Hadits: Larangan Mencela Jenazah dan Mengungkit Keburukannya
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
الحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَمَرَ بِحِفْظِ اللِّسَانِ عَنِ الخَوْضِ فِيمَا لَا يَنْفَعُ، وَنَهَىٰ عَنْ إِيذَاءِ المُسْلِمِينَ أَحْيَاءً وَأَمْوَاتًا، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، صَلَّىٰ اللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلَىٰ آلِهِ وَصَحْبِهِ، وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَىٰ يَوْمِ الدِّينِ، أَمَّا بَعْدُ:
Jamaah yang dirahmati Allah,
Pertemuan kita kali ini akan membahas sebuah hadits yang sangat penting namun seringkali terabaikan dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam lingkungan masyarakat kita yang begitu cepat memberikan penilaian, bahkan cercaan, terhadap orang-orang yang telah wafat.
Kita hidup di zaman ketika informasi menyebar begitu cepat. Dengan hanya beberapa ketukan jari, seseorang bisa menuliskan celaan terhadap siapa pun, termasuk terhadap mereka yang sudah tiada. Tak jarang kita temui di media sosial, obrolan masyarakat, atau bahkan dalam kajian keagamaan, muncul perkataan yang membuka aib, mencela kesalahan, atau menyebarkan keburukan orang-orang yang telah meninggal dunia. Padahal, mereka telah berpulang dan tidak bisa lagi membela diri.
Fenomena ini tidak hanya menunjukkan kurangnya adab dalam berbicara, tetapi juga menandakan kerapuhan dalam memahami konsep kehormatan, husnuzan (berbaik sangka), serta tanggung jawab lisan dalam Islam. Mencela orang mati bukan hanya perkara etika sosial, tapi juga berbahaya bagi kesehatan rohani kita, karena bisa menumbuhkan rasa sombong, merasa lebih baik dari orang lain, serta membuka pintu-pintu dosa ghibah dan fitnah yang sangat berat pertanggungjawabannya di akhirat.
Oleh karena itu, hadits yang akan kita pelajari hari ini memiliki urgensi yang besar untuk kita pahami bersama. Hadits ini bukan hanya melarang suatu perbuatan, tetapi juga mengajarkan prinsip mendalam tentang bagaimana seharusnya kita memaknai kematian, menjaga lisan, serta menghormati takdir dan kehendak Allah atas hamba-hamba-Nya. Dengan memahami hadits ini, insya Allah kita akan lebih berhati-hati dalam berbicara dan lebih bijak dalam menilai sesama, terlebih mereka yang telah meninggal dunia.
Semoga kajian ini menjadi pengingat bagi diri kita, dan membuka jalan bagi perbaikan akhlak dalam berinteraksi, baik secara langsung maupun di dunia maya.
Dari Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
«لَا تَسُبُّوا الْأَمْوَاتَ، فَإِنَّهُمْ قَدْ أَفْضَوْا إِلَىٰ
مَا قَدَّمُوا».
"Janganlah kalian mencela orang-orang yang telah wafat, karena sesungguhnya mereka telah sampai kepada apa yang telah mereka
perbuat (di dunia)."
HR Al-Bukhari (1393).
Arti dan Penjelasan Per Kalimat
لَا تَسُبُّوا الْأَمْوَاتَ
Janganlah kalian mencela orang-orang yang telah meninggal.
Perkataan ini adalah larangan dari Nabi Muhammad ﷺ agar tidak mencela atau menghina orang-orang yang telah wafat.
Larangan ini menunjukkan pentingnya menjaga kehormatan manusia, bahkan setelah kematiannya.
Mencela orang yang telah meninggal tidak memberikan manfaat apa pun, karena mereka tidak bisa membela diri atau merespons perkataan yang ditujukan kepada mereka.
Dalam Islam, kehormatan seorang Muslim tetap dijaga, baik saat hidup maupun setelah wafat.
Ini juga mencerminkan prinsip ihsan (berbuat baik) dalam hubungan sosial, termasuk terhadap mereka yang sudah tiada.
Selain itu, mencela orang mati dapat menimbulkan permusuhan di antara keluarga atau keturunan mereka yang masih hidup, dan itu bertentangan dengan semangat ukhuwah Islamiyah.
Perkataan ini menjelaskan alasan mengapa larangan mencela orang mati itu berlaku.
Kata "أَفْضَوْا" berasal dari akar kata yang bermakna ‘menuju’ atau ‘menyampaikan’ kepada sesuatu secara penuh.
Dalam konteks ini, para mayit telah sampai kepada apa yang telah mereka lakukan semasa hidup, yaitu amal-amal mereka.
Tidak ada lagi kesempatan bagi mereka untuk menambah amal kebaikan atau memperbaiki kesalahan.
Maka mencela mereka tidak ada gunanya karena mereka sudah berpindah kepada fase hisab (perhitungan amal), di mana hanya amal yang berbicara.
