Hadits: Membunuh Cicak

 بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

الْحَمْدُ لِلَّهِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُ

Jamaah yang dirahmati Allah,
Di tengah kehidupan kita saat ini, masih banyak di antara masyarakat yang belum memahami bagaimana Islam mengatur sikap kita terhadap makhluk hidup yang ada di sekitar kita, termasuk terhadap hewan-hewan kecil seperti cicak atau tokek. Tak sedikit orang menganggap bahwa semua hewan harus dibiarkan hidup tanpa intervensi manusia. Ada pula yang memperlakukan hewan dengan kasar tanpa panduan yang benar, bahkan menyiksa hewan tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat. Di sisi lain, sebagian dari kita sering menganggap remeh hewan-hewan yang secara syar’i justru diperintahkan untuk dibasmi karena berbahaya.

Inilah sebabnya kita perlu mempelajari hadits-hadits Nabi ﷺ yang secara khusus membahas sikap Islam terhadap hewan, termasuk hadits yang akan kita bahas hari ini—yakni hadits tentang perintah membunuh al-wazagh (tokek) karena termasuk hewan yang membawa mudarat. Hadits ini bukan hanya menjelaskan hukum, tapi juga membongkar sejarah dan hikmah di balik perintah tersebut, termasuk bagaimana seekor hewan bisa memusuhi Nabi Allah, yaitu Ibrahim ‘alayhissalām.

Mempelajari hadits ini menjadi penting agar kita tidak hanya tahu hukum membunuh tokek, tapi juga memahami prinsip umum dalam Islam: bahwa syariat ini dibangun di atas kemaslahatan dan pencegahan bahaya. Ini juga menjadi pelajaran akidah, sejarah kenabian, dan cara berpikir Islami dalam menghadapi makhluk Allah yang lain. Dengan memahami hadits ini, kita akan lebih bijak dalam menyikapi hewan di sekitar kita sesuai tuntunan Rasulullah ﷺ, bukan sekadar berdasarkan naluri atau kebiasaan masyarakat.

Maka mari kita simak bersama, potongan-potongan faedah dari hadits ini, agar semakin jelas bagaimana rahmat Islam mencakup segala aspek kehidupan, termasuk urusan yang tampaknya sepele namun ternyata memiliki nilai besar di sisi Allah.


Dari Aisyah radhiyallahu 'anha:

أَنَّهَا دَخَلَتْ عَلَى عَائِشَةَ، فَرَأَتْ فِي بَيْتِهَا رُمْحًا مَوْضُوعًا، فَقَالَتْ: يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ، مَا تَصْنَعِينَ بِهَذَا؟ قَالَتْ: نَقْتُلُ بِهِ هذِهِ الْأَوْزَاغَ؛ فَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَنَا: أَنَّ إِبْرَاهِيمَ لَمَّا أُلْقِيَ فِي النَّارِ، لَمْ تَكُنْ فِي الْأَرْضِ دَابَّةٌ إِلَّا أَطْفَأَتْ النَّارَ، غَيْرَ الْوَزَغِ، فَإِنَّهَا كَانَتْ تَنْفُخُ عَلَيْهِ، فَأَمَرَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَتْلِهِ.

Bahwa seorang wanita masuk menemui Aisyah, lalu melihat ada tombak yang diletakkan di rumahnya. Wanita itu berkata: “Wahai Ummul Mukminin, apa yang engkau lakukan dengan ini?” Aisyah menjawab: “Kami menggunakannya untuk membunuh cicak, karena Nabi Allah memberitahu kami bahwa ketika Ibrahim dilemparkan ke dalam api, tidak ada satu hewan pun di bumi kecuali berusaha memadamkan api itu, kecuali cicak. Ia justru meniupkan api ke arah Ibrahim. Maka Rasulullah memerintahkan untuk membunuhnya.”

HR. Ibnu Majah (3231), Ibnu Hibban (5631), dan Ibnu Abi Syaibah (20258). 


Arti dan Penjelasan Per Kalimat


أنَّهَا دَخَلَتْ عَلَى عَائِشَةَ
Bahwa ia masuk menemui Aisyah.

Perkataan ini menunjukkan bahwa terdapat seorang perempuan yang datang secara langsung ke rumah Ummul Mukminin, Aisyah radhiyallahu 'anha.

