Hadits: Allah Cemburu Kepada Orang Beriman Yang Melakukan Apa Yang Allah Haramkan

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

الْحَمْدُ لِلَّهِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُ

Hadirin yang dirahmati Allah,

Mari kita renungkan sejenak sebuah cerita untuk mengantarkan kita memahami hadits yang akan dikaji, cerita dalam mungkin terjadi di kehidupan kita.

Seorang suami yang begitu mencintai istrinya, berkorban banyak hal untuk kebahagiaannya, tiba-tiba mengetahui bahwa istrinya memberikan kesetiaan kepada lelaki lain. Apa yang akan dirasakan oleh suami itu?

Tentu ia akan merasa sangat kecewa, terluka, dan marah. Mengapa? Karena ia memiliki hak atas kesetiaan sang istri, hak yang diberikan oleh ikatan pernikahan yang suci. Perasaan itu kita kenal sebagai cemburu.

Namun, bayangkanlah, ..

Bila seorang suami yang hanya manusia biasa saja merasa begitu cemburu ketika haknya dilanggar, bagaimana dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang telah memberikan segalanya kepada kita—nikmat kehidupan, rezeki, bahkan petunjuk untuk keselamatan dunia dan akhirat? Lalu kita, hamba-Nya, malah melanggar aturan-Nya dan menyerahkan kesetiaan kita kepada hal-hal yang diharamkan-Nya. Bukankah ini lebih menyakitkan?

Dalam sebuah hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan bahwa Allah memiliki sifat cemburu, dan cemburu Allah itu adalah ketika seorang mukmin melakukan apa yang diharamkan-Nya. Ini bukanlah cemburu seperti yang dimiliki oleh makhluk, melainkan cemburu yang sesuai dengan keagungan-Nya. Cemburu Allah adalah tanda kasih sayang-Nya kepada kita, agar kita tidak tersesat dan menjauh dari rahmat-Nya.

Mari kita pelajari bersama hadits ini, agar kita lebih memahami hak-hak Allah atas kita dan bagaimana kita menjaga diri dari perbuatan yang dapat mengundang murka-Nya. Semoga pembahasan ini menjadi pelajaran yang bermanfaat bagi kita semua.


Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إنَّ اللَّهَ يَغَارُ، وإنَّ المُؤْمِنَ يَغَارُ، وَغَيْرَةُ اللَّهِ أَنْ يَأْتِيَ الْمُؤْمِنُ مَا حَرَّمَ عَلَيْهِ

Sesungguhnya Allah itu cemburu, dan sesungguhnya orang beriman pun cemburu. Dan cemburunya Allah adalah ketika orang beriman melakukan apa yang Allah haramkan.

Sahih Al-Jami (1862), Muslim (2761)

mp3: https://t.me/mp3qhn/301


Arti dan Penjelasan Per Kalimat


إنَّ اللَّهَ يَغَارُ
Sesungguhnya Allah itu cemburu.

Kata "يَغَارُ" berasal dari kata "غَيْرَةٌ" yang berarti rasa cemburu, namun cemburu di sini tentu disandarkan kepada Allah dengan makna yang layak bagi-Nya dan tidak menyerupai sifat makhluk.   

Cemburu Allah adalah bentuk murka dan ketidaksukaan-Nya terhadap perbuatan yang melanggar batasan-batasan yang telah Dia tetapkan.   

Sifat ini menunjukkan kesempurnaan kecintaan Allah terhadap kesucian, ketaatan, dan penjagaan terhadap kehormatan.   

Cemburunya Allah juga menunjukkan betapa seriusnya pelanggaran terhadap larangan-Nya, sehingga setiap bentuk maksiat dipandang sebagai bentuk pengkhianatan terhadap kesucian yang Dia kehendaki.   

Ini adalah peringatan bagi hamba-hamba-Nya untuk tidak meremehkan pelanggaran, walau kecil, karena ia menimbulkan murka Rabbul 'Alamin.


وإنَّ المُؤْمِنَ يَغَارُ
Dan sesungguhnya orang beriman pun cemburu.

Perkataan ini menunjukkan bahwa sifat cemburu juga dimiliki oleh orang-orang beriman, sebagai bagian dari fitrah yang Allah tanamkan pada hati yang hidup.   

