Khutbah: Esensi Kemuliaan Dalam Pandangan Allah

 

KHUTBAH PERTAMA – PEMBUKAAN

الْحَمْدُ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.

أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَشَرَّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ، وَكُلَّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ.

Jamaah Jumat rahimakumullah,

Pernahkah kita melihat seseorang diperlakukan istimewa hanya karena penampilannya yang rupawan? Atau menyaksikan orang berlomba-lomba mendekati seseorang karena hartanya yang melimpah? Di zaman sekarang ini, kita sering melihat fenomena di mana penampilan fisik dan kekayaan material menjadi ukuran utama dalam menilai seseorang. Citra diri yang dibangun melalui media sosial, kemewahan yang dipamerkan, dan tampilan visual yang sempurna seolah menjadi standar keberhasilan dan kebahagiaan.

Seorang eksekutif muda dengan mobil mewah dan rumah megah mendapat perlakuan istimewa di masyarakat. Sementara, tetangganya yang berprofesi sebagai guru dengan penampilan sederhana seringkali luput dari perhatian, meski mungkin memiliki ketulusan hati dan amal shaleh yang jauh lebih berharga. Di lembaga pendidikan, siswa dengan penampilan menarik seringkali lebih diperhatikan dibanding mereka yang kurang rupawan meski mungkin lebih cerdas. Dalam dunia kerja, terkadang pegawai dengan penampilan menarik mendapat prioritas promosi dibanding rekan yang lebih berdedikasi namun kurang menarik secara fisik.

Fenomena ini bukan hanya terjadi di satu tempat atau kalangan tertentu, melainkan telah menjadi penyakit umum masyarakat kita. Standar kemuliaan yang terdistorsi ini bertentangan dengan pandangan Islam yang sejati tentang nilai manusia. Islam mengajarkan bahwa manusia tidak dinilai dari penampilan luar atau harta bendanya, melainkan dari kualitas hati dan amal perbuatannya.

Urgensi membahas hadits tentang standar penilaian Allah terhadap manusia menjadi sangat relevan di tengah masyarakat yang semakin terjebak dalam penilaian superfisial. Ketika kita terus menerus dipaparkan pada standar kesuksesan yang diukur dari penampilan dan kekayaan, kita perlu kembali pada ajaran Islam yang menekankan kemuliaan sejati. Hadits yang akan kita kaji hari ini memberikan perspektif yang mendasar dan mengubah paradigma kita tentang apa yang benar-benar penting dalam hidup.

Khutbah hari ini bertujuan untuk menyadarkan kita semua akan hakikat penilaian dalam pandangan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Melalui pemahaman mendalam terhadap hadits Rasulullah ﷺ, mari kita perbaiki cara pandang kita dan bersama-sama menuntun diri kita untuk lebih menghargai kualitas batin dan amal perbuatan daripada aspek lahiriah yang fana. Dengan demikian, kita dapat kembali pada ajaran Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah ﷺ yang merupakan pedoman hidup yang sempurna bagi umat manusia.

TEKS DAN PERIWAYATAN HADITS

Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ.

"Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa kalian dan harta kalian, tetapi Dia melihat kepada hati kalian dan amal perbuatan kalian."

(HR. Muslim No. 2564)

ARTI DAN PENJELASAN PER PERKATAAN

إِنَّ اللهَ 

"Sesungguhnya Allah"

Perkataan ini adalah pembuka hadits yang langsung mengarahkan perhatian pada subjek utama yaitu Allah Subhanahu wa Ta'ala, Sang Pencipta dan Penguasa alam semesta. Penggunaan kata "inna" (sesungguhnya) di awal kalimat menunjukkan penekanan dan kepastian terhadap informasi yang akan disampaikan. Ini mengindikasikan bahwa apa yang disampaikan setelahnya adalah kebenaran mutlak dari Allah yang tidak bisa dibantah. Perkataan ini sekaligus mengajarkan pada kita bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha Mengetahui tentang hakikat segala sesuatu, termasuk apa yang tersembunyi dalam diri manusia.


