Hadits: Penipu Itu Bukan dari Golongan Umat Muhammad

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ. أَمَّا بَعْدُ.

Bapak, Ibu, saudara-saudari sekalian yang dirahmati Allah,

Mari kita sejenak merenung tentang kondisi masyarakat kita hari ini. Di tengah pesatnya perkembangan ekonomi dan teknologi, kita seringkali menyaksikan berbagai praktik yang mengikis nilai-nilai luhur dalam berinteraksi sesama manusia. Berita tentang penipuan, kecurangan, dan ketidakjujuran dalam berbagai lini kehidupan, baik itu dalam transaksi jual beli, pelayanan publik, hingga lingkup yang lebih kecil seperti pergaulan sehari-hari, seolah menjadi santapan yang tak asing lagi. Dampaknya, muncul rasa tidak percaya antar sesama, kerugian materi yang tak sedikit, bahkan hingga timbulnya permusuhan dan perpecahan.

Permasalahan ini bukan hanya sekadar urusan materi, namun telah menyentuh sendi-sendi akhlak dan moralitas. Mengapa ini bisa terjadi? Salah satu akar masalahnya adalah merosotnya integritas dan amanah, khususnya dalam urusan muamalah. Banyak dari kita yang mungkin sudah lupa atau bahkan tidak memahami lagi betapa krusialnya nilai kejujuran dan amanah ini dalam Islam.

Oleh karena itu, pada kesempatan yang mulia ini, kita akan mengkaji sebuah hadis yang sangat penting, yang menjadi rambu bagi kita dalam berinteraksi, khususnya dalam bidang perdagangan dan segala bentuk muamalah. Hadis ini, yang akan kita bahas tuntas, bukan sekadar cerita masa lalu, tetapi sebuah peringatan keras dan pedoman hidup dari Rasulullah ﷺ yang sangat relevan dengan tantangan zaman kita saat ini. Memahami hadis ini adalah urgensi bagi kita semua, karena ia akan membimbing kita untuk kembali kepada fitrah Islam yang mengajarkan kejujuran, keadilan, dan kasih sayang dalam setiap interaksi.

Dengan memahami hadis ini, insyaallah kita akan menemukan solusi atas berbagai problematika yang ada di masyarakat. Kita akan belajar bagaimana membangun kembali kepercayaan, menciptakan lingkungan yang harmonis, dan tentunya, meraih keberkahan dalam setiap rezeki yang kita dapatkan. Mari kita simak dengan seksama, semoga Allah memberikan pemahaman yang mendalam kepada kita semua.


أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا، فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلًا فَقَالَ: مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ؟ قَالَ أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: أَفَلَا جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَيْ يَرَاهُ النَّاسُ، مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي

Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam lewat di depan tumpukan makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, maka jari-jari beliau terasa basah. Beliau berkata: Apa ini, wahai pemilik makanan? Dia menjawab: Kena air hujan, wahai Rasulullah. Beliau berkata: Mengapa kamu tidak meletakkannya di atas makanan agar bisa dilihat oleh orang-orang? Barang siapa yang menipu, maka dia bukan dari golonganku.

(HR Muslim No. 102)


Arti dan Penjelasan Per Perkataan


أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Sesungguhnya Rasulullah ﷺ

Perkataan ini memulai narasi hadis dengan menyebutkan langsung peran utama Nabi Muhammad ﷺ sebagai subjek. 

Ini menekankan bahwa kejadian ini bukan sekadar peristiwa biasa, melainkan sebuah teladan dan ajaran langsung dari utusan Allah. 

Penyebutan "Rasulullah ﷺ" mengindikasikan otoritas dan pentingnya ajaran yang akan disampaikan melalui tindakan dan perkataan beliau.


مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ 

Melewati tumpukan makanan.

Perkataan ini menggambarkan latar tempat dan objek kejadian. 

Rasulullah ﷺ, yang dikenal aktif berinteraksi dengan masyarakat di pasar, melewati tumpukan makanan yang lazim diperdagangkan pada masanya. 

"Shubrah" (صُبْرَةِ) merujuk pada tumpukan barang curah, seperti gandum, kurma, atau biji-bijian lainnya, yang dijual tanpa ditimbang secara detail di awal, melainkan diperkirakan volumenya.


فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا، فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلًا

Maka beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, lalu jari-jarinya merasakan basah.

Tindakan Rasulullah ﷺ memasukkan tangan ke dalam tumpukan makanan menunjukkan inisiatif beliau untuk memeriksa kualitas barang dagangan secara langsung dan mendalam, bukan hanya melihat dari permukaan. 

Penemuan "basah" (بَلَلًا) oleh jari-jari beliau menjadi titik krusial dalam cerita, mengindikasikan adanya sesuatu yang tidak beres atau disembunyikan di balik tumpukan makanan tersebut. 

Ini adalah metode investigasi yang sederhana namun efektif untuk mengetahui kondisi sebenarnya dari barang yang dijual.


فَقَالَ: مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ؟

Lalu beliau bertanya: "Apa ini, wahai pemilik makanan?"

Pertanyaan ini menunjukkan cara Rasulullah ﷺ dalam menghadapi suatu masalah: langsung bertanya kepada pihak yang bertanggung jawab dengan sopan namun lugas. 

Beliau tidak langsung menuduh, melainkan mencari klarifikasi. Ini adalah pendekatan yang mendidik, memberikan kesempatan kepada pedagang untuk menjelaskan kondisinya.


قَالَ أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ اللَّهِ،

Ia terkena hujan, wahai Rasulullah.

Jawaban pedagang ini menjelaskan sebab basahnya makanan tersebut, yaitu karena terkena hujan. 

Pengakuannya secara tidak langsung membenarkan bahwa memang ada bagian yang basah. 

Namun, di balik jawaban ini tersirat adanya kelalaian atau kesengajaan dalam menyusun barang dagangan agar bagian yang basah tersebut tersembunyi.


قَالَ: أَفَلَا جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَيْ يَرَاهُ النَّاسُ،

Beliau berkata: "Mengapa tidak engkau letakkan di atas makanan agar orang-orang bisa melihatnya?"

Perkataan ini adalah teguran langsung dan solusi konkret dari Rasulullah ﷺ. 

Beliau tidak hanya menyoroti masalahnya, tetapi juga memberikan pedoman yang jelas tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh pedagang yang jujur. 

Dengan meletakkan bagian yang basah di atas, pembeli akan mengetahui kondisi sebenarnya dari barang tersebut, sehingga tidak ada kerugian atau ketidakjelasan dalam transaksi. 

Ini menegaskan prinsip transparansi dan kejujuran dalam berdagang.


 مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي

Barang siapa menipu, maka ia bukan dari golonganku.

Ini adalah puncak dari hadis ini, sebuah peringatan keras dan prinsip universal yang ditetapkan oleh Rasulullah ﷺ. 

Perkataan "bukan dari golonganku" (فليسَ مِنِّي) bukanlah berarti keluar dari Islam, melainkan menunjukkan bahwa orang yang melakukan penipuan tidak mengikuti petunjuk, akhlak, dan jalan hidup yang diajarkan oleh Nabi Muhammad ﷺ. 

Ini adalah ancaman serius bagi mereka yang melakukan kecurangan, menekankan betapa besar dosa dan bahaya penipuan dalam pandangan Islam, serta mengindikasikan bahwa perilaku tersebut sangat bertentangan dengan esensi ajaran Islam yang mengedepankan kejujuran, keadilan, dan amanah.


Syarah Hadits


الْأَمَانَةُ مِنْ مَحَاسِنِ الْأَخْلَاقِ

Amanah itu dari keutamaan-keutamaan akhlak.

وَالتَّعَامُلُ فِي التِّجَارَةِ وَالْأُمُورِ الْمَادِّيَّةِ يَسْتَلْزِمُ الْأَمَانَةَ

Dan berinteraksi dalam perdagangan dan urusan-urusan materi memerlukan amanah.

حَتَّى تَتِمَّ الْأُمُورُ وَالتَّعَامُلَاتُ بَيْنَ النَّاسِ بِلَا مُنَازَعَاتٍ

Agar urusan-urusan dan transaksi-transaksi antara manusia terlaksana tanpa perselisihan.

وَبِلَا إِثَارَةِ شُرُورٍ فِي الْمُجْتَمَعِ

Dan tanpa menimbulkan kejahatan-kejahatan dalam masyarakat.

