Kajian: Kajian Adab Muslim Terhadap Non-Muslim (Minhajul Muslim)
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ
أَجْمَعِينَ. أَمَّا بَعْدُ.
Pembukaan Kajian
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah memudahkan
langkah kita untuk hadir di majelis ilmu yang mulia ini.
Shalawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan kita,
Nabi Muhammad ﷺ.
Hadirin sekalian yang dirahmati Allah,
Kita hidup di tengah masyarakat yang majemuk. Di sekitar
kita, di lingkungan kerja, di sekolah, bahkan di dalam keluarga kita, terdapat
saudara-saudara kita yang berkeyakinan lain.
Latar Belakang Masalah dan Urgensi Kajian
Kita melihat di masyarakat, sering terjadi dua penyimpangan
ekstrem dalam berinteraksi dengan non-Muslim, dan ini menjadi latar belakang
mendasar mengapa kajian ini menjadi sangat urgen untuk kita pelajari:
1. Ekstrem Pertama (Sikap Keras dan Kaku):
Sebagian kaum Muslimin bersikap sangat keras, menolak sama
sekali interaksi, menganggap semua non-Muslim adalah musuh yang harus dijauhi
total, bahkan sampai pada tindakan diskriminasi dan penganiayaan. Ini jelas bertentangan
dengan nilai keadilan dan rahmat yang diajarkan Islam.
2. Ekstrem Kedua (Sikap Terlalu Melunak/Tasyabbuh):
Sebagian lainnya bersikap terlalu lunak. Mereka larut dalam
budaya non-Muslim, memberikan loyalitas yang seharusnya hanya untuk sesama
Muslim, bahkan sampai mengorbankan akidah dan identitas keislaman mereka demi
menjaga hubungan sosial atau toleransi yang keliru. Mereka melanggar
batas-batas Al-Wala' wal Bara' (loyalitas dan berlepas diri).
Lalu, di mana posisi Islam yang benar?
Islam adalah agama yang sempurna, yang mengajarkan jalan
tengah, yaitu keseimbangan antara menjaga akidah yang murni dan
berinteraksi secara manusiawi. Inilah urgensi kita mempelajari materi
"Adab terhadap Orang Kafir".
Faedah dan Tujuan Kajian
Mempelajari bab ini memiliki setidaknya tiga faedah besar:
1. Menjaga Kemurnian Akidah:
Kita akan belajar membedakan antara loyalitas (yang
dilarang diberikan kepada non-Muslim) dan interaksi sosial (yang diperintahkan
untuk berbuat adil dan baik). Ini memastikan kita tidak tergelincir pada
tasyabbuh (meniru) dalam hal ibadah atau akidah, sehingga identitas
keislaman kita tetap kokoh, sebagaimana firman Allah (QS. Ali Imran: 28):
{لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ
أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ}
2. Mewujudkan Rahmatan lil 'Alamin:
Kita akan memahami bahwa Islam memerintahkan kita berbuat
baik dan berlaku adil kepada non-Muslim yang hidup damai. Ini adalah cerminan
dari Islam sebagai agama rahmat, yang akan menghilangkan stigma buruk terhadap
umat Islam. Sebagaimana firman-Nya (QS. Al-Mumtahanah: 8):
{لَا يَنْهَاكُمُ
اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ... أَنْ تَبَرُّوهُمْ
وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ\}
3. Keselamatan di Dunia dan Akhirat:
Dengan memahami dan mengamalkan adab ini, kita akan selamat
dari dosa besar kezaliman terhadap non-Muslim (sebagaimana sabda Nabi: "من آذَى ذِمِّيًّا فَأَنَا خَصْمُهُ يَوْمَ القِيَامَةِ")
dan selamat dari dosa mencampurkan akidah.
Maka, marilah kita buka hati dan pikiran kita. Kita akan
mengkaji nash-nash Al-Qur'an dan Sunnah secara rinci untuk mengetahui hak
dan kewajiban kita terhadap non-Muslim, sehingga kita bisa menjadi Muslim
yang lurus akidahnya, namun lembut dan adil dalam interaksi sosialnya.
Semoga Allah memberkahi majelis kita.
Isi Kajian
الأَدَبُ مَعَ
الكَافِرِ
Adab
(Sikap) terhadap Orang Kafir:
يَعْتَقِدُ المُسْلِمُ
أَنَّ سَائِرَ المِلَلِ وَالأَدْيَانِ بَاطِلَةٌ، وَأَنَّ أَصْحَابَهَا كُفَّارٌ
إِلَّا الدِّينَ الإِسْلَامِيَّ فَإِنَّهُ الدِّينُ الحَقُّ، وَإِلَّا أَصْحَابَهُ
فَإِنَّهُمُ المُؤْمِنُونَ المُسْلِمُونَ،
Seorang Muslim meyakini bahwa semua agama dan keyakinan
lain adalah batil, dan para pemeluknya adalah orang-orang kafir, kecuali agama
Islam. Sesungguhnya Islam adalah agama yang benar, dan para pemeluknya adalah
orang-orang yang beriman lagi Muslim.
