Hadits: Tidak Ada Shalat Ketika Makanan Telah Disajikan

 بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ. أَمَّا بَعْدُ.

Alhamdulillāh, segala puji bagi Allāh yang telah mensyariatkan salat sebagai tiang agama, tempat curahan hati, dan sumber ketenangan jiwa. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam, suri teladan terbaik dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam adab saat beribadah kepada Allāh.

Jama’ah yang dirahmati Allāh, pada kesempatan kajian kita hari ini, kita akan membahas satu hadits yang tampak sederhana namun memiliki faedah luar biasa dalam kehidupan kita, terutama dalam menjaga kualitas ibadah salat. Di masyarakat kita hari ini, masih sering kita dapati orang yang melaksanakan salat secara tergesa-gesa, tidak khusyuk, bahkan memaksakan diri salat dalam kondisi yang mengganggu kehadiran hati, seperti menahan lapar karena makanan sudah terhidang atau menahan buang air. Hal ini, tanpa disadari, merusak kekhusyukan dan kesempurnaan salat itu sendiri.

Bahkan lebih dari itu, muncul sikap terburu-buru dalam ibadah karena dorongan kebutuhan jasmani, atau karena kurangnya penghayatan terhadap keagungan ibadah tersebut. Sementara kita tahu, salat bukan sekadar gerakan lahiriah, tetapi merupakan mi‘raj ruhani, pertemuan seorang hamba dengan Rabb-nya.

Hadits yang akan kita kaji hari ini membuka cakrawala kita untuk memahami bahwa Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam sangat memperhatikan kualitas batin dalam ibadah. Beliau tidak hanya mengajarkan tata cara salat secara lahir, tetapi juga menekankan pentingnya suasana batin yang tenang, tidak diganggu oleh dorongan syahwat makanan atau kebutuhan jasmani lainnya.

Kajian ini penting untuk membangkitkan kesadaran kita semua agar salat yang kita kerjakan benar-benar menjadi sebab turunnya rahmat dan keberkahan, bukan sekadar rutinitas yang kehilangan ruh dan makna. Maka mari kita simak bersama hadits ini, agar kita dapat menunaikan ibadah salat dengan hati yang hadir, jiwa yang tunduk, dan adab yang luhur.


Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah bersabda:

لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ، وَلَا هُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ

Tidak ada salat ketika makanan telah disajikan, dan tidak pula dalam keadaan menahan buang air besar atau buang air kecil

HR. Muslim (560), Abu Dawud (89), Ahmad (24270), dan al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubra (5103).

Mendengarkan mp3 hadits ini: https://t.me/mp3qhn/414


Arti dan Penjelasan per Kalimat


لَا صَلَاةَ
Tidak ada salat

Perkataan ini merupakan bentuk nafi (peniadaan) dalam bahasa Arab yang menggunakan la nafi li al-jins, menunjukkan makna peniadaan total.

Dalam konteks ini, ia menafikan keberadaan salat yang sah dan sempurna, bukan sekadar salat sebagai aktivitas fisik.

Para ulama menafsirkan bahwa ini berarti salat yang dilakukan dalam kondisi yang akan disebutkan berikutnya tidak dianggap sebagai salat yang sempurna atau bahkan bisa tidak sah.

Penafian ini menunjukkan betapa pentingnya suasana hati dan kesiapan fisik dalam menunaikan salat.


بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ
di hadapan makanan yang telah disajikan

Perkataan ini menunjukkan keadaan ketika makanan sudah siap untuk disantap dan berada di hadapan seseorang.

Ulama menjelaskan bahwa keberadaan makanan di depan mata dapat mengganggu kekhusyukan salat karena jiwa cenderung terdorong untuk menyantapnya.

Dalam konteks ini, Islam sangat memperhatikan kondisi batin dan fokus seorang hamba saat menghadap Allah.

Oleh karena itu, seseorang dianjurkan untuk makan terlebih dahulu jika makanan telah tersedia dan ia sedang lapar, agar salatnya tidak terganggu oleh keinginan duniawi yang mendesak.


