Hadits: Pahala Tetap Dicatat Meskipun Sakit atau Bersafar

Bismillahirrahmanirrahim,

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah memberikan kita kesempatan untuk terus belajar dan menambah ilmu. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad  , yang telah menjadi teladan bagi kita dalam setiap aspek kehidupan.

Jamaah yang dirahmati Allah,

Sering kali kita mendengar keluhan dari saudara-saudara kita yang sedang diuji dengan sakit atau dalam keadaan bepergian jauh. Mereka merasa bersalah karena tidak bisa shalat berjamaah, tidak bisa hadir di majelis ilmu, atau tak mampu mengerjakan amal rutin seperti biasa. Tak jarang pula, ada yang merasa bahwa ibadahnya tidak lagi bernilai di hadapan Allah karena kondisi tubuhnya yang lemah atau keterbatasan waktu dan tempat saat dalam perjalanan. Semua ini mencerminkan adanya rasa sedih dan kekhawatiran dalam diri mereka—apakah Allah tetap menerima amal mereka atau tidak?

Di sisi lain, ada pula yang sebelumnya rajin beramal, namun saat diberi udzur oleh Allah, seperti sakit atau safar, ia justru berhenti sama sekali. Bahkan, ada yang mengira bahwa tidak perlu menjaga rutinitas amal karena toh tidak bisa dilakukan seterusnya. Padahal, dalam Islam, ada satu prinsip mulia: amal yang dikerjakan secara konsisten akan tetap dicatat pahalanya meskipun seseorang sedang dalam keadaan yang membuatnya tidak mampu melaksanakannya.

Di sinilah pentingnya kita mempelajari hadits yang sangat agung ini. Hadits ini bukan sekadar memberi kabar gembira bagi mereka yang diuji dengan sakit dan safar, tetapi juga menjadi motivasi besar untuk tetap menjaga kontinuitas amal dalam kondisi sehat. Ia mengajarkan kita tentang betapa luasnya rahmat Allah, betapa bijaksananya syariat Islam yang memperhatikan kondisi manusia, dan betapa berharganya niat dan ketekunan dalam beribadah.

Oleh karena itu, hadits ini sangat layak untuk dipahami secara mendalam. Agar kita tidak salah dalam menyikapi keadaan sakit dan bepergian. Agar kita tidak mudah putus asa saat tidak bisa beramal. Dan agar kita senantiasa memanfaatkan waktu sehat dan lapang untuk memperbanyak amal yang menjadi sumber pahala yang terus mengalir, bahkan di saat kita tak lagi mampu mengerjakannya.

Semoga kajian ini menjadi cahaya dan penguat jiwa, serta pengingat bahwa Allah tidak pernah menyia-nyiakan amal seorang hamba, selama niatnya lurus dan amalnya dijaga dengan ikhlas dan istiqamah.Saudaraku yang dirahmati Allah,

sering kali kita mendengar keluhan dari saudara-saudara kita yang sedang diuji dengan sakit atau dalam keadaan bepergian jauh. Mereka merasa bersalah karena tidak bisa shalat berjamaah, tidak bisa hadir di majelis ilmu, atau tak mampu mengerjakan amal rutin seperti biasa. Tak jarang pula, ada yang merasa bahwa ibadahnya tidak lagi bernilai di hadapan Allah karena kondisi tubuhnya yang lemah atau keterbatasan waktu dan tempat saat dalam perjalanan. Semua ini mencerminkan adanya rasa sedih dan kekhawatiran dalam diri mereka—apakah Allah tetap menerima amal mereka atau tidak?

Di sisi lain, ada pula yang sebelumnya rajin beramal, namun saat diberi udzur oleh Allah, seperti sakit atau safar, ia justru berhenti sama sekali. Bahkan, ada yang mengira bahwa tidak perlu menjaga rutinitas amal karena toh tidak bisa dilakukan seterusnya. Padahal, dalam Islam, ada satu prinsip mulia: amal yang dikerjakan secara konsisten akan tetap dicatat pahalanya meskipun seseorang sedang dalam keadaan yang membuatnya tidak mampu melaksanakannya.