وَذَلِكَ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {إِنَّ الدِّينَ
عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ} [آل عمران: 19].
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya
agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran: 19).
وَقَوْلِهِ
سُبْحَانَهُ: {وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ
وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ} [آل عمران: 85].
Dan firman-Nya, “Dan barangsiapa mencari agama selain
Islam, maka tidak akan diterima darinya, dan dia di akhirat termasuk
orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran: 85).
وَقَوْلِهِ: {الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ
دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ
دِينًا} [المائدة: 3].
Serta firman-Nya, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan
agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai
Islam sebagai agamamu.” (QS. Al-Maidah: 3).
فَبِهَذِهِ الأَخْبَارِ
الإِلَهِيَّةِ الصَّادِقَةِ عَلِمَ المُسْلِمُ أَنَّ سَائِرَ الأَدْيَانِ الَّتِي
قَبْلَ الإِسْلَامِ قَدْ نُسِخَتْ بِالإِسْلَامِ، وَأَنَّ الإِسْلَامَ هُوَ دِينُ
البَشَرِيَّةِ العَامِّ، فَلَمْ يَقْبَلِ اللَّهُ مِنْ أَحَدٍ دِينًا غَيْرَهُ،
وَلَا يَرْضَى بِشَرْعٍ سِوَاهُ،
Berdasarkan berita ilahiah yang benar ini, seorang Muslim
mengetahui bahwa semua agama sebelum Islam telah dihapuskan (nasakh) oleh
Islam, dan bahwa Islam adalah agama universal bagi seluruh umat manusia. Allah
tidak akan menerima agama dari siapa pun selain Islam, dan tidak meridai
syariat selainnya.
وَمِنْ هُنَا كَانَ المُسْلِمُ يَرَى أَنَّ
كُلَّ مَنْ لَمْ يَدِنْ لِلَّهِ تَعَالَى بِالإِسْلَامِ فَهُوَ كَافِرٌ،
وَيَلْتَزِمُ حِيَالَهُ بِالآدَابِ التَّالِيَةِ:
Dari
sinilah seorang Muslim memandang bahwa setiap orang yang tidak beragama Islam
di hadapan Allah Ta’ala adalah kafir, dan ia harus berpegang pada adab-adab
berikut ini terhadap mereka.
Penjelasan
Poin ini merupakan dasar akidah seorang Muslim dalam memandang
keberadaan agama-agama lain. Intinya, hanya Islam yang diakui dan diridai oleh
Allah sebagai jalan keselamatan di dunia dan akhirat.
Keyakinan ini tidak boleh goyah. Misalnya, ketika seorang Muslim
berinteraksi dengan teman non-Muslim, ia tidak boleh mengucapkan "semua
agama sama" atau "jalan ke surga bisa lewat mana saja", karena
hal tersebut bertentangan dengan ayat-ayat Al-Qur'an di atas.
Sikap ini adalah fondasi, bukan berarti merendahkan atau membenci
individu non-Muslim, melainkan memegang teguh keyakinan bahwa hanya Islam yang
benar.
- 1عَدَمُ إِقْرَارِهِ عَلَى الكُفْرِ، وَعَدَمُ
الرِّضَاءِ بِهِ، إِذِ الرِّضَا بِالكُفْرِ كُفْرٌ.
1
- Tidak menyetujui kekafirannya dan tidak rida dengannya, karena rida
(menyetujui) kekafiran adalah kekafiran itu sendiri.
Penjelasan
Seorang Muslim harus memiliki sikap yang jelas terhadap
kekafiran sebagai sebuah konsep. Tidak boleh ada persetujuan atau kerelaan di
hati atas kekafiran yang dianut oleh orang lain. Sikap ini adalah bentuk
penolakan terhadap ajaran yang batil, bukan penolakan terhadap individunya.
Contoh aplikatif: Ketika seorang teman non-Muslim
merayakan hari raya keagamaannya, seorang Muslim tidak boleh ikut serta dalam
perayaan tersebut atau mengucapkan ucapan selamat yang mengandung pengakuan
terhadap keyakinan mereka, seperti "Selamat Natal". Hal ini karena
mengucapkan selamat tersebut dapat diartikan sebagai keridaan terhadap akidah
mereka. Namun, hal ini tidak menghalangi kita untuk tetap bersikap baik dalam
hal-hal muamalah (interaksi sosial) lainnya.
