Hadits: Keutamaan Malu dalam Islam sebagai Akhlak Utama

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

الْحَمْدُ لِلَّهِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُ

Jamaah yang dirahmati Allah,

Di tengah kehidupan masyarakat kita hari ini, kita menyaksikan sebuah fenomena yang kian memprihatinkan: hilangnya rasa malu dari banyak aspek kehidupan. Malu, yang dulu menjadi perisai akhlak dan penjaga kehormatan, kini dianggap sebagai kelemahan atau sifat kuno yang harus ditinggalkan. Kita melihat anak-anak yang tak malu membantah orang tuanya, remaja yang tak segan memamerkan aurat dan perilaku buruk di media sosial, bahkan orang dewasa yang terbiasa berbuat salah di hadapan umum tanpa rasa bersalah sedikit pun. Ini bukan hanya masalah perilaku, tapi ini krisis akhlak—krisis hilangnya al-ḥayā’ (rasa malu), yang sejatinya adalah benteng keimanan.

Malu bukan sekadar perasaan, tapi ia adalah bagian dari iman. Dan lebih dari itu, hadits yang akan kita kaji hari ini menyatakan bahwa malu adalah akhlak utama dari Islam itu sendiri. Ini bukan perkataan biasa, tapi pengakuan langsung dari Nabi ﷺ bahwa inti dari ajaran Islam yang membedakannya dari agama lain adalah sifat malu.

Oleh karena itu, mempelajari hadits ini bukan hanya penting, tapi sangat mendesak. Karena dari sinilah kita bisa memahami bagaimana Islam membentuk pribadi yang mulia, dan bagaimana malu bukan tanda kelemahan, melainkan cerminan kesempurnaan iman. Hadits ini membuka mata kita tentang betapa agungnya peran malu dalam menjaga diri, keluarga, dan masyarakat dari kehancuran moral.

Maka marilah kita kaji bersama hadits ini secara mendalam, agar kita tidak hanya memahami artinya, tetapi bisa menghidupkannya dalam kehidupan sehari-hari, untuk diri kita, anak-anak kita, dan lingkungan kita.


 Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah bersabda:

إِنَّ لِكُلِّ دِينٍ خُلُقًا، وَإِنَّ خُلُقَ الإِسْلَامِ الْحَيَاءُ

“Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak yang khas, dan akhlak khas Islam adalah malu.”

HR. Ibnu Majah (4182), ath-Ṭabaranī dalam al-Mu‘jam al-Kabir (10/389, no. 10780)

.

.


Arti dan Penjelasan Per Kalimat


إِنَّ لِكُلِّ دِينٍ خُلُقًا
Sesungguhnya setiap agama memiliki satu akhlak khas

Perkataan ini menunjukkan bahwa setiap ajaran agama memiliki karakter moral utama yang menjadi ciri khasnya.

Dalam Islam, akhlak bukan hanya pelengkap, melainkan fondasi dari agama itu sendiri.

Rasulullah ingin menegaskan bahwa agama-agama sebelumnya pun memiliki nilai moral tertentu yang dijunjung tinggi.

Ungkapan ini juga memperlihatkan bahwa agama tidak hanya berkaitan dengan ritual ibadah, tapi juga dengan perilaku dan etika manusia.

Penekanan pada akhlak menandakan pentingnya membentuk karakter dan integritas pribadi dalam kehidupan beragama.

Kalimat ini sekaligus membuka ruang perbandingan antara sistem moral dalam berbagai agama dan menyiapkan kita untuk memahami keunikan Islam.


وَإِنَّ خُلُقَ الإِسْلَامِ الْحَيَاءُ
Dan sesungguhnya akhlak khas Islam adalah malu

Rasulullah menetapkan bahwa sifat malu adalah ciri utama dari akhlak Islam.

Malu dalam konteks ini bukan sekadar perasaan enggan atau takut diketahui, tetapi sebuah kontrol diri yang muncul karena kesadaran akan pengawasan Allah.

Sifat malu merupakan pelindung dari perbuatan dosa dan dorongan untuk melakukan kebajikan.