لَا يَنْظُرُ 

"Tidak melihat"

Perkataan ini menegaskan bahwa ada hal-hal yang tidak menjadi fokus penilaian Allah. "Yanzhuru" berasal dari kata "nazhar" yang berarti melihat, namun dalam konteks hadits ini bermakna lebih dari sekedar melihat secara fisik, melainkan mencakup makna memperhatikan, menilai, dan menjadikan sebagai standar penilaian. Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan kekuasaan-Nya tentu melihat segala sesuatu, namun "tidak melihat" dalam konteks ini bermakna tidak menjadikannya sebagai tolak ukur utama dalam memberikan penilaian terhadap seorang hamba. Allah tidak menjadikan hal-hal tersebut sebagai dasar pertimbangan utama dalam memberikan kemuliaan dan kedudukan di sisi-Nya.


إِلَى صُوَرِكُمْ 

"Kepada rupa kalian"

Perkataan ini menunjukkan salah satu aspek eksternal manusia yang sering menjadi kebanggaan dan ukuran penilaian di antara manusia. "Shuwar" adalah bentuk jamak dari "shurah" yang berarti bentuk, rupa, atau penampilan fisik. Ini mencakup wajah, postur tubuh, warna kulit, dan semua aspek penampilan lahiriah manusia. Dalam kehidupan dunia, penampilan fisik seringkali menjadi faktor penentu dalam perlakuan manusia terhadap sesamanya. Orang yang rupawan sering mendapatkan perlakuan istimewa dibandingkan yang kurang rupawan. Namun, hadits ini menegaskan bahwa Allah tidak menjadikan kerupawanan fisik sebagai standar penilaian kemuliaan seorang hamba. Penampilan fisik adalah anugerah yang tidak bisa dipilih oleh manusia saat dilahirkan, karenanya tidak adil jika dijadikan ukuran kemuliaan.


وَأَمْوَالِكُمْ 

"Dan harta kalian"

Perkataan ini menunjukkan aspek eksternal kedua yang sering menjadi kebanggaan dan ukuran status sosial di masyarakat. "Amwal" adalah bentuk jamak dari "mal" yang berarti harta benda, kekayaan material dalam berbagai bentuknya. Dalam kehidupan sosial, harta seringkali menjadi tolak ukur kesuksesan dan keberhasilan seseorang. Orang yang kaya biasanya lebih dihormati dan diperlakukan istimewa dibandingkan yang miskin. Namun, hadits ini menegaskan bahwa Allah tidak menjadikan kekayaan material sebagai standar kemuliaan seorang hamba. Harta benda adalah ujian dan amanah dari Allah yang bisa dimiliki oleh orang baik maupun orang jahat, sehingga tidak tepat dijadikan ukuran kemuliaan sejati.


وَلَكِنْ 

"Tetapi"

Perkataan ini merupakan kata penghubung yang menandai peralihan dari pernyataan negatif ke pernyataan positif. Setelah menjelaskan apa yang tidak menjadi tolak ukur penilaian Allah, kata "tetapi" ini mengarahkan perhatian pada apa yang benar-benar menjadi tolak ukur penilaian-Nya. Kata penghubung ini sangat penting karena menandai kontras antara nilai-nilai superfisial yang sering dijunjung tinggi manusia dengan nilai-nilai substansial yang benar-benar dihargai oleh Allah. Ini menegaskan adanya standar penilaian yang berbeda antara manusia dan Allah, sekaligus mengajak manusia untuk mengubah paradigma penilaiannya agar selaras dengan pandangan Allah.


يَنْظُرُ 

"Melihat"

Berbeda dengan pernyataan sebelumnya yang menggunakan kata yang sama namun dalam konteks negatif, pada bagian ini kata "melihat" digunakan dalam konteks positif. Ini menunjukkan apa yang benar-benar menjadi fokus perhatian dan penilaian Allah. Penggunaan kata yang sama dalam dua konteks berbeda ini menciptakan penekanan yang kuat pada perbedaan standar penilaian. Allah memang melihat segala sesuatu, namun ada hal-hal tertentu yang menjadi fokus utama penilaian-Nya terhadap seorang hamba. Inilah yang seharusnya juga menjadi fokus perhatian manusia dalam menilai dirinya sendiri dan orang lain.