- 2بُغْضُهُ بِبُغْضِ اللَّهِ تَعَالَى لَهُ؛
إِذِ الحُبُّ فِي اللَّهِ وَالبُغْضُ فِي اللَّهِ، وَمَا دَامَ اللَّهُ عَزَّ
وَجَلَّ قَدْ أَبْغَضَهُ لِكُفْرِهِ بِهِ، فَالمُسْلِمُ يُبْغِضُ الكَافِرَ
بِبُغْضِ اللَّهِ تَعَالَى لَهُ.
2
- Membencinya karena kebencian Allah Ta’ala terhadapnya, karena cinta itu
karena Allah dan benci itu juga karena Allah. Selama Allah ‘Azza wa Jalla
membenci mereka karena kekafiran mereka terhadap-Nya, maka seorang Muslim juga
membenci orang kafir karena kebencian Allah Ta’ala terhadapnya.
Penjelasan
Kebencian yang dimaksud di sini adalah kebencian
terhadap kekafiran (akidah), bukan kebencian personal yang mendorong untuk
menyakiti atau menganiaya. Ini adalah bagian dari konsep al-wala’ wa al-bara’
(loyalitas dan berlepas diri) dalam Islam. Kita mencintai orang-orang yang
beriman dan berlepas diri dari orang-orang kafir.
Sebagai ilustrasi,
Anda mungkin memiliki seorang tetangga non-Muslim yang sangat baik dan ramah.
Anda bisa bersikap baik kepadanya, membantunya saat kesulitan, dan menjalin
hubungan bertetangga yang harmonis (muamalah). Namun, di dalam hati Anda, Anda
membenci ajaran yang dia anut karena ia menolak kebenaran Islam, yang mana hal
itu adalah perbuatan yang dibenci oleh Allah. Kebencian ini tidak lantas
membuat Anda bersikap kasar atau dingin kepadanya, melainkan mendorong Anda
untuk mendoakannya agar mendapatkan hidayah.
- 3عَدَمُ مُوَالَاتِهِ وَمَوَدَّتِهِ لِقَوْلِهِ
تَعَالَى: {لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ
الْمُؤْمِنِينَ} [آل عمران: 28].
3 - Tidak memberikan loyalitas dan kasih sayang kepada
mereka, berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Janganlah orang-orang mukmin
menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, melainkan orang-orang mukmin (saja).”
(QS. Ali Imran: 28).
وَقَوْلِهِ تَعَالَى: {لَا تَجِدُ قَوْمًا
يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ
وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ
أَوْ عَشِيرَتَهُمْ} [المجادلة: 22].
Dan
firman-Nya, “Engkau tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada
Allah dan hari akhirat saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang
Allah dan Rasul-Nya, meskipun orang-orang itu bapak-bapak, anak-anak,
saudara-saudara, atau keluarga mereka.” (QS. Al-Mujadalah: 22).
Penjelasan
Yang dimaksud dengan muwalah (loyalitas) di sini adalah
kecintaan dan dukungan yang mendalam yang berpotensi membahayakan kaum
Muslimin. Ini mencakup tidak menjadikan mereka sebagai pemimpin yang menguasai
urusan kaum Muslimin, tidak memihak mereka dalam konflik, dan tidak meniru
mereka secara total. Namun, hal ini berbeda dengan berinteraksi secara damai
atau berteman.
Contoh aplikatif: Seorang
Muslim tidak boleh mendukung atau memilih calon pemimpin non-Muslim jika ada
calon Muslim yang kompeten. Ini adalah bentuk muwalah politik yang dilarang.
Contoh lain, seorang Muslim tidak boleh berpihak kepada
negara non-Muslim yang memusuhi negara Muslim. Ini bukan berarti tidak boleh
berteman dengan non-Muslim dalam ranah sosial. Anda bisa memiliki teman
non-Muslim, namun persahabatan tersebut tidak boleh melampaui batas loyalitas
akidah.
- 4إِنْصَافُهُ وَالعَدْلُ مَعَهُ وَإِسْدَاءُ
الخَيْرِ لَهُ إِنْ لَمْ يَكُنْ مُحَارِبًا لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {لَا يَنْهَاكُمُ
اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ
مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ
يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ} [الممتحنة: 8].
4 - Bersikap adil dan memberikan kebaikan kepada mereka
jika mereka bukan termasuk orang-orang yang memerangi (kaum Muslimin).
Berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan
berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan
tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang
yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8).