Ini mengajarkan kita bahwa fokus kita seharusnya pada memperbaiki diri sendiri, bukan membuka aib masa lalu orang lain yang sudah tidak memiliki peluang untuk memperbaikinya.
Perkataan ini menjelaskan bahwa orang-orang yang telah meninggal itu kini berada dalam keadaan di mana seluruh amal perbuatan mereka selama hidup telah diserahkan kepada Allah.
"مَا قَدَّمُوا" mencakup semua amal, baik amal baik maupun buruk, yang telah mereka lakukan di dunia.
Ini menunjukkan bahwa setiap orang akan mempertanggungjawabkan amalnya sendiri di akhirat, dan tidak membutuhkan celaan dari manusia lain.
Penekanan ini menanamkan kesadaran akan tanggung jawab individual dalam Islam dan urgensi menyiapkan bekal amal sebelum ajal menjemput.
Kita diajak untuk fokus menilai dan memperbaiki diri, bukan membicarakan keburukan mereka yang telah berpulang, karena kini mereka berada di alam lain, menanti balasan atas apa yang mereka “telah kirimkan” dari kehidupan dunia.
Syarah Hadits
لَقَدْ حَرَصَ الإِسْلَامُ عَلَى حِفْظِ
أَعْرَاضِ الْمُسْلِمِينَ أَحْيَاءً وَأَمْوَاتًا، وَنَهَىٰ عَنْ إِيذَائِهِمْ
بِالسَّبِّ وَالشَّتْمِ.
Islam sangat menjaga kehormatan kaum Muslimin, baik yang
masih hidup maupun yang telah meninggal, dan melarang menyakiti mereka dengan
celaan serta cacian.
وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ نَهَىٰ صَلَّىٰ
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ سَبِّ الْأَمْوَاتِ وَالإِسَاءَةِ إِلَيْهِمْ؛
Dalam hadits ini, Rasulullah ﷺ melarang mencela orang yang telah
meninggal dan berbuat buruk kepada mereka;
لِأَنَّهُمْ قَدْ أَفْضَوْا إِلَىٰ مَا
قَدَّمُوا، فَوَصَلُوا إِلَىٰ مَا عَمِلُوا مِنْ خَيْرٍ أَوْ شَرٍّ،
karena mereka telah sampai pada apa yang telah mereka
perbuat, dan telah menerima balasan atas amal perbuatan mereka, baik atau
buruk.
فَيُجَازِيهِمُ اللَّهُ تَعَالَىٰ بِهِ،
فَيُؤَاخِذُ مَنْ يَشَاءُ بِذُنُوبِهِ، وَيَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ مِنْهُمْ؛
Maka Allah ﷻ
akan membalas mereka sesuai amal mereka, menghukum siapa yang Dia kehendaki
atas dosa-dosanya, dan mengampuni siapa yang Dia kehendaki di antara mereka.
وَلِذَلِكَ لَا يَنْبَغِي الْقَطْعُ لِأَحَدٍ
بِجَنَّةٍ أَوْ نَارٍ؛
Oleh karena itu, tidak sepatutnya memastikan seseorang
masuk surga atau neraka.
لِأَنَّهُ تَعَالَىٰ هُوَ الْمُخْتَصُّ
بِذَلِكَ الْقَادِرُ عَلَيْهِ، لَيْسَ لِأَحَدٍ فِي ذَلِكَ نَصِيبٌ.
Karena hanya Allah ﷻ yang berhak dan berkuasa menentukan hal
itu, tidak ada seorang pun yang berhak menetapkan demikian.
وَرَوَىٰ التِّرْمِذِيُّ عَنْ الْمُغِيرَةِ
بْنِ شُعْبَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّىٰ اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ:
At-Tirmidzi meriwayatkan dari Al-Mughirah bin Syu'bah radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:
«لَا تَسُبُّوا الْأَمْوَاتَ، فَتُؤْذُوا الْأَحْيَاءَ»
"Janganlah kalian mencela orang yang telah
meninggal, karena hal itu dapat menyakiti orang yang masih hidup."
فَبَيَّنَ صَلَّىٰ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنَّ مِنْ أَسْبَابِ النَّهْيِ هُوَ مَا يُحْدِثُهُ ذَلِكَ مِنْ حُزْنِ
أَقَارِبِهِمْ؛
Maka Rasulullah ﷺ
menjelaskan bahwa salah satu alasan larangan ini adalah karena celaan itu dapat
menimbulkan kesedihan bagi keluarga mereka.
فَالنَّهْيُ عَنْ سَبِّ الْأَمْوَاتِ فِيهِ
مُرَاعَاةٌ لِمَصْلَحَةِ الْأَحْيَاءِ، وَالْحِفَاظُ عَلَىٰ سَلَامَةِ
الْمُجْتَمَعِ مِنَ التَّشَاحُنِ وَالتَّبَاغُضِ.
