Hadits: Setan Berjalan di Aliran Darah Manusia

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah mempertemukan kita kembali di majelis ilmu yang insyaallah diberkahi ini. Salawat serta salam senantiasa tercurah kepada junjungan kita, Nabi Besar Muhammad ﷺ, keluarga, para sahabat, dan seluruh pengikutnya hingga akhir zaman.

Bapak-bapak, Ibu-ibu, hadirin sekalian yang dirahmati Allah,

Pernahkah kita merasakan atau melihat bagaimana sebuah prasangka buruk bisa merusak hubungan? Bagaimana fitnah bisa menyebar begitu cepat hanya karena kesalahpahaman kecil? Atau bagaimana seseorang bisa kehilangan kepercayaan dan martabatnya hanya karena dugaan-dugaan yang tidak berdasar? Di era digital seperti sekarang ini, berita cepat menyebar, dan terkadang, yang menyebar bukanlah kebenaran, melainkan kabar burung atau bahkan tuduhan tanpa bukti. Kita sering melihat di media sosial, atau bahkan dalam lingkungan terdekat kita, bagaimana satu postingan, satu kalimat, atau satu pandangan yang keliru bisa memicu konflik besar, merusak nama baik seseorang, atau bahkan menciptakan permusuhan.

Inilah mengapa hadits yang akan kita kaji malam ini menjadi sangat relevan dan urgensinya begitu besar untuk kita pahami bersama. Hadits yang diriwayatkan oleh istri Nabi, Shafiyah binti Huyayy, ini bukan sekadar cerita lama, melainkan sebuah pedoman hidup yang mengajarkan kita tentang kepekaan sosial, menjaga kehormatan diri, dan pentingnya meluruskan kesalahpahaman sebelum setan sempat menanamkan bisikan-bisikan jahat di hati manusia.

Dalam hadits ini, kita akan melihat bagaimana Nabi Muhammad ﷺ, sosok yang paling mulia dan sempurna, memberikan teladan luar biasa dalam menghadapi potensi fitnah. Beliau tidak diam saja ketika ada kesempatan munculnya prasangka. Justru beliau proaktif menjelaskan kebenaran demi menjaga hati para sahabatnya dari keraguan. Ini menunjukkan bahwa menjaga hati sesama dari prasangka buruk adalah bagian dari ibadah, dan meluruskan informasi adalah tanggung jawab kita.

Semoga dengan memahami hadits ini, kita semua bisa menjadi pribadi yang lebih bijak, lebih berhati-hati dalam bertindak dan berbicara, serta lebih tanggap dalam menyikapi potensi kesalahpahaman di masyarakat. Mari kita simak bersama kajian ini dengan hati yang terbuka, semoga Allah memberkahi langkah-langkah kita dalam menuntut ilmu.

Mari kita mulai dengan membaca Basmalah. 


Dari Dari Shafiyyah binti Huyay radhiyallahu 'anha dia berkata:

كانَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ مُعْتَكِفًا فأتَيْتُهُ أزُورُهُ لَيْلًا، فَحَدَّثْتُهُ ثُمَّ قُمْتُ فَانْقَلَبْتُ، فَقَامَ مَعِي لِيَقْلِبَنِي، وكانَ مَسْكَنُهَا في دَارِ أُسَامَةَ بنِ زَيْدٍ، فَمَرَّ رَجُلَانِ مِنَ الأنْصَارِ، فَلَمَّا رَأَيَا النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ أسْرَعَا، فَقالَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: علَى رِسْلِكُما إنَّهَا صَفِيَّةُ بنْتُ حُيَيٍّ فَقالَا سُبْحَانَ اللَّهِ يا رَسولَ اللَّهِ قالَ: إنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنَ الإنْسَانِ مَجْرَى الدَّمِ، وإنِّي خَشِيتُ أنْ يَقْذِفَ في قُلُوبِكُما سُوءًا، أوْ قالَ: شيئًا

Adalah Rasulullah sedang beri'tikaf, lalu aku mendatanginya di malam hari untuk mengunjunginya, kemudian aku berbicara dengannya, lalu aku berdiri dan pergi. Maka beliau berdiri bersamaku untuk mengantarku pulang. Tempat tinggalnya berada di rumah Usamah bin Zaid. Kemudian lewatlah dua orang dari kalangan Anshar. Ketika mereka melihat Nabi , mereka bergegas pergi. Maka Nabi berkata: "Pelan-pelanlah kalian, ini adalah Shafiyyah binti Huyay." Keduanya berkata: "Subhanallah, wahai Rasulullah!" Nabi bersabda: "Sesungguhnya setan mengalir dalam diri manusia seperti aliran darah, dan aku khawatir dia akan memasukkan keburukan ke dalam hati kalian, atau beliau berkata: sesuatu (yang buruk)."

