Hadits: Rasulullah ﷺ Berlepas Diri Dari WanitaYang Meratap, Mencukur Rambutnya Dan Merobek-Robek Pakaiannya Karena Musibah

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

الْحَمْدُ لِلَّهِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُ

Hadirin yang dirahmati Allah,
Di dalam kehidupan ini, tidak ada manusia yang terbebas dari ujian dan musibah. Allah سبحانه وتعالى telah menegaskan dalam Al-Qur’an bahwa ujian itu adalah bagian dari sunatullah, sebagaimana dalam firman-Nya:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ

"Dan sungguh, Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar." (QS. Al-Baqarah: 155)

Namun, yang menjadi persoalan di tengah masyarakat kita bukanlah sekadar adanya musibah, tetapi bagaimana cara seseorang menghadapi musibah itu. Saat kehilangan orang yang dicintai, mengalami kebangkrutan, terkena penyakit, atau mengalami kejadian yang tidak menyenangkan, banyak orang yang justru terjerumus dalam sikap yang dilarang oleh agama.

Tidak sedikit kita jumpai di masyarakat perilaku yang mencerminkan ketidakridhaan terhadap takdir Allah, seperti meratap dengan tangisan berlebihan, mencakar-cakar wajah, merobek-robek pakaian, bahkan sampai menyalahkan Allah atas musibah yang menimpa mereka. Di beberapa tempat, masih ada kebiasaan tradisi berkabung yang berlebihan, seperti mengenakan pakaian hitam dalam waktu lama, melakukan ritual tertentu yang tidak diajarkan dalam Islam, atau bahkan melakukan tindakan yang bertentangan dengan akidah, seperti meminta petunjuk kepada dukun atau paranormal agar terhindar dari musibah di masa depan.

Sikap seperti ini sejatinya adalah warisan jahiliyah yang telah dilarang dalam Islam. Hadits ini menjadi sangat penting untuk kita pelajari, karena ia mengajarkan bagaimana sikap seorang Muslim yang benar ketika ditimpa musibah. Rasulullah ﷺ telah memberikan contoh bahwa kesedihan adalah hal yang wajar, tetapi harus tetap dalam batas yang diperbolehkan syariat. Beliau sendiri pernah menangis saat putranya, Ibrahim, meninggal dunia, tetapi beliau tidak meratap atau melakukan hal-hal yang menunjukkan ketidakridhaan terhadap takdir Allah.

Maka, kajian kita pada hari ini akan membahas pelajaran dari hadits ini secara mendalam. Kita akan memahami bagaimana Islam mengajarkan kesabaran dalam menghadapi musibah, menghindari perilaku yang dilarang, dan bagaimana agar kita bisa tetap teguh dalam keimanan ketika diuji oleh Allah.

Semoga dengan memahami hadits ini, kita semua dapat membenahi sikap kita dalam menghadapi ujian hidup dan menjadi pribadi yang lebih sabar dan ridha terhadap ketetapan Allah. Mari kita simak dan renungkan pembahasan ini dengan hati yang terbuka, agar kita bisa mengambil manfaat yang sebesar-besarnya.  


Dari Abu Burdah bin Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu 'anhuma, dia berkata:

وَجِعَ أَبُو مُوسَى وَجَعًا شَدِيدًا، فَغُشِيَ عَلَيْهِ وَرَأْسُهُ فِي حِجْرِ امْرَأَةٍ مِنْ أَهْلِهِ، فَلَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يَرُدَّ عَلَيْهَا شَيْئًا،

فَلَمَّا أَفَاقَ، قَالَ: أَنَا بَرِيءٌ مِمَّنْ بَرِئَ مِنْهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَرِئَ مِنَ الصَّالِقَةِ وَالْحَالِقَةِ وَالشَّاقَّةِ.