Ini menunjukkan keterbukaan rumah beliau dalam menerima tamu perempuan, yang juga menggambarkan interaksi ilmiah dan sosial di masa itu.

Perempuan di masa sahabat punya akses langsung bertanya dan berdialog dengan istri Nabi , yang menjadi sumber ilmu dan fatwa.

Kunjungan ini bukan semata kunjungan sosial, tetapi memiliki nilai ilmiah yang ditransmisikan dalam bentuk hadits.


فَرَأَتْ فِي بَيْتِهَا رُمْحًا مَوْضُوعًا
Lalu ia melihat ada tombak yang diletakkan di rumahnya.

Perkataan ini menggambarkan suasana rumah Aisyah yang tidak hanya sebagai tempat tinggal, tetapi juga tempat yang mengandung unsur siap siaga dan perhatian terhadap sunnah Nabi .
Tombak bukan benda biasa di rumah; ia berfungsi sebagai alat untuk menerapkan sunnah Nabi, dalam hal ini membunuh hewan tertentu.

Penggunaan tombak menandakan keseriusan dan ketegasan dalam menjalankan anjuran syariat.

Letaknya yang terlihat langsung oleh tamu menunjukkan bahwa benda itu bukan disembunyikan, tetapi dipersiapkan untuk fungsi tertentu secara sadar.


فَقَالَتْ: يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ، مَا تَصْنَعِينَ بِهَذَا؟
Maka ia berkata: Wahai Ummul Mukminin, apa yang engkau lakukan dengan ini?

Perkataan ini mengandung etika bertanya yang lembut dan penuh penghormatan, dimulai dengan panggilan kehormatan "Ummul Mukminin".

Pertanyaan ini juga menunjukkan rasa ingin tahu terhadap praktik yang tampak tidak biasa di rumah seorang tokoh utama.

Dalam konteks hadits, pertanyaan ini menjadi pembuka ilmu, dan menandakan bahwa dialog ilmiah bisa bermula dari pengamatan sederhana.

Gaya bertanya ini juga menjadi teladan dalam mengajukan pertanyaan tanpa nada menyalahkan, melainkan penuh adab.


قَالَتْ: نَقْتُلُ بِهِ هذِهِ الْأَوْزَاغَ
Ia menjawab: Kami membunuh cicak dengan ini.

Perkataan ini menjelaskan fungsi dari tombak tersebut, yaitu untuk membunuh binatang yang disebut "al-awzāgh" (cicak).

Aisyah radhiyallahu 'anha langsung memberikan jawaban praktis dan jujur, tanpa keraguan, yang menunjukkan ketegasan dalam mengamalkan perintah Nabi .

Tindakan ini bukan semata kebiasaan, tapi praktik yang berbasis pada perintah Rasulullah .

Kata "kami" menunjukkan bahwa ini adalah kebiasaan kolektif di rumah beliau, bukan hanya keputusan pribadi.


فَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَنَا
Karena Nabi Allah telah memberitahu kami.

Perkataan ini menjadi dasar legitimasi amalan tersebut, yaitu sabda langsung dari Nabi .

Penekanan pada "Nabi Allah" menunjukkan kemuliaan dan keagungan sumber hukum yang dijadikan pegangan.

Aisyah tidak menyebut alasan berdasarkan akal semata, tapi menyandarkannya kepada wahyu yang disampaikan Rasulullah .

Ini juga menunjukkan bahwa sahabat sangat berhati-hati untuk tidak mengamalkan sesuatu tanpa landasan yang sah dari Nabi .


أَنَّ إِبْرَاهِيمَ لَمَّا أُلْقِيَ فِي النَّارِ
Bahwa Ibrahim ketika dilemparkan ke dalam api.

Perkataan ini adalah pengantar kisah yang menjadi sebab hukum (illat) dari perintah membunuh cicak.

Ia menjelaskan peristiwa besar dalam sejarah kenabian, yaitu ujian terhadap Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.

Penyebutan kisah ini menunjukkan bahwa sebab-sebab hukum dalam Islam bisa bersandar pada kisah-kisah terdahulu yang diungkap Nabi .

Ini juga menunjukkan bahwa perilaku makhluk pada masa lalu bisa berdampak pada ketetapan hukum di masa kenabian Muhammad .