Islam menjadikan hayā’ sebagai barometer iman, sebagaimana hadits lain menyebutkan bahwa “malu adalah bagian dari iman.”

Sifat ini mendorong seorang Muslim untuk menjaga lisannya, pandangannya, dan seluruh perilakunya dari hal-hal yang merusak kehormatan dan martabat.

Dengan menjadikan hayā’ sebagai akhlak utama, Islam membentuk masyarakat yang saling menjaga kehormatan, kesopanan, dan tata krama dalam interaksi sehari-hari.

 


Syarah Hadits


الحياءُ مِن أَجَلِّ مَحاسِنِ الأَخلاقِ وَزِينَتِهَا
Malu adalah salah satu dari seagung-agungnya akhlak yang indah dan perhiasannya.

وفي هذا الحَديثِ عنِ ابنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنهُما قالَ: قالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ
Dan dalam hadits ini dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: Rasulullah bersabda:

"إِنَّ لِكُلِّ دِينٍ خُلُقًا"
Sesungguhnya setiap agama memiliki satu akhlak khas.

أي: طَبْعًا وَسَجِيَّةً شُرِعَتْ فِيهِ
Yaitu tabiat dan sifat yang disyariatkan di dalamnya.

وَخُصَّ أَهْلُ ذٰلِكَ الدِّينِ بِهَا
Dan para pemeluk agama itu dikhususkan dengan akhlak tersebut.

وَكَانَتْ مِن جُملَةِ أَعمالِهِمِ الَّتِي يُثَابُونَ عَلَيهَا
Dan akhlak itu termasuk amal-amal mereka yang diberi pahala atasnya.

وَيَحتَمِلُ أَنْ يُرِيدَ سَجِيَّةً تَشمَلُ أَهْلَ ذٰلِكَ الدِّينِ أَو أَكثَرَهُم
Dan bisa jadi maksudnya adalah sifat yang mencakup seluruh atau sebagian besar pemeluk agama itu.

أَو تَشمَلُ أَهْلَ الصَّلاحِ مِنهُم
Atau mencakup orang-orang saleh dari kalangan mereka.

وَتَزِيدُ بِزِيادَةِ الصَّلاحِ
Dan sifat itu akan bertambah seiring bertambahnya kesalehan.

وَتَقِلُّ بِقِلَّتِهِ
Dan akan berkurang seiring dengan berkurangnya kesalehan.

"وَإِنَّ خُلُقَ الإِسْلَامِ الحَيَاءُ"
Dan sesungguhnya akhlak khas Islam adalah malu.

أي: الغالِبُ عَلَى أَهلِهِ ذٰلِكَ
Yaitu sifat yang dominan pada para pemeluknya adalah itu.

كَمَا أَنَّ الغالِبَ عَلَى أَهلِ كُلِّ دِينٍ سَجِيَّةٌ مِنَ السَّجايا
Sebagaimana bahwa yang dominan pada setiap agama adalah suatu sifat dari sekian sifat.

وَالحَيَاءُ يَختَصُّ بِأَهلِ الإِسْلَامِ
Dan sifat malu itu khusus bagi pemeluk Islam.

لأَنَّهُ مُتَمِّمٌ لِمَكارِمِ الأَخلاقِ
Karena ia adalah penyempurna akhlak-akhlak mulia.

وَبِالحَيَاءِ يَتِمُّ قِوَامُ الدِّينِ وَجَمالُهُ
Dan dengan malu, tegaknya agama dan keindahannya menjadi sempurna.

وَلَمَّا كَانَ الإِسْلَامُ أَشرَفَ الأَديَانِ
Dan ketika Islam merupakan agama yang paling mulia,

أَعْطَاهُ اللهُ أَسْنَى الأَخْلَاقِ وَأَشرَفَهَا وَهُوَ الحَيَاءُ
Maka Allah memberinya akhlak yang paling luhur dan paling mulia, yaitu malu.