Abu Musa mengalami sakit yang sangat parah hingga ia pingsan, sementara kepalanya berada di pangkuan seorang wanita dari keluarganya. Ia tidak mampu menanggapi apa pun darinya. Ketika ia sadar, ia berkata:

"Aku berlepas diri dari orang yang dijauhi oleh Rasulullah . Sesungguhnya Rasulullah berlepas diri dari perempuan yang meratap dengan suara keras (as-ṣāliqah), yang mencukur rambutnya karena musibah (al-ḥāliqah), dan yang merobek-robek pakaiannya (as-syāqqah)."

HR. Al-Bukhari (1296) dan Muslim (104)



Arti dan Penjelasan Per Perkataan



وَجِعَ أَبُو مُوسَى وَجَعًا شَدِيدًا
Abu Musa mengalami sakit yang sangat parah

Abu Musa al-Ash’ari radhiyallāhu ‘anhu adalah salah seorang sahabat utama Nabi yang dikenal dengan kezuhudan dan kepemimpinannya yang adil. Ketika disebut bahwa beliau mengalami “wajaʿan syadīdan” (sakit yang sangat parah), ini menunjukkan kondisi menjelang wafat yang penuh ujian. Dalam tradisi Islam, momen sakit parah atau menjelang kematian adalah fase penting yang menguji iman seseorang, serta menjadi penghapus dosa dan pengangkat derajat jika dihadapi dengan sabar. Ini juga mengisyaratkan bahwa sekalipun sahabat Nabi, mereka tetap mengalami ujian berat di akhir hayatnya.


فَغُشِيَ عَلَيْهِ 
Lalu ia pun pingsan

Keadaan pingsan dalam sakit menunjukkan betapa berat dan melemahnya kondisi fisik Abu Musa. Dalam konteks ini, “ghushiya ‘alayh” berarti beliau tidak sadar atau tidak bisa merespons lingkungan sekitarnya. Hal ini menunjukkan bahwa penderitaan menjelang kematian adalah hal yang manusiawi, bahkan dialami oleh orang-orang saleh. Kondisi seperti ini pun menjadi pengingat akan kelemahan manusia di hadapan takdir dan kekuasaan Allah, sekaligus peluang bagi orang-orang di sekitarnya untuk memperlakukan orang sakit dengan kelembutan dan adab.


وَرَأْسُهُ فِي حِجْرِ امْرَأَةٍ مِنْ أَهْلِهِ
Dan kepalanya berada di pangkuan seorang perempuan dari keluarganya

Pernyataan ini menggambarkan suasana haru dan kasih sayang di sekitar Abu Musa. Dalam kondisi sekarat, seorang sahabat mulia berada di pangkuan perempuan dari keluarganya, yang menunjukkan perhatian, kedekatan emosional, dan pelayanan keluarga terhadap anggota yang sakit. Namun konteks berikutnya menunjukkan bahwa perempuan itu melakukan tindakan yang keliru saat menghadapi kematian atau musibah, yang menjadi pelajaran penting tentang adab syar’i ketika menghadapi kematian.


فَلَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يَرُدَّ عَلَيْهَا شَيْئًا
Maka ia tidak mampu menegurnya sedikit pun

Karena pingsan dan dalam kondisi sangat lemah, Abu Musa tidak dapat mencegah atau melarang ucapan atau tindakan perempuan tersebut. Ini mengisyaratkan bahwa perempuan itu mungkin melakukan hal-hal yang bertentangan dengan tuntunan agama saat menyaksikan penderitaan atau kemungkinan wafatnya Abu Musa, seperti meratap atau menjerit. Ketidakmampuan menegur ini adalah karena alasan fisik, bukan karena menyetujui perbuatannya, dan akan diperjelas oleh sikap beliau setelah siuman.


فَلَمَّا أَفَاقَ.
Ketika beliau sadar kembali

Pada saat kesadaran kembali, Abu Musa langsung mengambil sikap terhadap apa yang terjadi sebelumnya. Ini menunjukkan kepekaan imannya dan keutamaan sikap responsif terhadap pelanggaran syariat, bahkan dalam keadaan sakit. Tidak menunda untuk mengingkari kemungkaran adalah bagian dari iman dan menunjukkan kecintaan pada sunnah Nabi.


