Sirah Nabawiyah (9): Pernikahan Nabi ﷺ Dengan Khadijah binti Khuwailid radhiyallahu 'anha
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
الْحَمْدُ لِلَّهِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُ
Hadirin rahimakumullah,
Di tengah zaman yang penuh dengan perubahan sosial dan krisis nilai, kita menyaksikan fenomena pernikahan yang semakin kehilangan makna sakralnya. Pernikahan yang seharusnya menjadi ikatan suci dan penuh keberkahan, kini banyak yang didasari pada faktor material semata, tren gaya hidup, dan kepentingan duniawi. Banyak pasangan yang berpisah karena tidak memahami esensi kesabaran dan komitmen dalam rumah tangga. Bahkan, tak sedikit yang mengalami krisis kepercayaan, kurangnya kasih sayang, dan lemahnya tanggung jawab suami-istri.
Di sisi lain, kita juga melihat bagaimana wanita muslimah semakin bingung dalam menentukan kriteria pasangan hidup. Ada yang mengejar harta dan status, sementara ada pula yang mengabaikan aspek agama dan akhlak dalam memilih pendamping hidup. Begitu pula dengan para laki-laki yang sering kali mengukur pernikahan dari sisi kemewahan, penampilan, atau sekadar keinginan sesaat, tanpa memikirkan keberlanjutan hubungan dalam bingkai syariat.
Maka, dalam kondisi seperti ini, kita sangat perlu kembali kepada contoh terbaik dalam sejarah, yaitu pernikahan Nabi Muhammad ﷺ dan Khadijah binti Khuwailid radhiyallahu ‘anha. Kisah ini bukan sekadar sejarah, tetapi merupakan panduan nyata tentang bagaimana:
✅ Membangun rumah tangga dengan dasar akhlak, kepercayaan, dan kesetiaan.
✅ Memahami pentingnya peran wanita dalam masyarakat tanpa menghilangkan nilai-nilai keshalihan.
✅ Mengelola keuangan dalam pernikahan tanpa mengandalkan riba atau materialisme.
✅ Menjalin hubungan suami-istri yang penuh dukungan, pengorbanan, dan saling melengkapi.
Pernikahan Rasulullah ﷺ dan Khadijah radhiyallahu ‘anha bukan hanya pernikahan biasa, tetapi sebuah model ideal yang menyatukan dua insan dengan visi hidup yang mulia. Khadijah radhiyallahu ‘anha, seorang wanita pengusaha sukses, memilih seorang pria yang jujur, berakhlak tinggi, dan amanah, meskipun saat itu Nabi ﷺ tidak memiliki banyak harta. Ini menunjukkan bahwa kesuksesan rumah tangga tidak hanya diukur dari materi, tetapi dari kualitas akhlak, karakter, dan keimanan pasangan.
Maka, dalam kajian ini, kita akan menggali lebih dalam tentang bagaimana pernikahan Rasulullah ﷺ dan Khadijah radhiyallahu ‘anha berlangsung, serta pelajaran berharga yang bisa kita terapkan dalam kehidupan modern. Semoga kajian ini menginspirasi kita untuk membangun rumah tangga yang lebih berkah, harmonis, dan penuh makna.
Pernikahan Nabi ﷺ Dengan Khadijah binti Khuwailid radhiyallahu 'anha
زَواجُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ خَدِيجَةَ بِنْتِ خُوَيْلِدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا.
Pernikahan Nabi ﷺ dengan Khadijah binti Khuwailid radhiyallahu 'anha.
العَامُ الهِجْرِيُّ: ٢٨ ق هـ، العَامُ المِيلَادِيُّ: ٥٩٥
Tahun Hijriah: 28 sebelum hijrah, Tahun Masehi: 595
اِخْتَلَفَتِ الأَقْوَالُ فِي عُمُرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعُمُرِ خَدِيجَةَ حِينَ زَوَاجِهِمَا، فَقِيلَ: كَانَ خَمْسًا وَعِشْرِينَ، وَقِيلَ: سَبْعًا وَعِشْرِينَ، وَقِيلَ: ثَلَاثِينَ، وَقِيلَ: غَيْرَ ذَلِكَ، وَأَمَّا عُمُرُ خَدِيجَةَ فَكَذَلِكَ تَضَارَبَتِ الأَقْوَالُ بَيْنَ خَمْسٍ وَثَلَاثِينَ وَأَرْبَعِينَ وَغَيْرِ ذَلِكَ.