وَلَا هُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ
dan tidak dalam keadaan menahan dua kotoran

Perkataan ini menjelaskan kondisi lain yang membuat salat menjadi tidak sah atau kurang sempurna, yaitu ketika seseorang menahan buang air besar (gha’iṭ) dan buang air kecil (bawl), yang disebut sebagai "al-akhbathan" (dua hal yang kotor).

Menahan hajat ini menimbulkan ketidaknyamanan yang dapat menghilangkan kekhusyukan dan konsentrasi dalam salat.

Islam mengajarkan agar setiap ibadah dilakukan dengan hati dan tubuh yang tenang, karena salat adalah munajat seorang hamba kepada Tuhannya.

Dalam konteks ini, fiqh menekankan pentingnya thuma’ninah (ketenangan) dalam salat, yang tidak akan tercapai jika seseorang terganggu oleh dorongan biologis seperti ini.

 

 

 


Syarah Hadits


في هٰذا الحَديثِ
Dalam hadits ini

يَقولُ ابنُ أَبِي عَتِيقٍ
Ibnu Abi ‘Atiq berkata

تَحَدَّثْتُ أَنَا وَالقاسِمُ
Aku dan Al-Qasim berbincang

عِندَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا حَديثًا
Di sisi ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha suatu pembicaraan

فَقالَتْ لَهُ عَائِشَةُ
Maka ‘Aisyah berkata kepadanya

ما لَكَ لا تُحَدِّثُ كَما يَتَحَدَّثُ ابْنُ أَخِي هٰذَا؟
Mengapa engkau tidak berbicara seperti keponakanku ini?

أَمَا إِنِّي قَدْ عَلِمْتُ مِنْ أَيْنَ أَتَيْتَ
Ketahuilah, sungguh aku tahu dari mana asalmu

هٰذَا أَدَّبَتْهُ أُمُّهُ
Anak ini dididik oleh ibunya

وَأَنْتَ أَدَّبَتْكَ أُمُّكَ
Sedangkan engkau dididik oleh ibumu

وَاسْمُهَا سَوْدَةُ
Dan namanya adalah Saudah

فَلَمَّا سَمِعَ القاسِمُ هٰذَا فَغَضِبَ وَأَضَبَّ عَلَيْهَا
Ketika Al-Qasim mendengar ini, ia marah dan memendam pada Aisyah

فَلَمَّا رَأَى مَائِدَةَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَدْ أُتِيَ بِهَا قَامَ
Ketika melihat hidangan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha telah dibawa, ia pun berdiri

فَسَأَلَتْهُ: أَيْنَ؟
Lalu Aisyah bertanya padanya: Ke mana (kau hendak pergi)?

قالَ: أُصَلِّي
Dia menjawab: Aku mau shalat

فَأَمَرَتْهُ بِالجُلُوسِ
Lalu ia memerintahkannya untuk duduk

وَقالَتْ لَهُ: اجْلِسْ غُدَرُ
Ia berkata kepadanya: Duduklah, wahai pengkhianat

قالَتْ لَهُ ذٰلِكَ لِأَنَّهُ مَأْمُورٌ بِاحْتِرَامِهَا
Ia mengucapkan itu karena ia diperintahkan untuk menghormatinya

لِأَنَّهَا أُمُّ الْمُؤْمِنِينَ وَعَمَّتُهُ وَأَكْبَرُ مِنْهُ
Karena ia adalah Ummul Mu’minin, bibinya, dan lebih tua darinya

وَنَاصِحَةٌ لَهُ وَمُؤَدِّبَةٌ
Ia adalah penasihat dan pendidiknya

فَكانَ حَقُّهُ أَنْ يَحْتَمِلَهَا وَلا يَغْضَبَ عَلَيْهَا
Maka kewajibannya adalah bersabar terhadapnya dan tidak marah padanya

وَقِيلَ: إِنَّما سَمَّتْهُ غُدَرَ
Dikatakan: Sesungguhnya ia memanggilnya “Ghudur”