قَالَ: أَنَا بَرِيءٌ مِمَّنْ بَرِئَ مِنْهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Beliau berkata: Aku berlepas diri dari orang yang Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam berlepas diri darinya

Pernyataan ini adalah bentuk deklarasi keimanan dan loyalitas terhadap Rasulullah ﷺ. Abu Musa tidak hanya menegur tindakan keliru yang mungkin dilakukan perempuan tersebut, tetapi juga menyatakan bahwa dirinya tidak ingin dikaitkan atau disamakan dengan orang yang melanggar syariat dalam menghadapi musibah. Ia ingin membersihkan dirinya dari segala bentuk kesyirikan, kebid’ahan, dan perilaku jahiliah yang telah dikutuk oleh Nabi ﷺ. Ini menunjukkan pentingnya bara’ (berlepas diri) terhadap kebatilan sebagai bentuk loyalitas sejati kepada sunnah.


 إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَرِئَ 
Sesungguhnya Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam telah berlepas diri

Pengulangan lafaz ini sebagai bentuk penegasan dan penekanan bahwa bukan hanya Abu Musa, tetapi Rasulullah ﷺ sendiri sudah lebih dahulu menyatakan ketidaksukaan dan pelepasan diri dari perilaku-perilaku tertentu. Ini menjadi hujjah kuat bahwa larangan tersebut berasal dari Nabi langsung, bukan hanya pendapat pribadi sahabat. Menyandarkan sikap kepada Nabi ﷺ memberi kekuatan otoritatif dan menjadi teladan bagi umat Islam dalam menyikapi perilaku yang menyimpang.


مِنَ الصَّالِقَةِ وَالْحَالِقَةِ وَالشَّاقَّةِ
Dari (perilaku) orang yang menjerit-jerit, mencukur rambut (karena musibah), dan merobek-robek pakaian

Ketiga istilah ini merujuk pada bentuk-bentuk niyāhah (meratap) yang diharamkan dalam Islam. As-saliqah adalah perempuan yang menjerit dengan suara keras karena musibah. Al-haliqah adalah perempuan yang mencukur rambutnya sebagai ekspresi kesedihan. Asy-syaqqah adalah yang merobek-robek pakaian karena kehilangan. Ketiga perbuatan ini adalah warisan tradisi jahiliah yang menunjukkan ketidakridhaan terhadap takdir Allah dan merupakan bentuk protes terhadap ketentuan-Nya. Islam melarang segala bentuk ekspresi musibah yang berlebihan, dan mengajarkan sikap sabar, menerima, serta memohon pahala dari Allah.


Syarah Hadits


لَقَدْ ضَرَبَ الصَّحَابَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ أَرْوَعَ الأَمْثِلَةِ
Sungguh, para sahabat radhiyallahu 'anhum telah memberikan teladan yang paling luar biasa

فِي خَشْيَتِهِمْ مِنَ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى، وَاتِّبَاعِهِمْ هَدْيَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
dalam ketakwaan mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, serta dalam mengikuti petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam

سَوَاءٌ فِي حَالِ صِحَّتِهِمْ أَوْ مَرَضِهِمْ
baik dalam keadaan sehat maupun sakit

وَفِي هَذَا الحَدِيثِ يَحْكِي أَبُو بُرْدَةَ
Dalam hadits ini, Abu Burdah menceritakan

أَنَّ أَبَاهُ أَبَا مُوسَى الأَشْعَرِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مَرِضَ مَرَضًا شَدِيدًا
bahwa ayahnya, Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu 'anhu, mengalami sakit yang sangat parah

فَأُغْمِيَ عَلَيْهِ، وَكَانَتْ رَأْسُهُ فِي حِجْرِ امْرَأَةٍ مِنْ أَهْلِهِ
hingga ia pingsan, dan kepalanya berada di pangkuan salah seorang perempuan dari keluarganya