وَالفَرقُ بَينَ الحَيَاءِ وَالخَجَلِ
Dan perbedaan antara malu dan rasa malu (yang negatif),

أَنَّ الحَيَاءَ صِفَةُ كَمَالٍ لِلنَّفسِ
Adalah bahwa malu merupakan sifat kesempurnaan bagi jiwa.

يَجعَلُ الإِنسَانَ دَائِمًا فِي رِفْعَةٍ عَنِ الدُّنيَا
Yang menjadikan seseorang selalu terangkat dari keduniaan.

غَيرَ مُنكسِرٍ لِبَاطِلٍ
Tidak tunduk kepada kebatilan.

وَأَمَّا الخَجَلُ فَهُوَ صِفَةُ نَقصٍ
Adapun rasa malu (yang negatif), maka itu adalah sifat kekurangan.

يَمنَعُ الإِنسَانَ عَن إِتْمَامِ وَاجِبَاتِهِ وَالقِيَامِ بِهَا عَلَى الوَجهِ الأَكمَلِ لَهَا
Yang menghalangi seseorang dari menunaikan kewajiban-kewajibannya dan melaksanakannya dengan sempurna.

وفي الحَديثِ: إِرشَادٌ إِلَى التَّحَلِّي بِخُلُقِ الحَيَاءِ، وَالِالتِزَامِ بِآدَابِ الإِسْلَامِ
Dan dalam hadits ini terdapat bimbingan untuk menghiasi diri dengan akhlak malu dan berpegang teguh pada adab-adab Islam.

 

Maraji: https://dorar.net/hadith/sharh/80124


Pelajaran dari Hadits ini


 1. Islam Menghargai Akhlak Sebagai Inti Ajaran

Dalam perkataan إِنَّ لِكُلِّ دِينٍ خُلُقًا (Sesungguhnya setiap agama memiliki satu akhlak khas), kita belajar bahwa agama tidak hanya berisi aturan ibadah, tetapi juga memiliki nilai-nilai moral yang menjadi penopangnya. Islam mengajarkan bahwa akhlak adalah inti yang tak terpisahkan dari keimanan. Hal ini diperkuat dalam sabda Rasulullah ﷺ:  

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ

(Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia) — HR. al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad (273). Dalam Al-Qur’an pun ditegaskan bahwa Nabi Muhammad ﷺ memiliki akhlak yang agung, sebagaimana firman Allah dalam Surah al-Qalam ayat 4:

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ

(Dan sungguh, engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung).
Ini menunjukkan bahwa kesempurnaan agama tidak bisa dilepaskan dari keluhuran akhlak. Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak cukup hanya menjalankan ibadah, tetapi juga harus menunjukkan akhlak yang mencerminkan nilai-nilai Islam dalam bersikap terhadap sesama, baik dalam keluarga, masyarakat, maupun dalam pekerjaan.


2. Sifat Malu sebagai Akhlak Utama dalam Islam

Perkataan وَإِنَّ خُلُقَ الإِسْلَامِ الْحَيَاءُ (Dan sesungguhnya akhlak khas Islam adalah malu) mengajarkan bahwa sifat malu adalah ciri utama dari orang yang beriman. Malu di sini bukan berarti minder atau tidak percaya diri, tetapi rasa takut untuk berbuat dosa dan keinginan kuat untuk menjaga kehormatan diri di hadapan Allah dan manusia. Malu adalah penjaga hati dan perbuatan agar tetap dalam batas syariat. Rasulullah ﷺ bersabda:

  الْحَيَاءُ مِنَ الإِيمَانِ

(Malu adalah bagian dari iman) — HR. al-Bukhari (24) dan Muslim (35). 

Sifat ini mendorong seseorang untuk meninggalkan perbuatan buruk, bahkan ketika tidak ada manusia yang melihatnya. Allah berfirman dalam Surah al-Hadid ayat 4:

وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنتُمْ

(Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada)
Ayat ini mengingatkan bahwa Allah selalu mengawasi, sehingga perasaan malu harus hadir kapan pun dan di mana pun. Malu bukan sekadar norma sosial, tapi kekuatan iman yang mencegah kerusakan moral dan menjaga kehormatan pribadi serta masyarakat.