إِلَى قُلُوبِكُمْ 

"Kepada hati kalian"

Perkataan ini menunjukkan aspek internal pertama yang menjadi tolak ukur penilaian Allah. "Qulub" adalah bentuk jamak dari "qalb" yang berarti hati, bukan dalam pengertian organ fisik, melainkan pusat kesadaran spiritual, niat, keyakinan, dan kondisi batin manusia. Hati adalah tempat iman bersemayam, pusat dari segala niat dan motivasi perbuatan. Allah menilai ketulusan, kejujuran, kebersihan, dan keimanan yang ada dalam hati seseorang. Kondisi hati inilah yang menentukan nilai sejati seorang manusia di hadapan Allah, bukan penampilan fisiknya yang bisa menipu. Nabi Muhammad ﷺ sering mengingatkan tentang pentingnya menjaga kebersihan hati, karena hati yang bersih akan melahirkan perbuatan yang baik.


وَأَعْمَالِكُمْ 

"Dan amal perbuatan kalian"

Perkataan ini menunjukkan aspek internal kedua yang menjadi tolak ukur penilaian Allah. "A'mal" adalah bentuk jamak dari "'amal" yang berarti perbuatan atau tindakan. Ini mencakup semua aktivitas manusia, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, yang dilakukan anggota tubuh maupun hati. Allah menilai kualitas perbuatan bukan hanya kuantitasnya, menilai kebermanfaatan amal bagi diri sendiri dan orang lain, serta konsistensi dalam beramal baik. Amal perbuatan adalah manifestasi dari kondisi hati seseorang, sehingga keduanya saling terkait. Amal yang diterima di sisi Allah adalah yang dilakukan dengan ikhlas (dari hati yang bersih) dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah ﷺ. Inilah standar penilaian sejati yang ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.


PELAJARAN-PELAJARAN DARI HADITS

1. Hakikat Standar Penilaian Allah

إِنَّ اللهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ 

"Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa kalian dan harta kalian"

Pelajaran pertama yang kita petik dari hadits ini adalah bahwa Allah memiliki standar penilaian yang berbeda dari standar yang umumnya digunakan manusia. 

Allah tidak menjadikan penampilan fisik dan kekayaan material sebagai ukuran kemuliaan seorang hamba. Hal ini sangat kontras dengan kecenderungan masyarakat yang sering menilai seseorang dari penampilannya yang rupawan atau hartanya yang melimpah.

Kita sering terjebak dalam penilaian superfisial. Ketika bertemu seseorang, mata kita secara otomatis menilai penampilannya, pakaiannya, kendaraannya, atau simbol kekayaan lainnya. Padahal, semua itu tidak mencerminkan nilai sejati seseorang di hadapan Allah. 

Penampilan fisik adalah anugerah yang tidak bisa dipilih saat dilahirkan, sementara harta adalah ujian yang bisa dimiliki oleh orang baik maupun orang jahat.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam Al-Qur'an:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

"Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa." (QS. Al-Hujurat: 13)

Ayat ini menegaskan bahwa ketakwaan adalah ukuran kemuliaan sejati, bukan penampilan fisik atau harta benda. Sebagai muslim, kita harus melepaskan diri dari penilaian superfisial dan mengadopsi standar penilaian yang diajarkan Islam.


2. Pentingnya Menjaga Kebersihan Hati

وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ 

"Tetapi Dia melihat kepada hati kalian"

Hadits ini mengajarkan bahwa Allah memberikan perhatian khusus pada kondisi hati seorang hamba. Hati adalah pusat dari segala niat, motivasi, keyakinan, dan kondisi spiritual seseorang. Kebersihan hati dari sifat-sifat tercela seperti riya', hasad, takabur, dan dendam menjadi prioritas utama dalam Islam.

Nabi Muhammad ﷺ pernah bersabda:

أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ

"Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh tubuh. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh tubuh. Ketahuilah, itu adalah hati." (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menekankan pentingnya introspeksi diri (muhasabah) secara teratur untuk menjaga kebersihan hati. 

Kita perlu mengevaluasi niat dan motivasi kita dalam beribadah dan berinteraksi dengan sesama. Apakah semata-mata untuk mendapatkan ridha Allah atau ada motif lain seperti pujian manusia atau keuntungan duniawi?

Sebagai muslim, kita hendaknya menjadikan pembersihan hati sebagai prioritas utama dalam kehidupan spiritual kita. Ini dapat dilakukan melalui istighfar, dzikir, membaca Al-Qur'an, dan muhasabah secara teratur.