فَقَدْ أَبَاحَتْ هَذِهِ الآيَةُ الكَرِيمَةُ
المُحْكَمَةُ الإِقْسَاطَ إِلَى الكُفَّارِ وَهُوَ العَدْلُ وَإِنْصَافُهُمْ
وَإِسْدَاءُ المَعْرُوفِ إِلَيْهِمْ،
Ayat
mulia yang jelas ini memperbolehkan berbuat adil kepada orang-orang kafir,
yaitu bersikap adil dan memberikan kebaikan kepada mereka.
وَلَمْ تَسْتَثْنِ مِنَ
الكُفَّارِ إِلَّا المُحَارِبِينَ فَقَطْ، فَإِنَّ لَهُمْ سِيَاسَةً خَاصَّةً
تُعْرَفُ بِأَحْكَامِ المُحَارِبِينَ.
Ayat
ini tidak mengecualikan siapa pun dari kalangan orang kafir kecuali orang-orang
yang memerangi, karena mereka memiliki perlakuan khusus yang dikenal dengan
hukum-hukum orang yang memerangi.
Penjelasan
Ayat ini adalah dalil utama dalam berinteraksi dengan non-Muslim secara
damai. Islam memerintahkan keadilan dan kebaikan kepada siapa pun, selama
mereka tidak menunjukkan permusuhan fisik terhadap umat Islam.
Ilustrasi:
Di lingkungan kerja, seorang Muslim harus bersikap profesional dan adil kepada
rekan kerja non-Muslimnya. Jika ada masalah yang melibatkan mereka, seorang
Muslim harus menyelesaikannya dengan adil dan tidak memihak berdasarkan
perbedaan agama.
Contoh lain, jika
tetangga non-Muslim Anda sedang sakit, Anda boleh menjenguknya dan
membawakannya makanan sebagai bentuk kebaikan (birr), karena mereka tidak
memerangi Anda. Ini adalah akhlak Islam yang menunjukkan toleransi dalam
muamalah.
- 5رَحْمَتُهُ بِالرَّحْمَةِ العَامَّةِ
كَإِطْعَامِهِ إِنْ جَاعَ، وَسَقْيِهِ إِنْ عَطِشَ، وَمُدَاوَاتِهِ إِنْ مَرِضَ،
وَكَإِنْقَاذِهِ مِنْ تَهْلُكَةٍ، وَتَجْنِيبِهِ الأَذَى
5 - Menyayanginya dengan rahmat yang bersifat umum, seperti
memberinya makan jika ia lapar, memberinya minum jika ia haus, mengobatinya
jika ia sakit, menyelamatkannya dari bahaya, dan menghindarinya dari gangguan.
لِقَوْلِهِ - صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: "ارْحَمْ مَنْ فِي الأَرْضِ يَرْحَمْكَ مَنْ
فِي السَّمَاءِ". وَقَوْلِهِ: "فِي كُلِّ ذِي كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ".
Berdasarkan sabda Nabi - Shallallahu 'alaihi wa sallam -, “Sayangilah
(semua) yang ada di bumi, niscaya (semua) yang ada di langit akan
menyayangimu.” Dan sabdanya, “Pada setiap hati yang basah (hewan) ada pahala.”
Penjelasan
Hadis-hadis ini menekankan kasih sayang universal (rahmatan
lil ‘alamin) yang harus dimiliki seorang Muslim. Rahmat ini tidak hanya berlaku
untuk sesama Muslim, tetapi juga untuk seluruh makhluk Allah, termasuk
orang-orang kafir.
Sebagai contoh, jika
Anda melihat seorang tunawisma non-Muslim kelaparan, Anda harus memberinya
makan, bukan karena keyakinan agamanya, tetapi karena dia adalah sesama manusia
yang berhak mendapatkan kasih sayang.
Hadis tentang "di setiap hati yang basah ada pahala"
juga menguatkan bahwa berbuat baik kepada makhluk hidup apa pun, termasuk
hewan, akan mendatangkan pahala. Ini adalah wujud Islam sebagai agama rahmat
bagi alam semesta.
- 6عَدَمُ أَذِيَّتِهِ فِي مَالِهِ أَوْ دَمِهِ
أَوْ عِرْضِهِ إِنْ كَانَ غَيْرَ مُحَارِبٍ، لِقَوْلِ الرَّسُولِ عَلَيْهِ
الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: "يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: يَا عِبَادِي! إِنِّي
حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلَا
تَظَالَمُوا".
6 - Tidak menyakitinya dalam hal harta, darah, atau
kehormatannya, jika ia bukan orang yang memerangi. Berdasarkan sabda Rasulullah
SAW, “Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai hamba-hamba-Ku! Sesungguhnya Aku
mengharamkan kezaliman atas diri-Ku dan Aku menjadikannya haram di antara
kalian, maka janganlah kalian saling menzalimi.’”
