak tamu yang harus dipenuhi, karena mereka
ingin memastikan agar tamu mereka dihormati sesuai dengan ajaran Islam.
قَالَ: يَوْمٌ
وَلَيْلَةٌ
"Rasulullah menjawab, 'Satu hari satu
malam'"
Rasulullah memberikan penjelasan bahwa hak
tamu adalah selama satu hari dan satu malam. Ini adalah waktu yang seharusnya
diberikan untuk memuliakan tamu, mencakup tempat menginap dan makanan.
وَالضِّيافَةُ ثَلاَثَةُ
أَيَّامٍ
"Dan kedermawanan terhadap tamu adalah
tiga hari"
Ini menunjukkan bahwa untuk tiga hari tiga
malam, tuan rumah diharapkan untuk memperlakukan tamu dengan baik. Setelah tiga
hari, kewajiban terhadap tamu menjadi berkurang, dan apa yang diberikan lebih
dianggap sebagai sedekah.
فَمَا كَانَ وَرَاءَ
ذَٰلِكَ فَهُوَ صَدَقَةٌ عَلَيْهِ
"Apa yang lebih dari itu, maka itu
adalah sedekah"
Jika tuan rumah memberikan lebih dari tiga
hari, maka itu dianggap sebagai amal kebajikan atau sedekah, yang tidak lagi
menjadi kewajiban, tetapi merupakan tindakan kebaikan tambahan yang sangat
dihargai dalam Islam.
وَمَن كانَ يُؤْمِنُ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
"Dan barang siapa yang beriman kepada
Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam."
Ini adalah prinsip etika komunikasi dalam
Islam. Jika seseorang tidak bisa berkata baik atau memberikan manfaat melalui
kata-katanya, maka lebih baik ia diam. Ini mengajarkan untuk menjaga lisan dan
berbicara hanya yang membawa kebaikan.
Syarah Hadits
كَانَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
يَهْتَمُّ بِأَمْرِ
الْمُسْلِمِينَ
memperhatikan urusan umat Muslim
وَيُرْشِدُهُمْ إِلَى
التَّحَلِّي بِمَكَارِمِ الْأَخْلَاقِ وَمَحَاسِنِ الْآدَابِ
dan membimbing mereka untuk mengamalkan akhlak mulia dan adab yang baik
وَيَجْعَلُ ذَٰلِكَ
ثَمَرَةً لِصِدْقِ الْإِيمَانِ بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
dan menjadikan itu sebagai buah dari keimanan yang tulus kepada Allah SWT.
وَفِي هَذَا
الْحَدِيثِ أَوْصَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dan dalam hadits ini, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat
بِإِكْرَامِ الْجَارِ
وَالضَّيْفِ
untuk memuliakan tetangga dan tamu
فَيَقُولُ: «مَنْ
كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ»
ia berkata: "Barang siapa yang beriman kepada Allah,"
تَعَالَى إِيمَانًا
كَامِلًا
dengan iman yang sempurna
وَيُؤْمِنُ
بِحَقِيقَةِ «الْيَوْمِ الْآخِرِ» الَّذِي إِلَيْهِ مَعَادُهُ
dan beriman dengan kenyataan tentang "hari akhir" yang kepadanya
tempat kembali
وَفِيهِ الْحِسَابُ
dan di dalamnya ada hisab (perhitungan amal)
وَفِيهِ مُجَازَاتُهُ
بِعَمَلِهِ
dan di dalamnya terdapat pembalasan bagi amal perbuatannya;
«فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ»
"hendaknya ia memuliakan tetangganya,"
وَإِنَّمَا ذَكَرَ
الْيَوْمَ الْآخِرَ
dan sesungguhnya ia menyebutkan hari akhir
لِلتَّرْغِيبِ فِي
تَحْصِيلِ الثَّوَابِ وَالنَّجَاةِ فِيهِ مِنَ الْعِقَابِ
untuk mendorong dalam memperoleh pahala dan keselamatan darinya dari hukuman
وَالْجَارُ هُوَ
الْقَرِيبُ مِنَ الدَّارِ
tetangga adalah orang yang dekat dari rumah
سَوَاءً كَانَ مِنَ
الْأَقَارِبِ أَوِ الْغُرَبَاءِ الْأَبَاعِدِ
baik itu dari kalangan kerabat atau orang asing yang jauh
وَسَوَاءً كَانَ
مُسْلِمًا أَوْ كَافِرًا
baik itu seorang Muslim atau kafir.
«وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ جَائِزَتَهُ»
"Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia
memuliakan tamunya dengan haknya."
وَإِكْرَامُ
الضَّيْفِ يَكُونُ بِطَلَاقَةِ الْوَجْهِ
Memuliakan tamu itu dengan senyum yang ramah
وَطِيبِ الْكَلَامِ
dan kata-kata yang baik
وَإِظْهَارِ
الْفَرَحِ بِمَجِيئِهِ
dan menunjukkan kegembiraan atas kedatangannya
وَالْإِطْعَامِ
وَنَحْوِ ذَٰلِكَ
memberikan makanan dan hal-hal semacam itu
وَمِنَ الضُّيُوفِ
مَنْ يَكُونُ حَقُّهُ أَوْلَى
Dan di antara tamu, ada yang haknya lebih utama
كَالضَّيْفِ
الْمُسَافِرِ
seperti tamu yang sedang dalam perjalanan jauh
وَهُوَ الْقَادِمُ
مِنْ بَلَدٍ آخَرَ
yaitu yang datang dari negeri yang lain
وَمِثْلُهُ الَّذِي
يَأْتِي مِنْ مَكَانٍ بَعِيدٍ
dan seperti orang yang datang dari tempat yang jauh
فَحَقُّهُ
وَإِكْرَامُهُ أَوْلَى مِنَ الزَّائِرِ مِنَ الْبَلَدِ نَفْسِهِ
maka hak dan penghormatannya lebih utama daripada yang hanya mengunjungi dari
daerah yang sama
وَلَيْسَ قَادِمًا
مِنَ السَّفَرِ
dan yang tidak datang dari perjalanan.
وَقَدْ سَأَلَ
الصَّحَابَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ
Para sahabat bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ جَائِزَةِ الضَّيْفِ
tentang hak tamu
فَفَسَّرَهَا
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِأَنَّهَا يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ
maka Nabi menjelaskan bahwa hak tamu adalah sehari semalam
يَعْنِي: أَنَّهُ
يَنْبَغِي عَلَى الْمُسْلِمِ أَنْ يُكْرِمَ ضَيْفَهُ زَمَانَ جَائِزَتِهِ
yang berarti: seharusnya seorang Muslim memuliakan tamunya pada waktu yang
tepat, yaitu sehari semalam.
وَهِيَ يَوْمٌ
وَلَيْلَةٌ
yaitu sehari semalam.
ثُمَّ بَيَّنَ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ حَقَّ الضَّيْفِ هُوَ ثَلاثَةُ أَيَّامٍ
Kemudian, Nabi menjelaskan bahwa hak tamu adalah tiga hari
يَتَكَلَّفُ فِيهَا
الْمُضِيفُ لِضِيَافَتِهِ
yang mana tuan rumah akan berusaha memberi jamuan kepadanya
فَيَتَكَلَّفُ لَهُ
فِي الْيَوْمِ الْأَوَّلِ مِمَّا اتَّسَعَ لَهُ مِنْ بِرٍّ وَإِلْطَافٍ
memberikan yang terbaik pada hari pertama dengan kebaikan dan perhatian
وَيُقَدِّمُ لَهُ فِي
الْيَوْمِ الثَّانِي وَالثَّالِثِ مَا حَضَرَهُ
memberikan kepadanya pada hari kedua dan ketiga apa yang ada
وَلَا يَزِيدُ عَلَى
عَادَتِهِ
dan tidak lebih dari kebiasaannya
فَإِذَا انْقَضَتِ
الثَّلَاثَةُ الْأَيَّامِ فَإِنَّ حَقَّ الضِّيفَةِ قَدِ انْقَطَعَتْ
ketika tiga hari selesai, maka hak tamu telah berakhir
وَالزَّائِدُ
عَلَيْهَا يُعَدُّ صَدَقَةً مِنَ الْمُضِيفِ عَلَى ضَيْفِهِ وَلَيْسَ حَقَّ
الضِّيفَةِ
dan yang lebih dari itu dihitung sebagai sedekah dari tuan rumah kepada
tamunya, bukan sebagai hak tamu.