 

HR Al-Bukhari (3281)



Arti dan Penjelasan Per Perkataan



كانَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ مُعْتَكِفًا

Adalah Rasulullah sedang beri'tikaf.

Perkataan ini mengawali narasi dengan menginformasikan keadaan Nabi Muhammad saat kejadian ini berlangsung, yaitu sedang beri'tikaf. I'tikaf adalah suatu ibadah dengan berdiam diri di masjid dengan niat khusus untuk beribadah kepada Allah SWT, biasanya dilakukan pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan untuk mencari Lailatul Qadar. Kondisi ini menunjukkan bahwa Nabi berada dalam keadaan fokus beribadah dan menjauhkan diri dari urusan duniawi yang tidak penting. Penyebutan kondisi i'tikaf ini penting untuk memberikan konteks bahwa bahkan dalam keadaan ibadah pun, Nabi tetap memperhatikan potensi kesalahpahaman dan pentingnya menjaga reputasi.


فأتَيْتُهُ أزُورُهُ لَيْلًا

Maka aku datang menjenguk beliau pada malam hari.

Perkataan ini menunjukkan bahwa yang datang menjenguk Nabi adalah istri beliau, Shafiyah binti Huyayy, yang merupakan penutur hadits ini. Waktu kunjungan di malam hari juga penting, karena bisa memicu dugaan yang tidak benar jika dilihat oleh orang lain. Kunjungan ini menunjukkan kedekatan hubungan antara Nabi dan istrinya, serta perhatian istri terhadap keadaan suaminya yang sedang beri'tikaf.


فَحَدَّثْتُهُ ثُمَّ قُمْتُ فَانْقَلَبْتُ

Lalu aku berbincang-bincang dengan beliau, kemudian aku berdiri dan berbalik (pulang).

Perkataan ini menjelaskan interaksi singkat antara Nabi dan istrinya, yaitu berbincang-bincang. Setelah selesai, sang istri pun berpamitan untuk pulang. Ini menunjukkan bahwa kunjungan tersebut berlangsung tidak lama dan fokus pada tujuan menjenguk.


فَقَامَ مَعِي لِيَقْلِبَنِي

Maka beliau berdiri bersamaku untuk mengantarku pulang.

Perkataan ini menunjukkan kemuliaan akhlak Nabi Muhammad . Meskipun beliau sedang beri'tikaf dan dalam keadaan ibadah, beliau tetap menunjukkan perhatian dan adab yang baik dengan mengantar istrinya pulang. Tindakan ini juga untuk memastikan keamanan istrinya di malam hari. Ini adalah contoh nyata bagaimana Nabi selalu memperhatikan hak dan kebutuhan orang di sekitarnya, bahkan dalam keadaan sibuk beribadah.


وكانَ مَسْكَنُهَا في دَارِ أُسَامَةَ بنِ زَيْدٍ

Dan tempat tinggalnya (Shafiyah) di rumah Usamah bin Zaid.

Perkataan ini memberikan detail lokasi tempat tinggal Shafiyah. Penyebutan lokasi ini penting karena menunjukkan bahwa rumah Usamah bin Zaid mungkin tidak terlalu jauh dari masjid, namun tetap membutuhkan pengantaran di malam hari. Detail ini juga bisa menjadi petunjuk bahwa rute yang dilalui Nabi dan Shafiyah mungkin terlihat oleh orang lain.


فَمَرَّ رَجُلَانِ مِنَ الأنْصَارِ

Lalu lewatlah dua orang laki-laki dari Anshar.