وَقَوْلِهِ: "مَنْ
آذَى ذِمِّيًّا فَأَنَا خَصْمُهُ يَوْمَ القِيَامَةِ".
Dan sabdanya, “Barangsiapa mengganggu seorang dzimmi
(non-Muslim yang hidup damai di bawah perlindungan Islam), maka aku adalah
lawannya pada hari kiamat.”
Penjelasan
Hadis ini menunjukkan pentingnya menjaga hak-hak non-Muslim
yang hidup damai di negeri Muslim. Kezaliman adalah dosa besar, dan Islam
sangat melarangnya, bahkan terhadap non-Muslim.
Ilustrasi: Seorang
Muslim tidak boleh mencuri harta tetangga non-Muslimnya atau mengambil haknya.
Ia juga tidak boleh mencemarkan nama baiknya atau membunuhnya tanpa hak.
Hal ini selaras dengan hadis yang menyebutkan bahwa Nabi
Muhammad SAW sendiri akan menjadi musuh bagi siapa pun yang menyakiti kaum
dzimmi (warga non-Muslim). Ini adalah bukti nyata bahwa Islam melindungi
hak-hak non-Muslim yang hidup berdampingan secara damai.
- 7جَوَازُ الإِهْدَاءِ إِلَيْهِ، وَقَبُولِ
هَدِيَّتِهِ، وَأَكْلِ طَعَامِهِ إِنْ كَانَ كِتَابِيًّا: يَهُودِيًّا أَوْ
نَصْرَانِيًّا لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ
حِلٌّ لَكُمْ} [المائدة: 5].
7 - Diperbolehkan memberikan hadiah kepadanya, menerima
hadiah darinya, dan makan makanannya jika ia ahli kitab, baik Yahudi maupun
Nasrani. Berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Dan makanan (sembelihan) Ahli Kitab
itu halal bagimu.” (QS. Al-Maidah: 5).
وَلَمَّا صَحَّ عَنْهُ
- صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - أَنَّهُ كَانَ يُدْعَى إِلَى طَعَامِ
يَهُودَ بِالمَدِينَةِ فَيُجِيبُ الدَّعْوَةَ وَيَأْكُلُ مِمَّا يُقَدَّمُ لَهُ
مِنْ طَعَامِهِمْ.
Dan
karena telah sahih bahwa Nabi SAW pernah diundang makan oleh orang Yahudi di
Madinah, beliau memenuhi undangan tersebut dan makan makanan yang disuguhkan
kepadanya.
Penjelasan
Ayat dan hadis ini memberikan kelonggaran dalam interaksi
sosial sehari-hari dengan non-Muslim, khususnya Ahli Kitab (Yahudi dan
Nasrani). Diperbolehkannya makan makanan mereka menunjukkan tingkat hubungan
sosial yang diperbolehkan.
- 8عَدَمُ إِنْكَاحِهِ المُؤْمِنَةَ، وَجَوَازُ
نِكَاحِ الكِتَابِيَّاتِ مِنَ الكُفَّارِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى فِي مَنْعِ
المُؤْمِنَةِ مِنَ الزَّوَاجِ بِالكَاِفِرِ مُطْلَقًا: {لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ
وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ} [الممتحنة: 10].
8
- Tidak menikahkan wanita mukminah dengannya, dan diperbolehkan menikahi wanita
Ahli Kitab dari kalangan orang-orang kafir. Berdasarkan firman Allah Ta’ala
yang melarang wanita mukminah menikah dengan orang kafir secara mutlak, “Mereka
(wanita-wanita mukminah) tidak halal bagi mereka (orang-orang kafir), dan
mereka (orang-orang kafir) tidak halal bagi mereka (wanita-wanita mukminah).”
(QS. Al-Mumtahanah: 10).
وَقَوْلِهِ: {وَلَا
تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا} [البقرة: 221].
Dan
firman-Nya, “Dan janganlah kamu nikahkan orang-orang musyrik (dengan
perempuan-perempuan mukmin) sebelum mereka beriman.” (QS. Al-Baqarah: 221).
وَقَالَ تَعَالَى فِي
إِبَاحَةِ نِكَاحِ المُسْلِمِ الكِتَابِيَّةَ: {وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ
الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ
قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ
وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ} [المائدة: 5].
Dan
Allah Ta’ala berfirman dalam hal diperbolehkannya seorang Muslim menikahi
wanita Ahli Kitab, “Dan (dihalalkan) menikahi perempuan-perempuan mukmin
yang menjaga kehormatan, dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan dari
kalangan orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar
mahar mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak
(pula) menjadikannya gundik.” (QS. Al-Maidah: 5).
