Hadits: 3 (Tiga) Tanda Orang Munafik

Bismillahirrahmanirrahim. 

Alhamdulillāh, segala puji bagi Allah yang telah menyempurnakan agama ini dengan tuntunan akhlak yang luhur dan menjadikan Rasulullah ﷺ sebagai teladan agung dalam kejujuran, amanah, dan kesetiaan. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad ﷺ, keluarga beliau, para sahabat, serta umatnya yang senantiasa mengikuti petunjuknya hingga hari kiamat.

Jama’ah yang dirahmati Allah,
Pada kesempatan yang mulia ini, kita akan membahas sebuah hadits yang sangat penting dan relevan dengan realitas kehidupan kita hari ini. Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu, yang menyebutkan tiga tanda orang munafik: bila berbicara ia berdusta, bila berjanji ia mengingkari, dan bila diberi amanah ia berkhianat.

Mengapa hadits ini perlu kita kaji secara serius?

Karena kita hidup di tengah masyarakat yang — tanpa disadari — sering kali terbiasa dengan kebohongan, menganggap enteng janji, dan melalaikan amanah. Mulai dari anak-anak yang berdusta kepada orang tua, pelajar yang curang dalam ujian, pedagang yang tidak jujur dalam transaksi, hingga pemangku amanah publik yang tidak menjalankan tanggung jawab dengan benar. Fenomena seperti ini bukan hanya merusak kepercayaan sosial, tetapi juga merupakan penyakit hati yang membahayakan keimanan seseorang.

Sering kali kita melihat seseorang yang rajin beribadah, aktif dalam kegiatan keagamaan, namun dalam keseharian tidak menjaga lisannya dari dusta, atau menganggap remeh amanah dan janji. Maka di sinilah urgensinya hadits ini dipelajari: agar kita tidak terjebak pada ibadah lahiriah semata, namun mengabaikan hakikat keimanan yang sejati, yaitu akhlak yang bersih dari sifat kemunafikan.

Hadits ini bukan hanya untuk diketahui, tapi untuk dijadikan cermin. Karena tanda-tanda yang disebutkan Nabi ﷺ adalah indikator penyakit yang bisa menjangkiti siapa pun, bahkan orang yang merasa dirinya sudah baik.

Semoga dengan mempelajari hadits ini, kita semua dapat menilai dan memperbaiki diri. Sebab, lebih baik kita tersentak hari ini oleh peringatan Nabi ﷺ, daripada menyesal di akhirat karena menyimpan sifat munafik yang tidak kita sadari. Na‘ūdzu billāh min dzālik.

Mari kita buka hati, lapangkan dada, dan siapkan diri untuk menyimak hadits ini dan menggali pelajaran berharganya bersama.



Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, dia berkata: bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

آيَةُ المُنَافِقِ ثَلَاثٌ: إذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وإذَا وعَدَ أخْلَفَ، وإذَا اؤْتُمِنَ خَانَ.

Tanda orang munafik ada tiga: apabila berbicara, ia berdusta; apabila berjanji, ia mengingkari; dan apabila diberi amanah, ia berkhianat.

HR Al-Bukhari (33) dan Muslim (59)

mendengarkan mp3 dari hadits ini: https://t.me/mp3qhn/345



Arti dan Penjelasan Per Kalimat


آيَةُ المُنَافِقِ ثَلَاثٌ:
Tanda orang munafik ada tiga.

Perkataan ini merupakan pembukaan dari Rasulullah ﷺ yang langsung menarik perhatian pendengar dengan menyebutkan jumlah tanda kemunafikan secara tegas: tiga.
Penggunaan kata "آيَة" (tanda) menunjukkan bahwa yang disebutkan Nabi bukan sekadar gejala biasa, tapi merupakan ciri khas yang tampak dan jelas.
Ini menunjukkan bahwa kemunafikan bukanlah sesuatu yang tersembunyi sepenuhnya—ada indikator-indikator lahiriah yang bisa diwaspadai.
Dengan mengetahui tanda-tandanya, seorang Muslim bisa mengoreksi dirinya agar tidak tergelincir dalam sifat yang sangat dibenci oleh Allah ini.
Penyebutan jumlah juga menunjukkan keseriusan persoalan ini: cukup dengan tiga sifat saja, seseorang bisa terjerumus ke dalam kemunafikan amal, bahkan bisa berbahaya bagi keimanannya.