Perkataan ini menjadi titik krusial dalam hadits ini. Lewatnya dua orang laki-laki dari kaum Anshar secara kebetulan saat Nabi mengantar istrinya menjadi pemicu peristiwa selanjutnya. Kehadiran mereka di waktu dan tempat yang sama ini lah yang berpotensi menimbulkan kesalahpahaman.


فَلَمَّا رَأَيَا النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ أسْرَعَا

Ketika keduanya melihat Nabi , mereka mempercepat langkahnya.

Perkataan ini menggambarkan reaksi alami kedua orang Anshar tersebut. Mereka mungkin merasa sungkan atau tidak enak jika harus berpapasan dengan Nabi yang sedang bersama seorang wanita di malam hari. Percepatan langkah ini menunjukkan keinginan mereka untuk tidak mengganggu atau menghindari situasi yang canggung, namun tindakan ini justru menarik perhatian Nabi.


 

فَقالَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: علَى رِسْلِكُما

Maka Nabi bersabda: "Tenanglah kalian berdua!"

Perkataan ini menunjukkan kewaspadaan dan kebijaksanaan Nabi Muhammad . Beliau menyadari bahwa percepatan langkah kedua orang Anshar itu bisa jadi karena mereka menyangka beliau sedang bersama wanita lain yang bukan istrinya, sehingga timbul pikiran buruk. Maka Nabi pun segera menghentikan mereka agar tidak ada kesalahpahaman yang berlanjut.


إنَّهَا صَفِيَّةُ بنْتُ حُيَيٍّ

Sesungguhnya dia adalah Shafiyah binti Huyayy.

Perkataan ini adalah penjelasan langsung dan tegas dari Nabi Muhammad . Beliau segera memperkenalkan wanita yang bersamanya, yaitu istrinya sendiri, Shafiyah binti Huyayy. Penyebutan nama lengkap dan status sebagai istri ini bertujuan untuk menghilangkan segala keraguan dan prasangka buruk yang mungkin muncul di benak kedua orang Anshar tersebut. Ini adalah tindakan proaktif untuk menjaga kemuliaan diri dan mencegah fitnah.


فَقالَا سُبْحَانَ اللَّهِ يا رَسولَ اللَّهِ

Maka keduanya berkata: "Maha Suci Allah, wahai Rasulullah!"

Perkataan ini menunjukkan keterkejutan dan penyesalan kedua orang Anshar tersebut. Ucapan "Subhanallah" adalah ekspresi takjub dan pengagungan kepada Allah, sekaligus menunjukkan bahwa mereka tidak pernah menyangka hal seperti itu akan terjadi pada Nabi. Mereka merasa malu karena sempat muncul prasangka di hati mereka, meskipun hanya sesaat.


قالَ: إنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنَ الإنْسَانِ مَجْرَى الدَّمِ

Beliau bersabda: "Sesungguhnya setan itu mengalir dalam diri manusia sebagaimana aliran darah."

Perkataan ini adalah prinsip umum yang disampaikan Nabi Muhammad tentang hakikat setan. Setan memiliki kemampuan untuk membisikkan kejahatan dan keraguan ke dalam hati manusia dengan sangat halus, seolah-olah mengalir dalam darah yang tak terlihat. Pernyataan ini menjelaskan mengapa Nabi perlu menjelaskan situasinya, yaitu karena setan bisa dengan mudah menanamkan prasangka buruk meskipun kepada orang-orang baik seperti para sahabat. Ini adalah peringatan bahwa godaan setan bisa datang kapan saja dan kepada siapa saja.


وإنِّي خَشِيتُ أنْ يَقْذِفَ في قُلُوبِكُما سُوءًا، أوْ قالَ: شيئًا

Dan aku khawatir setan itu akan melemparkan keburukan ke dalam hati kalian berdua, atau beliau berkata: "Sesuatu."

Perkataan ini adalah inti dari tindakan preventif Nabi Muhammad . Beliau tidak ingin kedua sahabatnya terjebak dalam prasangka buruk (suu'udzdzon) terhadap beliau. Nabi khawatir setan akan memanfaatkan situasi ini untuk menanamkan keraguan atau pikiran negatif di hati mereka, yang dapat merusak iman dan hubungan mereka. Hal ini menunjukkan betapa Nabi sangat menjaga kemurnian hati para sahabatnya dan pentingnya membersihkan diri dari segala tuduhan atau kecurigaan, bahkan jika itu tidak beralasan sekalipun. Ini adalah pelajaran tentang pentingnya menjaga nama baik dan menjelaskan kebenaran agar tidak ada ruang bagi fitnah dan keraguan.