Penjelasan
Dalam urusan pernikahan, Islam memiliki aturan yang ketat
untuk menjaga akidah dan keturunan. Seorang wanita Muslimah dilarang menikah
dengan pria non-Muslim (apakah ia Ahli Kitab atau musyrik), karena
dikhawatirkan sang suami akan memengaruhi keyakinan istri dan anak-anaknya.
Sebaliknya, seorang pria Muslim diperbolehkan menikahi
wanita Ahli Kitab (Yahudi atau Nasrani) karena keyakinan seorang Muslim yang
kokoh diharapkan dapat membawa pengaruh baik kepada istrinya dan anak-anak
mereka.
Ayat-ayat di atas adalah dalil yang tegas mengenai hal ini,
dan ini merupakan batas syar'i dalam hubungan yang paling fundamental dalam
kehidupan.
- 9تَشْمِيتُهُ إِذَا عَطَسَ وَحَمِدَ اللَّهَ
تَعَالَى بِأَنْ يَقُولَ لَهُ: "يَهْدِيكُمُ اللَّهُ وَيُصْلِحُ
بَالَكُمْ"،
9 - Mendoakannya ketika ia bersin dan memuji Allah Ta’ala,
dengan mengucapkan, “Semoga Allah memberimu petunjuk dan memperbaiki
keadaanmu.”
إِذْ كَانَ الرَّسُولُ
عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَتَعَاطَسَ عِنْدَهُ يَهُودُ رَجَاءَ أَنْ
يَقُولَ لَهُمْ: "يَرْحَمُكُمُ اللَّهُ"، فَكَانَ يَقُولُ لَهُمْ:
"يَهْدِيكُمُ اللَّهُ وَيُصْلِحُ بَالَكُمْ".
Hal
ini karena Rasulullah SAW didatangi oleh orang-orang Yahudi yang bersin dengan
harapan beliau akan mengucapkan “Semoga Allah merahmatimu,” namun beliau
malah mengucapkan, “Semoga Allah memberimu petunjuk dan memperbaiki
keadaanmu.”
Penjelasan
Bagian ini menunjukkan adab yang detail dalam interaksi
sehari-hari. Ketika seorang Muslim mengucapkan "yahdikumullah"
(semoga Allah memberimu petunjuk) kepada non-Muslim yang bersin dan memuji
Allah, ia telah menunjukkan kebaikan dan rahmat, sekaligus tetap menjaga
prioritas dakwah.
Contoh aplikatif: Jika
seorang rekan kerja non-Muslim bersin dan mengucapkan
"Alhamdulillah", Anda tidak mengucapkan "yarhamukallah",
melainkan "yahdikumullah". Ucapan ini tidak hanya sopan, tetapi juga
mengandung doa agar orang tersebut mendapatkan hidayah Islam, yang merupakan
kebaikan terbesar.
- 10لَا يَبْدَؤُهُ بِالسَّلَامِ، وَإِنْ سَلَّمَ
عَلَيْهِ رَدَّ عَلَيْهِ بِقَوْلِهِ: "وَعَلَيْكُمْ" لِقَوْلِ
الرَّسُولِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: "إِذَا سَلَّمَ
عَلَيْكُمْ أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ الكِتَابِ فَقُولُوا: وَعَلَيْكُمْ".
10
- Jangan memulai salam kepadanya, dan jika ia mengucapkan salam kepada kita,
balaslah dengan ucapan “wa ‘alaikum” (dan atas kalian juga). Berdasarkan sabda
Rasulullah - Shallallahu 'alaihi wa sallam -, “Jika salah seorang Ahli Kitab
mengucapkan salam kepada kalian, maka katakanlah: ‘wa ‘alaikum’.”
Penjelasan
Aturan ini bertujuan untuk menjaga kehormatan salam Islam.
Salam assalamu 'alaikum adalah doa yang mulia. Rasulullah SAW melarang umatnya
untuk memulai salam tersebut kepada non-Muslim.
Contoh aplikatif: Jika
Anda bertemu dengan tetangga non-Muslim di jalan, Anda cukup menyapa dengan
senyuman atau sapaan umum seperti "Selamat pagi." Namun, jika ia yang
terlebih dahulu mengucapkan "assalamu 'alaikum" (yang bisa jadi ia
salah ucap atau bermaksud lain), Anda cukup menjawabnya dengan "wa
‘alaikum". Ini adalah cara untuk tetap bersikap sopan namun tanpa
memberikan salam yang khusus untuk sesama Muslim.
- 11يَضْطَرُّهُ عِنْدَ المُرُورِ بِهِ فِي
الطَّرِيقِ إِلَى أَضْيَقِهِ لِقَوْلِ الرَّسُولِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ -: "لَا تَبْدَأُوا اليَهُودَ وَلَا النَّصَارَى بِالسَّلَامِ
فَإِذَا لَقِيتُمْ أَحَدَهُمْ فِي طُرُقٍ فَاضْطَرُّوهُ إِلَى أَضْيَقِهِ".