وَهِيَ زَوْجَتُهُ أُمُّ عَبْدِ اللَّهِ بِنْتُ أَبِي دَوْمَةَ، وَقِيلَ: هِيَ زَوْجَتُهُ صَفِيَّةُ بِنْتُ دَمُونَ وَالِدَةُ أَبِي بُرْدَةَ بْنِ أَبِي مُوسَى
yaitu istrinya, Ummu Abdullah binti Abi Doumah. Ada juga yang mengatakan, istrinya Shafiyyah binti Damun, ibu dari Abu Burdah bin Abi Musa

فَصَاحَتْ وَنَدَبَتْهُ
lalu ia berteriak dan meratapinya

فَلَمْ يَسْتَطِعْ أَبُو مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنْ يَرُدَّ عَلَيْهَا شَيْئًا؛ بِسَبَبِ إِغْمَائِهِ
tetapi Abu Musa radhiyallahu 'anhu tidak bisa menegurnya karena sedang pingsan

فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ
Ketika ia sadar, ia berkata

إِنَّهُ بَرِيءٌ مِمَّنْ بَرِئَ مِنْهُ رَسُولُ اللَّهِ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
"Sungguh, aku berlepas diri dari orang yang juga berlepas diri darinya Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam."

وَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَرِيءٌ مِنَ الصَّالِقَةِ
"Dan sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berlepas diri dari (perempuan) yang meratap keras"

وَهِيَ الرَّافِعَةُ صَوْتَهَا فِي الْمُصِيبَةِ
yaitu perempuan yang meninggikan suaranya saat tertimpa musibah

وَالْحَالِقَةِ: الَّتِي تَحْلِقُ شَعْرَهَا
dan dari perempuan yang mencukur rambutnya (sebagai bentuk ratapan)

وَالشَّاقَّةِ: الَّتِي تَشُقُّ ثَوْبَهَا
serta dari perempuan yang merobek bajunya (karena kesedihan)

وَهَذِهِ كُلُّهَا مِنْ أُمُورِ الْجَاهِلِيَّةِ
Semua ini adalah perbuatan jahiliyah

وَقَدْ نَسَخَهَا اللَّهُ سُبْحَانَهُ بِشَرِيعَةِ الْإِسْلَامِ
dan Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menghapusnya dengan syariat Islam

وَأَمَرَ بِالِاقْتِصَادِ فِي الْحُزْنِ وَالْفَرَحِ
serta memerintahkan untuk bersikap moderat dalam kesedihan dan kebahagiaan

وَتَرْكِ الْغُلُوِّ فِي ذَلِكَ
serta meninggalkan sikap berlebihan dalam hal tersebut

وَحَضَّ عَلَى الصَّبْرِ عِنْدَ الْمَصَائِبِ
serta mendorong untuk bersabar saat menghadapi musibah

وَاحْتِسَابِ أَجْرِهَا عَلَى اللَّهِ
dan mengharap pahala dari Allah

وَتَفْوِيضِ الْأُمُورِ كُلِّهَا إِلَيْهِ
serta menyerahkan segala urusan kepada-Nya

فَقَالَ تَعَالَى: {وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ...}
Allah Ta'ala berfirman: "Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar... (QS. Al-Baqarah: 155-157)"

فَحَقٌّ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ مُؤْمِنٍ
Maka sudah sepantasnya bagi setiap muslim yang beriman

عَلِمَ سُرْعَةَ الْفَنَاءِ وَوُشْكَ الرَّحِيلِ إِلَى دَارِ الْبَقَاءِ
yang menyadari betapa cepatnya kehidupan ini berlalu dan segeranya perjalanan menuju negeri keabadian

أَلَّا يَحْزَنَ عَلَى فَائِتٍ مِنَ الدُّنْيَا
untuk tidak bersedih atas sesuatu yang hilang dari dunia ini

وَأَنْ يَسْتَشْعِرَ الصَّبْرَ وَالرِّضَا
serta merasakan kesabaran dan keridhaan

لِيَنَالَ الدَّرَجَاتِ الرَّفِيعَةَ مِنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ
agar mendapatkan derajat yang tinggi dari Rabb-nya Azza wa Jalla