ثُمَّ أَخْبَرَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Kemudian Nabi memberi tahu
أَنَّ مَنْ كَانَ
يُؤْمِنُ بِاللَّهِ الَّذِي خَلَقَهُ إِيمَانًا كَامِلًا
bahwa barang siapa yang beriman kepada Allah yang telah menciptakannya dengan
iman yang sempurna
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
الَّذِي إِلَيْهِ مَعَادُهُ وَفِيهِ مُجَازَاتُهُ بِعَمَلِهِ
dan beriman kepada hari akhir yang kepadanya tempat kembali dan di dalamnya
terdapat pembalasan bagi amal perbuatannya
فَلْيَقُلْ خَيْرًا
أَوْ لِيَصْمُتْ
hendaknya ia berkata yang baik atau diam
يَعْنِي: أَنَّ
الْمَرْءَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَتَكَلَّمَ فَلْيَتَفَكَّرْ قَبْلَ كَلاَمِهِ
yang berarti: bahwa ketika seseorang ingin berbicara, hendaknya ia berpikir
dahulu sebelum berbicara
فَإِنْ عَلِمَ
أَنَّهُ لَا يَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ مَفْسَدَةٌ وَلَا يَجُرُّ إِلَى مُحَرَّمٍ وَلَا
مَكْرُوهٍ
jika ia tahu bahwa tidak akan ada kerusakan yang timbul atau tidak akan
menjerumuskan pada yang haram atau makruh
فَلْيَتَكَلَّمْ
hendaknya ia berbicara
وَإِنْ كَانَ
مُبَاحًا فَالسَّلَامَةُ فِي السُّكُوتِ
dan jika itu hal yang diperbolehkan, maka lebih selamat untuk diam
لِئَلَّا يَجُرَّ
الْمُبَاحَ إِلَى مُحَرَّمٍ أَوْ مَكْرُوهٍ
agar yang diperbolehkan tidak berujung pada yang haram atau makruh
وَالْخَيْرُ مِنَ
الْكَلَامِ عَلَى نَوْعَيْنِ
dan kebaikan dalam berbicara ada dua jenis
الْأَوَّلُ: أَنْ
يَكُونَ الْكَلَامُ خَيْرًا فِي نَفْسِهِ
yang pertama: yaitu perkataan yang baik pada dirinya sendiri
كَذِكْرِ اللَّهِ،
وَالْأَمْرِ بِالْمَعْرُوفِ، وَالنَّهْيِ عَنْ الْمُنْكَرِ
seperti dzikir kepada Allah, menyeru pada kebaikan, dan mencegah dari
kemungkaran
وَتَعْلِيمِ
مَسْأَلَةٍ مِنْ مَسَائِلِ الْعِلْمِ وَالدِّينِ
dan mengajarkan suatu masalah dalam ilmu dan agama
وَالثَّانِي: أَنْ
يَكُونَ الْخَيْرُ فِي الْمَقْصُودِ مِنَ الْكَلَامِ
yang kedua: yaitu kebaikan dalam tujuan dari perkataan tersebut
كَأَنْ تَتَكَلَّمَ
بِكَلَامٍ مُبَاحٍ مِنْ أَجْلِ أَنْ تُدْخِلَ الْأُنْسَ عَلَى مُجَالِسِكَ
seperti berbicara hal yang dibolehkan untuk menciptakan keakraban dalam majelis
وَأَنْ يَنشَرِحَ
صَدْرُهُ
dan agar hatinya menjadi lapang
هَذَا أَيْضًا خَيْرٌ
وَإِنْ كَانَ الْكَلَامُ لَا فَائِدَةَ فِيهِ
ini juga baik meskipun perkataan tersebut tidak memiliki manfaat.
Maraji:
https://dorar.net/hadith/sharh/14263
Pelajaran dari Hadits ini
1. Pentingnya Keimanan yang Sempurna
- Hadits ini menegaskan bahwa seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir dengan iman yang sempurna akan menunjukkan kualitas dirinya melalui perbuatan yang baik, seperti mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari.
- Keimanan yang sempurna mendorong seseorang untuk selalu berusaha berbuat baik, bukan hanya pada saat-saat tertentu, tetapi sebagai cerminan dari keimanannya secara keseluruhan.
2. Keutamaan Menghormati dan Menghargai Tetangga
- Menghormati tetangga adalah bagian dari kesempurnaan iman, baik tetangga itu Muslim atau non-Muslim. Islam mengajarkan untuk hidup berdampingan dengan baik dengan tetangga dan memberikan hak-hak mereka.