وَعَلَى الْعَكْسِ مِنْ ذَلِكَ؛ فَإِنَّ الْغِشَّ وَالْخِدَاعَ يَجْلِبُ عَلَى الْمُجْتَمَعِ الْوَيْلَاتِ وَالْبَغْضَاءَ وَالتَّشَاحُنَ بَيْنَ النَّاسِ

Sebaliknya; sesungguhnya penipuan dan kebohongan membawa bencana, kebencian, dan permusuhan di antara manusia.

وَهَذَا الْحَدِيثُ يُوَضِّحُ أَنَّ الْغِشَّ لَيْسَ مِنَ الْإِسْلَامِ

Hadis ini menjelaskan bahwa penipuan bukan bagian dari Islam.

وَأَنَّ الْغَشَّاشَ عَلَى خَطَرٍ عَظِيمٍ

Dan bahwa penipu berada dalam bahaya yang besar.

فَيَرْوِي أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ

Abu Hurairah radhiyallahu anhu meriwayatkan.

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ

Bahwa Rasulullah melewati tumpukan makanan.

وَالصُّبْرَةُ: هِيَ الْكَوْمَةُ مِنَ الطَّعَامِ

Dan 'subrah' adalah tumpukan dari makanan.

مِثْلُ الْقَمْحِ أَوِ الشَّعِيرِ

Seperti gandum atau jelai.

يَعْرِضُهَا التَّاجِرُ لِيَبِيعَهَا

Yang dipajang oleh pedagang untuk dijual.

فَأَدْخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَهُ فِي جَوْفِهَا

Jadi Nabi memasukkan tangannya ke dalamnya.

فَوَجَدَ بَلَلًا فِي أَسْفَلِ الطَّعَامِ

Maka beliau menemukan kelembaban (basah) di bagian bawah makanan.

وَفِي رِوَايَةِ أَبِي دَاوُدَ

Dan dalam riwayat Abu Dawud.

«أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِرَجُلٍ يَبِيعُ طَعَامًا

Bahwa Rasulullah lewat di depan seorang laki-laki yang menjual makanan.

فَسَأَلَهُ: كَيْفَ تَبِيعُ؟

Maka beliau bertanya kepadanya: Bagaimana kamu menjualnya?

فَأَخْبَرَهُ، فَأُوحِيَ إِلَيْهِ: أَنْ أَدْخِلْ يَدَكَ فِيهِ

Dia memberitahunya, lalu diwahyukan kepadanya: Masukkan tanganmu ke dalamnya.

فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهِ، فَإِذَا هُوَ مَبْلُولٌ

Maka dia memasukkan tangannya ke dalamnya, dan ternyata makanan itu basah.

فَكَانَ إِدْخَالُ يَدِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِوَحْيٍ مِنَ اللَّهِ سُبْحَانَهُ

Jadi memasukkan tangan beliau adalah dengan wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.

فَسَأَلَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ؟

Maka Nabi bertanya kepadanya: Apa ini, wahai pemilik makanan?

فَأَخْبَرَهُ التَّاجِرُ أَنَّهُ قَدْ سَقَطَ عَلَيْهِ الْمَطَرُ فَبَلَّلَهُ

Pedagang itu memberitahunya bahwa hujan telah turun dan membasahi makanan tersebut.

وَهَذَا يَعْنِي أَنَّهُ جَعَلَ الْجَافَّ الصَّحِيحَ ظَاهِرًا، وَالْمَبْلُولَ الرَّدِيءَ فِي الْأَسْفَلِ

Ini berarti dia meletakkan yang kering dan baik di atas, sementara yang basah dan buruk di bawah.

فَقَبِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عُذْرَهُ

Maka Nabi menerima alasannya.

وَنَبَّهَهُ إِلَى مَا يَنْبَغِي أَنْ يَعْمَلَهُ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ

Dan beliau menegurnya tentang apa yang seharusnya dia lakukan dalam keadaan ini.

فَقَالَ: أَفَلَا جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ

Beliau berkata: 'Mengapa tidak meletakkannya di atas makanan?'

بِأَنْ تُخْرِجَ الْحَبَّ الْمُبْتَلَّ مِنْ أَسْفَلَ إِلَى أَعْلَى

Yaitu mengeluarkan biji yang basah dari bawah ke atas.