 إذَا حَدَّثَ كَذَبَ،
Apabila berbicara, ia berdusta.

Ini adalah tanda pertama yang paling mendasar: dusta dalam ucapan.
Dusta merupakan pangkal dari berbagai keburukan, karena ia menghancurkan kepercayaan, merusak hubungan, dan membuka jalan bagi pengkhianatan.
Dalam kehidupan masyarakat, dusta menyebabkan disinformasi, ketidakadilan, dan bahkan fitnah.
Rasulullah ﷺ dalam hadits lain menyebutkan bahwa dusta menuntun pada kefasikan, dan kefasikan menuntun ke neraka.
Maka, siapa pun yang terbiasa berdusta—baik untuk kepentingan pribadi, ekonomi, atau sekadar hiburan—telah menyimpan benih kemunafikan dalam dirinya.
Ucapan adalah cermin hati, dan dusta menunjukkan hati yang rusak oleh hawa nafsu atau kelemahan iman.


 وإذَا وعَدَ أخْلَفَ،
Apabila berjanji, ia mengingkari.

Tanda kedua ini berkaitan dengan integritas diri dan komitmen sosial.
Janji, meskipun sekadar ucapan, memiliki beban moral dan nilai agama yang tinggi dalam Islam.
Mengingkari janji bukan hanya menyakiti orang lain, tapi juga menunjukkan bahwa seseorang tidak dapat dipercaya.
Dalam konteks kehidupan sehari-hari, hal ini mencakup janji kecil seperti hadir tepat waktu, hingga janji besar seperti akad jual beli, kontrak kerja, atau komitmen dalam rumah tangga.
Seseorang yang mudah mengingkari janji biasanya melakukannya karena meremehkan hak orang lain atau terlalu mengikuti hawa nafsu dan kepentingan pribadi.
Padahal, Allah memerintahkan agar janji ditepati dan mengaitkannya langsung dengan keimanan dalam banyak ayat Al-Qur’an.


 وإذَا اؤْتُمِنَ خَانَ.
Dan apabila diberi amanah, ia berkhianat.

Ini adalah puncak dari krisis kepribadian: pengkhianatan terhadap amanah.
Amanah bukan hanya berarti harta atau titipan, tetapi mencakup segala bentuk tanggung jawab yang dibebankan kepada seseorang—baik dalam keluarga, masyarakat, maupun negara.
Khianat terhadap amanah adalah perusak utama struktur sosial, karena kepercayaan adalah fondasi kehidupan bersama.
Orang yang berkhianat berarti memanfaatkan kepercayaan untuk kepentingan pribadi, padahal ia tahu bahwa yang diberikan kepadanya adalah tanggung jawab yang harus dijaga.
Allah memuji orang-orang yang menjaga amanah dalam Surah Al-Mu’minūn dan mencela pengkhianat dalam banyak ayat.
Pengkhianatan adalah bentuk kezaliman, karena mengambil hak yang bukan miliknya melalui cara yang tersembunyi.


Syarah Hadits


النِّفَاقُ نَوْعَانِ
Kemunafikan ada dua jenis.

نِفَاقٌ اعْتِقَادِيٌّ يُخْرِجُ صَاحِبَهُ عَنِ الإِيمَانِ
Kemunafikan keyakinan yang mengeluarkan pelakunya dari keimanan.

وَهُوَ إِظْهَارُ الإِسْلَامِ وَإِخْفَاءُ الكُفْرِ
Yaitu menampakkan Islam dan menyembunyikan kekufuran.

وَنِفَاقٌ عَمَلِيٌّ
Dan kemunafikan amal.

وَهُوَ التَّشَبُّهُ بِالمُنَافِقِينَ فِي أَخْلَاقِهِمْ
Yaitu menyerupai orang-orang munafik dalam akhlak mereka.

وَهَذَا لَا يُخْرِجُ صَاحِبَهُ عَنِ الإِيمَانِ
Yang ini tidak mengeluarkan pelakunya dari keimanan.

إِلَّا أَنَّهُ كَبِيرَةٌ مِنَ الكَبَائِرِ
Namun ia termasuk dosa besar.

وَفِي هَذَا الحَدِيثِ
Dalam hadits ini.

بَيَّنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النِّفَاقَ العَمَلِيَّ
Nabi menjelaskan kemunafikan amal.