- Ini menunjukkan bahwa menjaga hubungan baik dengan tetangga adalah kewajiban yang tidak terbatas pada hubungan sesama Muslim saja, tetapi juga mencakup yang non-Muslim, selama mereka tidak mengganggu Islam.
3. Menghormati Tamu
- Menghormati tamu, apalagi tamu yang datang dari perjalanan jauh, adalah bagian dari akhlak mulia dalam Islam. Memberikan hak-hak mereka dengan baik, seperti memberi makan dan menyambut mereka dengan ramah adalah kewajiban.
- Hadits ini menunjukkan bahwa tamu yang datang dari perjalanan jauh memiliki hak lebih besar untuk dihormati, namun bahkan tamu yang tidak jauh datang tetap memiliki hak untuk diberikan penghormatan.
4. Hadiah atau Pemberian Tamu adalah Kebaikan, Bukan Kewajiban Setelah Tiga Hari
- Tuan rumah harus mengutamakan menyambut tamu selama tiga hari. Setelah tiga hari, pemberian lebih dari itu dianggap sebagai sedekah dari tuan rumah kepada tamu, bukan kewajiban atau hak tamu.
- Ini mengajarkan batasan dalam memberi dan menerima penghormatan, agar tidak menjadikan tamu merasa terbebani atau merasa berhak lebih dari yang wajar. Setelah tiga hari, lebih dari itu adalah tindakan sukarela yang bernilai pahala.
5. Pentingnya Menjaga Lisan dan Berbicara dengan Baik
- Dalam hadits ini, Rasulullah SAW mengingatkan kita untuk berbicara dengan baik atau lebih baik diam jika tidak bisa berbicara dengan baik. Kata-kata yang baik bisa memberi manfaat, sementara perkataan yang buruk bisa menimbulkan keburukan.
- Menghindari perkataan yang tidak bermanfaat, yang bisa mendatangkan dosa atau kerusakan dalam hubungan sosial sangat ditekankan dalam Islam. Ini mengajarkan kita untuk selalu berhati-hati dalam berbicara.
6. Merenungkan Sebelum Berbicara
- Sebelum berbicara, seseorang harus berpikir dahulu apakah perkataannya bisa menimbulkan kebaikan atau tidak. Jika perkataan tersebut bisa berisiko mendatangkan kerusakan atau keburukan, lebih baik diam.
- Ini mengajarkan bahwa berbicara tanpa berpikir matang bisa berisiko besar, baik dalam hubungan pribadi maupun sosial. Oleh karena itu, menjaga lisan adalah kunci untuk menjaga kedamaian dan keharmonisan.
7. Menghindari Mengubah yang Mubah Menjadi Haram atau Makruh
- Dalam berbicara, walaupun sesuatu itu diperbolehkan (mubah), jika itu bisa berujung pada hal-hal yang haram atau makruh, lebih baik menghindarinya dan memilih untuk diam.
- Prinsip ini mengingatkan kita untuk berhati-hati dengan perkataan yang meskipun sah-sah saja, bisa menjadi sumber dosa atau masalah jika disalahgunakan atau disampaikan tanpa tujuan yang jelas.
8. Kebaikan dalam Berbicara Terbagi Menjadi Dua Jenis
- Perkataan yang baik bisa dibagi menjadi dua jenis: pertama, perkataan yang bermanfaat pada dirinya sendiri, seperti dzikir, mengajak kepada kebaikan, dan menuntun orang lain menuju kebaikan. Kedua, perkataan yang tujuannya untuk menyenangkan hati orang lain, yang tidak langsung mendekatkan diri kepada Allah tetapi tetap bernilai positif karena niat yang baik.
- Hadits ini mengajarkan bahwa berbicara dengan tujuan yang baik, baik itu untuk kebaikan agama ataupun hanya untuk menyenangkan orang lain, tetap dihargai dalam Islam jika dilandasi dengan niat yang baik dan tujuan yang positif.
9. Menggunakan Perkataan untuk Mengajak kepada Kebaikan
- Mengajak orang lain kepada kebaikan melalui perkataan kita adalah salah satu bentuk dakwah yang mulia. Mengajarkan ilmu, menyuruh orang berbuat baik, atau mencegah kemungkaran adalah bentuk perkataan yang paling utama.