3. Malu Menjadi Penjaga Kesucian dan Martabat Diri

Ketika Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa الْحَيَاءُ adalah akhlak utama Islam, ini menekankan pentingnya rasa malu dalam menjaga kebersihan hati dan perilaku. Dalam masyarakat modern yang seringkali menormalkan perbuatan-perbuatan yang jauh dari nilai Islam, sifat malu adalah benteng terakhir dalam menjaga diri. Malu yang benar akan membuat seseorang menundukkan pandangan, menjaga ucapan, serta berpakaian dan bergaul sesuai syariat. Allah memuji sifat malu dalam kisah putri Syu‘aib, sebagaimana dalam Surah al-Qashash ayat 25:

فَجَاءَتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِي عَلَى ٱسْتِحْيَآءٍ

(Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua perempuan itu berjalan dengan malu-malu)
Perilaku malu perempuan tersebut menjadi simbol kesucian dan kehormatan, yang menunjukkan bahwa rasa malu adalah perhiasan terbaik bagi seorang wanita maupun pria. Dalam dunia yang kian terbuka, rasa malu harus tetap dijaga sebagai bentuk ketaatan dan perlindungan terhadap kerusakan moral.


4. Malu adalah Cerminan Rasa Takut kepada Allah

Dalam Islam, malu bukan hanya ditujukan kepada manusia, melainkan juga kepada Allah. Perasaan malu kepada Allah membuat seseorang berhati-hati dalam seluruh tindakannya, karena sadar bahwa Allah Maha Mengetahui segalanya. Rasulullah ﷺ bersabda:

  اسْتَحْيُوا مِنَ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ

(Malu-lah kalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya malu) — HR. at-Tirmidzi (2458), hasan sahih. Lalu beliau menjelaskan bahwa malu kepada Allah berarti menjaga kepala dan apa yang ada di dalamnya (pikiran, pendengaran, ucapan), serta perut dan apa yang dikonsumsi, dan ingat akan kematian dan pembusukan jasad. Ini artinya, rasa malu adalah kesadaran spiritual yang lahir dari keimanan mendalam. Dengan malu kepada Allah, seseorang akan menjaga privasi, menolak kemaksiatan, dan berusaha taat bahkan ketika sendiri. Ini menjadi pondasi akhlak yang kokoh dan tidak mudah goyah oleh godaan.


5. Malu Memperkuat Tanggung Jawab Sosial

Sifat malu dalam Islam juga berfungsi sebagai penjaga keharmonisan masyarakat. Orang yang memiliki rasa malu tidak akan mudah menyakiti, merusak, atau mengambil hak orang lain. Ia merasa bertanggung jawab atas perilakunya di hadapan manusia karena ia juga malu jika perilakunya mencoreng nama baik agamanya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah ﷺ bersabda:

  إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ

(Jika engkau tidak memiliki rasa malu, maka lakukanlah sesukamu) — HR. al-Bukhari (3483). Hadits ini bukan anjuran untuk berbuat sesuka hati, melainkan peringatan bahwa hilangnya rasa malu membuka pintu segala kejahatan. Maka, orang yang memiliki rasa malu akan lebih bijak dalam berkata, bergaul, dan bersikap, karena ia ingin menjaga kedamaian, kehormatan keluarga, dan kepercayaan masyarakat.


6. Rasa Malu Harus Ditumbuhkan dan Dirawat

Malu bukanlah sifat bawaan yang otomatis ada dalam diri setiap orang, tetapi ia perlu ditumbuhkan melalui pendidikan, lingkungan yang baik, dan pembiasaan. Dalam hadits lain, Rasulullah ﷺ menjelaskan bahwa iman dan malu tidak bisa dipisahkan:

  الْحَيَاءُ وَالْإِيمَانُ قُرِنَا جَمِيعًا، فَإِذَا رُفِعَ أَحَدُهُمَا رُفِعَ الآخَرُ

(Malu dan iman itu bersatu, jika salah satunya dicabut, maka yang lain juga ikut tercabut) — HR. al-Hakim (1/73). 