وَذَكَرَ فِيهِ العَلَامَاتِ المُميِّزَةَ لَهُ
Dan menyebutkan tanda-tanda yang membedakannya.

فَقَالَ: آيَةُ المُنَافِقِ ثَلَاثٌ
Beliau bersabda: "Tanda orang munafik ada tiga."

أَي: مِنْ عَلَامَاتِ النِّفَاقِ العَمَلِيِّ
Artinya, termasuk tanda-tanda kemunafikan amal.

الَّتِي تَدُلُّ عَلَى أَنَّ صَاحِبَهَا يُشْبِهُ المُنَافِقِينَ فِي أَعْمَالِهِمْ وَأَخْلَاقِهِمْ
Yang menunjukkan bahwa pelakunya menyerupai orang-orang munafik dalam perbuatan dan akhlaknya.

أَنْ تُوجَدَ فِي المَرْءِ هَذِهِ الخِصَالُ الثَّلَاثُ أَوْ بَعْضُهَا
Jika pada seseorang terdapat tiga sifat ini atau sebagian darinya.

فَالعَلَامَةُ الأُولَى: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ
Tanda yang pertama: apabila berbicara, ia berdusta.

وَذَلِكَ بِأَنْ يَشْتَهِرَ ذَلِكَ الإِنْسَانُ بِالكَذِبِ فِي الحَدِيثِ
Yaitu jika orang tersebut dikenal suka berdusta dalam perkataan.

وَالعَلَامَةُ الثَّانِيَةُ: إِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ
Tanda yang kedua: apabila berjanji, ia mengingkari.

وَذَلِكَ بِأَنْ يَشْتَهِرَ بِخُلْفِ الوَعْدِ
Yaitu jika ia dikenal suka mengingkari janji.

بِحَيْثُ إِذَا وَعَدَ بِشَيْءٍ تَعَمَّدَ الخُلْفَ
Sehingga setiap kali berjanji, ia sengaja tidak menepatinya.

وَالعَلَامَة الثَّالِثَة: إِذَا ائْتُمِنَ خَانَ
Tanda yang ketiga: apabila diberi amanah, ia berkhianat.

وَذَلِكَ بِأَنْ يَشْتَهِرَ بِالخِيَانَةِ بَيْنَ النَّاسِ
Yaitu jika ia dikenal suka berkhianat di kalangan masyarakat.

وَهَذِهِ الأَشْيَاءُ المَذْكُورَةُ تَرْجِعُ إِلَى أَصْلٍ وَاحِدٍ
Hal-hal yang disebutkan ini kembali kepada satu pokok.

وَهُوَ النِّفَاقُ الَّذِي يُبَايِنُهُ الصِّدْقُ
Yaitu kemunafikan yang berlawanan dengan kejujuran.

وَيُزَايِلُهُ الوَفَاءُ
Dan berbeda dengan sikap menepati janji.

وَتُنَافِيهِ الأَمَانَةُ
Serta bertentangan dengan sikap amanah.

وَالمَقْصُودُ مِنَ الحَدِيثِ
Maksud dari hadits ini.

أَنَّ هَذِهِ الخِصَالَ خِصَالُ نِفَاقٍ
Bahwa sifat-sifat ini adalah sifat kemunafikan.

وَصَاحِبُهَا شَبِيهٌ بِالمُنَافِقِينَ فِي هَذِهِ الخِصَالِ
Dan pelakunya mirip dengan orang-orang munafik dalam sifat-sifat ini.

وَمُتَخَلِّقٌ بِأَخْلَاقِهِمْ
Serta berakhlak seperti mereka.

لَا أَنَّهُ مُنَافِقٌ يُظْهِرُ الإِسْلَامَ وَهُوَ يُبْطِنُ الكُفْرَ
Bukan berarti ia seorang munafik yang menampakkan Islam tetapi menyembunyikan kekufuran.

وَلَمْ يُرِدِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِهَذَا أَنَّهُ مُنَافِقٌ نِفَاقَ الكُفَّارِ المُخَلَّدِينَ فِي الدَّرْكِ الأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ
Nabi tidak bermaksud bahwa pelakunya adalah munafik seperti orang-orang kafir yang kekal di lapisan paling bawah neraka.

وَفِي الحَدِيثِ: تَنْبِيهٌ عَلَى صِفَاتِ النِّفَاقِ المَذْمُومَةِ
Dalam hadits ini terdapat peringatan tentang sifat-sifat kemunafikan yang tercela.