لِمَا أَظْهَرَ مِنْ أَنَّ تَرْكَهُ طَعَامَهَا مِنْ أَجْلِ قِيَامِهِ لِلصَّلَاةِ
Karena ia menampakkan bahwa meninggalkan makanannya karena hendak shalat

لا لأَجْلِ حِقْدِهِ عَلَيْهَا مِمَّا قالَتْ لَهُ وَعَيَّرَتْهُ بِهِ
Bukan karena dendamnya terhadap apa yang ia katakan dan celaannya

مِنْ لَحْنِهِ وَتَأْدِيبِ أُمِّهِ لَهُ
Tentang kesalahan lisannya dan didikan ibunya padanya

ثُمَّ ذَكَرَتْ لَهُ قَوْلَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Lalu ia menyebutkan kepadanya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

لا صَلاةَ
Tidak sah shalat

(بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ)
(Saat hadir makanan)

بِحُضُورِ طَعَامٍ يُرِيدُ أَكْلَهُ
Saat ada makanan yang ingin ia makan

وَإِنَّما أَمَرَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبْدَأَ بِالطَّعَامِ
Dan sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memulai dengan makan

لِتَأْخُذَ النَّفْسُ حَاجَتَهَا مِنْهُ
Agar jiwa mengambil kebutuhannya darinya

فَيَدْخُلَ الْمُصَلِّي فِي صَلَاتِهِ وَهُوَ سَاكِنُ الْجَأْشِ
Agar orang yang shalat masuk dalam shalatnya dalam keadaan tenang

لا تُنَازِعُهُ نَفْسُهُ شَهْوَةَ الطَّعَامِ
Jiwanya tidak terganggu oleh keinginan makan

فَيُعَجِّلَهُ ذٰلِكَ عَنْ إِتْمَامِ رُكُوعِهَا وَسُجُودِهَا
Maka itu membuatnya tergesa-gesa dalam rukuk dan sujud

وَإِيفَاءِ حُقُوقِهَا
Dan tidak menyempurnakan hak-haknya

وَلا صَلاةَ كَامِلَةً
Dan tidak sempurna pula shalatnya

(وَهُوَ) أَيْ: الْمُصَلِّي
(Sedangkan ia) yaitu orang yang shalat

(يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ)
(Sedang menahan dua hal yang kotor)

وَهُوَ: الْبَوْلُ وَالْغَائِطُ
Yaitu: kencing dan buang air besar

أَيْ: لا صَلاةَ حَاصِلَةً لِلْمُصَلِّي
Artinya: Tidak ada shalat yang sah bagi orang yang shalat

حالَةَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ وَهُوَ يُدَافِعُهُمَا
Ketika ia menahan kedua hal itu

لِمَا فِيهِ مِنِ اشْتِغَالِ الْقَلْبِ بِهِ
Karena hatinya sibuk dengannya

وَذَهَابِ كَمَالِ الْخُشُوعِ
Dan hilangnya kesempurnaan kekhusyukan

وَفِي الْحَدِيثِ
Dan dalam hadits ini

أَنَّ حُضُورَ الْقَلْبِ وَالْخُضُوعَ مَطْلُوبَانِ فِي الصَّلَاةِ
Bahwa kehadiran hati dan ketundukan itu diperlukan dalam shalat

وَفِيهِ
Dan di dalam hadits ada pelajaran

أَنَّهُ يَنْبَغِي لِلْمُصَلِّي إِبْعَادُ كُلِّ مَا يَشْغَلُهُ فِي صَلَاتِهِ
Bahwa seharusnya orang yang shalat menjauhkan segala sesuatu yang mengganggunya dalam shalat

Maraji: https://dorar.net/hadith/sharh/21898


Pelajaran dari Hadits ini


 1. Menjaga Sahnya Salat: Perkataan "لَا صَلَاةَ" (Tidak ada salat)

Dalam perkataan لَا صَلَاةَ (tidak ada salat), Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa salat bisa menjadi tidak sah atau tidak bernilai jika dilakukan dalam kondisi tertentu. Islam tidak hanya menilai gerakan fisik dalam ibadah, tetapi juga keadaan hati dan pikiran orang yang beribadah. Maka, seseorang tidak cukup hanya berdiri dan rukuk, tetapi harus hadir secara utuh—fisik dan batin. Ini menunjukkan bahwa sahnya salat bukan hanya pada syarat dan rukun yang tampak, tapi juga tergantung pada kesiapan dan fokus diri. Salat dalam Islam adalah bentuk komunikasi dengan Allah, sehingga harus dijaga keutuhannya.