 


Syarah Hadits


الشَّيْطَانُ مُنْذُ الأَزَلِ عَدُوٌّ لِلإِنْسَانِ
Setan sejak zaman dahulu adalah musuh bagi manusia

يَفْعَلُ فِيهِ بِالْوَسَاوِسِ مَا يَجْعَلُهُ يَتَّهِمُ الآخَرِينَ دُونَ بَيِّنَةٍ
Ia membuat manusia dengan bisikan-bisikan sehingga menjadikannya menuduh orang lain tanpa bukti

وَلِذَلِكَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحَذِّرُ أَصْحَابَهُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ مِنْ وَسَاوِسِ الشَّيْطَانِ
Oleh karena itu, Nabi memperingatkan para sahabatnya radhiyallahu 'anhum dari bisikan-bisikan setan


وَفِي هَذَا الحَدِيثِ
Dan dalam hadis ini

تَرْوِي أُمُّ الْمُؤْمِنِينَ صَفِيَّةُ بِنْتُ حُيَيٍّ زَوْجُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Diriwayatkan oleh Ummul Mukminin Shafiyyah binti Huyay, istri Nabi

أَنَّهَا جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزُورُهُ
Bahwa ia datang kepada Rasulullah untuk menziarahinya

وَهُوَ مُعْتَكِفٌ فِي الْمَسْجِدِ فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
Ketika beliau sedang beri’tikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir Ramadan

وَبَعْدَ أَنْ زَارَتْهُ، قَامَتْ لِتَنْقَلِبَ
Dan setelah ia menziarahinya, ia berdiri untuk kembali

أَيْ: تَرْجِعَ إِلَى مَنْزِلِهَا
Yaitu: kembali ke rumahnya

فَقَامَ مَعَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Lalu Nabi berdiri bersamanya

فَلَمَّا بَلَغَا قَرِيبًا مِنْ بَابِ الْمَسْجِدِ عِنْدَ بَابِ زَوْجَتِهِ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا
Ketika mereka sampai dekat pintu masjid di dekat pintu istrinya Ummu Salamah radhiyallahu 'anha

مَرَّ بِهِمَا رَجُلَانِ مِنَ الأَنْصَارِ
Dua orang lelaki dari kalangan Anshar lewat di dekat mereka

- قِيلَ: هُمَا أُسَيْدُ بْنُ حُضَيْرٍ وَعَبَّادُ بْنُ بِشْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا -
Dikatakan: Mereka adalah Usayd bin Hudhayr dan ‘Abbad bin Bishr radhiyallahu 'anhuma

فَسَلَّمَا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Mereka memberi salam kepada Nabi

ثُمَّ نَفَذَا
Kemudian mereka pergi

أَيْ: أَسْرَعَا فِي السَّيْرِ
Yaitu: mereka mempercepat langkah

وَذَلِكَ احْتِرَامًا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dan itu adalah bentuk penghormatan kepada Nabi

لِوُقُوفِهِ مَعَ إِحْدَى النِّسَاءِ
Karena beliau berdiri bersama seorang wanita

وَظَاهِرُهُ أَنَّهُ قَدْ خَفِيَا عَلَيْهِمَا أَنَّهَا إِحْدَى زَوْجَاتِهِ
Tampaknya mereka tidak mengetahui bahwa ia adalah salah satu istrinya

فَقَالَ لَهُمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: عَلَى رِسْلِكُمَا
Maka Nabi berkata kepada mereka: "Pelan-pelanlah kalian"

أَيْ: تَمَهَّلَا وَلَا تَتَعَجَّلَا
Yaitu: Janganlah terburu-buru dan bergegas

فَلَيْسَ شَيْءٌ تَكْرَهَانِهِ
Tidak ada sesuatu yang kalian benci

وَلِيُخْبِرَهُمَا أَنَّهَا صَفِيَّةُ امْرَأَتُهُ
Dan untuk memberi tahu mereka bahwa ini adalah Shafiyyah, istrinya

فَقَالَا: سُبْحَانَ اللَّهِ!
Mereka berkata: "Subhanallah!"