حَتَّى يَرَاهُ النَّاسُ الْمُشْتَرُونَ

Agar orang-orang yang membeli bisa melihatnya.

وَيَكُونُوا عَلَى بَيِّنَةٍ وَيَعْلَمُوا بِحَالِهِ وَمَا فِيهِ مِنَ الْعَطَبِ

Dan agar mereka jelas dan mengetahui kondisinya serta kerusakannya.

وَقَدْ كَانُوا يَتَبَايَعُونَ بِالصُّبْرَةِ كَامِلَةً دُونَ النَّظَرِ إِلَى مَا فِيهَا

Dan mereka biasa melakukan transaksi dengan subrah secara utuh tanpa melihat isinya.

وَقَدْ عَدَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَمَلَ هَذَا التَّاجِرِ غِشًّا

Dan Nabi menganggap tindakan pedagang ini sebagai penipuan.

فَقَالَ: مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي

Beliau berkata: 'Barang siapa menipu, maka dia bukan dari golonganku.'

أَيْ: مَنْ خَدَعَ النَّاسَ بِأَيِّ صُورَةٍ فَلَيْسَ عَلَى هَدْيِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسُنَّتِهِ وَطَرِيقَتِهِ

Yaitu: Barang siapa menipu manusia dalam bentuk apapun, maka dia bukan mengikuti petunjuk, sunnah, dan cara Nabi .

وَهَذَا زَجْرٌ شَدِيدٌ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Ini adalah peringatan keras dari Nabi .

وَفِيهِ تَهْدِيدٌ لِمَنْ تَمَادَى فِي الْغِشِّ بِأَنْ يَخْرُجَ عَنْ طَرِيقَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Dan di dalamnya ada ancaman bagi mereka yang terus-menerus menipu agar keluar dari cara hidup Nabi .

وَفِي الْحَدِيثِ: الزَّجْرُ وَالنَّهْيُ عَنِ الْغِشِّ فِي كُلِّ الْأُمُورِ، وَفِي الْمُعَامَلَاتِ خَاصَّةً

Dan dalam hadis ini terdapat larangan dan peneguran terhadap penipuan dalam segala hal, khususnya dalam transaksi.

وَفِيهِ: ضَرُورَةُ تَبْيِينِ عَيْبِ السِّلْعَةِ لِلْمُشْتَرِي

Dan di dalamnya terdapat keharusan untuk menjelaskan cacat barang kepada pembeli.

وَفِيهِ: أَنَّ الْحَاكِمَ يَسْتَظْهِرُ أَحْوَالَ النَّاسِ وَيَنْصَحُ مَنْ يَحْتَاجُ لِلنَّصِيحَةِ

Dan di dalamnya ada bahwa penguasa harus memeriksa keadaan manusia dan memberi nasihat kepada yang membutuhkan.

وَفِيهِ: حِرْصُ الشَّرِيعَةِ عَلَى إِبْعَادِ كُلِّ مَا يَحْصُلُ بِهِ الضَّرَرُ لِلْمُسْلِمِ

Dan di dalamnya terdapat perhatian syariat untuk menjauhkan segala hal yang dapat menimbulkan bahaya bagi seorang Muslim.bahaya bagi seorang Muslim.

Maraji: https://dorar.net/hadith/sharh/60453


Pelajaran dari Hadits ini


1.   Amanah dalam Perdagangan: Hadits ini menegaskan pentingnya amanah dalam transaksi perdagangan. Pedagang yang jujur harus memberi informasi yang jelas kepada pembeli mengenai kondisi barang, terutama jika ada cacat atau kerusakan. Menutupi kondisi yang buruk atau melakukan penipuan adalah tindakan yang sangat dilarang dalam Islam.

2.   Larangan terhadap Penipuan (Ghisy): Hadits ini menunjukkan bahwa penipuan dalam segala bentuk adalah dosa besar. Rasulullah dengan tegas mengatakan, "Barang siapa yang menipu, maka dia bukan dari golonganku." Hal ini menunjukkan bahwa penipuan, terutama dalam hal jual beli, bertentangan dengan ajaran Islam.

3.   Transparansi dalam Transaksi: Islam mendorong transparansi dalam semua bentuk transaksi. Dalam kasus pedagang yang menutupi bagian bawah makanan yang basah dengan bagian atas yang kering, Rasulullah mengingatkan agar barang yang cacat (basah) harus diletakkan di atas agar pembeli bisa melihatnya dan mengetahui kondisi barang tersebut. Ini mengajarkan pentingnya kejujuran dalam bisnis.

