Hadits: Perempuan Muslimah Dilarang Safar tanpa Mahram

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

الْحَمْدُ لِلَّهِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُ

Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah ﷻ yang telah menurunkan syariat-Nya sebagai petunjuk hidup yang sempurna, yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk dalam urusan perjalanan dan perlindungan terhadap kehormatan perempuan. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad ﷺ, suri teladan terbaik dalam setiap sisi kehidupan.

Jamaah yang dirahmati Allah, dalam kehidupan kita saat ini, mobilitas perempuan sudah menjadi hal yang umum dan tak terelakkan. Banyak wanita bepergian jauh, baik untuk keperluan pendidikan, pekerjaan, maupun sekadar liburan. Di satu sisi, ini menunjukkan kemajuan dan peran aktif perempuan dalam masyarakat. Namun, di sisi lain, kita juga menyaksikan berbagai kejadian yang menunjukkan betapa rentannya perempuan saat bepergian sendiri—mulai dari pelecehan, penipuan, hingga tindakan kekerasan yang mengancam keselamatan dan kehormatan mereka.

Sayangnya, sebagian besar umat Islam tidak lagi menyadari bahwa Islam sebenarnya telah memberikan aturan yang sangat mendasar dalam hal ini. Aturan itu bukan untuk membatasi, melainkan sebagai bentuk penjagaan terhadap martabat dan keamanan perempuan. Salah satu aturan tersebut tercermin dalam hadits Nabi ﷺ yang akan kita bahas hari ini, yaitu larangan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk melakukan perjalanan jauh tanpa disertai mahram.

Kajian hadits ini menjadi sangat penting karena ia memberikan landasan syar’i yang kuat tentang adab safar bagi perempuan dalam Islam. Kita perlu memahami bukan hanya teksnya, tetapi juga hikmah dan konteksnya, agar kita tidak salah paham dan tidak pula menerapkannya secara kaku atau keliru. Kita akan pelajari bahwa Islam bukan membatasi perempuan, melainkan memuliakannya dengan perlindungan yang bernilai ibadah. Semoga dengan memahami hadits ini, kita semua dapat mengambil pelajaran, mengamalkannya, dan menjadi penjaga kehormatan diri dan keluarga di tengah arus zaman yang semakin bebas.


Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah bersabda:

لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ لَيْسَ مَعَهَا حُرْمَةٌ

Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk melakukan perjalanan sehari semalam tanpa disertai mahram.

HR. al-Bukhari (1088), Muslim (1339).

 


Arti dan Penjelasan Per Kalimat


لَا يَحِلُّ
  Tidak halal

Perkataan ini menunjukkan larangan keras dari syariat.

Larangan ini bukan hanya sekadar makruh, tetapi haram, karena menggunakan bentuk larangan “la yaḥillu” yang secara lugas menyatakan bahwa suatu perbuatan dilarang dan berdosa jika dilakukan.

Ini juga mengindikasikan bahwa hukum asal dalam perjalanan seorang wanita tanpa mahram dalam konteks ini adalah terlarang secara syar'i, bukan sekadar tidak dianjurkan.


لِامْرَأَةٍ
  Bagi seorang wanita

Penggunaan lafaz ini menunjukkan bahwa hukum yang disebutkan bersifat khusus untuk perempuan.

Dalam konteks hukum Islam, perempuan memiliki perlindungan yang lebih ketat dalam perjalanan jauh demi menjaga kehormatan, keamanan, dan martabatnya.

Hukum ini tidak ditujukan untuk merendahkan perempuan, melainkan bentuk penjagaan terhadap potensi bahaya yang bisa terjadi dalam perjalanan jauh tanpa perlindungan dari mahram.


تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
  Yang beriman kepada Allah dan hari akhir

Perkataan ini menunjukkan bahwa larangan ini sangat berkaitan erat dengan kesempurnaan iman.

Artinya, seorang wanita yang benar-benar beriman tidak akan melakukan perjalanan jauh sendirian karena hal itu bertentangan dengan nilai-nilai iman dan ketundukan kepada syariat.

Dalam banyak hadits, penyebutan iman kepada Allah dan hari akhir digunakan untuk menguatkan pentingnya ketaatan pada perintah agama dalam aspek kehidupan praktis.


