Hadits: Anjuran Menulis Wasiat bagi Muslim yang Memiliki Sesuatu yang Diwasiatkan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
الْحَمْدُ لِلَّهِ،
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ
وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُ
Jamaah yang dirahmati Allah,
Di tengah kesibukan hidup dan berbagai urusan dunia, banyak di antara kita yang lalai mempersiapkan hal terpenting yang pasti akan kita hadapi: yaitu kematian. Kita menabung, kita membeli tanah, kita menyusun strategi bisnis, tapi sangat sedikit di antara kita yang menyiapkan wasiat. Padahal, berapa banyak keluarga yang setelah ditinggal wafat oleh orang tuanya justru bertengkar memperebutkan harta? Berapa banyak warisan yang tertahan karena tidak ada kejelasan, bahkan tidak diketahui siapa yang berhak dan apa yang harus dilakukan terhadapnya?
Inilah sebabnya hadits yang akan kita bahas hari ini sangat penting. Rasulullah ﷺ memberi peringatan keras bahwa tidak sepantasnya seorang Muslim bermalam dua malam saja jika ia memiliki sesuatu yang perlu diwasiatkan, kecuali wasiat itu sudah tertulis dan tersimpan di sisinya. Artinya, perkara ini bukan sekadar sunnah biasa, tapi bagian dari tanggung jawab keimanan dan amanah kepada Allah dan sesama manusia.
Hadits ini sangat relevan untuk kita pahami dan amalkan, karena menyangkut hak-hak orang lain, kelangsungan ibadah setelah kematian, dan ketertiban dalam kehidupan keluarga.
Maka mari kita telaah bersama makna setiap perkataan dalam hadits ini, agar kita benar-benar sadar betapa pentingnya menyiapkan wasiat, bukan hanya untuk urusan warisan, tapi juga untuk kebaikan dunia dan akhirat kita.
Dari Abdullah bin
‘Umar radhiyallāhu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
مَا حَقُّ امْرِئٍ
مُسْلِمٍ لَهُ شَيْءٌ يُرِيدُ أَنْ يُوصِيَ فِيهِ يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ إِلَّا
وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِنْدَهُ
Tidak
sepantasnya bagi seorang Muslim yang memiliki sesuatu yang ingin ia wasiatkan
bermalam dua malam kecuali wasiatnya telah tertulis di sisinya.
HR. al-Bukhārī (2738), Muslim (1627), Abū Dāwūd (2868),
At-Tirmidzī (2124), An-Nasā’ī dalam As-Sunan al-Kubrā (7083), dan Ibnu Mājah
(2394).
Arti
dan Penjelasan Per Kalimat
ما حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ
Tidak sepantasnya bagi seorang Muslim
Perkataan ini menunjukkan bentuk penegasan dari
Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam terhadap tanggung jawab personal
seorang Muslim terhadap harta dan kehidupannya.
Kata ما حقُّ bukan hanya menyatakan larangan, tetapi
merupakan bentuk pengingkaran terhadap kebiasaan atau sikap menunda dalam
masalah penting seperti wasiat.
Perkataan ini
mengandung makna bahwa secara etika dan hukum, seorang Muslim tidak layak
menunda pencatatan wasiatnya jika memang sudah ada hal yang harus diurus.
Dalam konteks ekonomi syariah, ini menunjukkan
pentingnya keteraturan administrasi, dokumentasi aset, dan tanggung jawab atas
hak orang lain yang melekat pada harta tersebut.
Wasiat bukan hanya tindakan spiritual, tapi juga bentuk
komitmen sosial untuk tidak menyulitkan ahli waris.
له شيءٌ يُرِيدُ أَنْ يُوصِيَ فِيهِ
yang memiliki sesuatu yang ingin ia wasiatkan
Perkataan ini memberikan syarat utama dari hukum yang
disebut sebelumnya, yaitu keberadaan harta atau urusan yang layak diwasiatkan.
Kalimat ini menegaskan bahwa tidak semua orang wajib
langsung menulis wasiat, melainkan mereka yang memiliki sesuatu yang berkaitan
dengan hak orang lain, amanah, atau harta yang belum diselesaikan.
Keinginan untuk mewasiatkan juga menunjukkan adanya niat
dan kesadaran tanggung jawab.
Dalam ekonomi syariah, ini sangat relevan untuk
perencanaan distribusi aset secara syar'i agar tidak bercampur dengan hak waris
yang diatur oleh Al-Qur’an.
Wasiat menjadi sarana pelengkap sistem distribusi
warisan yang adil, terutama untuk menyampaikan hak-hak yang tidak diatur oleh
sistem waris, seperti utang atau titipan.
يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ
bermalam dua malam
Perkataan ini menunjukkan tenggang waktu maksimal yang
diperkenankan bagi seorang Muslim untuk menunda pencatatan wasiatnya setelah
muncul niat mewasiatkan.
Tidak adanya wasiat tertulis setelah dua malam
menunjukkan kelalaian dalam urusan penting yang bisa berdampak pada kezaliman
terhadap pihak-pihak yang berhak.
Dalam konteks fikih muamalah, ini dapat dimaknai sebagai
keharusan segera menunaikan hak-hak orang lain yang terkait dengan harta.
Standar dua malam menunjukkan urgensi administratif yang
sangat tinggi dalam hal tanggung jawab kepemilikan.
Ini juga bisa dipahami sebagai dorongan untuk segera
mengambil tindakan preventif dalam manajemen aset.
إِلَّا وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِنْدَهُ
kecuali wasiatnya sudah tertulis di sisinya
Perkataan ini merupakan kesimpulan hukum dari hadits
ini—yaitu keharusan menulis wasiat sebagai bukti konkret dari keseriusan dalam
menunaikan tanggung jawab.
Penulisan wasiat secara tertulis merupakan bentuk
dokumentasi yang sah dan menghindarkan perselisihan di kemudian hari.
Dalam ekonomi syariah, dokumentasi ini juga penting
untuk akuntabilitas harta dan distribusinya.
Wasiat yang ditulis akan membantu pengelolaan aset
pasca-kematian secara tertib dan adil, sekaligus mencegah penyalahgunaan atau
pengabaian hak.
Penyebutan عِنْدَهُ (di
sisinya) menunjukkan bahwa wasiat itu harus mudah diakses dan diketahui oleh
pihak terdekat, bukan hanya disimpan diam-diam.
Syarah Hadits
شَرَعَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ الْوَصِيَّةَ
Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung telah mensyariatkan wasiat
لُطْفًا بِعِبَادِهِ وَرَحْمَةً بِهِمْ
Sebagai kelembutan kepada hamba-hamba-Nya dan kasih sayang untuk mereka
عِندَمَا جَعَلَ لِلْمُسْلِمِ نَصِيبًا مِنْ
مَالِهِ يُوصِي بِهِ قَبْلَ وَفَاتِهِ
Ketika Dia menjadikan bagi seorang Muslim bagian dari hartanya untuk
diwasiatkan sebelum wafatnya
فِي أَعْمَالِ الْبِرِّ الَّتِي تَعُودُ عَلَى
غَيْرِهِ بِالْخَيْرِ
Dalam amal-amal kebajikan yang memberikan manfaat kepada orang lain
وَتَعُودُ عَلَى الْمُوصِي بِالْأَجْرِ
وَالثَّوَابِ
Dan memberikan pahala serta ganjaran kepada orang yang berwasiat
وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ حَثَّ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dan dalam hadits ini Nabi ﷺ mendorong
وَأَكَّدَ عَلَى الْمُبَادَرَةِ بِكِتَابَةِ
الْوَصِيَّةِ قَبْلَ مُبَاغَتَةِ الْمَوْتِ
Dan menegaskan pentingnya menyegerakan penulisan wasiat sebelum kematian datang
tiba-tiba
وَبَيَّنَ أَنَّهُ لَيْسَ لَائِقًا
بِالْمُسْلِمِ
Dan beliau menjelaskan bahwa tidak pantas bagi seorang Muslim
سَوَاءٌ كَانَ رَجُلًا أَوِ امْرَأَةً
Baik laki-laki maupun perempuan
وَلَهُ شَيْءٌ يُوصِي فِيهِ مِنَ
الْأَمْوَالِ، وَالْبَنِينَ الصِّغَارِ، وَالْحُقُوقِ الَّتِي لَهُ، وَعَلَيْهِ