Larangan mencela orang yang telah meninggal bertujuan
untuk menjaga kepentingan orang yang masih hidup serta menjaga keharmonisan
masyarakat dari permusuhan dan kebencian.
أَمَّا ذِكْرُ الْأَمْوَاتِ بِالْخَيْرِ
فَقَدْ شَرَعَهُ النَّبِيُّ صَلَّىٰ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
Adapun menyebut kebaikan orang yang telah meninggal, maka
hal itu telah disyariatkan oleh Nabi ﷺ,
كَمَا فِي حَدِيثِ النَّسَائِيِّ عَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّىٰ اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ:
sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh An-Nasa'i
dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, dari Nabi ﷺ:
«لَا تَذْكُرُوا هَلْكَاكُمْ إِلَّا بِخَيْرٍ»
"Janganlah kalian menyebut orang yang telah
meninggal kecuali dengan kebaikan."
مِنْ فَوَائِدِ الْحَدِيثِ:
Faedah dari hadits ini:
الْحَدِيثُ دَلِيلٌ عَلَىٰ تَحْرِيمِ سَبِّ
الْأَمْوَاتِ.
1. Hadits ini menjadi dalil haramnya mencela orang yang
telah meninggal.
تَرْكُ سَبِّ الْأَمْوَاتِ فِيهِ مُرَاعَاةٌ
لِمَصْلَحَةِ الْأَحْيَاءِ، وَالْحِفَاظُ عَلَىٰ سَلَامَةِ الْمُجْتَمَعِ مِنَ
التَّشَاحُنِ وَالتَّبَاغُضِ.
2. Meninggalkan celaan terhadap
orang yang telah meninggal merupakan bentuk kepedulian terhadap orang yang
masih hidup serta menjaga masyarakat dari permusuhan dan kebencian.
الْحِكْمَةُ مِنَ النَّهْيِ عَنْ سَبِّهِمْ
أَنَّهُمْ وَصَلُوا إِلَىٰ مَا قَدَّمُوا فَلَا يَنْفَعُ سَبُّهُمْ، وَفِيهِ
إِيذَاءٌ لِأَقَارِبِهِمُ الْأَحْيَاءِ.
3. Hikmah dari larangan ini adalah
karena orang yang telah meninggal sudah sampai pada balasan amalnya, sehingga
celaan terhadap mereka tidak memberi manfaat, dan justru menyakiti keluarga
mereka yang masih hidup.
أَنَّهُ لَا يَنْبَغِي لِلْإِنْسَانِ أَنْ
يَقُولَ مَا لَا مَصْلَحَةَ فِيهِ.
4. Seseorang tidak boleh mengucapkan
sesuatu yang tidak memiliki manfaat.
Maraji:
https://dorar.net/hadith/sharh/13959
https://hadeethenc.com/ar/browse/hadith/5364
Pelajaran dari Hadits ini
Alhamdulillāh, segala puji bagi Allah ﷻ yang telah memberikan kita kesempatan untuk mempelajari sabda Nabi ﷺ yang penuh hikmah:
«لَا تَسُبُّوا الْأَمْوَاتَ، فَإِنَّهُمْ قَدْ أَفْضَوْا إِلَىٰ مَا قَدَّمُوا»
Dari hadits yang singkat ini, kita telah memahami bahwa Islam sangat menekankan adab dalam berbicara, bahkan terhadap orang-orang yang telah meninggal dunia. Faedah besar dari hadits ini adalah bahwa kita diajarkan untuk menjaga kehormatan sesama muslim, baik yang hidup maupun yang sudah wafat. Kita diajarkan untuk fokus memperbaiki diri sendiri, karena setiap orang akan kembali kepada Allah dengan amal masing-masing.
Hadits ini juga menumbuhkan rasa tanggung jawab lisan dalam diri kita, agar tidak mudah menghakimi atau membicarakan keburukan orang lain, terutama yang sudah tidak bisa lagi membela diri. Ia membimbing kita menuju sikap rendah hati, penuh kasih sayang, dan beradab dalam menyikapi perbedaan serta masa lalu orang lain.
Harapannya, setelah mengikuti kajian ini, setiap dari kita dapat lebih berhati-hati dalam menggunakan lisan, baik dalam percakapan langsung, di media sosial, atau dalam bentuk tulisan. Marilah kita jadikan hadits ini sebagai prinsip dalam kehidupan sehari-hari, agar kita tidak hanya menjadi pribadi yang berilmu, tetapi juga beradab dan diridhai Allah ﷻ.
Semoga Allah menjadikan ilmu yang kita pelajari hari ini sebagai ilmu yang bermanfaat, serta menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang menjaga lisan, menghindari ghibah, dan senantiasa memperbaiki diri. Kita tutup kajian ini dengan doa kafaratul majelis:
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ
وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ
إِلَيْكَ
وَصَلَّى اللَّهُ
عَلَىٰ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَىٰ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ
رَبِّ الْعَالَمِينَ