أَنْ تُسَافِرَ
  Untuk melakukan perjalanan

Perjalanan di sini dimaksudkan sebagai safar yang melewati batasan tertentu dalam syariat, yaitu perjalanan jauh yang biasanya memakan waktu dan tenaga, serta berisiko.

Safar dalam fikih seringkali diukur dari jarak atau waktu tertentu, dan dalam konteks hadits ini disebutkan secara spesifik durasinya, yang menunjukkan bahwa bukan semua jenis keluar rumah dilarang, tapi yang termasuk kategori safar syar’i.


مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ
  Perjalanan sehari semalam

Ukuran ini merujuk kepada masa perjalanan yang dianggap jauh dalam konteks kehidupan saat hadits ini disampaikan, yakni perjalanan sekitar 24 jam.

Dalam konteks fiqih, ini digunakan untuk mengukur batas minimal safar yang mengharuskan adanya ketentuan tertentu, seperti qashar shalat dan keharusan didampingi mahram bagi perempuan.

Walaupun zaman berubah, esensi dari durasi ini adalah menunjukkan perjalanan yang tidak biasa dan membutuhkan kesiapan serta perlindungan.


لَيْسَ مَعَهَا حُرْمَةٌ
  Tanpa disertai mahram

Perkataan ini adalah inti dari larangan hadits, yakni perempuan tidak boleh bepergian dalam safar jauh tanpa adanya “ḥurmah”, yaitu mahram – lelaki yang haram dinikahi secara permanen karena hubungan darah, susuan, atau pernikahan.

Keberadaan mahram berfungsi sebagai pelindung, penjaga keamanan, dan simbol penghormatan terhadap kehormatan wanita.

Ini bukan sekadar syarat administratif, tetapi merupakan bentuk proteksi terhadap kemungkinan gangguan fisik, moral, maupun sosial selama perjalanan.

 


Syarah Hadits


للمَرأةِ مَكانةٌ عَظيمةٌ في الإسلامِ
Perempuan memiliki kedudukan yang agung dalam Islam.

وقدْ رفَعَ قدْرَها وحافَظَ عليْها
Dan Islam telah mengangkat derajatnya dan menjaga dirinya.

وأمَرَ برعايتِها في كلِّ الأحوالِ؛ في الحَضرِ والسَّفرِ
Serta memerintahkan untuk merawatnya dalam segala keadaan; baik di tempat tinggal maupun dalam perjalanan.

ومِن أَوْجُهِ المحافَظةِ عليها ما جاء في هذا الحديثِ
Dan salah satu bentuk penjagaan terhadapnya adalah sebagaimana yang datang dalam hadits ini.

حيثُ نهَى النبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ وزَجَرَ زجرًا شديدًا عنْ أنْ تُسافِرَ المرأةُ بغَيرِ مَحرَمٍ
Di mana Nabi melarang dan melarang dengan larangan yang keras agar wanita tidak bepergian tanpa mahram.

وأخبَر بحُرْمةِ ذلك وأنَّه لا يَحِلُّ لامْرَأَةٍ تُؤمنُ باللهِ العَظيمِ وَاليوْمِ الآخِرِ الذي فيه الحِسابُ والجنَّةُ والنارُ أنْ تُسافِرَ مَسيرةَ يَومٍ ولَيلةٍ إلَّا أنْ يكونَ معَها رجُلٌ مِن مَحارِمِها
Dan beliau menyampaikan bahwa hal itu haram, serta bahwa tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah Yang Mahaagung dan hari akhir, di mana terdapat hisab, surga, dan neraka, untuk bepergian sejauh perjalanan sehari semalam kecuali jika bersamanya seorang laki-laki dari mahramnya.

لأنَّ مَنْ كانتْ تُؤمِنُ باللهِ واليومِ الآخِرِ لا تَأتي المَناهيَ ولا تُخالِفُ الأوامِرَ
Karena orang yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir tidak akan melakukan hal-hal yang dilarang dan tidak akan menyelisihi perintah.

وكأنَّه تَلميحٌ بالعِقابِ مِنَ اللهِ لمَن خالفَتْ هذا الأمرَ
Seakan-akan ini merupakan isyarat akan adanya hukuman dari Allah bagi siapa pun yang melanggar perintah ini.

وقد جاء في الصَّحيحَينِ مِن حَديثِ ابنِ عُمَرَ رَضيَ اللهُ عنهما النَّهيُ عن سفَرِ المرأةِ لمدَّةِ ثَلاثةِ أيَّامٍ ولَياليها، إلَّا أنْ يكونَ معَها مَحرَمٌ
Dan telah datang dalam dua kitab shahih dari hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma larangan wanita bepergian selama tiga hari dan malamnya kecuali jika bersamanya mahram.