Yang memiliki sesuatu untuk diwasiatkan berupa harta, anak-anak kecil, dan
hak-hak baik yang ia miliki atau menjadi tanggungannya
مِنْ دُيُونٍ، وَكَفَّارَاتٍ، وَزَكَوَاتٍ
فَرَّطَ فِيهَا
Seperti utang, kafarat, dan zakat yang pernah ia lalaikan
أَنْ تَمْضِيَ عَلَيْهِ لَيْلَتَانِ أَوْ
أَكْثَرُ إِلَّا وَوَصِيَّتُهُ بِهَذَا الشَّيْءِ مَكْتُوبَةٌ وَمَحْفُوظَةٌ
عِنْدَهُ
Lalu berlalu dua malam atau lebih kecuali wasiatnya itu telah ditulis dan
disimpan di sisinya
فَإِذَا وَصَّى بِذَلِكَ أُخْرِجَتِ
الدُّيُونُ مِنْ رَأْسِ الْمَالِ
Jika ia telah berwasiat, maka utang dikeluarkan dari harta pokok
وَأُخْرِجَ غَيْرُهَا مِنْ ثُلُثِهِ
Dan selain utang dikeluarkan dari sepertiga hartanya
وَذِكْرُ وَصْفِ «مُسْلِمٍ» لِلتَّهْيِيجِ
Penyebutan sifat "Muslim" bertujuan untuk menggugah semangat
لِتَقَعَ الْمُبَادَرَةُ لِامْتِثَالِهِ
Agar terjadi penyegeraan dalam menaati perintah ini
لِمَا يُشْعِرُ بِهِ مِنْ نَفْيِ الْإِسْلَامِ
عَنْ تَارِكِ ذَلِكَ
Karena hal itu menunjukkan ancaman tercabutnya Islam bagi yang meninggalkannya
أَوِ الْوَصْفُ خَرَجَ مَخْرَجَ الْغَالِبِ
Atau sifat itu disebut karena kebanyakan yang diajak bicara adalah kaum
Muslimin
وَأَخْرَجَ الدَّارِمِيُّ وَالدَّارَقُطْنِيُّ
عَنْ أَنَسٍ قَالَ:
Diriwayatkan oleh Ad-Dārimī dan Ad-Dāraquthnī dari Anas, ia berkata:
هَكَذَا كَانُوا يُوصُونَ:
Beginilah dahulu mereka berwasiat:
هَذَا مَا أَوْصَى بِهِ فُلَانُ بْنُ فُلَانٍ:
Inilah yang diwasiatkan oleh si Fulan bin Fulan:
أَنَّهُ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا
اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ
Bahwa ia bersaksi tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah semata,
tiada sekutu bagi-Nya
وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
Dan bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya
وَأَنَّ السَّاعَةَ آتِيَةٌ لَا رَيْبَ فِيهَا
Dan bahwa hari kiamat pasti datang, tidak ada keraguan padanya
وَأَنَّ اللهَ يَبْعَثُ مَنْ فِي الْقُبُورِ
Dan bahwa Allah akan membangkitkan siapa yang ada di dalam kubur
وَأَوْصَى مَنْ تَرَكَ بَعْدَهُ مِنْ أَهْلِهِ
أَنْ يَتَّقُوا اللهَ
Dan ia mewasiatkan kepada keluarga yang ia tinggalkan agar bertakwa kepada
Allah
وَيُصْلِحُوا ذَاتَ بَيْنِهِمْ
Dan agar mereka memperbaiki hubungan di antara mereka
وَأَنْ يُطِيعُوا اللهَ وَرَسُولَهُ إِنْ
كَانُوا مُؤْمِنِينَ
Dan agar mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya jika mereka benar-benar beriman
وَأَوْصَاهُمْ بِمَا أَوْصَى بِهِ
إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ
Dan ia mewasiatkan kepada mereka seperti yang diwasiatkan oleh Ibrahim kepada
anak-anaknya dan Ya'qub
﴿يَا بَنِيَّ إِنَّ اللهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّينَ فَلَا
تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ﴾
"Wahai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini untuk
kalian, maka janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan Muslim."
[Al-Baqarah: 132]
وَأَوْصَى إِنْ حَدَثَ بِهِ حَدَثٌ مِنْ
وَجَعِهِ هَذَا: أَنَّ حَاجَتَهُ كَذَا وَكَذَا
Dan ia mewasiatkan jika terjadi sesuatu padanya dari sakit ini: bahwa
kebutuhannya adalah ini dan itu
وَفِي الْحَدِيثِ: الْحَثُّ عَلَى كِتَابَةِ
الْوَصِيَّةِ
Dan dalam hadits ini terdapat anjuran untuk menulis wasiat
وَفِيهِ: أَنَّ الْأَشْيَاءَ الْمُهِمَّةَ
يَنْبَغِي أَنْ تُضْبَطَ بِالْكِتَابَةِ
Dan di dalamnya terdapat pelajaran bahwa perkara penting seharusnya dicatat
dengan tulisan
لِأَنَّهَا أَثْبَتُ مِنَ الضَّبْطِ
بِالْحِفْظِ
Karena tulisan lebih kuat dibanding hanya mengandalkannya dengan hafalan
لِأَنَّهُ يَخُونُ غَالِبًا
Karena hafalan seringkali meleset
وَفِيهِ: النَّدْبُ إِلَى التَّأَهُّبِ
لِلْمَوْتِ، وَالِاحْتِرَازِ قَبْلَ الْفَوْتِ
Dan di dalamnya terdapat anjuran untuk bersiap menghadapi kematian, dan
bersikap waspada sebelum terlewatkan
لِأَنَّ الْإِنْسَانَ لَا يَدْرِي مَتَى
يَفْجَؤُهُ الْمَوْتُ
Karena manusia tidak tahu kapan kematian akan mengejutkannya
Maraji: https://dorar.net/hadith/sharh/3556
Pelajaran dari Hadits ini
1. Tanggung Jawab Seorang Muslim
Perkataan ما حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ (Tidak sepantasnya bagi seorang Muslim) menunjukkan bahwa seorang Muslim punya tanggung jawab besar terhadap segala hal yang menyangkut hidup dan matinya, termasuk urusan harta. Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam menekankan bahwa tidak layak seorang Muslim hidup sembarangan tanpa perencanaan terhadap hak-hak yang harus ditunaikan setelah kematiannya. Dalam Islam, tanggung jawab terhadap harta bukan hanya ketika hidup, tapi juga setelah meninggal, agar tidak menjadi sumber kezaliman bagi ahli waris atau pihak lain.
2. Kesadaran Memiliki Aset atau Hak
Perkataan له شيءٌ يُرِيدُ أَنْ يُوصِيَ فِيهِ (yang memiliki sesuatu yang ingin ia wasiatkan) memberi batasan bahwa yang harus segera menulis wasiat adalah mereka yang memiliki sesuatu yang penting, baik berupa harta, amanah, maupun janji yang belum diselesaikan. Jika seseorang sadar memiliki hak orang lain atau tanggungan tertentu, maka ia harus segera mencatat dan menyampaikan hal itu. Ini bisa berupa utang, titipan, atau wasiat amal. Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
كُتِبَ
عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ
لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
(Artinya: Diwajibkan atas kalian, apabila salah seorang di antara kalian kedatangan (tanda-tanda) kematian, jika ia meninggalkan harta, (hendaknya ia membuat) wasiat untuk kedua orang tua dan kerabatnya secara ma'ruf. Ini adalah kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa) – QS. Al-Baqarah: 180
3. Pentingnya Segera Bertindak
Perkataan يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ (bermalam dua malam) menunjukkan bahwa Islam menekankan pentingnya tidak menunda-nunda dalam urusan penting, terutama dalam hal penulisan wasiat. Dua malam bukanlah waktu yang lama, namun sudah cukup untuk menyusun dan menulis wasiat secara ringkas. Islam ingin agar umatnya hidup tertib dan tidak membiarkan hal-hal penting menggantung terlalu lama. Sikap cepat tanggap ini juga diajarkan oleh Rasulullah dalam berbagai hal, termasuk menunaikan utang dan melunasi hak-hak orang lain.
4. Kewajiban Menulis Wasiat
Perkataan إِلَّا وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِنْدَهُ (kecuali wasiatnya sudah tertulis di sisinya) menjadi penegasan bahwa hal yang paling ideal dalam pengurusan wasiat adalah dengan menuliskannya. Wasiat yang hanya dalam lisan seringkali hilang, dilupakan, atau diperselisihkan. Dengan menulisnya, kita memberi kemudahan bagi keluarga dan ahli waris dalam menjalankan amanah, serta menjaga kehormatan kita sebagai Muslim yang meninggal dalam keadaan bertanggung jawab. Rasulullah juga bersabda:
مَنْ
كَانَ لَهُ عَلَى أَخِيهِ شَيْءٌ، فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ، قَبْلَ
أَنْ لَا يَكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ
(Artinya: Siapa yang pernah memiliki sesuatu terhadap saudaranya, maka mintalah dihalalkan hari ini, sebelum datang hari yang tidak ada lagi dinar dan dirham) – HR. al-Bukhari (6534)
5. Keadilan dalam Wasiat dan Waris
Hadits ini juga menuntun kita untuk memahami batasan dalam memberikan wasiat, agar tidak melanggar hukum waris syar’i. Wasiat tidak boleh lebih dari sepertiga harta dan tidak boleh diberikan kepada ahli waris kecuali disetujui semua pihak. Ini penting agar tidak menimbulkan permusuhan di antara keluarga setelah kematian. Rasulullah bersabda:
إِنَّ
اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ، فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
(Artinya: Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang berhak haknya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris) – HR. at-Tirmizi (2121), Ibnu Majah (2712), dan Aḥmad (17665).