Cemburu seorang mukmin merupakan tanda adanya ghairah (semangat) terhadap kehormatan diri, keluarganya, dan terhadap syariat yang ia yakini.   

Ia tidak rela terhadap kemaksiatan, baik yang dilakukan oleh dirinya maupun oleh orang lain.   

Cemburu ini juga menjadi penjaga moralitas dan pelindung dari kerusakan sosial.   

Namun cemburu seorang mukmin harus dibimbing oleh ilmu dan hikmah, agar tidak berubah menjadi bentuk prasangka atau ketidakadilan.


وَغَيْرَةُ اللَّهِ أَنْ يَأْتِيَ الْمُؤْمِنُ مَا حَرَّمَ عَلَيْهِ
Dan cemburunya Allah adalah ketika orang beriman melakukan apa yang Allah haramkan.

Perkataan ini menjelaskan bentuk nyata dari kecemburuan Allah, yaitu ketika seorang hamba berani melakukan perkara yang telah Allah haramkan.   

Hal ini menunjukkan betapa besar kedudukan larangan dalam syariat, di mana pelanggarannya bukan hanya berdosa, tetapi juga menyentuh sisi murka dan kecemburuan Allah.   

Allah tidak rela jika seorang mukmin yang telah diberi petunjuk dan keimanan justru tergelincir dalam pelanggaran terhadap larangan-Nya.   

Ini mencerminkan kecintaan Allah terhadap hamba-Nya yang taat, dan sekaligus kemurkaan terhadap tindakan yang mencederai nilai kesucian dan ketaatan.   

Perkataan ini juga menjadi motivasi bagi setiap mukmin untuk senantiasa menjaga batas-batas syariat agar tidak termasuk orang yang mendatangkan kecemburuan dan murka Allah.


Syarah Hadits


اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مُتَّصِفٌ بِصِفَاتِ الْجَلَالِ وَالْكَمَالِ
Allah Subhanahu wa Ta'ala memiliki sifat-sifat keagungan dan kesempurnaan.

وَقَدْ حَدَّ حُدُودًا وَشَرَائِعَ
Dan Dia telah menetapkan batasan-batasan dan syariat-syariat.

وَأَمَرَ الْأَنْبِيَاءَ وَالْمُرْسَلِينَ بِتَبْلِيغِهَا
Serta memerintahkan para nabi dan rasul untuk menyampaikannya.

فَأَقَامَ الْحُجَّةَ عَلَى النَّاسِ
Dengan itu, Dia menegakkan hujjah atas manusia.

وَأَعْلَمَهُمْ بِالْحَلَالِ وَالْحَرَامِ
Dan Dia memberitahu mereka tentang yang halal dan yang haram.


وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ يُخْبِرُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan.

أَنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى يَغَارُ
Bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala memiliki sifat cemburu.

وَأَنَّ غَيْرَتَهُ أَنْ يَأْتِيَ الْمُؤْمِنُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ
Dan cemburu-Nya adalah ketika seorang mukmin melakukan sesuatu yang diharamkan oleh Allah.

وَمَعْنَاهُ: أَنَّ غَيْرَتَهُ ثَابِتَةٌ لِأَجْلِ أَلَّا يَأْتِيَ الْمُؤْمِنُ مَحَارِمَهُ
Maknanya adalah bahwa sifat cemburu-Nya itu ada untuk menjaga agar seorang mukmin tidak melanggar hal-hal yang diharamkan oleh-Nya.

وَخَصَّ الْمُؤْمِنَ دُونَ غَيْرِهِ
Dan Dia mengkhususkan mukmin, bukan yang lainnya.

لِأَنَّ انْتِهَاكَ الْمَحَارِمِ مِنَ الْمُؤْمِنِ أَعْظَمُ مِنْ وُقُوعِهِ مِنْ غَيْرِهِ
Karena pelanggaran terhadap hal-hal yang haram oleh seorang mukmin lebih besar dosanya dibandingkan oleh orang lain.


وَغَيْرَةُ اللَّهِ تَعَالَى مِنْ جِنْسِ صِفَاتِهِ الَّتِي يَخْتَصُّ بِهَا
Cemburu Allah Ta’ala termasuk sifat-Nya yang khas dan hanya dimiliki oleh-Nya.