فقيل: إنَّ اختِلافَ المدَّةِ هو لاختلافِ السَّائِلينَ، واختلافِ مَواطنِهم
Maka dikatakan: Perbedaan durasi (larangan) itu karena perbedaan para penanya dan perbedaan tempat tinggal mereka.

وليس في النَّهيِ عن الثَّلاثةِ تَصريحٌ بإباحةِ اليومِ واللَّيلةِ
Dan larangan terhadap perjalanan tiga hari itu tidak secara tegas membolehkan (perjalanan) sehari semalam.

وليس في هذا كلِّه تَحديدٌ لأقلِّ ما يقَعُ عليه اسمُ السَّفرِ
Dan tidak ada dalam semua itu penentuan batas minimal yang disebut sebagai "safar".

ولم يَرِدْ عنه صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ تَحديدُ أقلِّ ما يُسمَّى سَفرًا
Dan tidak ada riwayat dari Nabi tentang batas minimal sesuatu yang disebut sebagai perjalanan jauh.

فالحاصلُ: أنَّ كلَّ ما يُسمَّى سَفرًا تُنهَى عنه المرأةُ بغَيرِ زوجٍ أو مَحْرمٍ، سواءٌ كان ثَلاثةَ أيَّامٍ، أو يومَينِ، أو يَومًا، أو نِصفَ يومٍ، أو غيرَ ذلك
Kesimpulannya: Setiap hal yang disebut sebagai perjalanan, wanita dilarang melakukannya tanpa suami atau mahram, baik tiga hari, dua hari, satu hari, setengah hari, atau selain itu.

ومَحرَمُ المرأةِ هو زَوجُها ومَن يَحرُمُ علَيها بالتَّأبيدِ بسَببِ قَرابةٍ، أو رَضاعٍ، أو صِهْريةٍ
Mahram wanita adalah suaminya dan orang yang haram menikahinya secara permanen karena hubungan nasab, persusuan, atau pernikahan.

فلا يَدخُلُ في المحرَمِ ابنُ العَمِّ ولا ابنُ الخالِ ولا زوجُ الأختِ ولا زوجُ العمَّةِ ولا زوجُ الخالةِ، وما شابَه، ممَّن يَحِلُّ لهم الزَّواجُ منها لو فارَقَ زَوجتَه
Maka tidak termasuk mahram: anak paman, anak bibi, suami saudari, suami bibi dari ayah, suami bibi dari ibu, dan yang semisal, yaitu mereka yang masih boleh menikahinya jika telah berpisah dengan istrinya.

ووُجودُ الزَّوجِ أو المَحرمِ معها ليس لدَفْعِ الاعتداءِ عنها إنْ حدَثَ فقَطْ، وإنَّما أيضًا لدَفْعِ الرِّيبةِ والشَّكِّ عنها، ونحْوِ ذلك
Keberadaan suami atau mahram bukan hanya untuk mencegah serangan jika terjadi, tetapi juga untuk menghindarkan dari prasangka buruk, syubhat, dan semacamnya.

وفي الحديثِ: النَّهيُ عن سَفرِ المرأةِ يومًا وليلةً أو أكثرَ بغَيرِ مَحرمٍ معَها
Dan dalam hadits ini terdapat larangan bagi perempuan bepergian sehari semalam atau lebih tanpa disertai mahram bersamanya.

 

Maraji: https://dorar.net/hadith/sharh/23745


Pelajaran dari Hadits ini


 

1. Larangan Keras dalam Syariat

Dalam perkataan لَا يَحِلُّ yang berarti “tidak halal”, kita memahami bahwa larangan ini bukan sekadar anjuran untuk ditinggalkan, tetapi termasuk dalam kategori keharaman. Artinya, jika seorang wanita melanggarnya, maka dia terjatuh pada dosa. Ini menunjukkan bahwa Islam sangat serius dalam hal menjaga keselamatan dan martabat perempuan, dan larangan ini bukan karena meremehkan perempuan, tapi justru bentuk perlindungan dan penghormatan terhadapnya. Dalam bahasa hukum Islam, lafaz ini biasa digunakan untuk menyatakan sesuatu yang bertentangan secara mutlak dengan ajaran agama.


