Hadits: Keutamaan Memberi Kelonggaran kepada Orang yang Kesulitan dalam Utang
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ
أَجْمَعِينَ. أَمَّا بَعْدُ.
Jamaah yang dirahmati Allah,
Pada masa ini, kita menyaksikan banyak fenomena sosial yang mencerminkan krisis empati dalam interaksi muamalah.
Betapa sering kita mendengar berita tentang orang yang diteror karena belum mampu membayar utang, ditagih dengan cara-cara yang kasar, bahkan dihinakan hanya karena terlambat memenuhi kewajiban finansial.
Di sisi lain, ada pula saudara-saudara kita yang meminjam bukan karena ingin bersenang-senang, tetapi karena terpaksa: untuk berobat, menyambung hidup, atau memenuhi kebutuhan pokok keluarganya.
Namun saat mereka tak mampu mengembalikan tepat waktu, tak sedikit yang justru kehilangan martabatnya, bahkan rasa aman di rumahnya sendiri.
Di tengah kondisi ini, hadits yang akan kita pelajari hari ini datang sebagai lentera yang menghidupkan kembali nilai rahmat, kelembutan, dan kepekaan sosial dalam urusan harta.
Rasulullah ﷺ tidak hanya mengajarkan kita untuk bertransaksi dengan adil, tetapi juga mengangkat derajat orang yang rela menunda atau bahkan menggugurkan haknya demi menolong sesama.
Hadits ini memberi pesan bahwa kemurahan hati dalam urusan utang-piutang bukanlah tindakan merugi, tetapi justru jembatan menuju naungan Allah pada hari yang tiada naungan selain dari-Nya.
Oleh karena itu, memahami hadits ini menjadi sangat penting bagi kita semua.
Bukan hanya untuk menguatkan jiwa kita agar lebih peka dan bijak dalam memberi pinjaman, tetapi juga agar kita tidak terjebak dalam kerasnya sikap yang dapat menghilangkan rahmat Allah.
Kajian ini bukan sekadar telaah teks, tetapi ajakan untuk menghidupkan sunnah dalam muamalah kita, dan menumbuhkan harapan bagi mereka yang sedang diuji dengan kesempitan hidup.
Semoga setelah mempelajari hadits ini, kita bukan hanya mengetahui keutamaannya, tetapi benar-benar tergerak untuk mengamalkannya.
Dari Abu al-Yasar radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا أَوْ وَضَعَ عَنْهُ،
أَظَلَّهُ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ
"Barang siapa memberi tenggang waktu kepada orang yang
sedang kesulitan, atau membebaskannya dari utang, maka Allah akan menaunginya
dalam naungan-Nya."
HR. Muslim (3006), Ibn Hibban (5044), al-Hakim (2224), dan ath-Thabrani dalam al-Muʿjam al-Kabir (19/168) dengan redaksi yang sedikit berbeda.
mendengarkan mp3 dari hadits ini: https://t.me/mp3qhn/335
Arti dan Penjelasan per Perkataan
مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا
Barang siapa memberi tenggang waktu kepada orang yang kesulitan.
Perkataan ini menunjukkan bentuk kebaikan sosial dan
empati terhadap orang yang berutang namun tidak mampu membayar.
Istilah "أنظر" berasal dari kata “إنظار”
yang berarti memberi penundaan atau tenggang waktu, yang dalam konteks ini
sangat penting karena mengurangi tekanan psikologis dan beban ekonomi dari
orang yang sedang mengalami kesempitan.
Kata “مُعْسِرًا” berasal dari “عُسْر”
yang berarti kesulitan, yaitu orang yang benar-benar tidak memiliki kemampuan
untuk membayar.
Perkataan ini tidak sekadar perintah untuk bersabar, tetapi menjadi bentuk
nyata dari solidaritas ekonomi yang bernilai spiritual tinggi dalam Islam.
Dengan memberi kelonggaran kepada orang yang kesulitan, seorang Muslim ikut
menjaga kestabilan sosial dan menunaikan salah satu nilai maqashid al-syariʿah
yaitu hifẓ al-mal (perlindungan terhadap harta) dan hifẓ al-nafs (perlindungan
jiwa).
أَوْ وَضَعَ عَنْهُ
Atau membebaskannya (dari utang tersebut).
Perkataan ini menggambarkan derajat kemurahan hati yang
lebih tinggi dari sekadar menunda pembayaran, yaitu dengan menghapuskan utang
secara total.
Kata “وَضَعَ” di sini berarti melepaskan atau menggugurkan hak atas
piutang yang seharusnya bisa ditagih.