وَالْبَرَاءَةُ فِي الْحَدِيثِ بِمَعْنَى
Adapun makna berlepas diri dalam hadits ini adalah

أَنَّهُ بَرِيءٌ مِنْ فِعْلِهِنَّ
bahwa ia berlepas diri dari perbuatan mereka

أَوْ مِمَّا يَسْتَوْجِبْنَ مِنَ الْعُقُوبَةِ
atau dari hukuman yang seharusnya mereka terima

وَلَيْسَ الْمُرَادُ التَّبَرِّيَ مِنَ الدِّينِ وَالْخُرُوجَ مِنْهُ
dan bukan bermaksud berlepas diri dari agama atau keluar darinya

وَفِي الْحَدِيثِ: النَّهْيُ عَنِ الشَّقِّ وَالْحَلْقِ وَالصَّلْقِ
Hadits ini mengandung larangan terhadap merobek baju, mencukur rambut, dan meratap keras

وَمِنْ فَوَائِدِ الْحَدِيثِ
Di antara faedah hadits ini

ضَعْفُ النِّسَاءِ وَقِلَّةُ تَحَمُّلِهِنَّ
lemahnya wanita dan kurangnya ketahanan mereka

 

Maraji:
https://dorar.net/hadith/sharh/9631
https://hadeethenc.com/ar/browse/hadith/4849


Pelajaran dari Hadits ini


1. Ujian sakit berat sebagai bentuk penghapus dosa

Dalam perkataan وَجِعَ أَبُو مُوسَى وَجَعًا شَدِيدًا yang berarti "Abu Musa mengalami sakit yang sangat parah", kita belajar bahwa para sahabat Rasulullah pun diuji dengan penyakit berat. Ini menunjukkan bahwa sakit bukanlah tanda keburukan, tetapi justru bisa menjadi sarana penghapus dosa dan pengangkat derajat. Rasulullah ﷺ bersabda:

ما يُصِيبُ المُؤْمِنَ مِن نَصَبٍ ولا وَصَبٍ، ولا هَمٍّ ولا حُزْنٍ، ولا أذًى ولا غَمٍّ، حتَّى الشَّوْكَةِ يُشاكُها، إلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بها مِن خَطاياهُ
(Artinya: Tidaklah seorang mukmin tertimpa kelelahan, sakit, kekhawatiran, kesedihan, gangguan, atau kesusahan—bahkan sampai duri yang menusuknya—kecuali Allah akan menghapus sebagian dosanya karenanya.)
(HR. Bukhari dan Muslim)


2. Pingsan sebagai tanda lemahnya manusia dan keharusan sabar

Perkataan فَغُشِيَ عَلَيْهِ yang artinya "lalu ia pun pingsan" menggambarkan betapa manusia itu sangat lemah, apalagi ketika sakit parah. Abu Musa yang dikenal kuat dan saleh pun mengalami hilang kesadaran. Ini menjadi pelajaran bahwa saat kita atau orang lain sakit parah, kita harus bersabar dan tidak menyalahkan takdir Allah. Justru di saat inilah doa, kesabaran, dan dukungan keluarga sangat penting.


3. Kasih sayang keluarga dalam merawat orang sakit

Dalam perkataan وَرَأْسُهُ فِي حِجْرِ امْرَأَةٍ مِنْ أَهْلِهِ yang bermakna "dan kepalanya berada di pangkuan seorang perempuan dari keluarganya", tampak bagaimana pentingnya peran keluarga dalam merawat orang yang sedang sakit atau menghadapi kematian. Merawat dengan lembut, menjaga kehormatan, dan menenangkan orang yang sakit adalah bagian dari ibadah. Namun sikap ini juga harus diiringi dengan pemahaman syar’i, agar tidak terjerumus dalam perbuatan bid’ah atau maksiat yang mungkin diniatkan karena cinta, tetapi bertentangan dengan ajaran Islam.