لِلتَّخْوِيفِ وَالتَّحْذِيرِ مِنَ الوُقُوعِ فِيهَا
Untuk menakut-nakuti dan memperingatkan agar tidak terjerumus ke dalamnya.

 

Maraji: https://dorar.net/hadith/sharh/5957


Pelajaran dari Hadits ini



1. Tanda Kemunafikan yang Jelas


Kemunafikan Ada Dua Jenis

  • Nifaq I'tiqadi (Kemunafikan Keyakinan):
    Kemunafikan ini mengeluarkan pelakunya dari keimanan. Pelaku nifaq i'tiqadi menampakkan dirinya sebagai seorang Muslim, tetapi di dalam hatinya menyembunyikan kekufuran.
  • Nifaq Amali (Kemunafikan Amal):
    Kemunafikan ini berupa perilaku yang menyerupai akhlak orang-orang munafik. Meskipun tidak mengeluarkan pelakunya dari keimanan, nifaq amali termasuk dosa besar yang berbahaya


Perkataan آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ (Tanda orang munafik ada tiga) menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ memberikan peringatan tegas tentang bahaya kemunafikan, bukan dari aspek keyakinan semata, tapi dari sifat dan kebiasaan yang tampak. Sifat-sifat ini menjadi indikator nyata seseorang telah membawa ciri-ciri orang munafik, meskipun ia menampakkan Islam. Ini menjadi peringatan keras agar kita waspada terhadap perilaku yang bisa menggerogoti keimanan dari dalam. Allah menyebutkan dalam Al-Qur’an:
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَمَا هُم بِمُؤْمِنِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ (Al-Baqarah: 8–9)
(Dan di antara manusia ada yang berkata, “Kami beriman kepada Allah dan Hari Akhir,” padahal mereka bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu diri mereka sendiri tanpa mereka sadari.)


2. Bahaya Dusta dalam Ucapan

Perkataan إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ (Apabila berbicara, ia berdusta) menegaskan bahwa dusta adalah tanda pertama kemunafikan yang bisa merusak integritas seorang Muslim. Dusta bukan hanya mencederai kepercayaan orang lain, tapi juga menunjukkan lemahnya rasa takut kepada Allah. Dalam kehidupan sehari-hari, dusta seringkali dianggap ringan, padahal itu adalah dosa besar. Nabi ﷺ bersabda:

إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يُكْتَبَ عِندَ اللَّهِ صِدِّيقًا، وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ، وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ عِندَ اللَّهِ كَذَّابًا (HR. Bukhari dan Muslim)
(Sesungguhnya kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan membawa ke surga. Seseorang akan terus berkata jujur hingga ditulis di sisi Allah sebagai orang yang sangat jujur. Dan sesungguhnya dusta membawa kepada kefasikan, dan kefasikan membawa ke neraka. Seseorang akan terus berdusta hingga ditulis di sisi Allah sebagai pendusta.)


3. Menepati Janji Adalah Akhlak Muslim

Perkataan وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ (Apabila berjanji, ia mengingkari) menunjukkan bahwa mengingkari janji bukan hanya masalah etika, tapi juga mencerminkan kelemahan iman. Dalam Islam, janji adalah tanggung jawab. Sekecil apapun janji itu, harus dijaga karena ia akan dimintai pertanggungjawaban. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ (Al-Mā’idah: 1)
(Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad.)
Janji mencerminkan kredibilitas seorang Muslim di mata sesama manusia dan juga menunjukkan keseriusan dalam menunaikan hak orang lain. Mengingkari janji, apalagi secara sengaja, bisa meruntuhkan kepercayaan sosial dan menjadi awal dari rusaknya hubungan antarindividu.


4. Amanah: Pilar Kepercayaan Sosial

Perkataan وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ (Dan apabila diberi amanah, ia berkhianat) merupakan ciri ketiga dari kemunafikan, yang menunjukkan betapa pentingnya menjaga kepercayaan dalam Islam. Amanah bukan sekadar menyimpan barang, tapi mencakup segala bentuk tanggung jawab yang dititipkan, baik sebagai orang tua, pekerja, pemimpin, atau pejabat. Nabi ﷺ bersabda:
لَا إِيمَانَ لِمَنْ لَا أَمَانَةَ لَهُ، وَلَا دِينَ لِمَنْ لَا عَهْدَ لَهُ (HR. Ahmad dan Al-Bazzar)
(Tidak ada iman bagi orang yang tidak menjaga amanah, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak menepati janji.)
Pengkhianatan terhadap amanah menghancurkan kepercayaan masyarakat dan menyebabkan kerusakan luas, baik di lingkungan kecil seperti keluarga maupun dalam skala besar seperti negara.