فَهِيَ لَيْسَتْ مُمَاثِلَةً لِغَيْرَةِ الْمَخْلُوقِ
Sifat ini tidak sama dengan sifat cemburu makhluk.

بَلْ هِيَ صِفَةٌ تَلِيقُ بِعَظَمَتِهِ دُونَ تَكْيِيفٍ أَوْ تَشْبِيهٍ أَوْ تَعْطِيلٍ
Namun, ini adalah sifat yang sesuai dengan kebesaran-Nya tanpa menetapkan bentuk, menyerupakan, atau meniadakannya.


وَفِي الْحَدِيثِ: إِثْبَاتُ صِفَةِ الْغَيْرَةِ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى
Dalam hadits ini terdapat penetapan sifat cemburu bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala.

وَفِيهِ: التَّحْذِيرُ مِنْ اقْتِرَافِ الْمُحَرَّمَاتِ
Dan di dalamnya terdapat peringatan untuk menjauhi perbuatan-perbuatan yang haram.

 

Maraji: https://dorar.net/hadith/sharh/16273


Pelajaran dari hadits ini


1. Keagungan Sifat Allah yang Maha Cemburu

Dalam perkataan إِنَّ اللَّهَ يَغَارُ (Sesungguhnya Allah itu cemburu), kita diajarkan bahwa Allah memiliki sifat ghairah (cemburu) dalam bentuk yang suci dan agung, bukan seperti cemburunya manusia. Sifat ini menunjukkan bahwa Allah sangat membenci perbuatan dosa dan tidak rela jika hamba-Nya melakukan perbuatan keji. Ini menjadi pengingat bahwa Allah mencintai kesucian, kemuliaan, dan ketaatan. Maka, saat seorang hamba tergelincir dalam maksiat, itu bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga pelanggaran terhadap cinta dan kehormatan yang Allah kehendaki. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman dalam Surah Al-A’raf ayat 33:

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ

(Katakanlah: "Sesungguhnya Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dan dosa serta pelanggaran tanpa hak"). Sifat cemburu Allah mengajarkan kita bahwa perbuatan dosa bukan perkara ringan; ia melukai kehormatan hubungan antara hamba dan Rabb-nya.


2. Cemburu sebagai Ciri Keimanan Sejati

Perkataan وَإِنَّ الْمُؤْمِنَ يَغَارُ (Dan sesungguhnya orang beriman pun cemburu), mengandung pelajaran bahwa cemburu terhadap kehormatan dan batasan syariat adalah tanda keimanan yang hidup. Seorang mukmin tidak akan tenang melihat kemungkaran terjadi, baik pada dirinya maupun orang lain. Ia memiliki kepekaan terhadap pelanggaran nilai-nilai agama. Cemburu di sini adalah bentuk penjagaan terhadap martabat diri, keluarga, dan agama. 

Dalam masyarakat yang baik, cemburu ini berfungsi sebagai pelindung moralitas dan penolak kehancuran sosial, karena ia menjadi benteng dari kerusakan akibat kemaksiatan.


3. Bentuk Nyata Cemburunya Allah

Dalam perkataan وَغَيْرَةُ اللَّهِ أَنْ يَأْتِيَ الْمُؤْمِنَ مَا حَرَّمَ عَلَيْهِ (Dan cemburunya Allah adalah ketika orang beriman melakukan sesuatu yang diharamkan atasnya), kita memahami bahwa puncak murka Allah muncul ketika hamba-Nya, yang telah diberi keimanan, malah melanggar batasan-Nya. Perbuatan maksiat dianggap sebagai bentuk penodaan terhadap kehormatan agama dan kasih sayang Allah yang telah menunjuki hamba-Nya kepada kebenaran. Ini menandakan bahwa maksiat adalah bentuk ketidaksetiaan kepada Allah. Dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 42, Allah memperingatkan:

وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

(Dan janganlah kamu campuradukkan kebenaran dengan kebatilan dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, padahal kamu mengetahuinya). Semakin tinggi kedudukan iman seseorang, semakin berat pula kedudukannya ketika ia melakukan pelanggaran.