Artinya, ketika seseorang kehilangan rasa malu, maka imannya juga dalam bahaya. Maka dari itu, menanamkan malu sejak kecil, melalui pembiasaan akhlak yang baik dan menjauhi tontonan serta bacaan yang merusak, adalah bentuk penjagaan iman. Lingkungan yang memelihara rasa malu akan melahirkan generasi yang berakhlak dan beradab.


7. Malu Adalah Bentuk Amar Ma’ruf dan Nahi Mungkar Diri Sendiri

Rasa malu juga menjadi mekanisme internal yang mencegah seseorang dari kemungkaran sebelum orang lain menegurnya. Ini adalah bentuk amar ma’ruf dan nahi mungkar dalam diri sendiri. Jika seseorang masih memiliki rasa malu, maka ia akan menilai sendiri bahwa perbuatannya tidak layak dilakukan. Allah berfirman dalam Surah an-Nūr ayat 30:

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ

(Katakanlah kepada laki-laki yang beriman agar mereka menundukkan pandangan dan menjaga kemaluannya. Yang demikian itu lebih suci bagi mereka.)
Ayat ini menunjukkan bahwa rasa malu akan menuntun seseorang pada kesucian diri dan pengendalian hawa nafsu, serta menjauhkan dari dosa-dosa tersembunyi yang bisa membinasakan jiwa.


Kesimpulan
Secara keseluruhan, hadits ini menegaskan bahwa akhlak adalah bagian penting dari agama, dan dalam Islam, sifat malu menjadi ciri utama keimanan. Malu bukan sekadar perasaan, tapi penjaga moral, benteng diri, dan sarana untuk memperkuat hubungan dengan Allah dan sesama manusia. Tanpa rasa malu, iman menjadi lemah, dan masyarakat mudah rusak. Maka, menumbuhkan dan menjaga rasa malu adalah bagian dari menjaga keislaman dan kehormatan diri.


Penutup Kajian


 Setelah kita bersama-sama mengkaji hadits yang agung ini, kita menyadari bahwa الحياء (malu) bukanlah sekadar perasaan yang muncul saat kita berbuat salah. Ia adalah cahaya dalam diri seorang Muslim. Ia penjaga dari maksiat, perisai dari kehinaan, dan tanda kemuliaan iman. Rasulullah ﷺ telah mengajarkan bahwa malu adalah akhlak yang menjadi ciri khas umat Islam—akhlak yang membedakan mereka dari umat lainnya.

Dari sini kita memahami bahwa jika rasa malu hilang, maka akan terbuka pintu bagi segala bentuk pelanggaran terhadap ajaran Islam. Namun sebaliknya, jika rasa malu tertanam kuat dalam hati, maka seorang hamba akan senantiasa menjaga lisannya, pandangannya, pakaiannya, dan tindakannya dari hal-hal yang tidak diridhai Allah.

Hadits ini mengingatkan kita untuk kembali kepada akhlak Islam yang sejati. Kita tidak hanya dituntut untuk tahu, tetapi juga untuk membawa ilmu ini ke dalam amal. Mari kita mulai dari diri kita sendiri, dari hal-hal kecil dalam keseharian. Malu ketika meninggalkan shalat. Malu ketika berkata kasar. Malu ketika menyakiti sesama. Dan juga, malu jika kita menampakkan dosa-dosa kita di hadapan manusia dan di hadapan Allah.

Harapan kami, setelah kajian ini, setiap dari kita membawa pulang bukan hanya ilmu, tetapi tekad untuk memperbaiki diri. Menumbuhkan rasa malu dalam hati kita dan keluarga kita. Semoga Allah menghiasi diri kita dengan malu yang terpuji, malu yang lahir dari keimanan dan cinta kepada-Nya.

 

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

وَصَلَّى اللَّهُ عَلَىٰ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَىٰ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

 

 

Tampilkan Kajian Menurut Kata Kunci

Followers