لَمْ تَكُنْ فِي الْأَرْضِ دَابَّةٌ إِلَّا أَطْفَأَتْ النَّارَ
Tidak ada satu hewan pun di bumi kecuali berusaha memadamkan api.

Perkataan ini menggambarkan solidaritas seluruh makhluk ciptaan Allah dalam mendukung kebenaran dan menolong Nabi-Nya.

Ia memperlihatkan bahwa seluruh makhluk tunduk kepada Allah dan mendukung orang yang berada di jalan-Nya.

Kecuali satu makhluk, yaitu cicak, semua makhluk ikut membantu Nabi Ibrahim dalam ujian berat itu.

Kalimat ini juga menunjukkan nilai moral bahwa keberpihakan pada kezaliman adalah penyimpangan dari fitrah.


غَيْرَ الْوَزَغِ، فَإِنَّهَا كَانَتْ تَنْفُخُ عَلَيْهِ
Kecuali cicak, karena ia meniupkan api ke arah Nabi Ibrahim.

Perkataan ini menunjukkan perilaku menyimpang seekor cicak, yang tidak hanya tidak membantu, tapi aktif mendukung kebatilan.

Cicak dalam peristiwa ini menjadi simbol pengkhianatan terhadap kebenaran.

Perilakunya menjadi sebab hukum dibalik perintah membunuhnya dalam Islam.

Nabi mengaitkan sifat buruk binatang ini dengan konsekuensi syar’i agar umat Islam waspada dan menjaga lingkungan dari hewan yang membahayakan secara spiritual maupun fisik.


فَأَمَرَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَتْلِهِ
Maka Rasulullah memerintahkan untuk membunuhnya.

Perkataan ini adalah inti hukum dalam hadits, yaitu anjuran membunuh cicak karena perilakunya yang mendukung kezaliman.

Ini bukan semata karena faktor kebencian terhadap binatang, tapi karena sebab syar’i yang memiliki akar dalam kisah para nabi.

Perintah ini menunjukkan bahwa Islam memperhatikan aspek moral dalam menentukan perlakuan terhadap makhluk.

Ia juga menjadi contoh bagaimana hukum syariat kadang berakar pada sejarah, bukan hanya pada realitas biologis.


Syarah Hadits


 أَوْضَحَتْ شَرِيعَةُ الْإِسْلَامِ

Hukum Islam telah menjelaskan

كَيْفَ نَتَعَامَلُ مَعَ أَصْنَافِ الْحَيَوَانَاتِ وَالْهَوَامِّ الضَّارَّةِ
bagaimana kita memperlakukan jenis-jenis hewan dan serangga yang berbahaya

فَأَمَرَتْ بِقَتْلِ كُلِّ مَا تَحَقَّقَ أَنَّهُ يُسَبِّبُ ضَرَرًا لِلْإِنْسَانِ
maka ia memerintahkan membunuh semua yang dipastikan membahayakan manusia

وَنَهَتْ عَنْ قَتْلِ مَا لَا يَأْتِي مِنْهُ ضَرَرٌ
dan melarang membunuh apa yang tidak menimbulkan bahaya

وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ تُخْبِرُ سَائِبَةُ مَوْلَاةُ الْفَاكِهِ بْنِ الْمُغِيرَةِ
Dalam hadits ini, Sāʾibah, mantan budak Al-Fākih bin Al-Mughīrah, mengabarkan

أَنَّهَا دَخَلَتْ عَلَى عَائِشَةَ فَرَأَتْ فِي بَيْتِهَا رُمْحًا مَوْضُوعًا
bahwa ia masuk menemui Aisyah lalu melihat ada tombak yang diletakkan di rumahnya

وَالرُّمْحُ عَصًا فِي نِهَايَتِهَا حَدِيدَةٌ، وَهُوَ أَدَاةٌ مِنْ أَدَوَاتِ الْحَرْبِ
Tombak adalah tongkat yang di ujungnya terdapat besi, yaitu alat dari alat-alat perang

فَقَالَتْ: يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ، مَا تَصْنَعِينَ بِهَذَا؟
Lalu dia berkata: Wahai Ummul Mukminin, apa yang engkau lakukan dengan ini?