4. Kemaksiatan Mengundang Murka Allah

Hadits ini juga mengajarkan bahwa setiap bentuk kemaksiatan adalah penyebab turunnya murka Allah, apalagi jika dilakukan oleh seorang mukmin. Allah tidak hanya membenci dosa, tetapi juga murka terhadap pelakunya karena perbuatan itu menyelisihi jalan yang telah Allah ridai. Rasulullah ﷺ bersabda:

إِذَا عُمِلَتِ الْخَطِيئَةُ فِي الْأَرْضِ، كَانَ مَنْ شَهِدَهَا فَكَرِهَهَا كَمَنْ غَابَ عَنْهَا، وَمَنْ غَابَ عَنْهَا فَرَضِيَهَا كَانَ كَمَنْ شَهِدَهَا

(Jika suatu dosa dilakukan di bumi, maka siapa yang menyaksikannya lalu membencinya, maka ia seperti orang yang tidak hadir. Dan siapa yang tidak hadir tapi ridha terhadapnya, maka ia seperti orang yang menyaksikannya) – HR. Abu Dawud. Ini mengingatkan kita bahwa sikap permisif terhadap dosa adalah bentuk kelalaian yang akan mengundang murka Allah.


5. Pentingnya Menjaga Batas Syariat

Sifat cemburu Allah dalam hadits ini menjadi seruan agar kita menjaga batasan yang telah ditentukan oleh Allah. Setiap larangan adalah peringatan untuk menjauhi jalan kebinasaan. Sebaliknya, menjaga diri dari pelanggaran adalah wujud cinta dan penghormatan terhadap Allah. Dalam Al-Qur’an Surah At-Talaq ayat 1 disebutkan:

وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ

(Barang siapa melanggar batas-batas Allah, maka sungguh dia telah menzalimi dirinya sendiri). Maka, menjaga syariat bukan hanya kewajiban, tapi juga bentuk perlindungan terhadap diri kita sendiri dari kerusakan dunia dan akhirat.


6. Kecemburuan sebagai Bentuk Kepedulian Sosial

Cemburu terhadap pelanggaran bukan hanya urusan pribadi, tetapi juga merupakan bentuk tanggung jawab sosial. Ketika seorang mukmin melihat pelanggaran dan ia merasa terusik serta berusaha memperbaikinya, itu menunjukkan bahwa hatinya masih hidup. Dalam hadits disebutkan:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا، فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ، فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ، فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ

(Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman) – HR. Muslim. Rasa cemburu yang benar adalah pendorong untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.


7. Bahaya Hilangnya Ghairah dalam Diri Mukmin

Jika rasa cemburu terhadap kemaksiatan telah hilang dari hati seorang mukmin, maka ini adalah pertanda lemahnya iman. Hati yang tidak lagi merasa terganggu dengan pelanggaran agama menunjukkan bahwa ia telah jauh dari nur keimanan. Dalam hadits Nabi ﷺ bersabda:

إنَّ ممَّا أدْرَكَ النَّاسُ مِن كَلامِ النُّبُوَّةِ، إذا لَمْ تَسْتَحْيِ فافْعَلْ ما شِئْتَ

(Sesungguhnya di antara hal yang masih dipahami manusia dari ucapan kenabian adalah: Jika kamu tidak malu, maka berbuatlah sesukamu) – HR. Bukhari (6120) . 

Rasa malu dan cemburu adalah dua pilar penjaga iman. Ketika keduanya hilang, manusia akan berani melakukan apa pun tanpa rasa takut kepada Allah.


8. Cemburu yang Terkendali adalah Ibadah

Meskipun cemburu itu baik, namun dalam Islam, ia harus diarahkan dengan benar dan tidak berlebihan. Cemburu yang dilandasi ilmu dan keadilan akan menjadi ibadah, tetapi jika dibiarkan liar tanpa kendali, ia bisa menimbulkan fitnah dan kerusakan. Dalam hadits Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ مِنَ الْغَيْرَةِ مَا يُحِبُّهُ اللَّهُ، وَمِنْهَا مَا يُبْغِضُهُ اللَّهُ

(Sesungguhnya di antara bentuk cemburu ada yang dicintai Allah dan ada yang dibenci Allah) – HR. Abu Dawud. Maka, seorang mukmin perlu memahami kapan cemburu itu menjadi keutamaan, dan kapan ia menjadi keburukan.