Di sinilah pentingnya kita mempelajari hadits yang sangat agung ini. Hadits ini bukan sekadar memberi kabar gembira bagi mereka yang diuji dengan sakit dan safar, tetapi juga menjadi motivasi besar untuk tetap menjaga kontinuitas amal dalam kondisi sehat. Ia mengajarkan kita tentang betapa luasnya rahmat Allah, betapa bijaksananya syariat Islam yang memperhatikan kondisi manusia, dan betapa berharganya niat dan ketekunan dalam beribadah.

Oleh karena itu, hadits ini sangat layak untuk dipahami secara mendalam. Agar kita tidak salah dalam menyikapi keadaan sakit dan bepergian. Agar kita tidak mudah putus asa saat tidak bisa beramal. Dan agar kita senantiasa memanfaatkan waktu sehat dan lapang untuk memperbanyak amal yang menjadi sumber pahala yang terus mengalir, bahkan di saat kita tak lagi mampu mengerjakannya.

Semoga kajian ini menjadi cahaya dan penguat jiwa, serta pengingat bahwa Allah tidak pernah menyia-nyiakan amal seorang hamba, selama niatnya lurus dan amalnya dijaga dengan ikhlas dan istiqamah..

Mari kita bacakan haditsnya:

-----

Dari Abu Musa al-Asy'ari  radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah  bersabda:


إِذَا مَرِضَ العَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِنَ العَمَلِ مَا كَانَ يَعْمَلُهُ وَهُوَ صَحِيحٌ مُقِيمٌ

Apabila seorang hamba sakit atau bepergian, maka tetap dicatat baginya (pahala) dari amal yang biasa ia kerjakan ketika ia dalam keadaan sehat dan bermukim

HR Al-Bukhari (2996)


Arti dan Penjelasan Per Kalimat


إِذَا مَرِضَ العَبْدُ أَوْ سَافَرَ

Apabila seorang hamba sakit atau bepergian

Ketika seorang hamba Allah mengalami sakit atau bepergian, dalam kondisi yang membatasi kemampuannya untuk melaksanakan ibadah secara normal, baik fisik maupun situasional, Allah memberikan kemudahan dengan cara mengurangi beban amal ibadahnya, namun tetap menghitung amal yang dilakukan ketika dalam keadaan sehat dan tinggal di rumah.

 كُتِبَ لَهُ مِنَ العَمَلِ مَا كَانَ يَعْمَلُهُ

maka tetap dicatat baginya (pahala) dari amal yang biasa ia kerjakan 

Allah mencatat bagi hamba-Nya, dalam kondisi sakit atau bepergian, amal-amal yang biasa dilakukannya ketika sehat dan berada di tempatnya yang biasa. Ini menunjukkan bahwa Allah menghargai niat baik dan usaha yang telah dilakukan seorang hamba meskipun kondisinya tidak memungkinkan untuk melaksanakan ibadah secara penuh.


وَهُوَ صَحِيحٌ مُقِيمٌ

ketika ia dalam keadaan sehat dan bermukim

Syarat yang harus terpenuhi adalah bahwa saat amal tersebut dicatat, hamba tersebut dalam keadaan sehat dan tinggal di tempatnya yang biasa. Hal ini menegaskan bahwa pahala amal tersebut tetap diberikan dengan syarat kondisi kesehatan dan situasi tempat yang memungkinkan untuk melaksanakan amal tersebut.


Syarah Hadits


تَفَضَّلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ عَلَى عِبَادِهِ الْمُتَّقِينَ
Allah Subhanu Wa Ta’ala telah memberikan karunia kepada hamba-hamba-Nya yang bertakwa

بِمَزِيدِ الْأَجْرِ وَالثَّوَابِ عَلَى الْأَعْمَالِ
dengan tambahan pahala dan ganjaran atas amal perbuatan mereka

فِي جَمِيعِ أَحْوَالِهِمْ، مِنَ الصِّحَّةِ وَالْمَرَضِ، وَالتَّفَرُّغِ وَالِانْشِغَالِ
dalam semua keadaan mereka, baik dalam keadaan sehat maupun sakit, dalam waktu luang maupun kesibukan.

وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ يُخْبِرُ التَّابِعِيُّ إِبْرَاهِيمُ أَبُو إِسْمَاعِيلَ السَّكْسَكِيُّ
Dalam hadits ini, tabi'in Ibrahim Abu Isma'il as-Saksaki mengabarkan

أَنَّ التَّابِعِيَّيْنِ أَبَا بُرْدَةَ بْنَ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيَّ وَيَزِيدَ بْنَ أَبِي كَبْشَةَ
bahwa dua tabi'in, yaitu Abu Burdah bin Abu Musa al-Asy'ari dan Yazid bin Abi Kabsyah

خَرَجَا مَعًا فِي سَفَرٍ
berangkat bersama dalam sebuah perjalanan.