4. Ketidakmampuan menegur tidak berarti ridha terhadap kesalahan

Perkataan فَلَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يَرُدَّ عَلَيْهَا شَيْئًا berarti "maka ia tidak mampu menegurnya sedikit pun". Ini menunjukkan bahwa Abu Musa tidak menyetujui perbuatan perempuan tersebut, hanya saja beliau dalam keadaan tidak mampu berbicara. Dalam Islam, seseorang tidak dibebani untuk menegur kemungkaran jika memang tidak mampu secara fisik atau karena keterpaksaan. Tetapi ketika sadar dan mampu, kewajiban amar ma’ruf nahi munkar harus ditegakkan.


5. Segera menegur kemungkaran setelah sadar

Dalam perkataan فَلَمَّا أَفَاقَ yang artinya "ketika beliau sadar kembali", Abu Musa langsung menunjukkan ketegasan terhadap kesalahan yang terjadi. Ini menunjukkan pentingnya bersikap cepat dalam menasihati dan memperbaiki keadaan begitu memiliki kemampuan. Tidak menunda-nunda teguran terhadap pelanggaran agama adalah cerminan iman yang hidup dan tanggung jawab terhadap sesama.


6. Menjaga kemurnian agama dengan berlepas diri dari perbuatan menyimpang

Perkataan قَالَ: أَنَا بَرِيءٌ مِمَّنْ بَرِئَ مِنْهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bermakna "beliau berkata: aku berlepas diri dari orang yang Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam berlepas diri darinya". Ini adalah prinsip dalam Islam: loyalitas kepada kebenaran berarti juga berlepas diri dari kebatilan. Abu Musa tidak ingin dikaitkan dengan perbuatan yang dibenci Rasulullah ﷺ, meskipun pelakunya adalah keluarganya sendiri. Ini menekankan bahwa kebenaran tidak mengenal kompromi, meski terhadap orang yang dicintai.


7. Menisbatkan sikap kepada sunnah Rasulullah sebagai rujukan utama

Perkataan إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَرِئَ yang berarti "sesungguhnya Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam telah berlepas diri", menunjukkan bahwa sikap Abu Musa bukan berdasarkan hawa nafsu, tapi mengikuti jejak Rasulullah ﷺ. Dalam menilai suatu perbuatan, kita harus mengembalikannya kepada ajaran Nabi, bukan sekadar perasaan, budaya, atau kebiasaan masyarakat. Ini menunjukkan pentingnya menjadikan sunnah sebagai standar dalam bersikap.


8. Larangan meratap dan bentuk-bentuknya yang dilarang

Perkataan مِنَ الصَّالِقَةِ وَالْحَالِقَةِ وَالشَّاقَّةِ artinya "dari (perilaku) orang yang menjerit-jerit, mencukur rambut (karena musibah), dan merobek-robek pakaian". Ketiga perbuatan ini merupakan bentuk ratapan yang dilarang dalam Islam. Menangis karena kesedihan adalah hal manusiawi, tetapi meratap, berteriak, atau menyakiti diri sendiri sebagai bentuk ketidakridhaan terhadap takdir adalah dosa besar. Rasulullah ﷺ bersabda:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ ضَرَبَ الْخُدُودَ، وَشَقَّ الْجُيُوبَ، وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ
(Artinya: Bukan termasuk golongan kami orang yang memukul pipi, merobek-robek baju, dan berdoa dengan seruan jahiliyah.)
(HR. Bukhari dan Muslim)


9. Pentingnya menyiapkan keluarga untuk menghadapi kematian sesuai syariat

Hadits ini juga menunjukkan bahwa terkadang keluarga yang mencintai orang sakit bisa tergelincir dalam perbuatan yang dilarang karena ketidaktahuan. Maka penting bagi seorang muslim untuk mendidik keluarga tentang adab menghadapi kematian. Ini termasuk larangan meratap, pentingnya mengucapkan kalimat tauhid, membaca doa, dan menenangkan suasana. Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ كَانَ آخِرَ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
(Artinya: Barang siapa akhir perkataannya adalah “lā ilāha illallāh” maka dia akan masuk surga.)
(HR. Abu Dawud)