قَالَتْ: نَقْتُلُ بِهِ هَذِهِ الْأَوْزَاغَ
Beliau berkata: Kami membunuh dengannya tokek-tokek ini

وَالْوَزَغُ يُسَمَّى سَامَّ أَبْرَصَ، وَيُعْرَفُ بِالْبُرْصِ أَيْضًا، وَهُوَ دَابَّةٌ مِنَ الزَّوَاحِفِ
Tokek disebut juga "sāmm abraṣ", dikenal juga dengan burṣ, ia adalah hewan melata

يُقَالُ: إِنَّهَا سَامَّةٌ
Dikatakan bahwa ia beracun

فَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَنَا: أَنَّ إِبْرَاهِيمَ
Sesungguhnya Nabi Allah mengabarkan kepada kami bahwa Ibrāhīm

لَمَّا أُلْقِيَ فِي النَّارِ، لَمْ تَكُنْ فِي الْأَرْضِ دَابَّةٌ إِلَّا أَطْفَأَتِ النَّارَ
Saat beliau dilempar ke dalam api, tidak ada satu makhluk pun di bumi kecuali memadamkan api itu

غَيْرَ الْوَزَغِ، فَإِنَّهَا كَانَتْ تَنْفُخُ عَلَيْهِ
Kecuali tokek, karena ia justru meniupkan api kepada beliau

فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَتْلِهِ
Maka Rasulullah memerintahkan untuk membunuhnya

أَيْ: لِاعْتِدَائِهَا عَلَى نَبِيِّ اللَّهِ تَعَالَى
Yakni karena tokek telah memusuhi Nabi Allah Taʿālā

وَفِي الْحَدِيثِ: الْأَمْرُ بِقَتْلِ الْوَزَغِ وَكُلِّ ضَارٍّ مِنَ الْحَيَوَانَاتِ
Dan dalam hadits ini terdapat perintah untuk membunuh tokek dan semua hewan yang berbahaya

Maraji: https://dorar.net/hadith/sharh/135336


Pelajaran dari Hadits ini


 1. Etika Menyampaikan Pengalaman kepada Orang Lain

Perkataan أنَّهَا دَخَلَتْ عَلَى عَائِشَةَ (bahwa ia masuk menemui Aisyah) menunjukkan bahwa seorang perempuan datang langsung kepada istri Nabi ﷺ untuk menyaksikan dan belajar sesuatu. Ini menunjukkan pentingnya pengalaman pribadi yang bisa menjadi sumber pelajaran bagi orang lain. Saat seseorang menceritakan pengalaman kepada orang lain, terutama kepada ulama atau guru, maka informasi tersebut bisa menjadi pintu masuk untuk menyebarkan ilmu. Dalam Islam, pengalaman yang disampaikan dengan jujur dan amanah bisa menjadi bagian dari tradisi periwayatan ilmu.


2. Mengamati Lingkungan sebagai Pemicu Rasa Ingin Tahu

Perkataan فَرَأَتْ فِي بَيْتِهَا رُمْحًا مَوْضُوعًا (lalu ia melihat ada tombak yang diletakkan di rumahnya) menunjukkan bahwa pengamatan terhadap lingkungan sekitar bisa memunculkan rasa ingin tahu. Dalam Islam, pengamatan terhadap sesuatu yang tampak tidak biasa tidaklah dilarang, bahkan bisa menjadi sarana belajar. Sikap perhatian terhadap hal-hal kecil di sekitar kita menunjukkan ketajaman pikiran dan kesiapan untuk mencari ilmu. Allah juga memuji orang yang memperhatikan ciptaan-Nya:
يَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
(Artinya: mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi) – QS. Ali ‘Imran: 191


3. Adab Bertanya kepada Orang yang Lebih Mulia

Perkataan فَقَالَتْ: يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ، مَا تَصْنَعِينَ بِهَذَا؟ (maka ia berkata: Wahai Ummul Mukminin, apa yang engkau lakukan dengan ini?) menggambarkan cara bertanya yang sopan dan penuh hormat. Ia memanggil Aisyah dengan sebutan “Ummul Mukminin” sebelum bertanya. Ini mengajarkan bahwa ketika bertanya kepada orang yang lebih tua atau lebih berilmu, kita perlu menjaga adab dan tidak langsung memotong atau menyela. Rasulullah ﷺ juga mengajarkan pentingnya adab sebelum ilmu:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يُوَقِّرْ كَبِيرَنَا
(Artinya: Bukan dari golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua di antara kami) – HR. Abu Dawud (4943)


4. Menjelaskan Amal Perbuatan Berdasarkan Ilmu

Perkataan قَالَتْ: نَقْتُلُ بِهِ هذِهِ الْأَوْزَاغَ (ia menjawab: Kami membunuh cicak dengan ini) menunjukkan bahwa Aisyah menjelaskan amalannya berdasarkan ilmu dan tujuan syar’i. Ia tidak hanya menyampaikan bahwa tombak itu ada, tetapi menjelaskan fungsinya secara spesifik. Ini mengajarkan bahwa seorang Muslim harus bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya secara jelas, terutama bila perbuatannya itu berkaitan dengan hukum agama. Tindakan harus berdasarkan ilmu, bukan sekadar ikut-ikutan.


5. Pentingnya Menyandarkan Amalan pada Hadits

Perkataan فَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَنَا (karena Nabi Allah ﷺ telah memberitahu kami) memperjelas bahwa amalan yang dilakukan haruslah merujuk pada sabda Rasulullah ﷺ. Dalam Islam, sumber hukum itu tidak hanya Al-Qur’an, tetapi juga hadits yang shahih. Menyandarkan amalan pada perkataan Nabi ﷺ menunjukkan sikap ittiba’ (mengikuti) yang merupakan ciri khas orang beriman. Allah berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ
(Artinya: Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah) – QS. Al-Hasyr: 7


6. Menjadikan Kisah Para Nabi Sebagai Rujukan Hikmah

Perkataan أَنَّ إِبْرَاهِيمَ لَمَّا أُلْقِيَ فِي النَّارِ (bahwa Ibrahim ketika dilemparkan ke dalam api) mengingatkan kita bahwa sejarah para nabi bukan sekadar cerita, tapi sumber hikmah. Aisyah menggunakan kisah Nabi Ibrahim sebagai dasar penjelasan terhadap tindakan yang dilakukan. Ini menunjukkan pentingnya mempelajari kisah para nabi dan mengambil pelajaran hukum dan moral darinya.


7. Menghargai Kebaikan Semua Makhluk Allah

Perkataan لَمْ تَكُنْ فِي الْأَرْضِ دَابَّةٌ إِلَّا أَطْفَأَتْ النَّارَ (tidak ada satu hewan pun di bumi kecuali berusaha memadamkan api) menunjukkan bahwa dalam peristiwa besar seperti ujian kepada Nabi Ibrahim, seluruh makhluk ikut serta membantu kebenaran. Ini pelajaran bahwa semua makhluk Allah punya fitrah yang cenderung kepada kebaikan. Kita sebagai manusia semestinya lebih berperan aktif dalam membela kebenaran dan menolak kezaliman.


8. Menolak Kezaliman dan Tidak Netral Terhadap Kemungkaran

Perkataan غَيْرَ الْوَزَغِ، فَإِنَّهَا كَانَتْ تَنْفُخُ عَلَيْهِ (kecuali cicak, karena ia meniupkan api ke arah Nabi Ibrahim) menjelaskan bahwa ada makhluk yang justru membantu kebatilan. Cicak menjadi lambang makhluk yang berpihak kepada keburukan. Ini pelajaran bahwa tidak cukup hanya tidak melakukan kezaliman, tapi juga harus tidak mendukungnya. Bersikap netral terhadap kebatilan bisa berarti turut bersalah. Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ
(Artinya: Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya) – HR. Muslim (49)


9. Kewajiban Menjauhi dan Menghilangkan Bahaya

Perkataan فَأَمَرَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَتْلِهِ (maka Rasulullah ﷺ memerintahkan untuk membunuhnya) menunjukkan bahwa Nabi ﷺ memerintahkan untuk membunuh cicak karena ia termasuk hewan yang membahayakan dan berpihak pada kebatilan. Dalam Islam, menghilangkan bahaya adalah prinsip penting dalam syariat. Ini juga menjadi pelajaran bahwa perintah membunuh cicak bukan karena kebencian buta, tapi karena alasan yang jelas dan syar’i.