فَكَانَ يَزِيدُ يَصُومُ تَطَوُّعًا فِي السَّفَرِ
Yazid terbiasa berpuasa sunnah dalam perjalanan.

فَأَخْبَرَهُ أَبُو بُرْدَةَ
Lalu Abu Burdah memberitahunya

أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا مُوسَى الْأَشْعَرِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
bahwa ia pernah mendengar Abu Musa al-Asy'ari radhiyallahu 'anhu

أَكْثَرَ مِنْ مَرَّةٍ وَهُوَ يَقُولُ
lebih dari sekali mengatakan,

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
"Rasulullah bersabda:

إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ
Apabila seorang hamba sakit atau bepergian,

كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا
maka dicatat baginya (pahala) seperti apa yang biasa ia lakukan saat bermukim dalam keadaan sehat.”

فَإِنَّ مَنْ كَانَ يَعْمَلُ عَمَلًا صَالِحًا
Karena siapa pun yang terbiasa melakukan amal saleh,

مِنْ صَلَاةِ تَطَوُّعٍ أَوْ صِيَامِ تَطَوُّعٍ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ
baik berupa shalat sunnah, puasa sunnah, atau yang semisalnya,

ثُمَّ سَافَرَ أَوْ مَرِضَ
kemudian ia bepergian atau jatuh sakit,

فَمَنَعَهُ ذَلِكَ مِنْ أَدَاءِ الْعِبَادَةِ الَّتِي كَانَ يَتَطَوَّعُ بِهَا
lalu hal itu menghalanginya dari melaksanakan ibadah sunnah yang biasa ia lakukan,

كَتَبَ اللَّهُ لَهُ أَجْرَ الْعِبَادَةِ الَّتِي كَانَ يَفْعَلُهَا فِي حَالِ صِحَّتِهِ، وَحَالِ إِقَامَتِهِ
maka Allah tetap mencatat baginya pahala ibadah yang biasa ia lakukan saat sehat dan bermukim.

وَقِيلَ: تَدْخُلُ فِي ذَلِكَ الْفَرَائِضُ
Dikatakan bahwa hal ini juga mencakup ibadah-ibadah wajib,

الَّتِي شَأْنُهَا أَنْ يَعْمَلَ الْمُسْلِمُ بِهَا وَهُوَ صَحِيحٌ
yang seharusnya dikerjakan oleh seorang muslim dalam keadaan sehat.

فَإِذَا عَجَزَ عَنْ جُمْلَتِهَا، أَوْ بَعْضِهَا بِالْمَرَضِ
Jika ia tidak mampu melaksanakannya secara keseluruhan atau sebagian karena sakit,

كُتِبَ لَهُ أَجْرُ مَا عَجَزَ عَنْهُ
maka tetap dicatat baginya pahala dari apa yang tidak dapat ia lakukan.

حَتَّى صَلَاةُ الْجَالِسِ فِي الْفَرْضِ لِمَرَضِهِ
Bahkan shalat wajib yang dikerjakan sambil duduk karena sakit,

يُكْتَبُ لَهُ عَنْهَا أَجْرُ صَلَاةِ الْقَائِمِ
tetap dicatat baginya pahala shalat dalam keadaan berdiri.

وَفِي الْحَدِيثِ: عَظِيمُ فَضْلِ اللَّهِ تَعَالَى عَلَى عِبَادِهِ
Hadits ini menunjukkan besarnya keutamaan Allah Ta'ala kepada hamba-hamba-Nya.

وَفِيهِ: فَضْلُ الْعَمَلِ فِي حَالِ الْإِقَامَةِ وَالصِّحَّةِ
Hadits ini juga menunjukkan keutamaan beramal dalam keadaan bermukim dan sehat.

لِيَنَالَ الْإِنْسَانُ هَذَا الْأَجْرَ إِذَا سَافَرَ أَوْ مَرِضَ
agar seseorang tetap mendapatkan pahala ini jika ia bepergian atau jatuh sakit.