5. Menjaga Konsistensi Antara Iman dan Perilaku

Hadits ini menunjukkan bahwa keimanan tidak hanya dilihat dari pengakuan lisan atau ibadah formal, tetapi harus dibuktikan dalam akhlak dan interaksi sosial. Seorang Muslim sejati tidak hanya rajin shalat dan puasa, tapi juga jujur, dapat dipercaya, dan menepati janji. Allah menegaskan hal ini dalam firman-Nya:
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ … وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ (Al-Mu’minūn: 1–8)
(Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) yang khusyuk dalam shalatnya ... dan orang-orang yang memelihara amanat dan janjinya.)
Ini mengajarkan bahwa akhlak adalah cerminan keimanan, dan siapa yang mengabaikannya berarti belum memahami Islam secara utuh.


6. Menjaga Lisan sebagai Benteng Iman

Sifat pertama yang disebutkan Rasul ﷺ adalah dusta, karena lisan adalah cermin hati. Jika lisan rusak, maka rusak pula seluruh amal. Nabi ﷺ pernah ditanya tentang sebab paling banyak orang masuk neraka, beliau menjawab:
الْفَمُ وَالْفَرْجُ (HR. Tirmidzi)
((Yang paling banyak menyebabkan manusia masuk neraka adalah) mulut dan kemaluan.)
Oleh karena itu, menjaga lisan dari kebohongan adalah langkah awal menjaga keselamatan agama dan diri.


7. Menjadikan Diri Layak Dipercaya di Masyarakat

Amanah dan janji bukan hanya urusan pribadi, tetapi kunci diterimanya seorang Muslim di tengah masyarakat. Bila seseorang dikenal tidak bisa dipercaya dan sering ingkar janji, maka hilanglah wibawa dan kepercayaan kepadanya. Rasulullah ﷺ dikenal sebagai الصادق الأمين bahkan sebelum diangkat sebagai Nabi. Ini menunjukkan bahwa kredibilitas sosial adalah fondasi dakwah dan penerimaan masyarakat terhadap pesan kebenaran.


8. Menghindari Kemunafikan Amal

Hadits ini menjelaskan bentuk kemunafikan amal (النفاق العملي) yang bisa ada dalam diri seorang Muslim meskipun ia shalat dan berpuasa. Ini berbeda dengan kemunafikan akidah (النفاق الاعتقادي) yang menjadikan pelakunya kafir. Namun, jika dibiarkan, kemunafikan amal bisa menjerumuskan ke dalam kemunafikan yang lebih besar. Maka kita diperintahkan untuk menjauhi setiap sifat yang menyerupai orang munafik, sebagaimana firman Allah:
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَن تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا (An-Nisā’: 145)
(Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu tidak akan mendapatkan seorang penolong pun bagi mereka.)


Kesimpulan
Secara keseluruhan, hadits ini mengajarkan bahwa keimanan sejati harus tercermin dalam kejujuran, kesetiaan terhadap janji, dan amanah dalam tanggung jawab. Sifat-sifat ini bukan sekadar adab sosial, tetapi bagian dari inti iman yang tidak bisa dipisahkan. Jika kita ingin menjadi Muslim yang diridhai Allah, maka jauhilah sifat munafik dan hiasilah diri dengan akhlak yang mulia.

Hadits ini mengajarkan pentingnya menjaga akhlak mulia, menjauhi sifat munafik, dan senantiasa introspeksi agar tidak terjerumus dalam kemunafikan baik secara keyakinan maupun amal. 


Penutupan Kajian


Ma’asyiral muslimin rahimakumullāh,
Hadits yang mulia ini memberikan peringatan yang sangat tegas dan mendalam tentang sifat-sifat kemunafikan yang tidak boleh dianggap remeh. Rasulullah ﷺ tidak menyebutkan ciri-ciri ini kecuali karena bahayanya yang sangat besar, baik terhadap pribadi seorang Muslim, terhadap kepercayaan masyarakat, maupun terhadap tatanan kehidupan umat secara keseluruhan.