أَيْ: تَنَزَّهَ اللَّهُ عَنْ أَنْ يَكُونَ رَسُولُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَّهَمًا بِمَا لَا يَنْبَغِي
Yaitu: Mahasuci Allah dari anggapan bahwa Rasul-Nya dituduh sesuatu yang tidak pantas

أَوْ كِنَايَةً عَنْ التَّعَجُّبِ مِنْ هَذَا الْقَوْلِ
Atau sebagai ungkapan takjub terhadap ucapan itu

وَكَبُرَ عَلَيْهِمَا ذَلِكَ
Hal itu terasa berat bagi mereka

وَشَقَّ عَلَيْهِمَا مَا قَالَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dan terasa sulit bagi mereka atas apa yang beliau katakan

وَاسْتَعْظَمَا أَنْ يَظُنَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُمَا قَدْ ظَنَّا بِهِ سُوءًا
Dan mereka menganggap besar jika Nabi mengira bahwa mereka telah berprasangka buruk terhadapnya

فَأَخْبَرَهُمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَزَالُ يُوَسْوِسُ لِلإِنْسَانِ
Lalu Nabi memberitahukan kepada mereka bahwa setan senantiasa membisikkan sesuatu kepada manusia

وَهُوَ يَجْرِي مِنْهُ مَجْرَى الدَّمِ فِي الْعُرُوقِ
Dan ia mengalir dalam diri manusia seperti aliran darah di pembuluh darah

وَأَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَشِيَ أَنْ يُوَسْوِسَ لَهُمَا الشَّيْطَانُ
Dan sesungguhnya beliau khawatir bahwa setan membisikkan sesuatu kepada mereka

فَيُلْقِي فِي قُلُوبِهِمَا ظَنًّا سَيِّئًا بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Lalu memasukkan ke dalam hati mereka prasangka buruk terhadap Nabi

وَقَدْ يُفْضِي بِهِمَا ذَلِكَ إِلَى الْهَلَاكِ
Dan hal itu bisa saja membawa mereka kepada kebinasaan

فَبَادَرَ إِلَى إِعْلَامِهِمَا
Maka beliau segera menjelaskan kepada mereka

تَعْلِيمًا لِمَنْ بَعْدَهُمَا إِذَا وَقَعَ لَهُ مِثْلُ ذَلِكَ
Sebagai pelajaran bagi orang setelah mereka jika mengalami hal serupa


وَفِي الْحَدِيثِ: مَشْرُوعِيَّةُ زِيَارَةِ الْمُعْتَكِفِ فِي مَكَانِ اعْتِكَافِهِ
Dan dalam hadis ini terdapat anjuran untuk menziarahi orang yang sedang beri’tikaf di tempat i’tikafnya

وَفِيهِ: قَطْعُ مَا يُؤَدِّي إِلَى الظَّنِّ السَّيِّئِ
Dan di dalamnya terdapat anjuran untuk mencegah hal yang dapat menyebabkan prasangka buruk

بِإِظْهَارِ الْحَقِيقَةِ لِلنَّاسِ فِي الْوَقْتِ الْمُنَاسِبِ
Dengan menjelaskan kebenaran kepada manusia pada waktu yang tepat

 

Maraji: https://dorar.net/hadith/sharh/16161


Pelajaran dari Hadits ini


Hadits ini menyimpan banyak pelajaran penting yang bisa kita ambil, baik dari segi akhlak maupun hukum. Berikut beberapa pelajaran utamanya:

1. Menjaga Diri dari Kesalahpahaman

"كانَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ مُعْتَكِفًا" (Adalah Rasulullah ﷺ sedang beri'tikaf). 

Pelajaran dari potongan hadits ini adalah bahwa Nabi Muhammad ﷺ, meskipun sedang dalam keadaan ibadah yang sangat mulia yaitu i'tikaf, tetap menyadari dan peka terhadap potensi kesalahpahaman.