2. Menyelesaikan Hajat Dunia Sebelum Menghadap Allah: Perkataan "بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ" (di hadapan makanan yang telah disajikan)

Perkataan بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ (di hadapan makanan yang telah disajikan) menunjukkan bahwa saat makanan sudah tersedia dan perut sedang lapar, seseorang sebaiknya makan terlebih dahulu sebelum menunaikan salat. Tujuannya adalah agar pikiran dan hati tidak terganggu keinginan untuk makan. Islam sangat memperhatikan kekhusyukan dalam salat, sehingga segala yang mengganggu konsentrasi, termasuk rasa lapar, hendaknya diselesaikan lebih dulu. Rasulullah ﷺ bersabda:

إِذَا وُضِعَ الْعَشَاءُ، وَأُقِيمَتِ الصَّلَاةُ، فَابْدَءُوا بِالْعَشَاءِ
(Artinya: "Apabila makan malam telah dihidangkan dan salat didirikan, maka dahulukanlah makan malam itu.")
(HR. Bukhari, no. 673)


3. Mengutamakan Ketenangan Batin dalam Salat: Perkataan "وَلَا هُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ" (dan tidak dalam keadaan menahan dua kotoran)

Perkataan وَلَا هُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ (dan tidak dalam keadaan menahan dua kotoran) menegaskan bahwa salat tidak boleh dilakukan dalam keadaan menahan buang air besar dan kecil. Hal ini karena dorongan hajat biologis seperti itu membuat seseorang tidak bisa tenang dan fokus dalam salat. Islam tidak hanya mengatur cara beribadah, tetapi juga menjaga kenyamanan dan ketenangan orang yang beribadah. Ketenangan jiwa dan tubuh sangat penting agar salat menjadi sarana mendekatkan diri kepada Allah. Allah berfirman:

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ ﴿١﴾ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ
(Artinya: "Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam salatnya.")
(QS. Al-Mu’minun: 1–2)


4. Menjaga Adab Saat Marah dan Sakit Hati

Meskipun tidak disebut langsung dalam larangan salat, kisah dalam hadits ini menunjukkan bahwa al-Qasim marah ketika ditegur oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang cara bicaranya. Ini mengajarkan bahwa adab saat tersinggung atau marah sangat penting, terutama dalam lingkungan ilmu dan keluarga. Nabi ﷺ mengajarkan kesabaran dan tidak membalas celaan dengan kemarahan. Sikap dewasa dan menahan diri dari kemarahan adalah bagian dari akhlak Islami.

لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
(Artinya: "Orang kuat bukanlah yang pandai bergulat, tetapi orang kuat adalah yang mampu menahan dirinya ketika marah.")
(HR. Bukhari dan Muslim)


5. Menghindari Menyalahgunakan Alasan Agama untuk Menolak Makan atau Bersikap Kasar

Al-Qasim beralasan ingin salat agar bisa menghindari makan di rumah ‘Aisyah karena tersinggung. Ini menjadi pelajaran penting bahwa jangan menjadikan ibadah sebagai tameng untuk menyembunyikan rasa sakit hati atau untuk menghindari interaksi sosial. Ibadah adalah untuk mendekat kepada Allah, bukan pelarian dari masalah atau sebagai bentuk protes. ‘Aisyah menegur dengan keras karena memahami bahwa niatnya tidak tulus dalam salat itu.