4.   Pengawasan terhadap Perilaku Pedagang: Hadits ini juga menunjukkan bahwa penting bagi masyarakat dan otoritas (seperti pemerintah atau pemimpin) untuk mengawasi perilaku pedagang dan memberikan nasihat atau peringatan kepada mereka yang melanggar prinsip-prinsip kejujuran dalam perdagangan.

5.   Menghindari Kerusakan dalam Masyarakat: Penipuan tidak hanya merugikan individu yang ditipu, tetapi juga dapat merusak hubungan sosial dan menciptakan ketidakpercayaan dalam masyarakat. Oleh karena itu, kejujuran dalam transaksi sangat penting untuk menjaga keharmonisan dan keadilan sosial.

6.   Keseriusan dalam Mengikuti Petunjuk Nabi : Hadits ini juga mempertegas bahwa siapa pun yang mengikuti jalan penipuan atau kebohongan tidak mengikuti petunjuk dan cara hidup Nabi . Ini adalah peringatan keras agar umat Islam selalu berusaha untuk mengikuti sunnah Nabi dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam berdagang.

Secara keseluruhan, hadits ini mengajarkan nilai-nilai kejujuran, transparansi, dan amanah dalam interaksi sosial, terutama dalam perdagangan, serta memberikan peringatan tentang bahaya penipuan yang dapat merusak hubungan antar sesama. 


Penutupan Kajian


Bapak, Ibu, saudara-saudari sekalian yang dirahmati Allah,

Dari hadis yang mulia ini, kita bisa memetik beberapa faedah dan pelajaran yang sangat berharga:

  • Pertama, penguatan pentingnya amanah dan kejujuran dalam setiap aspek kehidupan kita, terutama dalam muamalah. Rasulullah ﷺ menunjukkan dengan tegas bahwa penipuan dalam bentuk apa pun adalah perilaku yang sangat dicela dan bukan bagian dari ajaran Islam. Ini mengingatkan kita bahwa keberkahan rezeki tidak hanya ditentukan oleh seberapa banyak yang kita dapatkan, tetapi juga oleh bagaimana cara kita mendapatkannya.

  • Kedua, keharusan untuk bersikap transparan dan menjelaskan cacat atau kekurangan pada barang dagangan. Nabi Muhammad ﷺ tidak hanya menegur pedagang tersebut, tetapi juga memberikan solusi praktis: letakkan bagian yang basah di atas agar pembeli tahu dan bisa memutuskan dengan informasi yang lengkap. Ini adalah prinsip dasar dalam etika berbisnis yang adil dan jujur, membangun kepercayaan antara penjual dan pembeli.

  • Ketiga, hadis ini menunjukkan betapa besar perhatian syariat Islam terhadap hak-hak sesama Muslim dan upaya untuk menjauhkan segala bentuk kerugian. Allah dan Rasul-Nya sangat peduli agar setiap interaksi kita berjalan di atas dasar keadilan dan kebaikan, jauh dari penipuan yang bisa menimbulkan permusuhan dan kerusakan dalam masyarakat.

  • Keempat, adanya peran pemimpin atau ulama dalam mengawasi dan menasihati umatnya. Nabi ﷺ, sebagai pemimpin, turun langsung ke pasar untuk memeriksa dan memberikan bimbingan. Ini menjadi teladan bagi kita semua untuk senantiasa saling menasihati dalam kebaikan dan mengingatkan jika ada penyimpangan.

Harapan kami setelah kajian ini, semoga kita semua bisa menerapkan semangat hadis ini dalam kehidupan sehari-hari.

  • Mari kita senantiasa menjaga amanah dalam setiap peran kita, baik sebagai pedagang, pembeli, karyawan, pemimpin, atau bahkan dalam lingkup keluarga. Jujurlah dalam perkataan dan perbuatan.

  • Jika kita adalah seorang pedagang, jadilah pedagang yang jujur dan transparan. Jangan sembunyikan cacat atau kekurangan barang demi keuntungan sesaat. Ingatlah bahwa keberkahan ada pada kejujuran.