3. Kualitas Amal Lebih Utama dari Kuantitas

وَأَعْمَالِكُمْ 

"Dan amal perbuatan kalian"

Pelajaran ketiga dari hadits ini adalah pentingnya kualitas amal perbuatan. Allah tidak hanya melihat pada banyaknya amal yang dikerjakan, tetapi pada kualitas dan keikhlasannya. Sebuah amal kecil yang dilakukan dengan ikhlas dan sesuai tuntunan Rasulullah ﷺ lebih baik dari amal besar yang dilakukan dengan riya' atau tidak sesuai sunnah.

Nabi Muhammad ﷺ bersabda:

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

"Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini mengajarkan bahwa nilai sebuah amal sangat ditentukan oleh niat yang mendasarinya. 

Seorang muslim hendaknya memperhatikan dua aspek penting dalam beramal: keikhlasan niat dan kesesuaian dengan sunnah Rasulullah ﷺ. Inilah yang menjadikan amal tersebut diterima di sisi Allah.

Dalam beramal, kita harus selalu bertanya pada diri sendiri: "Untuk siapa amal ini saya lakukan?" dan "Apakah amal ini sesuai dengan tuntunan Rasulullah ﷺ?". 

Dengan demikian, kita akan terjaga dari riya' dan bid'ah yang dapat mengurangi atau bahkan menghapus nilai amal.


4. Kesetaraan Hakiki dalam Islam

إِنَّ اللهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ 

"Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa kalian dan harta kalian, tetapi Dia melihat kepada hati kalian dan amal perbuatan kalian"

Hadits ini mengajarkan prinsip kesetaraan yang sangat fundamental dalam Islam. Di hadapan Allah, manusia tidak dinilai berdasarkan hal-hal yang sifatnya aksidental seperti warna kulit, bentuk fisik, keturunan, atau kekayaan. 

Semua manusia memiliki kesempatan yang sama untuk meraih kemuliaan di sisi Allah melalui ketakwaan dan amal shaleh.

Pada haji wada', Nabi Muhammad ﷺ menegaskan:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلَا إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ وَلَا لِأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلَّا بِالتَّقْوَى

"Wahai manusia, ketahuilah bahwa Tuhan kalian satu dan bapak kalian satu. Ketahuilah, tidak ada keutamaan bagi orang Arab atas non-Arab, tidak pula bagi non-Arab atas Arab, tidak ada keutamaan bagi yang berkulit merah atas yang berkulit hitam, tidak pula bagi yang berkulit hitam atas yang berkulit merah, kecuali dengan ketakwaan." (HR. Ahmad)

Hadits ini menggugah kesadaran kita untuk menerapkan prinsip kesetaraan dalam kehidupan bermasyarakat. 

Kita tidak boleh mendiskriminasi orang lain berdasarkan penampilan fisik atau status ekonominya. Sebaliknya, kita diajarkan untuk menghargai setiap individu berdasarkan kualitas hati dan perilakunya.


5. Korelasi Antara Hati dan Amal Perbuatan


إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ 

"Kepada hati kalian dan amal perbuatan kalian"

Hadits ini menyebutkan hati dan amal perbuatan secara bersamaan, menunjukkan adanya korelasi erat antara keduanya. Hati yang bersih akan melahirkan amal yang baik, sementara hati yang kotor akan melahirkan amal yang buruk.

Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah menjelaskan bahwa amal perbuatan adalah buah dari kondisi hati, sebagaimana buah dari sebuah pohon. Pohon yang sehat akan menghasilkan buah yang baik, sementara pohon yang sakit akan menghasilkan buah yang buruk atau tidak berbuah sama sekali.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً

"Barangsiapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik." (QS. An-Nahl: 97)

Ayat ini menekankan bahwa amal saleh harus didasari oleh keimanan yang bersemayam dalam hati. Ini menegaskan kembali korelasi antara hati dan amal yang disebutkan dalam hadits.

Sebagai muslim, kita hendaknya memperhatikan keselarasan antara kondisi hati dan amal perbuatan kita. 

Ketika terjadi ketidakselarasan, seperti melakukan amal baik namun hati dipenuhi sifat tercela, kita perlu segera memperbaiki kondisi hati kita.