Perbuatan ini merupakan bentuk ihsan (kebaikan) yang sangat dianjurkan,
khususnya bila si pengutang berada dalam kondisi tidak mampu.
Islam memuliakan orang yang mampu melepaskan haknya demi maslahat yang lebih
besar, karena hal itu menunjukkan pengorbanan demi kepentingan sesama.
Perkataan ini juga menjadi bukti bahwa dalam Islam, relasi muamalah tidak hanya
berlandaskan hukum, tetapi juga etika dan welas asih.
أَظَلَّهُ اللَّهُ فِي
ظِلِّهِ
Maka Allah akan menaunginya dalam naungan-Nya.
Perkataan ini menjelaskan balasan agung yang dijanjikan
oleh Allah bagi orang yang berbuat kebaikan terhadap sesama yang kesulitan.
Ungkapan “أَظَلَّهُ اللَّهُ” adalah metafora untuk perlindungan dan
kasih sayang Allah pada hari kiamat, ketika tidak ada perlindungan kecuali
dari-Nya.
Makna “فِي ظِلِّهِ” secara tradisional dipahami sebagai
“di bawah naungan ‘Arsy-Nya” atau dalam bentuk perlindungan istimewa dari Allah
yang tidak diberikan kepada semua orang.
Ini adalah penghargaan spiritual yang luar biasa, menunjukkan bahwa tindakan
ekonomi yang tampak duniawi sejatinya memiliki dimensi ukhrawi yang sangat
tinggi.
Hadis ini sekaligus mendorong kaum Muslimin untuk memandang interaksi finansial
bukan hanya sebagai transaksi bisnis, tetapi juga sebagai jalan menuju rida dan
rahmat Allah.
Syarah Hadits
Syariat Islam sangat menekankan pentingnya mewujudkan kasih sayang, persaudaraan, dan solidaritas di antara kaum Muslimin.
Islam juga menjelaskan pahala yang besar bagi siapa saja yang meringankan
kesulitan orang lain, memberikan pinjaman yang baik (qardhul hasan), atau
memberi tenggang waktu kepada orang yang sedang mengalami kesempitan ekonomi
hingga ia mampu membayar.
Dalam hadits ini, seorang tabi’in bernama ʿUbadah bin al-Walid bin ʿUbadah bin ash-Shamit meriwayatkan bahwa ia keluar bersama ayahnya, al-Walid, untuk menuntut ilmu "di suatu pemukiman kaum Anshar" – yaitu penduduk Madinah yang menyambut Rasulullah ﷺ saat hijrah dan membelanya.
Mereka pergi "sebelum mereka wafat", maksudnya sebelum para sahabat itu meninggal dunia atau terbunuh dalam peperangan.
"Orang pertama yang kami temui adalah Abu al-Yasr, sahabat Rasulullah ﷺ", yang bernama Kaʿb bin ʿAmr, seorang sahabat yang ikut Baiʿat al-ʿAqabah dan Perang Badar radhiyallahu ʿanhu.
Bersamanya ada seorang ghulam (budak milik pribadi), "membawa ḍimamah", yaitu seikat lembaran yang dijilid atau diikat bersama dengan benang atau jarum.
"Lembarannya berisi shuhuf", yaitu kertas atau kitab.
"Abu al-Yasr mengenakan burdah", yaitu semacam kain selimut yang
berbentuk persegi,
"dan pakaian maʿafiriyy", yaitu jenis pakaian yang dibuat di sebuah
desa bernama Maʿafir.
"Budaknya juga memakai burdah dan pakaian maʿafiriyy".
Tujuan dari penyebutan ini adalah untuk menunjukkan bahwa Abu al-Yasr
mengenakan pakaian yang sama dengan pelayannya, sebagai bentuk pengamalan sabda
Nabi ﷺ:
«أَلْبِسُوهُمْ مِمَّا تَلْبَسُونَ»
“Pakaikanlah mereka (para budak) dari apa yang kalian kenakan sendiri.”
(Hadits ini disebutkan dalam kelanjutan riwayat Muslim.)
Kemudian al-Walid bin ʿUbadah berkata kepada Abu al-Yasr, "Wahai pamanku, aku melihat pada wajahmu terdapat safʿah, yaitu tanda atau perubahan wajah karena marah." Lalu apa sebabnya?
Abu al-Yasr menjawab, "Benar. Dulu aku memiliki piutang terhadap seseorang dari Bani Haram, lalu aku mendatangi rumahnya dan memberi salam, kemudian aku bertanya: Apakah dia ada di rumah? Mereka menjawab: Tidak, tidak ada di sini."