Pendapat berbeda mengenai usia Nabi ﷺ dan usia Khadijah saat pernikahan mereka. Dikatakan bahwa Nabi ﷺ berusia 25 tahun, ada yang mengatakan 27 tahun, ada pula yang mengatakan 30 tahun, serta pendapat lainnya. Sementara itu, usia Khadijah juga diperselisihkan antara 35 tahun, 40 tahun, dan pendapat lainnya.
لَمَّا سَمِعَتْ خَدِيجَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِأَمَانَتِهِ وَأَخْلَاقِهِ الكَرِيمَةِ، فَقَدْ جَاءَ فِي رِوَايَةٍ: أَنَّ أُخْتَ خَدِيجَةَ قَدِ اسْتَكْرَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرِيكَهُ،
Ketika Khadijah radhiyallahu 'anha mendengar tentang Nabi ﷺ, amanahnya, dan akhlaknya yang mulia, maka disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa saudari Khadijah pernah menyewa Rasulullah ﷺ dan rekannya.
فَلَمَّا قَضَوْا السَّفَرَ بَقِيَ لَهُمْ عَلَيْهَا شَيْءٌ، فَجَعَلَ شَرِيكُهُ يَأْتِيهِمْ وَيَتَقَاضَاهُمْ، وَيَقُولُ لِمُحَمَّدٍ (صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ): انْطَلِقْ، فَيَقُولُ: اذْهَبْ أَنْتَ، فَإِنِّي أَسْتَحِيِي.
Ketika mereka selesai melakukan perjalanan, masih ada sebagian hak mereka yang belum dibayarkan oleh Khadijah. Rekan Nabi ﷺ pun mendatangi mereka untuk menagih pembayaran dan berkata kepada Muhammad ﷺ, "Pergilah (untuk menagih)." Namun Nabi ﷺ menjawab, "Pergilah sendiri, aku merasa malu."
فَقَالَتْ مَرَّةً - وَقَدْ أَتَاهُمْ شَرِيكُهُ -: أَيْنَ مُحَمَّدٌ لَا يَجِيءُ مَعَكَ؟ قَالَ: قَدْ قُلْتُ لَهُ، فَزَعَمَ أَنَّهُ يَسْتَحِيِي.
Suatu kali, ketika rekan Nabi ﷺ kembali menagih pembayaran, ia ditanya, "Di mana Muhammad? Kenapa dia tidak datang bersamamu?" Ia menjawab, "Aku sudah mengatakan kepadanya, tetapi ia mengaku merasa malu."
فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لِأُخْتِهَا خَدِيجَةَ، فَقَالَتْ: مَا رَأَيْتُ رَجُلًا قَطُّ أَشَدَّ حَيَاءً، وَلَا أَعَفَّ وَلَا......مِنْ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Hal ini kemudian disampaikan kepada saudari Khadijah. Lalu ia berkata, "Aku belum pernah melihat seorang laki-laki yang lebih pemalu, lebih menjaga kehormatan, dan lebih... dari Muhammad ﷺ."
فَوَقَعَ فِي نَفْسِ أُخْتِهَا خَدِيجَةَ، فَبَعَثَتْ إِلَيْهِ، فَقَالَتْ: ائْتِ أَبِي فَاخْطُبْ إِلَيْهِ.
Perkataan tersebut membekas dalam hati saudari Khadijah. Kemudian Khadijah mengutus seseorang untuk menemui Nabi ﷺ dan berkata kepadanya, "Datanglah kepada ayahku dan lamar aku."
فَقَالَ: أَبُوكِ رَجُلٌ كَثِيرُ الْمَالِ وَهُوَ لَا يَفْعَلُ..
Nabi ﷺ menjawab, "Ayahmu adalah seorang yang memiliki banyak harta, dan ia tidak akan melakukannya."