6. Menata Prioritas Hidup dengan Benar

إِنَّ اللهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ 

"Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa kalian dan harta kalian, tetapi Dia melihat kepada hati kalian dan amal perbuatan kalian"

Hadits ini mengajarkan kita untuk menata prioritas hidup dengan benar. Banyak orang menghabiskan waktu, tenaga, dan hartanya untuk mempercantik penampilan dan mengumpulkan kekayaan, namun mengabaikan pembersihan hati dan peningkatan kualitas amal. Padahal, yang terakhir inilah yang lebih bernilai di sisi Allah.

Nabi Muhammad ﷺ memperingatkan:

تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ وَالْقَطِيفَةِ وَالْخَمِيصَةِ، إِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ، وَإِنْ لَمْ يُعْطَ سَخِطَ

"Celakalah hamba dinar (emas), dirham (perak), pakaian beludru, dan pakaian bergambar. Jika diberi, ia ridha; dan jika tidak diberi, ia marah." (HR. Bukhari)

Hadits ini menunjukkan bahwa terlalu mencintai hal-hal duniawi dapat menghalangi seseorang dari mengutamakan hal-hal yang bernilai di sisi Allah.

Sebagai muslim, kita hendaknya mengevaluasi kembali prioritas hidup kita. 

Berapa banyak waktu yang kita habiskan untuk merawat penampilan dan mengumpulkan harta, dibandingkan dengan waktu untuk membersihkan hati dan memperbaiki amal? 

Penyesuaian prioritas mungkin diperlukan agar hidup kita lebih selaras dengan nilai-nilai Islam.


Secara keseluruhan, hadits ini mengajarkan kita untuk mengubah perspektif dalam menilai diri sendiri dan orang lain. Allah tidak menilai kita dari apa yang tampak di luar, melainkan dari kualitas batin dan amal perbuatan kita. Ini seharusnya menjadi dasar bagi setiap muslim dalam membangun konsep diri dan berinteraksi dengan sesama. Ketika kita mampu menginternalisasi ajaran hadits ini, kita akan lebih fokus pada pengembangan kualitas diri yang hakiki daripada mengejar hal-hal superfisial yang tidak bernilai di sisi Allah. Dengan demikian, kita dapat meraih kemuliaan sejati baik di dunia maupun di akhirat.

PENUTUP KHUTBAH PERTAMA

Jamaah Jumat rahimakumullah,

Dari hadits yang telah kita kaji bersama, dapat kita simpulkan bahwa kemuliaan sejati di sisi Allah terletak pada kebersihan hati dan kualitas amal perbuatan, bukan pada penampilan fisik dan kekayaan material. Hadits ini memberikan fondasi yang kuat bagi kita dalam membangun konsep diri dan berinteraksi dengan sesama.

Marilah kita jadikan hadits ini sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Alih-alih menghabiskan waktu dan energi untuk hal-hal yang bersifat lahiriah, marilah kita lebih fokus pada pembersihan hati dari sifat-sifat tercela seperti riya', hasad, dan takabur. Mari kita tingkatkan kualitas amal kita dengan memurnikan niat dan mengikuti tuntunan Rasulullah ﷺ.

Ya Allah, bersihkanlah hati kami dari segala penyakit hati yang menghalangi kami dari keikhlasan. Jadikanlah kami termasuk hamba-hamba-Mu yang memiliki hati yang bersih dan amal yang shaleh. Bantulah kami untuk tidak terjebak dalam penilaian superfisial berdasarkan penampilan dan harta, melainkan untuk menilai diri kami dan sesama berdasarkan kualitas hati dan amal perbuatan.

بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيمِ، أَقُولُ قَوْلِي هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيمَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِينَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ، فَاسْتَغْفِرُوهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ.

KHUTBAH KEDUA

الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ.

أَمَّا بَعْدُ: فَيَا أَيُّهَا النَّاسُ، اتَّقُوا اللهَ تَعَالَى وَأَطِيعُوهُ، إِنَّ اللهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ.

Jamaah Jumat rahimakumullah,

Pada khutbah pertama, kita telah membahas hadits Rasulullah ﷺ yang mengajarkan bahwa Allah tidak menilai manusia dari penampilan fisik dan kekayaan material, melainkan dari kebersihan hati dan kualitas amal perbuatan. Ini adalah standar penilaian yang seharusnya kita jadikan pedoman dalam kehidupan.