Kemudian anaknya yang masih kecil keluar – disebut "jafrun", yaitu
anak laki-laki yang hampir balig atau sudah kuat makan, atau sekitar usia lima
tahun menurut sebagian pendapat.
Abu al-Yasr bertanya kepada anak itu tentang ayahnya.
Anak itu berkata, "Dia mendengar suaramu lalu masuk ke dalam arikah
ibuku", yaitu tempat tidur yang dihias dan diletakkan di dalam kamar
atau ruangan khusus.
Artinya, sang ayah bersembunyi di balik ranjang istrinya agar tidak harus
berhadapan langsung dengan Abu al-Yasr.
Maka Abu al-Yasr berkata kepadanya, "Keluarlah kepadaku, karena aku
tahu di mana engkau berada", memberi tahu bahwa ia mengetahui
keberadaan si ayah dan bahwa dia bersembunyi darinya.
Lalu si ayah keluar, dan Abu al-Yasr bertanya, "Apa yang membuatmu
bersembunyi dariku?"
Orang itu menjawab, "Demi Allah, aku akan menjelaskan kepadamu, dan aku
tidak akan berdusta padamu."
Maksudnya, ia ingin menjelaskan dengan jujur alasan ia bersembunyi.
"Aku khawatir jika aku bicara kepadamu, aku akan berdusta.
Dan jika aku berjanji, aku tidak akan mampu menepatinya."
"Engkau adalah sahabat Rasulullah ﷺ, dan aku, demi Allah,
sedang dalam kondisi muʿsir (tidak mampu membayar)."
Kemudian Abu al-Yasr berkata kepadanya, "Demi Allah?"
Maksudnya, ia bersumpah agar meyakinkan kebenaran ucapannya.
Lalu orang itu menjawab, "Demi Allah."
Abu al-Yasr membenarkannya, dan mereka saling mengulang sumpah sebagai bentuk penegasan dan kejujuran.
Lalu Abu al-Yasr mengambil shahifah (catatan) dari daftar piutangnya
yang berisi utang-utang dan jatuh temponya, lalu ia menghapus catatan
utang orang itu.
Kemudian Abu al-Yasr berkata, "Jika nanti engkau
memiliki kelapangan untuk membayar, maka bayarlah. Namun jika engkau tidak mampu, maka engkau bebas dan tidak wajib membayar."
Lalu Abu al-Yasr berkata kepada ʿUbadah dan ayahnya,
"Aku bersaksi bahwa aku melihat dengan kedua mataku ini" –
sambil meletakkan jarinya ke kedua matanya –
"dan aku mendengar dengan kedua telingaku ini, dan hatiku ini telah menghafalnya" – sambil menunjuk ke bagian dadanya.
Semua itu sebagai penegasan atas kejujuran dan kekuatan hafalannya.
Kemudian ia meriwayatkan dari Rasulullah ﷺ perkataan beliau:
«مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا أَوْ وَضَعَ عَنْهُ،
أَظَلَّهُ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ»
"Barang siapa memberi tenggang waktu kepada orang yang kesulitan atau
membebaskannya, maka Allah akan menaunginya dalam naungan-Nya."
Artinya, Allah akan memberikan perlindungan dan kesejukan
pada hari kiamat, hari ketika matahari sangat dekat dengan kepala manusia dan
panasnya sangat menyengat, dan tidak ada seorang pun yang mendapatkan naungan kecuali mereka yang Allah
naungi dalam naungan-Nya.
Faedah Hadits:
Hadits ini menunjukkan keutamaan orang yang memberi tenggang waktu kepada orang
yang kesulitan, atau membebaskan utangnya.
Hadits ini juga mengandung anjuran untuk menuntut ilmu.
Sumber: https://dorar.net/hadith/sharh/39534
Pelajaran dari Hadits ini
1. Kemuliaan memberi tenggang waktu
Dalam perkataan مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا (Barang siapa memberi tenggang waktu kepada orang yang sedang kesulitan), Rasulullah ﷺ mengajarkan bahwa seseorang yang memberi kelonggaran kepada orang yang berutang namun belum mampu membayar, akan mendapatkan keutamaan besar dari Allah. Dalam kehidupan masyarakat, banyak orang yang diberi pinjaman namun mengalami kesulitan membayar karena kehilangan pekerjaan, musibah, atau kebutuhan mendesak lainnya. Islam tidak hanya mengatur tentang hak penagihan, tetapi juga mengajarkan kasih sayang kepada sesama. Memberi waktu tambahan bukan tanda kelemahan, tetapi bukti kekuatan iman dan keteguhan hati. Allah berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 280:
وَإِنْ كَانَ ذُو
عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ ۚ
(Artinya: Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tangguh sampai dia mampu membayar).