Faedah besar dari hadits ini adalah penegasan bahwa Islam bukan hanya mengajarkan ibadah yang bersifat ritual semata, tetapi juga membentuk akhlak dan integritas pribadi seorang Muslim. Kejujuran dalam ucapan, kesetiaan terhadap janji, dan amanah dalam tanggung jawab adalah tiang penyangga keimanan yang sejati. Ketiganya menjadi tolok ukur keaslian iman seseorang, bahkan Rasulullah ﷺ menyandingkan penyimpangan dari nilai-nilai ini dengan tanda kemunafikan, sebuah penyakit hati yang sangat dibenci Allah dan diancam dengan azab yang pedih di akhirat.

Karena itu, marilah kita muhasabah diri:
— Sudahkah kita jujur dalam ucapan, meski mungkin terasa berat?
— Sudahkah kita berusaha menepati janji, walau sekecil apa pun?
— Sudahkah kita menjaga amanah yang dititipkan kepada kita, baik berupa harta, rahasia, jabatan, maupun tanggung jawab sosial?

Harapan dari kajian ini adalah agar setiap kita bertekad meninggalkan segala bentuk kebohongan, pengingkaran janji, dan pengkhianatan amanah, betapa pun kecil atau tersembunyi. Sebab, Allah Maha Mengetahui segala yang kita ucapkan dan kita sembunyikan.

Semoga kita semua dijauhkan dari sifat-sifat kemunafikan dan dihiasi dengan akhlak orang-orang yang jujur, dapat dipercaya, dan senantiasa menepati janji. Dan semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang layak mendapatkan rahmat dan ridha-Nya, baik di dunia maupun di akhirat.

Amin yaa Rabbal 'Alamin ..

  


Belajar membaca dan menerjemahkan syarah hadits tanpa harakat


النفاق نوعان: نفاق اعتقادي يخرج صاحبه عن الإيمان، وهو إظهار الإسلام وإخفاء الكفر، ونفاق عملي، وهو التشبه بالمنافقين في أخلاقهم، وهذا لا يخرج صاحبه عن الإيمان، إلا أنه كبيرة من الكبائر.وفي هذا الحديث بين النبي صلى الله عليه وسلم النفاق العملي، وذكر فيه العلامات المميزة له، فقال: آية المنافق ثلاث، أي: من علامات النفاق العملي التي تدل على أن صاحبها يشبه المنافقين في أعمالهم وأخلاقهم أن توجد في المرء هذه الخصال الثلاث أو بعضها؛ فالعلامة الأولى: إذا حدث كذب؛ وذلك بأن يشتهر ذلك الإنسان بالكذب في الحديث. والعلامة الثانية: إذا وعد أخلف، وذلك بأن يشتهر بخلف الوعد، بحيث إذا وعد بشيء تعمد الخلف. والعلامة الثالثة: إذا ائتمن خان، وذلك بأن يشتهر بالخيانة بين الناس.وهذه الأشياء المذكورة ترجع إلى أصل واحد؛ وهو النفاق الذي يباينه الصدق، ويزايله الوفاء، وتنافيه الأمانة، والمقصود من الحديث: أن هذه الخصال خصال نفاق، وصاحبها شبيه بالمنافقين في هذه الخصال، ومتخلق بأخلاقهم، لا أنه منافق يظهر الإسلام وهو يبطن الكفر، ولم يرد النبي صلى الله عليه وسلم بهذا أنه منافق نفاق الكفار المخلدين في الدرك الأسفل من النار.وفي الحديث: تنبيه على صفات النفاق المذمومة للتخويف والتحذير من الوقوع فيها.


----- Penutup -----

Hadirin sekalian,


Hadits ini bukan hanya memberikan kita panduan untuk mengenali orang lain, tetapi juga untuk mengenali diri kita sendiri. Apakah kita sudah jujur dalam setiap perkataan kita? Apakah kita menepati janji yang telah kita buat? Apakah kita menjaga amanah dengan sebaik-baiknya?

Semoga kajian ini membuka hati kita untuk lebih berhati-hati dalam menjaga integritas dan kejujuran dalam setiap aspek kehidupan. Mari kita dengarkan dan renungkan hadits ini dengan penuh perhatian, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memudahkan kita untuk mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Aamiin.




Tampilkan Kajian Menurut Kata Kunci