2. Kehormatan dan Keistimewaan Perempuan

Perkataan لِامْرَأَةٍ yang berarti “bagi seorang wanita” menegaskan bahwa larangan ini dikhususkan bagi kaum perempuan. Hal ini karena wanita dalam banyak kondisi lebih rentan terhadap bahaya dalam perjalanan, apalagi pada masa dahulu yang penuh risiko. Namun prinsip ini tetap relevan hingga kini, karena meskipun teknologi dan keamanan telah berkembang, kejahatan terhadap perempuan dalam perjalanan tetap sering terjadi. Maka hukum ini menunjukkan penghargaan Islam kepada perempuan, bukan pembatasan hak, tapi perlindungan syariat terhadap mereka.


3. Ukuran Ketaatan Seorang Mukminah

Perkataan تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ yang artinya “yang beriman kepada Allah dan hari akhir” menjadi ukuran untuk mengetahui seberapa besar ketaatan seorang wanita dalam mengikuti syariat. Jika ia mengaku beriman, maka ia akan menjadikan perintah dan larangan Rasulullah ﷺ sebagai pedoman hidup. Ini bukan sekadar ucapan di lisan, tapi harus dibuktikan dengan sikap tunduk pada aturan agama. Seorang wanita yang menjaga imannya pasti tidak akan meremehkan larangan ini, sebab ia tahu ada pertanggungjawaban di akhirat.

قال الله تعالى:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ
(Artinya: Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman hingga mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan di antara mereka) — QS. An-Nisa’: 65


4. Hukum Perjalanan Jauh

Perkataan أَنْ تُسَافِرَ yang berarti “untuk melakukan perjalanan” menunjukkan bahwa yang dilarang adalah jenis perjalanan tertentu, yakni safar. Dalam syariat, safar memiliki batasan waktu dan jarak. Para ulama menyebutkan bahwa safar adalah perjalanan yang melebihi jarak qashar (sekitar 80–90 km), bukan sekadar keluar rumah atau bepergian ke pasar. Maka konteks hadits ini adalah perjalanan jauh, bukan semua jenis mobilitas perempuan. Ini penting dipahami agar umat Islam tidak berlebihan dalam menerapkan larangan ini.


5. Ukuran Safar yang Dilarang

Dalam perkataan مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ yang berarti “perjalanan sehari semalam”, Rasulullah ﷺ memberi batasan waktu yang jelas tentang jenis perjalanan yang termasuk safar. Ini menunjukkan bahwa syariat sangat rinci dalam menjelaskan larangan, sehingga tidak semua perjalanan masuk dalam kategori yang dilarang. Dengan ukuran sehari semalam, maka bila seorang wanita hanya pergi sebentar dan aman, itu bukan termasuk larangan hadits. Namun jika perjalanan melebihi batas waktu ini, maka berlaku aturan mahram sebagai syarat keamanan.


6. Keberadaan Mahram sebagai Pelindung

Perkataan لَيْسَ مَعَهَا حُرْمَةٌ yang artinya “tanpa disertai mahram” menjelaskan syarat utama kebolehan seorang wanita melakukan perjalanan jauh. Mahram adalah laki-laki yang haram dinikahi selamanya seperti ayah, saudara kandung, atau anak. Fungsi mahram adalah penjaga dan pelindung selama perjalanan. Islam sangat menjaga kehormatan dan keselamatan wanita dari potensi gangguan. Maka syarat adanya mahram bukanlah bentuk pembatasan, tapi proteksi yang manusiawi dan sangat relevan hingga zaman modern.


7. Pentingnya Perencanaan Perjalanan dalam Islam

Meskipun tidak disebutkan secara eksplisit, hadits ini mengandung pelajaran penting tentang perlunya perencanaan matang dalam perjalanan. Seorang muslimah harus mempertimbangkan keamanan, ketersediaan pendamping (mahram), dan dampak perjalanan terhadap dirinya. Islam bukan agama yang membatasi mobilitas, tapi agama yang menuntut tanggung jawab atas setiap keputusan. Maka, ketika akan bepergian, baik jauh maupun dekat, seorang wanita dan keluarganya harus menimbang maslahat dan mafsadatnya.