2. Keutamaan membebaskan utang
Perkataan أَوْ وَضَعَ عَنْهُ (atau membebaskannya dari utang) menunjukkan bahwa orang yang bukan hanya menunda, tetapi juga menghapuskan seluruh atau sebagian utang, akan mendapatkan ganjaran besar di sisi Allah. Tindakan ini sangat mulia, karena melepaskan beban orang lain adalah salah satu bentuk ihsan (kebaikan) tertinggi. Orang yang membebaskan utang menunjukkan bahwa dia tidak hanya mencari keuntungan dunia, tapi juga mencari ridha Allah. Rasulullah ﷺ bersabda:
مَن نَفَّسَ عَن
مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِن كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنهُ كُرْبَةً مِن
كُرَبِ يَومِ القِيَامَةِ
(Artinya: Siapa yang meringankan satu kesulitan dari seorang mukmin di dunia, Allah akan meringankan satu kesulitannya di hari kiamat).
3. Ganjaran luar biasa dari Allah
Dalam perkataan أَظَلَّهُ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ (maka Allah akan menaunginya dalam naungan-Nya), terdapat jaminan dari Rasulullah ﷺ bahwa orang yang menolong sesama dalam hal utang akan mendapatkan perlindungan khusus dari Allah pada hari yang sangat mengerikan, yaitu hari kiamat. Naungan ini bukan naungan biasa, melainkan ‘naungan Allah’ yang dimaksudkan sebagai rahmat dan penjagaan-Nya dari panas dan ketakutan di padang mahsyar. Ini menunjukkan betapa berharganya sikap empati dan tolong-menolong dalam urusan utang. Rasulullah ﷺ bersabda:
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ
اللَّهُ فِي ظِلِّهِ، يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ
(Artinya: Tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah dalam naungan-Nya pada hari tiada naungan kecuali naungan-Nya…) – salah satunya adalah orang yang bersedekah dengan ikhlas).
4. Keutamaan memudahkan urusan sesama
Salah satu pelajaran penting dari hadits ini adalah dorongan kuat untuk memiliki kepekaan sosial. Ketika seseorang mampu mempermudah urusan orang lain, maka Allah akan mempermudah urusannya di dunia dan akhirat. Banyak orang yang hanya mementingkan haknya tanpa memperhatikan keadaan orang lain. Padahal, dalam Islam, memudahkan orang lain adalah amal yang mendatangkan pertolongan Allah. Rasulullah ﷺ bersabda:
وَاللَّهُ فِي عَوْنِ
الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ
(Artinya: Allah akan selalu menolong hamba-Nya selama hamba itu menolong saudaranya).
5. Meninggalkan sikap kaku dalam urusan utang-piutang
Hadits ini juga mengajarkan bahwa dalam urusan piutang, tidak sepatutnya seseorang bersikap kaku dan kering dari kasih sayang. Sering kali orang bersikap keras kepada yang berutang, bahkan meskipun jelas-jelas orang itu sedang kesulitan. Perkataan مُعْسِرًا (orang yang dalam kesulitan) menekankan bahwa tidak semua keterlambatan adalah karena lalai atau sengaja. Ada kalanya seseorang memang dalam keadaan tidak berdaya. Maka, sikap sabar dan memaafkan lebih utama dalam kondisi seperti ini.
6. Pahala berlipat dari Allah untuk amal sosial
Amal berupa memberi tenggang atau menghapuskan utang bukan hanya amal baik, tetapi amal yang pahalanya sangat besar karena menyangkut kemaslahatan orang lain. Ini berbeda dengan amal individual seperti salat dan puasa. Amal yang manfaatnya dirasakan orang lain jauh lebih dicintai Allah. Rasulullah ﷺ bersabda:
أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى
اللَّهِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
(Artinya: Orang yang paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat bagi manusia). HR Ath-Thabrani (6026)
7. Meneladani akhlak Rasulullah ﷺ dalam urusan harta
Nabi Muhammad ﷺ adalah teladan terbaik dalam kebaikan, termasuk dalam hal utang dan muamalah. Beliau tidak pernah mempersulit orang yang berutang kepadanya, dan bahkan pernah memaafkan utang seseorang yang benar-benar tidak mampu. Maka umat Islam pun diajak untuk meneladani akhlak beliau dengan menjadi pribadi yang lapang dada dalam urusan keuangan, bukan kaku dan menindas.