11 - Mendesaknya untuk melewati jalan yang sempit ketika
berpapasan dengannya, berdasarkan sabda Rasulullah - Shallallahu 'alaihi wa
sallam -, “Janganlah kalian memulai salam kepada Yahudi dan Nasrani. Jika
kalian bertemu salah seorang dari mereka di jalan, maka desaklah ia ke sisi
jalan yang paling sempit.”
Penjelasan
Hadis ini sering disalahpahami, seolah-olah
memerintahkan kekasaran. Namun, para ulama menjelaskan bahwa hadis ini tidak
berlaku dalam kondisi normal di mana kaum Muslimin hidup damai dengan
non-Muslim.
Terdapat dua penafsiran utama:
Pertama, hadis ini berlaku khusus untuk
orang-orang yang memerangi Islam.
Kedua, maknanya adalah jangan memberikan jalan
yang leluasa dan penuh penghormatan (tidak memberikan prioritas berjalan di
tengah jalan), karena hal ini merupakan tanda penghormatan.
Di konteks masyarakat modern, hadis ini diartikan
sebagai larangan untuk memberikan penghormatan berlebihan kepada non-Muslim
yang bisa mengikis kehormatan Islam. Ini bukan berarti harus mendorong mereka.
Ilustrasi: Di
lingkungan yang padat, ketika berpapasan dengan non-Muslim, Anda tidak harus
mundur untuk memberikan jalan, cukup bersikap biasa. Hal ini bukan tentang
kekasaran, melainkan tentang tidak memberikan penghormatan khusus yang
berlebihan.
- 12مُخَالَفَتُهُ وَعَدَمُ التَّشَبُّهِ بِهِ
فِيمَا لَيْسَ بِضَرُورِيٍّ كَإِعْفَاءِ اللِّحْيَةِ إِذَا كَانَ هُوَ
يَحْلِقُهَا، وَصَبْغِهَا إِذَا كَانَ هُوَ لَا يَصْبَغُهَا، وَكَذَا
مُخَالَفَتُهُ فِي اللِّبَاسِ مِنْ عِمَّةٍ وَطَرْبُوشٍ وَنَحْوِهِ
12
- Menyelisihinya dan tidak menyerupai mereka dalam hal-hal yang tidak darurat,
seperti membiarkan jenggot tumbuh jika mereka mencukurnya, dan mewarnainya jika
mereka tidak mewarnainya. Demikian juga menyelisihi mereka dalam hal pakaian,
seperti turban dan tarbus (topi khas).
لِقَوْلِهِ عَلَيْهِ
الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: "وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ"
Berdasarkan sabda beliau SAW, “Barangsiapa menyerupai
suatu kaum, maka ia termasuk dari mereka.”
وَقَوْلِهِ:
"خَالِفُوا المُشْرِكِينَ؛ أَعْفُوا اللِّحَى وَقُصُّوا الشَّوَارِبَ".
Dan sabdanya, “Selisihilah orang-orang musyrik,
biarkanlah jenggot dan cukurlah kumis.”
وَقَوْلِهِ: "إِنَّ اليَهُودَ
وَالنَّصَارَى لَا يَصْبُغُونَ فخَالِفُوهُمْ" يَعْنِي خِضَابَ اللِّحْيَةِ
أَوْ شَعْرِ الرَأْسِ بِصُفْرَةٍ أَوْ حُمْرَةٍ؛ لِأَنَّ الصَّبْغَ بِالسَّوَادِ
قَدْ نَهَى عَنْهُ الرَّسُولُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -؛
dan
sabdanya, “Sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak mewarnai
(rambut), maka selisihilah mereka.”
Maksudnya
adalah mewarnai jenggot atau rambut kepala dengan warna kuning atau merah,
karena mewarnai dengan warna hitam telah dilarang oleh Rasulullah - Shallallahu
'alaihi wa sallam -,
لِمَا رَوَى مُسْلِمٌ أَنَّهُ - صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ: "غَيِّرُوا هَذَا -الشَّعْرَ الأَبْيَضَ-
وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ".
sebagaimana
diriwayatkan oleh Muslim bahwa beliau bersabda, “Ubahlah rambut putih ini
dan jauhilah warna hitam.”
Penjelasan
Larangan tasyabbuh (menyerupai) non-Muslim adalah
prinsip penting dalam Islam untuk menjaga identitas keislaman. Ini berlaku
untuk hal-hal yang menjadi ciri khas agama atau budaya non-Muslim, terutama
yang bertentangan dengan syariat.