10. Kepemimpinan di Rumah Harus Tegas dalam Mengamalkan Sunnah

Dari keseluruhan konteks hadits, kita belajar bahwa rumah Aisyah bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga pusat pengamalan sunnah. Ini menunjukkan bahwa pemimpin rumah tangga—baik suami maupun istri—harus aktif menerapkan ajaran Islam di rumah. Sunnah Nabi ﷺ harus dihidupkan dalam lingkungan keluarga, bahkan dalam hal kecil seperti urusan membunuh cicak. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
(Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka) – QS. At-Tahrim: 6


11. Pentingnya Alat dan Sarana untuk Melaksanakan Kebaikan

Tombak yang ada di rumah Aisyah menunjukkan bahwa perlengkapan untuk menjalankan sunnah harus disiapkan. Artinya, jika kita ingin mengamalkan ajaran Islam, maka kita perlu memiliki sarana yang mendukung. Dalam konteks sekarang, bisa berupa buku agama, aplikasi Quran, atau alat pembelajaran lainnya. Islam tidak hanya menuntut niat baik, tetapi juga kesiapan alat untuk melaksanakannya.


12. Menghidupkan Sunnah Kecil sebagai Bentuk Ketaatan Besar

Hadits ini menunjukkan bahwa membunuh cicak—sebuah perintah yang terlihat kecil—tetap dianggap penting oleh Aisyah dan para sahabat. Ini mengajarkan bahwa sunnah kecil tidak boleh diremehkan. Menghidupkan sunnah dalam bentuk apa pun adalah bentuk cinta kepada Nabi ﷺ. Rasulullah ﷺ bersabda:
فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
(Artinya: Barang siapa membenci sunnahku, maka ia bukan dari golonganku) – HR. Bukhari (5063)


Kesimpulan:
Secara keseluruhan, hadits ini mengajarkan pentingnya menyandarkan amalan pada dalil, menjaga adab saat bertanya, tanggap terhadap lingkungan sekitar, dan tidak netral terhadap kebatilan. Ia juga menekankan perlunya kepemimpinan rumah tangga yang menghidupkan sunnah, bahkan dalam hal-hal kecil. Mengamalkan sunnah bukan hanya bentuk ketaatan, tapi juga upaya menjaga warisan Rasulullah ﷺ dalam kehidupan sehari-hari.


Penutup Kajian


Alhamdulillāh, setelah bersama-sama kita menyimak hadits yang agung ini, kita memahami bahwa Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, tetapi juga dengan seluruh makhluk ciptaan Allah, termasuk hewan-hewan kecil yang mungkin selama ini kita anggap remeh. Hadits tentang perintah membunuh al-wazagh (tokek) ini memberi pelajaran penting bahwa Islam sangat peduli terhadap keselamatan dan kemaslahatan manusia. Rasulullah ﷺ tidak hanya memerintahkan, tapi juga menjelaskan sebab di balik perintah itu, yakni karena hewan tersebut terbukti mendukung keburukan dengan meniup api yang membakar Nabi Ibrahim ‘alayhissalām.

Dari hadits ini kita belajar untuk tidak meremehkan bahaya yang kecil, karena sesuatu yang tampaknya sepele bisa jadi memiliki dampak besar, baik secara fisik maupun spiritual. Kita juga belajar untuk tunduk pada perintah Nabi ﷺ, karena beliau tidak pernah menyuruh atau melarang sesuatu kecuali berdasarkan wahyu dan hikmah yang dalam.

Harapan kita, setelah kajian ini, setiap dari kita bisa lebih bijak dan berhati-hati dalam berinteraksi dengan hewan dan lingkungan sekitar. Jika ada hewan yang berbahaya seperti tokek yang mengganggu rumah atau tempat tinggal kita, maka membunuhnya bukan hanya boleh, tetapi menjadi bagian dari mengamalkan sunnah. Namun tentu tetap dengan adab, tidak menyiksa, dan tidak bermain-main dalam membunuhnya. Dan lebih dari itu, semoga hadits ini juga menanamkan dalam hati kita semangat untuk membela kebenaran, serta menjauhi segala bentuk dukungan terhadap kebatilan, sekecil apapun bentuknya.

Semoga kajian ini menambah iman, memperkuat akhlak, dan membimbing amal kita dalam kehidupan sehari-hari. Mari kita jaga sunnah Rasulullah ﷺ dalam segala aspek kehidupan, bahkan yang tampaknya sederhana sekalipun.

Kita tutup dengan doa kafaratul majelis: 

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

وَصَلَّى اللَّهُ عَلَىٰ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَىٰ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Tampilkan Kajian Menurut Kata Kunci