9. Menghindari Maksiat sebagai Bukti Cinta kepada Allah

Menjauhi perkara haram bukan hanya bentuk ketaatan, tapi juga bukti cinta dan penghormatan kepada Allah yang Maha Suci. Cemburunya Allah atas pelanggaran menunjukkan bahwa setiap maksiat adalah bentuk penolakan terhadap cinta-Nya. Maka, orang yang benar-benar mencintai Allah akan menjauhi semua yang dibenci-Nya. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman dalam Surah Al-Imran ayat 31:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ

(Katakanlah: Jika kamu mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu). Ketaatan adalah jalan meraih cinta-Nya, sedangkan pelanggaran adalah bentuk penolakan terhadap kasih-Nya.


10. Kepekaan terhadap Dosa adalah Rahmat

Rasa sakit di hati ketika melihat kemaksiatan adalah tanda bahwa Allah masih menjaga fitrah seorang hamba. Kepekaan ini perlu disyukuri dan dirawat agar tidak padam. Dalam hadits disebutkan:

مَنْ سَرَّتْهُ حَسَنَتُهُ، وَسَاءَتْهُ سَيِّئَتُهُ، فَهُوَ مُؤْمِنٌ

(Barang siapa yang merasa senang dengan kebaikannya dan merasa sedih dengan dosanya, maka ia adalah seorang mukmin) – HR. Ahmad. Maka, rasa cemburu dan sakit hati atas maksiat adalah anugerah yang perlu dipelihara dengan terus mendekat kepada Allah.


Secara keseluruhan, hadits ini mengajarkan bahwa cemburu yang benar adalah bagian dari iman dan wujud kepedulian terhadap kehormatan agama. Allah mencintai hamba yang menjaga diri dan keluarganya dari pelanggaran. Kemaksiatan bukan hanya dosa, tetapi juga bentuk pengkhianatan terhadap kesucian hubungan dengan Allah. Maka, rasa cemburu terhadap pelanggaran adalah tanda hidupnya hati dan benarnya keimanan.



Penutup Kajian


Jama’ah yang dirahmati Allah,

Hadits ini mengajarkan kepada kita bahwa Allah memiliki sifat ghairah (cemburu) dalam bentuk yang sempurna dan mulia. Ghairah ini adalah bentuk penjagaan Allah terhadap kehormatan syariat-Nya. Maka ketika seorang hamba beriman melakukan apa yang diharamkan oleh-Nya, itu bukan hanya bentuk pelanggaran, tapi juga isyarat bahwa ia telah mengabaikan kehormatan yang Allah jaga.

Demikian pula seorang mukmin, semestinya memiliki rasa cemburu terhadap nilai-nilai agama yang dilanggar, baik dalam dirinya, keluarganya, maupun masyarakat sekitarnya. Rasa cemburu ini bukanlah cemburu buta, tapi bentuk tanggung jawab atas keimanan yang ada dalam dada.

Harapannya, setelah memahami hadits ini, kita semua semakin menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang Allah haramkan. Kita tingkatkan rasa peduli terhadap kemungkaran yang terjadi di sekitar kita. Dan yang paling penting, kita mulai dengan diri sendiri: dengan menguatkan iman, menjaga pandangan, menyucikan hati, dan menjauhkan diri dari segala bentuk dosa yang merusak hubungan kita dengan Allah.

Semoga Allah menjadikan kita sebagai hamba-hamba yang memiliki kecemburuan yang benar, yang mampu menjaga kehormatan diri, keluarga, dan agama kita dari berbagai bentuk pelanggaran. Dan semoga setiap langkah kita menuju perbaikan dibimbing oleh cahaya iman dan kasih sayang-Nya.

Sebagai penutup, marilah kita tutup majelis ini dengan doa kafaratul majelis:

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ.

(Maha Suci Engkau, ya Allah, dan dengan memuji-Mu. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau. Aku memohon ampun dan bertobat kepada-Mu).

Tampilkan Kajian Menurut Kata Kunci

Followers