Beliau tahu bahwa tindakan beliau bisa saja disalahartikan oleh orang lain. Ini mengajarkan kita untuk selalu mawas diri dan menjaga perilaku agar tidak menimbulkan prasangka buruk, bahkan ketika kita sedang melakukan kebaikan. 

Kita perlu sadar bahwa pandangan orang lain terhadap kita itu penting, terutama dalam menjaga kehormatan diri dan agama. 

Dalam Al-Qur'an Allah berfirman: قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا (QS. At-Talaq: 3) (Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu). Ayat ini mengingatkan kita bahwa segala sesuatu memiliki batasan dan aturan, termasuk dalam berinteraksi agar tidak menimbulkan fitnah.


2. Perhatian Terhadap Keluarga

"فأتَيْتُهُ أزُورُهُ لَيْلًا، فَحَدَّثْتُهُ ثُمَّ قُمْتُ فَانْقَلَبْتُ، فَقَامَ مَعِي لِيَقْلِبَنِي، وكانَ مَسْكَنُهَا في دَارِ أُسَامَةَ بنِ زَيْدٍ" (Maka aku datang menjenguk beliau pada malam hari, lalu aku berbincang-bincang dengan beliau, kemudian aku berdiri dan berbalik (pulang), maka beliau berdiri bersamaku untuk mengantarku pulang, dan tempat tinggalnya (Shafiyah) di rumah Usamah bin Zaid). 

Pelajaran dari perkataan ini adalah bahwa Nabi Muhammad ﷺ sangat perhatian dan berakhlak mulia terhadap istrinya, bahkan saat beliau sedang beri'tikaf. 

Beliau menyempatkan diri untuk mengantar istrinya pulang meskipun sudah malam. Ini menunjukkan pentingnya menghormati dan menjaga keluarga, serta memenuhi hak-hak mereka. 

Mengantar istri pulang, apalagi di malam hari, adalah bentuk perlindungan dan kasih sayang. Hal ini sejalan dengan sabda Nabi Muhammad ﷺ: خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي (HR. Tirmidzi) (Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik bagi keluarganya, dan aku adalah yang terbaik bagi keluargaku).


3. Menghilangkan Prasangka Buruk dengan Segera

"فَمَرَّ رَجُلَانِ مِنَ الأنْصَارِ، فَلَمَّا رَأَيَا النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ أسْرَعَا، فَقالَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: علَى رِسْلِكُما إنَّهَا صَفِيَّةُ بنْتُ حُيَيٍّ فَقالَا سُبْحَانَ اللَّهِ يا رَسولَ اللَّهِ" (Lalu lewatlah dua orang laki-laki dari Anshar, ketika keduanya melihat Nabi ﷺ, mereka mempercepat langkahnya, maka Nabi ﷺ bersabda: "Tenanglah kalian berdua! Sesungguhnya dia adalah Shafiyah binti Huyayy", maka keduanya berkata: "Maha Suci Allah, wahai Rasulullah!"). 

Pelajaran dari potongan hadits ini adalah pentingnya untuk segera menjelaskan kebenaran ketika ada potensi kesalahpahaman atau prasangka buruk. 

Nabi Muhammad ﷺ tidak membiarkan kedua sahabat Anshar itu terus-menerus dalam kebingungan atau dugaan yang tidak benar. 

Beliau langsung menghentikan mereka dan menjelaskan siapa wanita yang bersamanya. Ini mengajarkan kita untuk tidak menunda dalam meluruskan informasi yang salah demi menjaga nama baik dan mencegah fitnah. Allah berfirman: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ (QS. Al-Hujurat: 12) (Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa).


4. Setan Selalu Mengintai

"قالَ: إنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنَ الإنْسَانِ مَجْرَى الدَّمِ، وإنِّي خَشِيتُ أنْ يَقْذِفَ في قُلُوبِكُما سُوءًا، أوْ قالَ: شيئًا" (Beliau bersabda: "Sesungguhnya setan itu mengalir dalam diri manusia sebagaimana aliran darah, dan aku khawatir setan itu akan melemparkan keburukan ke dalam hati kalian berdua, atau beliau berkata: "Sesuatu"). 