Contoh aplikatif: Seorang
Muslim tidak boleh mengenakan atribut agama lain, seperti salib atau kalung
dengan lambang dewa. Demikian juga dalam hal pakaian, seorang Muslim tidak
boleh meniru pakaian yang menjadi simbol khas agama lain.
Aturan ini bukan tentang menolak modernitas atau budaya
lain secara total, melainkan tentang membedakan diri dari hal-hal yang dapat
mengikis identitas akidah seorang Muslim. Membiarkan jenggot atau mewarnai
rambut (selain hitam) adalah contoh konkret dari anjuran untuk menampilkan ciri
khas Islam dan tidak meniru tradisi non-Muslim.
Penutupan Kajian
Hadirin sekalian yang dimuliakan Allah,
Kita telah sampai di penghujung kajian yang sangat penting
ini, yaitu pembahasan tentang "Adab Terhadap Orang Kafir
(Non-Muslim)". Kita telah menelaah poin demi poin, membedakan antara
batasan akidah dan kelonggaran muamalah, berdasarkan petunjuk Al-Qur'an dan
Sunnah.
Faedah Utama Kajian Ini
Ringkasnya, faedah utama dari seluruh kajian yang kita
pelajari hari ini adalah:
1. Kepastian Identitas:
Kita kini memahami cara menjaga benteng akidah kita.
Kita tahu di mana garis merah al-wala' (loyalitas) dan al-bara'
(berlepas diri) harus ditegakkan. Kita tidak akan lagi mudah terombang-ambing
dalam isu-isu toleransi yang kebablasan yang dapat merusak keimanan kita,
seperti ikut serta dalam perayaan ibadah mereka atau memberikan loyalitas
mutlak kepada mereka.
2. Keseimbangan Akhlak:
Kita memahami bahwa Islam memerintahkan kita untuk bersikap
adil dan berbuat baik (al-qisth dan al-birr) kepada
non-Muslim yang hidup damai. Ini adalah bukti bahwa kekokohan akidah tidak sama
dengan kekasaran. Justru, keadilan kita akan menjadi sarana dakwah yang paling
efektif.
3. Menghilangkan Kekeliruan Ekstrem:
Kita telah mendapatkan landasan ilmu untuk menghindari dua
kutub ekstrem: kekerasan yang menzalimi hak non-Muslim, dan kelembutan yang
mengorbankan prinsip agama. Kita berjalan di atas manhaj yang lurus.
Harapan Penerapan dalam Kehidupan Sehari-hari
Ilmu yang kita dapatkan tidak akan sempurna tanpa
diamalkan. Harapan saya, dan semoga ini menjadi niat tulus kita bersama, adalah
agar kita dapat menerapkan poin-poin ini dalam kehidupan nyata:
1. Jadilah Muslim yang Berakidah Tegas, namun Berakhlak Mulia.
Ketika berinteraksi dengan tetangga, rekan kerja, atau
teman non-Muslim, tunjukkanlah bahwa Anda adalah Muslim yang memegang teguh
keyakinannya (misalnya, tidak ikut mengucapkan selamat hari raya keagamaan
mereka), namun pada saat yang sama, Anda adalah orang yang paling adil,
paling amanah, dan paling membantu mereka di saat kesulitan.
2. Jadikan Kebaikan Anda sebagai Dakwah.
Biarkan kebaikan dan keadilan Anda, yang bersumber dari
ajaran Islam, menjadi saksi atas keindahan agama ini. Ketika kita memberi makan
orang yang lapar (poin 5), atau mengembalikan hak mereka dengan adil (poin 4
dan 6), mereka akan bertanya, "Mengapa kamu melakukan ini?" Saat
itulah kita menjawab, "Inilah ajaran Islam, agama yang penuh rahmat."
3. Jauhi Tasyabbuh yang Dilarang.
Perhatikan identitas kita, mulai dari pakaian, penampilan,
hingga ucapan salam. Hindari meniru hal-hal yang menjadi simbol keagamaan
mereka (poin 12), sebagai bentuk ketaatan kepada sabda Nabi:
"وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ".
Semoga Allah Ta’ala senantiasa membimbing kita untuk
menjadi hamba-hamba-Nya yang berilmu dan beramal, yang mampu menunaikan hak-hak
Allah dan hak-hak sesama manusia, termasuk hak-hak non-Muslim. Semoga Allah
menjadikan kita ahli al-wala' (loyalitas) kepada kaum Muslimin dan ahli al-bara'
(berlepas diri) dari kekafiran.
وَاللَّهُ الْمُوَفِّقُ
إِلَىٰ أَقْوَمِ الطَّرِيقِ.
Kita tutup kajian dengan doa kafaratul majelis:
🌿 سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا
أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ.
وَالسَّلَامُ
عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ.