Kajian: Al-Hajr: Pembatasan Hak Bertindak (Kitab Minhajul Muslim)
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
الْحَمْدُ لِلَّهِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُ
Hadirin dan hadirat sekalian yang dirahmati Allah,
Pada kesempatan kali ini, kita akan mengkaji sebuah topik yang sangat penting dalam fikih muamalah, yaitu Al-Hajr atau Pembatasan Hak Bertindak. Mungkin bagi sebagian dari kita, istilah ini terdengar asing atau bahkan kurang familiar. Namun, percayalah, kajian ini memiliki relevansi yang sangat besar dalam kehidupan kita sehari-hari, baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari masyarakat.
Latar Belakang Permasalahan di Masyarakat
Coba kita perhatikan sekeliling kita. Pernahkah kita melihat atau mendengar kasus di mana:
Seorang anak yang masih di bawah umur tiba-tiba mendapatkan warisan dalam jumlah besar, lalu keluarganya bingung bagaimana si anak mengelola harta tersebut agar tidak dibelanjakan habis sia-sia?
Seseorang yang memiliki harta berlimpah, namun karena perilakunya yang boros atau kurang bijak dalam mengelola keuangan, hartanya ludes dalam waktu singkat, bahkan sampai terlilit utang?
Ada keluarga yang menghadapi anggota keluarga mereka yang mengalami gangguan jiwa, dan mereka kesulitan melindungi harta benda anggota keluarga tersebut dari penyalahgunaan atau kerugian?
Seorang pasien yang sedang sakit parah, di ambang kematian, kemudian dia melakukan tindakan hukum yang merugikan ahli warisnya, misalnya menghibahkan seluruh hartanya kepada orang lain?
Kasus-kasus seperti ini bukanlah hal yang aneh di masyarakat kita. Sayangnya, tidak jarang permasalahan tersebut menimbulkan kerugian besar, baik bagi individu yang bersangkutan maupun bagi keluarga dan pihak-pihak terkait lainnya. Konflik keluarga, kerugian finansial, bahkan hilangnya hak-hak yang seharusnya dimiliki, bisa menjadi dampak dari ketidaktahuan kita tentang prinsip-prinsip fikih yang mengatur hal-hal ini.
Urgensi Mempelajari Al-Hajr
Di sinilah letak urgensi kita untuk mempelajari Al-Hajr. Fikih Islam, dengan segala keagungannya, tidak pernah luput dari aspek-aspek kehidupan manusia. Ia datang dengan solusi dan panduan yang komprehensif untuk menjaga kemaslahatan umat. Konsep Al-Hajr ini merupakan salah satu bentuk perlindungan syariat terhadap harta dan hak individu, sekaligus menjaga stabilitas sosial dan ekonomi masyarakat.
Mempelajari Al-Hajr akan memberikan kita pemahaman tentang:
Perlindungan Harta: Bagaimana Islam melindungi harta seseorang dari tindakan yang merugikan, baik oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain, terutama bagi mereka yang belum cakap hukum atau memiliki keterbatasan.
Keadilan Sosial: Bagaimana konsep ini memastikan hak-hak ahli waris, kreditur, dan pihak lain yang berinteraksi dalam muamalah tetap terjaga.
Manajemen Risiko: Bagaimana kita bisa mengantisipasi dan memitigasi risiko-risiko finansial yang mungkin terjadi akibat ketidakmampuan seseorang dalam mengelola hartanya.
Tanggung Jawab Perwalian: Bagi para wali, orang tua, atau pihak yang mengemban amanah mengurus harta orang lain, kajian ini akan memberikan panduan syar'i tentang batasan dan kewenangan mereka.
Singkatnya, pemahaman tentang Al-Hajr bukan hanya tentang teori fikih, tapi tentang bagaimana kita bisa menerapkan prinsip-prinsip syariah untuk menciptakan masyarakat yang lebih teratur, adil, dan sejahtera, di mana hak-hak setiap individu terlindungi dengan baik.
Oleh karena itu, marilah kita menyimak kajian ini dengan seksama, membuka hati dan pikiran kita untuk menerima ilmu Allah, semoga Allah senantiasa memberikan kita taufik dan hidayah-Nya.
Mari kita mulai dengan memahami apa itu Al-Hajr secara bahasa dan syar'i.
1. Definisi
الحَجْرُ هُوَ مَنْعُ الْإِنْسَانِ مِنَ التَّصَرُّفِ فِي مَالِهِ لِصِغَرٍ أَوْ جُنُونٍ أَوْ سَفَهٍ أَوْ فَلَسٍ
"Al-Hajr (pembatasan hak bertindak) adalah melarang seseorang untuk mengelola hartanya karena kecil (belum baligh), gila, boros (bodoh dalam mengelola harta), atau bangkrut."
Al-Hajr bukan sekadar larangan, melainkan sebuah tindakan perlindungan yang dilakukan oleh syariat Islam untuk menjaga harta seseorang agar tidak disalahgunakan atau habis sia-sia. Pembatasan ini diberlakukan kepada individu yang dianggap belum cakap atau tidak mampu mengelola hartanya sendiri secara bijak, baik karena usianya yang masih anak-anak, kondisi kejiwaannya yang tidak stabil, sifat boros yang tidak terkendali, atau karena terlilit utang hingga bangkrut. Tujuannya mulia, yaitu untuk melindungi kepentingan pemilik harta itu sendiri, keluarganya, dan juga pihak-pihak lain yang berinteraksi dengannya.
2. Hukumnya
الْحَجْرُ مَشْرُوعٌ بِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ} [النِّسَاء: 5].
وَبِعَمَلِ الرَّسُولِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: "إِذْ حَجَرَ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - عَلَى مُعَاذٍ مَالَهُ لَمَّا اسْتَغْرَقَهُ الدَّيْنُ فَبَاعَهُ وَسَدَّدَ عَنْهُ دُيُونَهُ حَتَّى لَمْ يَبْقَ لِمُعَاذٍ شَيْءٌ".
"Al-Hajr disyariatkan berdasarkan firman Allah Ta'ala: {Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya (pemboros) harta (mereka yang ada dalam kekuasaan) kamu yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik} [An-Nisa: 5].
Dan berdasarkan perbuatan Rasulullah - shallallahu 'alaihi wa sallam -: "Ketika beliau - shallallahu 'alaihi wa sallam - membatasi hak bertindak Mu'adz atas hartanya ketika ia terlilit utang, lalu beliau menjual hartanya dan melunasi utang-utangnya hingga tidak tersisa sesuatu pun bagi Mu'adz."
Al-Hajr ini bukan sesuatu yang dilarang, melainkan justru dibolehkan dalam hukum Islam. Dalilnya sangat kuat, yaitu dari Al-Qur'an dan juga praktik langsung dari Nabi Muhammad ﷺ. Ayat Al-Qur'an dalam Surat An-Nisa ayat 5 secara tegas memerintahkan kita untuk tidak menyerahkan harta kepada orang yang belum sempurna akalnya atau boros, karena harta itu adalah penopang kehidupan. Ini menunjukkan bahwa Islam sangat menjaga keberlangsungan ekonomi dan kesejahteraan. Selain itu, kisah Nabi ﷺ yang membatasi hak Mu'adz bin Jabal atas hartanya karena terlilit utang, lalu beliau sendiri yang mengurus penjualan hartanya untuk melunasi utang Mu'adz, adalah bukti nyata bahwa pembatasan ini adalah tindakan yang bijaksana dan adil untuk menyelesaikan masalah finansial dan melindungi hak-hak kreditur.
3. Hukum-hukum Bagi Pihak yang Dibatasi Haknya
1. Anak Kecil (Ash-Shagir)
وَهُوَ الطِّفْلُ الَّذِي لَمْ يَبْلُغِ الْحُلُمَ، وَحُكْمُهُ أَنَّ تَصَرُّفَاتِهِ الْمَالِيَّةَ غَيْرُ جَائِزَةٍ إِلَّا بِرِضَا وَالِدَيْهِ، أَوْ وَصِيِّهِ إِنْ كَانَ يَتِيمًا، وَيَسْتَمِرُّ الْحَجْرُ عَلَيْهِ إِلَى الْبُلُوغِ مَا لَمْ يَظْهَرْ مِنْهُ سَفَهٌ فَيَسْتَمِرُّ الْحَجْرُ إِلَى صَلَاحِهِ، وَإِنْ كَانَ يَتِيمًا مُوَصًى عَلَيْهِ فَحَجْرُهُ يَبْقَى إِلَى تَرْشِيدِهِ بَعْدَ بُلُوغِهِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ} [النِّسَاء: 6].
"Dia adalah anak yang belum mencapai usia baligh, dan hukumnya adalah bahwa tindakan keuangannya tidak sah kecuali dengan persetujuan kedua orang tuanya, atau walinya jika ia yatim. Pembatasan hak ini berlanjut hingga baligh, kecuali jika muncul sifat boros darinya, maka pembatasan terus berlanjut hingga ia menjadi baik (mampu mengelola harta). Jika ia adalah anak yatim yang diwarisi, maka pembatasannya tetap berlaku hingga ia mencapai kedewasaan (kemampuan mengelola harta) setelah balighnya, berdasarkan firman Allah Ta'ala: {Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-harta mereka itu} [An-Nisa: 6]."
Ini mengandung pelajaran bahwa harta anak kecil harus dilindungi. Anak yang belum baligh, yaitu yang belum mencapai usia dewasa secara syariat, dianggap belum mampu mengelola hartanya sendiri dengan baik. Oleh karena itu, semua tindakan keuangannya, seperti jual beli atau hibah, tidak sah kecuali jika disetujui oleh orang tua atau walinya. Pembatasan ini berlaku sampai anak tersebut baligh. Namun, jika setelah baligh ternyata ia masih menunjukkan sifat boros atau tidak bijak dalam mengelola harta, maka pembatasan itu bisa dilanjutkan sampai ia benar-benar mampu mengelola hartanya dengan baik. Khusus untuk anak yatim, Al-Qur'an dalam Surat An-Nisa ayat 6 bahkan memerintahkan untuk menguji mereka setelah baligh. Jika mereka sudah menunjukkan kecerdasan dan kemampuan mengelola harta, barulah harta mereka diserahkan. Ini menunjukkan betapa Islam sangat peduli terhadap masa depan finansial anak-anak.
2. Orang yang Boros (As-Safih)
السَّفِيهُ، وَهُوَ الْمُبَذِّرُ لِمَالِهِ بِإِنْفَاقِهِ فِي شَهَوَاتِهِ أَوْ بِسُوءِ تَصَرُّفِهِ لِقِلَّةِ مَعْرِفَتِهِ بِمَصَالِحِهِ، فَيُحْجَرُ عَلَيْهِ بِطَلَبٍ مِنْ وَرَثَتِهِ فَيُمْنَعُ مِنَ التَّصَرُّفِ فِي مَالِهِ بِهِبَةٍ أَوْ بَيْعٍ أَوْ شِرَاءٍ حَتَّى يَرْشُدَ، فَإِنْ تَصَرَّفَ بَعْدَ الْحَجْرِ عَلَيْهِ فَتَصَرُّفَاتُهُ بَاطِلَةٌ لَا يَنْفُذُ مِنْهَا شَيْءٌ؛ وَمَا كَانَ قَبْلَ الْحَجْرِ عَلَيْهِ فَنَافِذٌ لَا يُرَدُّ مِنْهُ شَيْءٌ.
"As-Safih (orang yang boros), yaitu orang yang menghambur-hamburkan hartanya dengan membelanjakannya untuk hawa nafsunya atau dengan buruknya pengelolaannya karena sedikitnya pengetahuannya tentang kemaslahatan hartanya, maka ia dibatasi haknya atas permintaan ahli warisnya. Ia dilarang mengelola hartanya baik dengan hibah, jual beli, atau transaksi lainnya hingga ia menjadi cakap (mampu mengelola harta dengan bijak). Jika ia bertransaksi setelah dibatasi haknya, maka transaksinya batal, tidak ada sedikit pun yang berlaku; sedangkan apa yang terjadi sebelum pembatasan haknya adalah sah, tidak ada sedikit pun yang ditolak."
Pelajaran berikutnya yaitu bahwa Islam melindungi harta dari orang yang boros atau "safih". Orang yang boros adalah mereka yang menghamburkan uangnya untuk hal-hal yang tidak perlu, mengikuti hawa nafsu, atau tidak pandai mengelola keuangan sehingga hartanya cepat habis. Untuk melindungi mereka dan juga hak ahli warisnya, syariat membolehkan pembatasan hak bertindak atas harta mereka. Pembatasan ini biasanya atas permintaan ahli waris dan membuat semua tindakan keuangannya, seperti memberi hibah, jual beli, atau sewa-menyewa, menjadi tidak sah setelah pembatasan diberlakukan. Namun, penting untuk diingat, tindakan yang ia lakukan sebelum diberlakukannya pembatasan tetap sah dan tidak bisa dibatalkan. Ini menunjukkan keseimbangan Islam dalam menjaga hak dan kewajiban.
3. Orang Gila (Al-Majnun)
الْمَجْنُونُ، وَهُوَ مَنِ اخْتَلَّ عَقْلُهُ فَضَعُفَ إِدْرَاكُهُ فَيُحْجَرُ عَلَيْهِ فَلَا تَنْفُذُ تَصَرُّفَاتُهُ إِلَى أَنْ يَبْرَأَ وَيَعُودَ إِلَيْهِ كَمَالُ عَقْلِهِ؛ لِقَوْلِهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: "رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ: عَنِ الْمَجْنُونِ الْمَغْلُوبِ عَلَى عَقْلِهِ حَتَّى يَبْرَأَ، وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ".
"Al-Majnun (orang gila), yaitu orang yang akalnya terganggu sehingga pemahamannya lemah, maka ia dibatasi haknya dan transaksinya tidak berlaku hingga ia sembuh dan akalnya kembali sempurna; berdasarkan sabda beliau - shallallahu 'alaihi wa sallam -: "Pena diangkat dari tiga golongan: dari orang gila yang akalnya terganggu hingga ia sembuh, dari orang yang tidur hingga ia bangun, dan dari anak kecil hingga ia baligh."
Pelajaran berikutnya yaitu perlindungan harta bagi orang yang mengalami gangguan jiwa atau "majnun". Seseorang yang akalnya terganggu dan tidak mampu berpikir jernih, secara otomatis dibatasi hak bertindaknya atas hartanya. Ini berarti semua tindakan keuangannya tidak sah dan tidak berlaku. Pembatasan ini akan terus berlaku sampai ia sembuh dan akalnya kembali normal. Dalilnya sangat jelas dari hadits Nabi ﷺ yang menyatakan bahwa "pena diangkat dari tiga golongan", salah satunya adalah orang gila sampai ia sembuh. Ini menunjukkan bahwa Islam tidak membebankan tanggung jawab hukum kepada seseorang yang tidak memiliki kemampuan penuh untuk memahami konsekuensi tindakannya, dan justru melindungi mereka dari kerugian.
4. Orang Sakit (Al-Maridh)
الْمَرِيضُ، وَهُوَ مَنْ مَرِضَ مَرَضًا يُخَافُ مِنْهُ الْهَلَاكُ عَادَةً فَإِنَّ لِوَرَثَتِهِ الْمُطَالَبَةَ بِالْحَجْرِ عَلَيْهِ، فَيُمْنَعُ مِنَ التَّصَرُّفِ بِمَا يَزِيدُ عَنْ قَدْرِ حَاجَتِهِ مِنْ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَمَلْبَسٍ وَمَسْكَنٍ وَدَوَاءٍ حَتَّى يَبْرَأَ أَوْ يَهْلِكَ.
"Al-Maridh (orang sakit), yaitu orang yang menderita penyakit yang secara umum dikhawatirkan akan menyebabkan kematian, maka ahli warisnya berhak menuntut pembatasan haknya. Ia dilarang mengelola hartanya melebihi kebutuhan pokoknya seperti makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan obat-obatan hingga ia sembuh atau meninggal dunia."
Pelajaran berikutnya yaitu tentang pembatasan hak bertindak bagi orang yang sakit keras atau "mariidh" yang penyakitnya dikhawatirkan akan menyebabkan kematian. Dalam kondisi seperti ini, ahli warisnya memiliki hak untuk meminta pembatasan atas pengelolaan hartanya. Tujuannya adalah untuk melindungi hak-hak ahli waris agar harta tidak dihabiskan atau dialihkan secara tidak wajar menjelang kematian. Orang yang sakit keras ini tetap boleh menggunakan hartanya untuk kebutuhan pokoknya seperti makan, minum, pakaian, tempat tinggal, dan obat-obatan. Namun, ia tidak boleh melakukan tindakan yang mengurangi harta secara signifikan, seperti menghibahkan seluruh hartanya atau menjualnya dengan harga yang sangat murah, sampai ia sembuh atau meninggal dunia. Ini adalah bentuk perlindungan syariat terhadap hak ahli waris dan keadilan dalam pembagian warisan..
Pelajaran Dari Kajian Ini
1. Pentingnya Peran Wali atau Pengampu
Pelajaran tambahan yang bisa kita ambil dari keseluruhan pembahasan Al-Hajr adalah pentingnya peran wali atau pengampu. Dalam semua kasus pembatasan hak bertindak, baik itu anak kecil, orang boros, orang gila, maupun orang sakit keras, selalu ada pihak lain yang bertanggung jawab untuk mengelola dan melindungi harta mereka. Wali atau pengampu ini mengemban amanah yang besar dari Allah untuk bertindak demi kemaslahatan orang yang di bawah perwaliannya. Mereka harus jujur, adil, dan bertanggung jawab penuh dalam mengelola harta tersebut, memastikan bahwa harta itu tidak disalahgunakan dan hak-hak pemiliknya tetap terjaga. Ini menunjukkan bahwa Islam tidak hanya membatasi, tetapi juga menyediakan mekanisme perlindungan yang jelas melalui peran wali atau pengampu yang amanah.
2. Keadilan dan Keseimbangan dalam Syariat Islam
Pelajaran tambahan lainnya adalah tentang keadilan dan keseimbangan yang sangat dijunjung tinggi dalam syariat Islam. Konsep Al-Hajr ini adalah bukti nyata bagaimana Islam berupaya menciptakan tatanan masyarakat yang adil dan harmonis. Pembatasan hak bertindak ini bukan untuk menzalimi atau merampas hak seseorang, melainkan justru untuk melindungi mereka yang lemah, menjaga harta dari kerusakan, dan memastikan hak-hak semua pihak terpenuhi. Baik itu hak pemilik harta, hak ahli waris, maupun hak kreditur. Semua diatur dengan sangat teliti untuk menghindari kerugian dan menciptakan kemaslahatan bersama, menunjukkan bahwa hukum Islam itu fleksibel dan relevan untuk berbagai kondisi manusia.
Penutup Kajian
Hadirin dan hadirat sekalian yang dirahmati Allah,
Demikianlah kajian kita mengenai Al-Hajr atau pembatasan hak bertindak, yang telah kita tinjau dari berbagai dimensinya, mulai dari pengertian, hukum, hingga kepada siapa saja pembatasan ini berlaku. Semoga uraian tadi memberikan gambaran yang komprehensif dan jelas bagi kita semua.
Faedah dan Harapan Penerapan Hadits
Dari pemaparan tentang Al-Hajr tadi, kita telah menyentuh beberapa dalil, salah satunya adalah sabda Rasulullah ﷺ:
"رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ: عَنِ الْمَجْنُونِ الْمَغْلُوبِ عَلَى عَقْلِهِ حَتَّى يَبْرَأَ، وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ."
"Pena diangkat dari tiga golongan: dari orang gila yang akalnya tidak berfungsi sampai ia sembuh, dari orang tidur sampai ia bangun, dan dari anak kecil sampai ia baligh."
Hadits yang mulia ini adalah fondasi utama dalam memahami tanggung jawab hukum seseorang dalam Islam. Ia menjelaskan bahwa hukum syariat tidak berlaku bagi mereka yang tidak memiliki kapasitas penuh dalam berakal dan memahami konsekuensi tindakannya. Ini menunjukkan betapa Islam sangat menjunjung tinggi keadilan dan kemaslahatan individu.
Faedah utama dari hadits ini dalam konteks Al-Hajr adalah sebagai berikut:
Pengakuan atas Keterbatasan Individu: Hadits ini mengajarkan kita untuk mengakui bahwa tidak semua orang memiliki kapasitas yang sama dalam bertindak dan mengambil keputusan, baik karena usia (anak kecil), kondisi mental (orang gila), atau bahkan kondisi sementara (tidur). Ini adalah bentuk empati dan kebijaksanaan syariat.
Dasar Perlindungan Hukum: Dengan diangkatnya pena dari tiga golongan ini, berarti tindakan mereka tidak dipertanggungjawabkan secara hukum. Inilah dasar mengapa harta dan hak-hak mereka harus dilindungi dan dikelola oleh orang lain yang cakap, seperti wali atau pengampu, demi kemaslahatan mereka sendiri dan pihak lain.
Penentuan Batasan Tanggung Jawab: Hadits ini memberikan batasan yang jelas kapan seseorang mulai atau tidak lagi dibebani tanggung jawab hukum. Bagi anak kecil, ia dimulai saat baligh. Bagi orang gila, saat ia sadar. Ini sangat penting dalam muamalah untuk menentukan sah atau tidaknya suatu transaksi.
Harapan kita bersama setelah mengkaji ini adalah agar kita tidak hanya memahami teori fikihnya, tetapi mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi para orang tua dan wali, jadikanlah ilmu ini sebagai pedoman dalam mengelola harta anak-anak Anda yang belum baligh, atau mereka yang di bawah perwalian Anda. Lindungi harta mereka dengan amanah, kelola dengan bijak, dan serahkan saat mereka telah mencapai kematangan dan kebijaksanaan.
Bagi kita yang mungkin memiliki anggota keluarga atau kerabat yang masuk dalam kategori yang disebutkan dalam hadits, hendaknya kita memahami hak-hak mereka dan kewajiban kita untuk melindungi kepentingan mereka, baik dari segi harta maupun hak lainnya. Jangan sampai ada penelantaran atau eksploitasi.
Bagi kita yang berinteraksi dalam berbagai transaksi muamalah, berhati-hatilah dan pastikan lawan transaksi kita adalah pihak yang cakap secara hukum. Ini untuk menghindari kerugian di kemudian hari dan memastikan keabsahan transaksi.
Yang terpenting, marilah kita jadikan fikih muamalah ini sebagai cermin untuk meningkatkan kepedulian sosial kita. Dengan memahami siapa saja yang memerlukan perlindungan hukum, kita dapat berkontribusi dalam menciptakan masyarakat yang lebih adil, di mana yang lemah dilindungi, yang rentan dijaga, dan hak-hak setiap individu dihormati sesuai syariat.
Semoga kajian ini menjadi ilmu yang bermanfaat, yang membawa keberkahan dalam kehidupan kita. Marilah kita tutup dengan memohon kepada Allah SWT agar senantiasa membimbing kita dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama-Nya.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
وَصَلَّى اللَّهُ عَلَىٰ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَىٰ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