Pelajaran dari potongan hadits ini adalah pengingat dari Nabi Muhammad ﷺ bahwa setan itu sangat licik dan senantiasa berusaha menyesatkan manusia, bahkan sampai menanamkan pikiran buruk atau prasangka di dalam hati. 

Setan dapat bergerak sangat cepat dan halus dalam membisikkan keraguan. Oleh karena itu, kita harus selalu waspada terhadap bisikan setan dan tidak mudah berprasangka buruk kepada orang lain, apalagi kepada orang saleh. 

Nabi khawatir kedua sahabatnya akan terpeleset dalam dosa karena prasangka ini. Allah SWT berfirman: إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ (QS. Fatir: 6) (Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala).


5. Pentingnya Menjaga Reputasi dan Kehormatan Diri

Pelajaran dari hadits ini adalah bahwa menjaga reputasi dan kehormatan diri adalah hal yang sangat penting dalam Islam. 

Nabi Muhammad ﷺ sendiri, yang merupakan sosok paling mulia, tetap berhati-hati agar tidak ada celaan atau prasangka yang menimpanya. Beliau tidak ingin ada kesalahpahaman yang dapat merusak kepercayaan atau menimbulkan fitnah. 

Ini mengajarkan kita untuk selalu berhati-hati dalam setiap tindakan dan ucapan agar tidak merusak nama baik diri sendiri maupun orang lain, terutama dalam konteks sosial dan agama. Dalam Islam, menjaga kehormatan diri (al-'irdh) adalah salah satu dari lima prinsip dasar (maqashid syariah).

6. Sikap Rendah Hati dan Tidak Merasa Paling Benar

Pelajaran dari hadits ini adalah pentingnya sikap rendah hati dan tidak merasa paling benar atau paling suci, bahkan jika kita adalah orang yang shaleh. Nabi Muhammad ﷺ, meskipun seorang Nabi dan maksum (terjaga dari dosa), tidak menganggap remeh potensi prasangka buruk dari orang lain. 

Beliau tidak berkata, "Mengapa kalian bisa berprasangka buruk kepadaku? Aku ini Nabi!" Sebaliknya, beliau menjelaskan dengan gamblang. 

Ini menunjukkan bahwa kita harus selalu bersikap rendah hati dan siap untuk menjelaskan diri jika ada kesalahpahaman, tanpa merasa bahwa kita terlalu mulia untuk dikomentari. Sikap ini mencegah kesombongan dan membangun komunikasi yang baik.

7. Kewaspadaan dalam Bertindak dan Berkata di Lingkungan Sosial

Pelajaran dari hadits ini adalah pentingnya kewaspadaan dalam bertindak dan berkata di lingkungan sosial

Meskipun Nabi dan Shafiyah tidak melakukan kesalahan apa pun, interaksi mereka di malam hari bisa saja menimbulkan dugaan. 

Ini mengajarkan kita untuk selalu mempertimbangkan bagaimana tindakan kita akan dipandang oleh orang lain. 

Terkadang, niat baik saja tidak cukup jika penampilan atau situasi bisa disalahartikan. Oleh karena itu, kita perlu peka terhadap norma-norma sosial dan berusaha untuk tidak menempatkan diri dalam situasi yang berpotensi menimbulkan fitnah atau gosip.

Secara keseluruhan, hadits ini mengajarkan kita tentang pentingnya menjaga diri dari prasangka buruk, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain, serta kewaspadaan terhadap bisikan setan. Ia juga menekankan akhlak mulia dalam memperlakukan keluarga dan pentingnya menjelaskan kebenaran untuk menghindari fitnah. Nabi Muhammad ﷺ memberikan teladan sempurna dalam menjaga kehormatan diri dan orang lain, serta selalu bersikap rendah hati.



Penutup Kajian


Alhamdulillah, kita telah sampai di penghujung kajian kita ini. Sungguh, hadits yang mulia ini telah membuka wawasan kita tentang banyak hal, bukan hanya dalam konteks ibadah, tapi juga dalam interaksi sosial kita sehari-hari.