- Dalam kehidupan sosial, perkataan yang bisa mendorong orang untuk bertindak positif atau mengubah diri menuju kebaikan adalah bentuk amal yang sangat baik dan memiliki pahala besar di sisi Allah.
10. Menggunakan Perkataan untuk Menyebarkan Kebaikan dalam Kehidupan Sosial
- Meski berbicara dengan hal-hal yang tidak mendekatkan diri kepada Allah, seperti berbicara untuk mencairkan suasana atau membuat orang lain merasa lebih nyaman, itu tetap dianggap baik jika niatnya untuk menciptakan kedamaian dan kebaikan dalam lingkungan sosial.
- Ini menunjukkan bahwa dalam Islam, bahkan berbicara tentang hal-hal duniawi dengan tujuan yang baik tetap dihargai, asalkan tidak melupakan akhlak yang baik dan tujuan mulia di balik perkataan tersebut.
Penutup Kajian
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, segala puji bagi Allah yang telah memberikan kita kesempatan untuk bersama-sama mendalami hadits yang mulia ini. Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, dan para sahabat beliau yang telah memberikan teladan yang sempurna dalam menjalani kehidupan sesuai dengan ajaran Islam.
Saudaraku sekalian, kita telah mempelajari bersama betapa besar faedah yang terkandung dalam hadits yang kita bahas hari ini. Hadits ini mengajarkan kita tentang pentingnya menghormati tetangga dan tamu sebagai bagian dari kesempurnaan iman kita. Menghormati tetangga bukan hanya sekedar berbuat baik kepada mereka, tetapi juga menjaga hubungan yang harmonis, saling peduli, dan saling membantu dalam kehidupan sehari-hari. Tamu, yang datang ke rumah kita, adalah orang yang layak mendapatkan sambutan terbaik, bukan hanya dengan fisik, tetapi juga dengan hati yang tulus dan sikap yang baik.
Melalui hadits ini, kita juga diajarkan tentang bagaimana pentingnya memperhatikan hak-hak orang lain di sekitar kita, baik itu tetangga, tamu, atau bahkan sesama Muslim lainnya. Rasulullah SAW mengajarkan kita untuk selalu memperlakukan orang lain dengan penuh kebaikan dan kasih sayang. Dalam hadits ini terkandung prinsip dasar dalam kehidupan sosial yang sangat diperlukan untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik, damai, dan penuh kasih sayang.
Faedah lainnya adalah, dengan mempraktikkan penghormatan kepada tetangga dan tamu, kita akan menciptakan lingkungan yang lebih harmonis dan lebih mencerminkan akhlak mulia yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Tidak hanya itu, dengan memperhatikan baik-baik hak-hak orang lain, kita juga akan menjadi pribadi yang lebih dihormati dan dicintai, baik oleh Allah SWT maupun oleh sesama manusia.
Saudaraku, harapan kita bersama setelah kajian ini adalah agar kita semua dapat mempraktikkan apa yang telah kita pelajari dalam kehidupan sehari-hari. Marilah kita jadikan hadits ini sebagai pedoman hidup yang bukan hanya kita baca dan renungkan, tetapi kita amalkan dalam setiap interaksi kita dengan tetangga, tamu, dan orang-orang di sekitar kita. Semoga kita dapat menjadi pribadi yang lebih peduli, lebih baik dalam menjaga hubungan sosial, dan semakin dekat dengan Allah SWT.
Akhirnya, saya berharap agar setiap dari kita, setelah kajian ini, bisa lebih berhati-hati dalam berbicara dan bertindak. Kita diajarkan untuk hanya berkata baik atau lebih baik diam, karena lisan adalah sumber kebaikan atau keburukan. Semoga dengan mengamalkan ajaran Rasulullah SAW dalam kehidupan kita, kita akan mendapatkan pahala yang besar dan menjadi umat yang dicintai oleh Allah SWT.
Marilah kita berdoa kepada Allah SWT agar diberikan kemudahan untuk mengamalkan apa yang telah kita pelajari dan diberi taufik untuk hidup sesuai dengan ajaran-Nya. Semoga kita semua menjadi pribadi yang semakin baik dan membawa manfaat bagi orang lain.
Kita tutup dengan doa kafaratul majelis:
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ
وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ
إِلَيْكَ.
وَصَلَّى اللَّهُ
عَلَىٰ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَىٰ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ. وَالْحَمْدُ لِلَّهِ
رَبِّ الْعَالَمِينَ.