Saudara-saudara seiman, dalam kehidupan yang penuh dengan godaan duniawi, terkadang kita terjebak dalam penilaian superfisial. Kita mengagumi orang yang rupawan dan kaya, namun mengabaikan mereka yang sederhana namun memiliki hati yang bersih dan amal yang baik. Hadits yang kita kaji ini mengingatkan kita untuk mengoreksi cara pandang kita dan menyelaraskannya dengan cara pandang Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Mari kita implementasikan ajaran hadits ini dalam kehidupan sehari-hari dengan langkah-langkah praktis berikut:

Pertama, lakukan muhasabah (introspeksi) secara rutin untuk mengevaluasi kondisi hati kita. Identifikasi sifat-sifat tercela seperti riya', hasad, ujub, atau dendam yang mungkin bersemayam dalam hati, lalu berusaha untuk membersihkannya melalui istighfar, dzikir, dan doa.

Kedua, evaluasi niat di balik setiap amal yang kita lakukan. Tanyakan pada diri sendiri: "Apakah amal ini saya lakukan semata-mata untuk mencari ridha Allah atau ada motif lain?" Jika ditemukan niat selain untuk Allah, segera perbaiki niat tersebut.

Ketiga, tingkatkan pengetahuan tentang sunnah Rasulullah ﷺ agar amal yang kita lakukan tidak hanya ikhlas tetapi juga sesuai dengan tuntunan beliau. Ingatlah bahwa amal yang diterima di sisi Allah adalah yang ikhlas dan sesuai sunnah.

Keempat, berlatihlah untuk tidak menilai orang dari penampilan atau kekayaannya. Berusahalah untuk melihat kualitas hati dan amal seseorang melalui perilaku dan interaksinya dengan orang lain.

Kelima, jangan terlalu banyak menghabiskan waktu, tenaga, dan harta untuk urusan penampilan dan pengumpulan harta. Alokasikan lebih banyak sumber daya untuk pembersihan hati dan peningkatan kualitas amal.

Saudara-saudara seiman, jika ajaran hadits ini tidak kita implementasikan, kita akan terus terjebak dalam standar penilaian yang keliru. Kita akan terus memuja penampilan dan kekayaan, mengabaikan kebersihan hati dan kualitas amal. Akibatnya, kita akan hidup dalam kepalsuan dan jauh dari nilai-nilai Islam yang sejati.

Di dunia, konsekuensinya adalah kehampaan spiritual dan ketidakbahagiaan sejati meski dikelilingi kemewahan. Di akhirat, konsekuensinya jauh lebih serius: kehilangan kesempatan untuk mendapatkan ridha Allah dan surga-Nya karena terlalu sibuk mengejar hal-hal yang tidak bernilai di sisi-Nya.

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ. اللَّهُمَّ أَصْلِحْ أَحْوَالَ الْمُسْلِمِينَ فِي كُلِّ مَكَانٍ، وَارْفَعْ رَايَةَ الإِسْلاَمِ وَالسُّنَّةِ فِي كُلِّ زَمَانٍ. اللَّهُمَّ ارْحَمْ مَرْضَانَا، وَاشْفِ مُبْتَلاَنَا، وَارْحَمْ مَوْتَانَا، وَفَرِّجْ هَمَّ الْمَهْمُومِينَ مِنْ عِبَادِكَ الْمُؤْمِنِينَ.
اللَّهُمَّ أَصْلِحْ وُلاَةَ أُمُورِنَا، وَاجْعَلْهُمْ هُدَاةً مُهْتَدِينَ غَيْرَ ضَالِّينَ وَلاَ مُضِلِّينَ. اللَّهُمَّ اجْعَلْهُمْ مِمَّنْ يَخَافُونَكَ وَيَخْشَوْنَكَ، وَاجْعَلْهُمْ مِمَّنْ يُقِيمُونَ شَرِيعَتَكَ فِي أَرْضِكَ.
عِبَادَ اللهِ، إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ. فَاذْكُرُوا اللَّهَ الْعَظِيمَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ، وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ.

Tampilkan Kajian Menurut Kata Kunci

Followers