6. Urgensi Manajemen Harta Pribadi
Hadits ini menjadi dasar pentingnya manajemen keuangan pribadi dalam Islam. Seorang Muslim perlu mengetahui jumlah, status, dan kondisi harta miliknya, serta siapa saja yang mungkin berkepentingan setelah kematiannya. Ini menjadi bagian dari tanggung jawab moral dan sosial. Tidak jarang ahli waris terjebak dalam masalah hukum dan keluarga karena pewaris tidak meninggalkan informasi yang jelas.
7. Wasiat Sebagai Bentuk Taqwa
Menulis wasiat merupakan bukti ketaqwaan, karena wasiat adalah sarana untuk menjaga hak orang lain, menebus kesalahan, dan menunjukkan kejujuran hati seorang Muslim. Orang yang bertakwa selalu ingin meninggalkan dunia dalam keadaan telah menunaikan semua hak dan amanah.
8. Keteladanan Nabi dalam Tertib Administrasi
Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam mencontohkan pentingnya pencatatan dan dokumentasi dalam berbagai hal. Bahkan wahyu-wahyu Al-Qur’an pun langsung ditulis, bukan hanya dihafal. Ini menjadi pelajaran penting bahwa umat Islam tidak boleh hanya mengandalkan ingatan atau lisan, tetapi harus membiasakan menulis, mendokumentasi, dan menyimpan data penting, termasuk wasiat.
9. Menjaga Amanah dan Menghindari Kezaliman
Hadits ini mengajarkan bahwa wasiat yang jelas adalah cara untuk menjaga amanah dan mencegah kezaliman. Banyak konflik keluarga setelah kematian disebabkan karena pewaris tidak menuliskan hak dan tanggungan dengan jelas. Dengan menulis wasiat, kita telah menjaga agar tidak ada satu pun hak manusia yang terabaikan.
10. Wasiat adalah Sarana Amal Jariyah
Menuliskan wasiat untuk sedekah, wakaf, atau amal kebaikan adalah cara untuk terus mendapatkan pahala setelah meninggal. Jika diniatkan dengan ikhlas, maka wasiat ini menjadi bagian dari amal jariyah. Seperti sabda Nabi:
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلاثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ...
(Artinya: Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga: sedekah jariyah...) – HR. Muslim
Secara keseluruhan, hadits ini memberikan panduan lengkap tentang pentingnya menulis wasiat bagi seorang Muslim yang memiliki sesuatu untuk diwasiatkan. Ini adalah bentuk tanggung jawab, amanah, dan kepedulian terhadap sesama, serta bagian dari manajemen hidup Islami yang tertib dan adil. Wasiat yang tertulis mencegah konflik dan menjaga hak-hak yang seharusnya disampaikan.
Penutup
Kajian
Alhamdulillah, kita telah mempelajari bersama hadits yang sangat agung ini, yang menegaskan pentingnya menunaikan hak orang lain sebelum datangnya hari di mana dinar dan dirham tak lagi berguna. Hadits ini mengajarkan kepada kita bahwa urusan antar sesama bukan perkara ringan, dan tidak cukup diselesaikan hanya dengan waktu, tetapi harus segera diselesaikan dengan niat tulus dan tindakan nyata. Ini bukan hanya soal hutang uang, tapi juga hak-hak lain seperti janji, amanah, dan kezaliman lisan atau perbuatan.
Hadits ini menggugah hati kita untuk tidak menunda permintaan maaf dan penyelesaian urusan dengan sesama, karena kematian bisa datang kapan saja. Oleh karena itu, marilah kita jadikan hadits ini sebagai cermin untuk mengevaluasi hubungan kita dengan saudara-saudara kita. Bila ada yang merasa kita zalimi, segeralah minta maaf. Bila ada hak yang belum ditunaikan, segeralah tunaikan.
Harapannya, setelah kajian ini, kita semua bisa lebih peka terhadap hak-hak orang lain dan lebih serius dalam memperbaiki hubungan sosial kita. Mari kita mulai dari hal-hal kecil: jujur dalam jual beli, adil dalam berkata, dan ikhlas dalam meminta maaf. Semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba yang selalu menjaga hak-Nya dan hak sesama manusia, sehingga kelak kita menghadap-Nya dalam keadaan bersih dari kezhaliman dan hutang yang belum diselesaikan. Aamiin ya Rabbal ‘alamin.
Kita tutup dengan doa kafaratul majelis:
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ
وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ
إِلَيْكَ
وَصَلَّى اللَّهُ
عَلَىٰ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَىٰ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ
رَبِّ الْعَالَمِينَ