8. Peran Keluarga dalam Menjaga Anggota Perempuannya

Hadits ini juga mengandung pesan penting bagi para wali dan anggota keluarga laki-laki untuk ikut bertanggung jawab terhadap mobilitas perempuan dalam keluarga. Ketika Rasulullah ﷺ melarang wanita bepergian jauh tanpa mahram, secara tidak langsung itu juga memerintahkan laki-laki untuk siap mendampingi atau menjaga mereka. Maka Islam menanamkan semangat tanggung jawab kolektif dalam menjaga kehormatan dan keselamatan perempuan, dan ini menjadi cerminan keluarga Islami yang peduli dan saling menjaga.


9. Keselamatan sebagai Tujuan Syariat

Secara lebih luas, hadits ini menegaskan bahwa salah satu tujuan utama syariat adalah menjaga keselamatan jiwa (ḥifẓ an-nafs). Larangan perempuan bepergian tanpa mahram merupakan bagian dari prinsip ini. Islam tidak melarang perjalanan, tapi melarang perjalanan yang mengandung potensi bahaya, apalagi bagi perempuan yang secara fisik dan sosial bisa lebih rentan. Dalam hal ini, Islam mendahulukan pencegahan sebelum terjadi mudarat. Prinsip ini sejalan dengan kaidah fikih:

الدَّفْعُ أَولى مِنَ الرَّفْعِ
(Artinya: Mencegah bahaya lebih didahulukan daripada menghilangkannya setelah terjadi)


10. Tidak Menyepelekan Hukum yang Telah Jelas

Hadits ini juga mengajarkan bahwa perintah yang datang dari Rasulullah ﷺ, walau terlihat sederhana atau kontekstual, tetap wajib ditaati. Umat Islam tidak boleh meremehkan hukum yang sudah jelas dengan alasan modernisasi atau kebiasaan sosial. Perintah untuk tidak bepergian tanpa mahram, seperti dalam perkataan لَا يَحِلُّ di awal hadits, bukan hanya untuk zaman dahulu, tapi untuk semua waktu selama belum hilang sebab-sebab larangan itu. Menyepelekan larangan ini berarti mengabaikan ajaran agama yang telah pasti hukumnya.


Secara keseluruhan, hadits ini mengajarkan pentingnya kehati-hatian, tanggung jawab keluarga, dan perlindungan terhadap perempuan dalam Islam. Larangan safar tanpa mahram bukanlah bentuk pengekangan, melainkan penjagaan atas kehormatan dan keselamatan, yang sesuai dengan nilai-nilai iman dan tujuan syariat.


Penutup Kajian


Jamaah sekalian yang dirahmati Allah, 

Setelah kita mengkaji bersama hadits yang agung ini, kita memahami bahwa larangan Rasulullah ﷺ terhadap perempuan yang melakukan perjalanan jauh tanpa mahram bukanlah larangan biasa. Ia lahir dari kasih sayang syariat Islam yang senantiasa menjaga, melindungi, dan memuliakan perempuan. Dalam hadits ini, kita melihat betapa besar perhatian Islam terhadap keselamatan, kehormatan, dan keamanan wanita — sebuah perhatian yang terkadang diabaikan di tengah modernisasi dan kebebasan yang melampaui batas.

Faedah besar dari hadits ini adalah bahwa iman tidak hanya diwujudkan dengan ibadah ritual, tetapi juga dengan kepatuhan terhadap aturan-aturan yang Rasulullah ﷺ tetapkan. Hadits ini juga menanamkan nilai tanggung jawab keluarga, khususnya peran laki-laki sebagai pelindung dan penjaga perempuan dalam kehidupan mereka. Dalam dunia yang serba cepat dan bebas seperti sekarang, hadits ini mengingatkan kita untuk tidak terbuai oleh kelonggaran zaman, tetapi kembali kepada prinsip-prinsip syariat yang teruji oleh waktu dan hikmah.

Harapan kita, setelah memahami isi dan hikmah hadits ini, setiap peserta kajian dapat lebih bijak dalam merencanakan perjalanan, terutama bagi para wanita dan keluarga mereka. Hendaknya prinsip perlindungan dan kehormatan dijadikan sebagai pertimbangan utama, bukan semata-mata kebebasan atau kepraktisan. Semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk mengamalkan ilmu ini dalam kehidupan nyata, menjaga keluarga kita dari keburukan, dan menumbuhkan rasa tanggung jawab terhadap sesama. Wallahu a‘lam.

وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ، وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْـحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

 

Tampilkan Kajian Menurut Kata Kunci