10. Amar ma’ruf nahi munkar harus tetap ditegakkan, bahkan dalam keluarga

Hadits ini juga memberi pelajaran penting bahwa melarang kemungkaran tidak boleh berhenti karena alasan hubungan darah. Abu Musa menegur keluarganya karena ia lebih mencintai agama daripada hubungan pribadi. Ini menunjukkan bahwa cinta sejati kepada keluarga justru mendorong untuk menyelamatkan mereka dari perbuatan dosa.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
(Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.)
(QS. At-Tahrīm: 6)


Secara keseluruhan, hadits ini mengajarkan bahwa menghadapi kematian harus dengan kesabaran, keteguhan iman, dan tetap mengikuti ajaran Rasulullah ﷺ. Bahkan di saat sakit parah, kewajiban menjaga kemurnian agama, menolak kesesatan, dan mendidik keluarga tetap harus dilakukan. Ini adalah bentuk ketakwaan sejati yang mencerminkan kecintaan kepada sunnah dan kesiapan menghadapi akhir hayat. 


Penutup Kajian


Hadirin yang dirahmati Allah,

Alhamdulillah, kita telah bersama-sama mempelajari hadits Rasulullah ﷺ yang membahas tentang larangan meratap dan bersikap berlebihan dalam menghadapi musibah. Dari kajian ini, kita mendapatkan beberapa faedah penting yang harus kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari:

  1. Kesabaran adalah kunci utama menghadapi musibah
    Musibah adalah bagian dari ujian kehidupan yang Allah سبحانه وتعالى berikan untuk menguji keimanan kita. Sikap terbaik seorang Muslim ketika diuji adalah sabar dan ridha terhadap ketetapan-Nya. Sebagaimana firman Allah:

    إِنَّمَا يُوَفَّى ٱلصَّـٰبِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ
    "Sesungguhnya orang-orang yang bersabar akan diberi pahala mereka tanpa batas." (QS. Az-Zumar: 10)

  2. Menjauhi kebiasaan jahiliyah dalam menghadapi musibah
    Islam mengajarkan agar kita tidak terjerumus dalam perilaku meratap, mencakar-cakar wajah, mencukur rambut karena duka, atau tindakan lain yang mencerminkan ketidakridhaan terhadap takdir Allah. Sikap seperti ini bertentangan dengan nilai-nilai Islam dan menunjukkan kelemahan iman.

  3. Meneladani sikap Rasulullah ﷺ dalam kesedihan
    Rasulullah ﷺ sendiri pernah mengalami kehilangan orang yang dicintainya, tetapi beliau tetap bersikap sabar. Beliau menangis sebagai bentuk kasih sayang, tetapi tidak pernah meratap atau melakukan hal-hal yang dilarang syariat.

  4. Menguatkan keyakinan kepada takdir Allah
    Dengan memahami hadits ini, kita diajarkan untuk selalu percaya bahwa setiap ketetapan Allah adalah yang terbaik. Musibah yang kita alami bukanlah tanda kebencian Allah, tetapi cara-Nya untuk membersihkan dosa-dosa kita dan mengangkat derajat kita di sisi-Nya.

Sebagai penutup, marilah kita renungkan bersama bahwa kehidupan ini penuh dengan ujian, dan setiap ujian yang kita hadapi adalah peluang untuk semakin dekat kepada Allah سبحانه وتعالى. Mari kita jadikan kesabaran sebagai bagian dari karakter kita, dan ketika musibah datang, kita tidak hanya menerima dengan lapang dada, tetapi juga menjadikannya sebagai sarana untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita.

Semoga Allah Ta'ala menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang selalu sabar dalam menghadapi ujian, ridha terhadap takdir-Nya, dan menjauhi segala perbuatan yang dilarang dalam agama.    

Kita tutup dengan membaca doa kafaratul majelis:

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ.


Tampilkan Kajian Menurut Kata Kunci