  • Jika kita sebagai pembeli, jadilah pembeli yang cerdas dan kritis, namun tetap menjunjung tinggi adab dan kesopanan.

  • Dan secara umum, mari kita menjadi agen perubahan di lingkungan kita, mengajak kepada kebaikan dan menjauhi segala bentuk kecurangan.

Dengan demikian, insyaallah masyarakat kita akan kembali dipenuhi dengan kepercayaan, keberkahan, dan kasih sayang. Mari kita berdoa agar Allah SWT senantiasa membimbing kita menjadi hamba-hamba-Nya yang amanah dan jujur.

Semoga Allah memberkahi ilmu kita dan memudahkan kita untuk mengamalkannya.

اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ بِرَحْمَتِكَ، وَاجْعَلْ خَيْرَ أَيَّامِنَا يَوْمَ نَلْقَاكَ، وَاخْتِمْ لَنَا بِالْإِيمَانِ وَحُسْنِ الْخَاتِمَةِ.

Ya Allah, jadikanlah kami termasuk penghuni surga dengan rahmat-Mu. Jadikanlah hari terbaik kami adalah hari ketika kami berjumpa dengan-Mu. Dan wafatkanlah kami dalam keadaan beriman serta dengan akhir yang baik.

وَاللَّهُ الْمُوَفِّقُ إِلَىٰ أَقْوَمِ الطَّرِيقِ.

Kita tutup kajian dengan doa kafaratul majelis:

🌿 سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ.

وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ.


Belajar membaca dan menerjemahkan syarah hadits tanpa harakat


الأمانة من محاسن الأخلاق، والتعامل في التجارة والأمور المادية يستلزم الأمانة؛ حتى تتم الأمور والتعاملات بين الناس بلا منازعات، وبلا إثارة شرور في المجتمع، وعلى العكس من ذلك؛ فإن الغش والخداع يجلب على المجتمع الويلات والبغضاء والتشاحن بين الناس.
وهذا الحديث يوضح أن الغش ليس من الإسلام، وأن الغشاش على خطر عظيم، فيروي أبو هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم مر على صبرة طعام، والصبرة: هي الكومة من الطعام، مثل القمح أو الشعير، يعرضها التاجر ليبيعها، فأدخل النبي صلى الله عليه وسلم يده في جوفها، فوجد بللا في أسفل الطعام، وفي رواية أبي داود: «أن رسول الله صلى الله عليه وسلم مر برجل يبيع طعاما، فسأله: كيف تبيع؟ فأخبره، فأوحي إليه: أن أدخل يدك فيه، فأدخل يده فيه، فإذا هو مبلول»، فكان إدخال يده صلى الله عليه وسلم بوحي من الله سبحانه، فسأله النبي صلى الله عليه وسلم: ما هذا يا صاحب الطعام؟ فأخبره التاجر أنه قد سقط عليه المطر فبلله، وهذا يعني أنه جعل الجاف الصحيح ظاهرا، والمبلول الرديء في الأسفل، فقبل النبي صلى الله عليه وسلم عذره، ونبهه إلى ما ينبغي أن يعمله في هذه الحالة، فقال: «أفلا جعلته فوق الطعام» بأن تخرج الحب المبتل من أسفل إلى أعلى؛ حتى يراه الناس المشترون، ويكونوا على بينة ويعلموا بحاله وما فيه من العطب، وقد كانوا يتبايعون بالصبرة كاملة دون النظر إلى ما فيها، وقد عد النبي صلى الله عليه وسلم عمل هذا التاجر غشا، فقال: «من غش فليس مني»، أي: من خدع الناس بأي صورة فليس على هدي النبي صلى الله عليه وسلم وسنته وطريقته، وهذا زجر شديد من النبي صلى الله عليه وسلم، وفيه تهديد لمن تمادى في الغش بأن يخرج عن طريقة النبي صلى الله عليه وسلم.
وفي الحديث: الزجر والنهي عن الغش في كل الأمور، وفي المعاملات خاصة.
وفيه: ضرورة تبيين عيب السلعة للمشتري.
وفيه: أن الحاكم يستظهر أحوال الناس وينصح من يحتاج للنصيحة.
وفيه: حرص الشريعة على إبعاد كل ما يحصل به الضرر للمسلم. 

 

Tampilkan Kajian Menurut Kata Kunci