8. Memberi utang pun bisa menjadi jalan surga
Sering kali masyarakat lebih mengenal pahala sedekah daripada pahala memberi utang. Padahal, dalam Islam, memberi utang kepada orang yang membutuhkan juga berpahala besar. Terlebih lagi jika orang yang memberi utang tersebut juga sabar dan memaklumi keterlambatan pembayaran. Rasulullah ﷺ bersabda:
ما مِنْ مُسْلِمٍ
يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلَّا كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً
(Artinya: Tidaklah seorang Muslim meminjamkan kepada Muslim lainnya dua kali, kecuali seperti ia bersedekah satu kali) HR Ibnu Majah (2430).
9. Membentuk masyarakat yang saling peduli dan berempati
Hadits ini tidak hanya ditujukan untuk individu, tetapi juga membentuk sebuah tatanan masyarakat yang peduli dan saling membantu. Dalam sistem sosial Islam, tidak boleh ada orang yang dibiarkan menanggung beban sendiri, apalagi jika ia dalam kesulitan ekonomi. Dengan mengamalkan hadits ini, masyarakat muslim bisa menjadi komunitas yang kuat dan saling menopang dalam berbagai keadaan.
10. Menjaga keberkahan harta dengan memaafkan kesulitan orang lain
Seseorang yang mengikhlaskan atau memaafkan utang orang lain sebenarnya tidak sedang merugi. Justru harta yang ia miliki akan Allah berkahi, karena ia menggunakan hartanya untuk meringankan kesulitan orang lain. Allah menjanjikan balasan berlipat dan keberkahan bagi orang-orang yang dermawan. Allah berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 261:
مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
(Artinya: Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui).
Penutupan Kajian
Jamaah yang dirahmati Allah,
Setelah kita menelaah hadits agung ini dengan seksama, kita menyadari bahwa Islam adalah agama yang tidak hanya mengatur ibadah ritual, tetapi juga sangat peduli terhadap hubungan sosial dan muamalah antar manusia.
Hadits ini memberikan pelajaran yang mendalam bahwa kebaikan dalam urusan harta bisa menjadi sebab turunnya rahmat Allah dan naungan-Nya pada hari kiamat, suatu hari di mana tidak ada naungan kecuali dari-Nya.
Memberi kelonggaran kepada orang yang kesulitan atau bahkan menggugurkan hak kita atas piutang, bukanlah kelemahan, tetapi bentuk kekuatan ruhani dan keimanan yang sejati.
Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan duniawi dan keberuntungan ukhrawi bisa disatukan melalui sikap empati, sabar, dan kasih sayang dalam muamalah.
Faedah besar dari hadits ini tidak hanya terletak pada ganjaran ukhrawinya, tetapi juga pada dampak sosialnya.
Ia menciptakan rasa aman bagi orang yang sedang dalam kesulitan.
Ia mendorong terbentuknya masyarakat yang saling tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa.
Ia menghindarkan kita dari dosa kezhaliman dan keras hati yang sering menjadi penyebab rusaknya hubungan dan hilangnya keberkahan.
Maka harapan kami, semoga para jamaah tidak sekadar memahami hadits ini secara ilmiah, tetapi benar-benar menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Jika kita menjadi pemberi pinjaman, maka iringilah dengan kelembutan dan kelapangan dada.
Jika kita menjadi penagih, lakukanlah dengan santun dan bijak.
Dan jika kita diberi kemampuan harta, jangan ragu untuk melepaskan sebagian hak kita demi menolong orang yang benar-benar membutuhkan.
Semoga Allah menjadikan kita termasuk golongan orang-orang yang dinaungi oleh-Nya pada hari kiamat, hanya karena satu amal ikhlas: memberi kelonggaran kepada saudara kita yang sedang dalam kesempitan.
اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا
مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ بِرَحْمَتِكَ، وَاجْعَلْ خَيْرَ أَيَّامِنَا يَوْمَ
نَلْقَاكَ، وَاخْتِمْ لَنَا بِالْإِيمَانِ وَحُسْنِ الْخَاتِمَةِ.
Ya Allah, jadikanlah kami termasuk penghuni surga dengan
rahmat-Mu. Jadikanlah hari terbaik kami adalah hari ketika kami berjumpa
dengan-Mu. Dan wafatkanlah kami dalam keadaan beriman serta dengan akhir yang
baik.
وَاللَّهُ الْمُوَفِّقُ
إِلَىٰ أَقْوَمِ الطَّرِيقِ.
Kita tutup kajian dengan doa kafaratul majelis:
🌿 سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا
أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ.
وَالسَّلَامُ
عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ.
لَا تَجْعَلُوا
بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ، إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِي
تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