وَالحَثُّ عَلَى الِاجْتِهَادِ فِي الطَّاعَاتِ وَاسْتِغْلَالِ الْأَوْقَاتِ فِي حَالِ الصِّحَّةِ وَالْفَرَاغِ

Dan anjuran untuk bersungguh-sungguh dalam ketaatan dan memanfaatkan waktu di saat sehat dan luang

Maraji: https://dorar.net/hadith/sharh/60920


Pelajaran dari Hadits ini


1. Rahmat Allah Saat Hamba Sakit atau Bepergian

Dalam perkataan إِذَا مَرِضَ العَبْدُ أَوْ سَافَرَ (ketika seorang hamba sakit atau bepergian), Allah memperlihatkan betapa besar kasih sayang-Nya kepada hamba-Nya yang beriman. Sakit dan bepergian adalah dua keadaan yang biasanya menyebabkan seseorang sulit menjalankan ibadah seperti biasa. Namun, dalam kondisi ini, Allah tetap memperhatikan keadaan hamba-Nya dan tidak mencabut pahala dari amal-amal baik yang biasa dikerjakannya. Ini menunjukkan bahwa Allah tidak membebani hamba melebihi kemampuannya. Sebagaimana firman Allah dalam QS Al-Baqarah: 286,

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

(Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya).

Ini menjadi penegasan bahwa rahmat Allah senantiasa bersama hamba dalam kondisi sulit.


2. Pahala Tetap Dicatat Meskipun Tidak Dikerjakan

Perkataan كُتِبَ لَهُ مِنَ العَمَلِ مَا كَانَ يَعْمَلُهُ (dicatat baginya amal yang biasa ia kerjakan) mengandung pelajaran besar bahwa amal-amal yang dikerjakan secara rutin akan tetap dicatat pahalanya meskipun dalam kondisi seseorang tidak mampu melaksanakannya. Hal ini memperlihatkan keutamaan istikamah dalam beramal. Ketika seseorang sudah membiasakan diri untuk berbuat baik, maka saat ia berhalangan karena kondisi di luar kendalinya, Allah tetap memberinya pahala seolah ia tetap mengerjakannya. 

Ini menumbuhkan semangat untuk menjaga konsistensi dalam ibadah dan amal baik selagi sehat.


3. Pentingnya Rutinitas dalam Beribadah

Perkataan مَا كَانَ يَعْمَلُهُ (apa yang biasa ia kerjakan) menunjukkan bahwa yang dicatat bukanlah semua jenis amal, melainkan amal yang memang sudah menjadi kebiasaan. Ini mengajarkan pentingnya menjaga rutinitas amal, meskipun kecil, karena hal itu akan terus mengalir pahalanya bahkan saat kita tak bisa melakukannya. Nabi ﷺ bersabda dalam HR. Muslim:

أَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ

(Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling terus-menerus meskipun sedikit).
Dengan menjadikan amal sebagai rutinitas, seorang hamba mendapat jaminan dari Allah bahwa amalnya tetap dihitung meskipun terhalang.


4. Pahala Disesuaikan dengan Niat dan Konsistensi Sebelumnya

Dalam perkataan وَهُوَ صَحِيحٌ مُقِيمٌ (sedangkan ia dalam keadaan sehat dan tinggal), dijelaskan bahwa amal yang dicatat saat seseorang sakit atau bepergian adalah amal yang ia lakukan saat sehat dan tidak dalam perjalanan. Ini memberi pelajaran bahwa pahala tersebut adalah buah dari konsistensi sebelumnya, bukan sekadar niat tanpa amal. Allah menilai seseorang sesuai dengan keadaan dan usahanya di masa lapang. Dalam QS Al-Hadid: 20, Allah berfirman:

لِيَجْزِيَهُمُ اللَّهُ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوا

(Agar Allah membalas mereka dengan sebaik-baik apa yang telah mereka kerjakan).
Ini mendorong kita untuk memanfaatkan waktu sehat dan kesempatan yang ada untuk beramal sebanyak mungkin.


5. Allah Memberi Balasan Sesuai Niat dan Keadaan

Hadits ini mengandung pelajaran bahwa Allah melihat hati dan niat seseorang, bukan hanya tindakan lahiriahnya. Ketika seseorang berniat kuat untuk beramal, namun terhalang oleh keadaan seperti sakit atau bepergian, Allah tetap memberi balasan seperti amal nyata. Hal ini selaras dengan sabda Nabi ﷺ dalam HR. Bukhari dan Muslim:

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

(Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya).
Ini menjadi penguat bagi mereka yang sedang dalam ujian fisik atau situasi, bahwa niat yang jujur dan amal yang rutin tidak akan sia-sia di sisi Allah.