6. Mengutamakan Hak Tuan Rumah dan Adab Makan Bersama

Ketika makanan telah dihidangkan oleh tuan rumah, secara adab seseorang sebaiknya menghargai pemberian tersebut. Bangkit meninggalkan makanan dengan alasan ingin salat, padahal bukan waktu salat wajib, menunjukkan kurangnya penghargaan terhadap tuan rumah. Islam mengajarkan untuk menghormati sesama, apalagi kepada orang yang menyambut kita dengan makanan. Hal ini juga bagian dari menjaga silaturahmi dan adab pergaulan.


7. Pendidikan Ibu Sangat Mempengaruhi Anak

Ucapan ‘Aisyah bahwa al-Qasim kurang fasih karena dididik oleh ibunya, sedangkan keponakannya fasih karena juga dididik ibunya, menunjukkan pentingnya peran ibu dalam mendidik anak, termasuk dalam hal bahasa dan akhlak. Dalam keluarga, ibu adalah madrasah pertama. Maka kualitas dan perhatian seorang ibu sangat berpengaruh terhadap karakter anak di masa depan.


Secara keseluruhan, hadits ini mengajarkan bahwa salat bukan sekadar gerakan, tapi butuh ketenangan dan kekhusyukan yang sempurna. Islam sangat memperhatikan kesiapan hati dan tubuh sebelum salat. Selain itu, adab dalam berbicara, bersikap saat marah, menghargai tuan rumah, serta pentingnya peran pendidikan ibu menjadi pelajaran penting yang mendalam dan aplikatif dalam kehidupan sehari-hari.


Penutupan Kajian


 Alhamdulillāh, segala puji hanya milik Allāh yang telah memudahkan kita menyelami mutiara ilmu dari hadits Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam yang agung ini. Hadits yang kita kaji hari ini mengandung pelajaran sangat penting, bahwa kualitas salat bukan hanya diukur dari gerakan dan bacaan, tetapi juga dari hadirnya hati dan tenangnya jiwa ketika menghadap Allāh.

Kita belajar bahwa janganlah seseorang terburu-buru salat ketika perutnya lapar dan makanan telah tersedia. Juga, hendaknya ia tidak menahan buang hajat saat hendak salat. Karena semua itu mengganggu kekhusyukan, menghilangkan ketenangan, dan mengurangi kesempurnaan ibadah.

Selain itu, kita juga mengambil pelajaran adab dari Ummul Mukminin ‘Āisyah radhiyallāhu ‘anhā—bagaimana beliau mendidik keponakannya dengan nasihat yang lembut namun tegas, demi menjaga kehormatan salat dan menjaga hubungan keluarga. Ini adalah pelajaran besar tentang pentingnya adab, pengaruh pendidikan ibu, dan bagaimana salat seharusnya menjadi ibadah yang berkualitas, bukan sekadar kewajiban rutin.

Harapan kami dari kajian ini, semoga setiap kita mulai memperhatikan kesempurnaan lahir dan batin dalam salat. Mari kita jaga waktu salat, tetapi juga perhatikan kesiapan hati dan kondisi tubuh saat mengerjakannya. Kita siapkan diri sebelum salat, kita siapkan hati untuk khusyuk, dan kita jadikan salat sebagai waktu terbaik untuk menghadap Rabbul ‘Ālamīn.

Semoga ilmu yang kita pelajari hari ini menjadi amal yang bermanfaat, menjadi penerang dalam kehidupan, dan mendekatkan kita kepada ridha Allāh. 

اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ بِرَحْمَتِكَ، وَاجْعَلْ خَيْرَ أَيَّامِنَا يَوْمَ نَلْقَاكَ، وَاخْتِمْ لَنَا بِالْإِيمَانِ وَحُسْنِ الْخَاتِمَةِ.

Ya Allah, jadikanlah kami termasuk penghuni surga dengan rahmat-Mu. Jadikanlah hari terbaik kami adalah hari ketika kami berjumpa dengan-Mu. Dan wafatkanlah kami dalam keadaan beriman serta dengan akhir yang baik.

وَاللَّهُ الْمُوَفِّقُ إِلَىٰ أَقْوَمِ الطَّرِيقِ.

Kita tutup kajian dengan doa kafaratul majelis:

🌿 سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ.

وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ.

 

Tampilkan Kajian Menurut Kata Kunci