Dari kisah Nabi Muhammad ﷺ yang mengantar istrinya Shafiyah, lalu dengan sigap meluruskan kesalahpahaman dua sahabat Anshar, kita bisa memetik faedah yang sangat mendalam. Kita belajar bahwa menjaga kehormatan diri dan orang lain itu begitu penting. Bahkan seorang Nabi pun tidak ingin ada sedikit pun celah bagi prasangka buruk. Ini mengajarkan kita untuk selalu berhati-hati dalam bertindak dan tidak menunda meluruskan informasi jika ada kesalahpahaman, terutama yang menyangkut nama baik.

Yang tak kalah penting, hadits ini mengingatkan kita tentang bahaya setan yang selalu mengintai, siap meniupkan keraguan dan prasangka buruk ke dalam hati kita. Maka, marilah kita senantiasa waspada, jangan mudah berprasangka kepada orang lain, apalagi hanya berdasarkan dugaan. Biasakanlah untuk tabayyun (memastikan kebenaran) informasi sebelum mempercayai atau menyebarkannya.

Harapan saya, setelah mengkaji hadits ini, kita semua bisa menerapkan pelajaran-pelajaran berharga ini dalam kehidupan sehari-hari. Mulailah dari lingkungan terdekat kita: keluarga, tetangga, hingga di media sosial. Mari kita jadikan diri kita pribadi yang peka terhadap perasaan orang lain, mudah menjelaskan kebenaran, dan tidak gampang menghakimi. Dengan begitu, insyaallah, kita bisa membangun masyarakat yang lebih harmonis, penuh kasih sayang, dan terhindar dari fitnah serta permusuhan yang diakibatkan oleh kesalahpahaman.

Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita semua untuk mengamalkan ilmu yang telah kita dapatkan. Mohon maaf atas segala kekurangan.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.


Latihan membaca dan menerjemahkan syarah hadits tanpa harakat


الشيطان منذ الأزل عدو للإنسان، يفعل فيه بالوساوس ما يجعله يتهم الآخرين دون بينة، ولذلك كان النبي صلى الله عليه وسلم يحذر أصحابه رضي الله عنهم من وساوس الشيطان.

وفي هذا الحديث تروي أم المؤمنين صفية بنت حيي زوج النبي صلى الله عليه وسلم أنها جاءت إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم تزوره وهو معتكف في المسجد في العشر الأواخر من رمضان، وبعد أن زارته، قامت لتنقلب، أي: ترجع إلى منزلها، فقام معها النبي صلى الله عليه وسلم، فلما بلغا قريبا من باب المسجد عند باب زوجته أم سلمة رضي الله عنها، مر بهما رجلان من الأنصار -قيل: هما أسيد بن حضير وعباد بن بشر رضي الله عنهما- فسلما على النبي صلى الله عليه وسلم، ثم نفذا، أي: أسرعا في السير، وذلك احتراما للنبي صلى الله عليه وسلم؛ لوقوفه مع إحدى النساء، وظاهره أنه قد خفيا عليهما أنها إحدى زوجاته، فقال لهما النبي صلى الله عليه وسلم: «على رسلكما»، أي: تمهلا ولا تتعجلا، فليس شيء تكرهانه، وليخبرهما أنها صفية امرأته، فقالا: سبحان الله! أي: تنزه الله عن أن يكون رسوله صلى الله عليه وسلم متهما بما لا ينبغي، أو كناية عن التعجب من هذا القول، وكبر عليهما ذلك، وشق عليهما ما قاله صلى الله عليه وسلم، واستعظما أن يظن النبي صلى الله عليه وسلم أنهما قد ظنا به سوءا، فأخبرهما النبي صلى الله عليه وسلم أن الشيطان لا يزال يوسوس للإنسان، وهو يجري منه مجرى الدم في العروق، وأنه صلى الله عليه وسلم خشي أن يوسوس لهما الشيطان فيلقي في قلوبهما ظنا سيئا بالنبي صلى الله عليه وسلم، وقد يفضي بهما ذلك إلى الهلاك، فبادر إلى إعلامهما؛ تعليما لمن بعدهما إذا وقع له مثل ذلك.

وفي الحديث: مشروعية زيارة المعتكف في مكان اعتكافه.

وفيه: قطع ما يؤدي إلى الظن السيئ؛ بإظهار الحقيقة للناس في الوقت المناسب.

Tampilkan Kajian Menurut Kata Kunci