6. Sakit dan Safar Bukan Penghalang Kedekatan kepada Allah

Dalam kondisi sakit atau bepergian, seseorang seringkali merasa jauh dari ibadah atau merasa bersalah karena tidak bisa melaksanakannya. Namun hadits ini mengajarkan bahwa kedekatan kepada Allah tidak semata tergantung pada fisik, tapi juga pada niat dan rutinitas yang telah dibangun sebelumnya. Dalam QS At-Taghabun: 16, Allah berfirman:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

(Maka bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian).
Ini menunjukkan bahwa syariat memperhatikan keadaan dan memberikan keringanan, tanpa mengurangi nilai ibadah.


7. Amal Baik yang Terhenti Karena Udzur Mendapat Nilai yang Sama

Hadits ini memberikan ketenangan hati bagi siapa pun yang sedang terhalang melakukan amal karena udzur syar'i. Mereka tidak kehilangan pahala jika sebelumnya istiqamah. 

Ini menguatkan semangat agar tidak berputus asa saat diuji oleh keadaan yang menghalangi ibadah.


8. Amal yang Dicintai Allah Adalah yang Konsisten

Hadits ini juga menumbuhkan motivasi untuk menjaga amal secara terus-menerus, karena yang akan mendapat keberlanjutan pahala saat kita tidak bisa melakukannya adalah amal yang rutin, bukan yang hanya dikerjakan sesekali. Dalam QS Maryam: 76, Allah berfirman:

وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِندَ رَبِّكَ

(Dan amal-amal shalih yang kekal itu lebih baik di sisi Tuhanmu).

Dengan menjaga kontinuitas, amal tersebut tidak terputus manfaat dan pahalanya, bahkan ketika kita tidak dalam kondisi mampu. 



Kesimpulan

  1. Allah Maha Pemurah – tetap memberikan pahala bagi orang yang terhalang melakukan amalnya karena uzur syar’i.
  2. Pentingnya membangun kebiasaan ibadah – agar tetap mendapatkan pahala ketika tidak mampu melaksanakannya.
  3. Amal dicatat berdasarkan niat – sehingga orang yang tidak bisa beramal tetap mendapatkan ganjarannya.
  4. Sakit dan perjalanan adalah uzur yang diberikan keringanan dalam syariat – serta tidak mengurangi pahala.
  5. Gunakan waktu sehat dan lapang untuk banyak beramal – karena pahala tetap mengalir jika terbiasa beribadah.
  6. Islam agama yang penuh kemudahan – memberikan kelonggaran bagi mereka yang mengalami kesulitan dalam beribadah.

 


Penutup Kajian


 

Jamaah yang dirahmati Allah,

Hadits ini menjadi bukti nyata betapa Allah Maha Penyayang dan Maha Adil. Ia tidak melihat hasil semata, tapi juga memperhatikan niat, usaha, dan konsistensi hamba-Nya.

Kita belajar bahwa amal yang dilakukan secara terus-menerus, sekecil apa pun, bisa menjadi bekal pahala yang tidak akan terputus—bahkan ketika kita dalam keadaan sakit, lemah, atau bepergian. Kita juga belajar bahwa menjaga rutinitas dalam ibadah bukan hanya bentuk kedisiplinan spiritual, tapi juga investasi amal jangka panjang yang tidak pernah merugi.

Oleh karena itu, marilah kita jadikan hadits ini sebagai penguat niat dan pengarah langkah dalam kehidupan sehari-hari. Jangan pernah meremehkan amal kecil jika ia dilakukan dengan ikhlas dan rutin. Manfaatkan waktu sehat dan senggang untuk menanam amal sebanyak mungkin. Dan ketika ujian datang, yakinlah bahwa Allah tidak akan menghapus pahala yang telah kita upayakan.

Semoga setelah kajian ini, kita semua semakin semangat menjaga amal harian, lebih tenang dan tawakal saat diuji sakit atau bepergian, serta semakin yakin bahwa kasih sayang Allah selalu menyertai hamba-Nya yang berusaha mendekat kepada-Nya. Kita tutup dengan doa kafaratul majelis:

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ.



 

Tampilkan Kajian Menurut Kata Kunci