قَالَتْ: انْطَلِقْ فَالْقِهِ وَكَلِّمْهُ، ثُمَّ أَنَا أَكْفِيكَ. وَقَدْ تَزَوَّجَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهِيَ ثَيِّبٌ
Khadijah berkata, "Pergilah menemuinya dan berbicaralah dengannya, lalu aku akan mengurus sisanya." Akhirnya, Nabi ﷺ menikahi Khadijah, dan saat itu Khadijah adalah seorang janda.
Sumber: https://dorar.net/history/event/8
Pelajaran dari Pernikahan Nabi ﷺ dengan Khadijah radhiyallahu 'anha
Dari kisah pernikahan Nabi ﷺ dan Khadijah radhiyallahu 'anha, kita belajar bahwa pernikahan yang sukses bukan hanya soal harta atau status sosial, tetapi lebih kepada keimanan, akhlak, dan rasa saling mendukung dalam kebaikan. Islam memberikan kebebasan bagi wanita untuk memilih pasangan yang baik, menekankan pentingnya akhlak dalam kehidupan rumah tangga, dan mengajarkan bahwa keberkahan dalam pernikahan datang dari ketakwaan kepada Allah.
Berikut adalah beberapa pelajaran dan hikmah yang dapat diambil dari peristiwa pernikahan Nabi Muhammad ﷺ dengan Khadijah radhiyallahu 'anha berdasarkan kajian di atas:
1. Pentingnya Akhlak yang Mulia dalam Menarik Hati Orang Lain
Dari kisah ini, kita melihat bahwa ketertarikan Khadijah radhiyallahu 'anha kepada Nabi ﷺ bukan karena faktor fisik atau kekayaan, tetapi karena akhlaknya yang luar biasa. Nabi ﷺ dikenal dengan kejujurannya (as-shiddiq), sifat amanah (al-amanah), serta rasa malu dan kehormatan dirinya yang tinggi.
Pelajaran:
Akhlak yang baik lebih berharga daripada harta atau kedudukan.
Kejujuran dan sifat amanah dalam muamalah (interaksi bisnis dan sosial) dapat menarik kepercayaan dan cinta dari orang lain.
2. Peran Wanita dalam Memilih Pasangan yang Baik
Khadijah radhiyallahu 'anha tidak hanya menunggu untuk dilamar, tetapi beliau proaktif dalam memilih pasangan yang terbaik untuk dirinya. Setelah mendengar tentang sifat-sifat Nabi ﷺ, beliau berinisiatif untuk mengirim utusan dan meminta Nabi ﷺ untuk melamar.
Pelajaran:
Islam memberi hak kepada wanita untuk memilih calon suami yang baik.
Wanita tidak perlu merasa tabu untuk menunjukkan ketertarikan kepada pria yang memiliki sifat-sifat baik, selama dilakukan dengan cara yang bermartabat.
Keputusan pernikahan seharusnya didasarkan pada kriteria agama dan akhlak, bukan semata-mata kekayaan atau status sosial.
3. Keutamaan Sifat Malu (Al-Haya’)
Nabi Muhammad ﷺ adalah orang yang memiliki sifat malu yang tinggi, yang tercermin dalam bagaimana beliau enggan menagih hutang langsung kepada Khadijah. Rasa malu beliau bukanlah kelemahan, tetapi menunjukkan kesopanan dan kehormatan dirinya.
Pelajaran:
Sifat malu adalah bagian dari iman dan merupakan tanda keutamaan seseorang.
Namun, malu harus ditempatkan pada tempatnya. Malu dalam keburukan (misalnya, malu untuk menuntut ilmu atau malu untuk berbuat baik) tidak dianjurkan.
4. Keberkahan dalam Pernikahan yang Dilandasi Keimanan
Pernikahan Nabi ﷺ dan Khadijah radhiyallahu 'anha bukan sekadar ikatan duniawi, tetapi juga penuh berkah. Khadijah adalah orang pertama yang beriman kepada Nabi ﷺ, mendukungnya dalam dakwah, dan menjadi sumber ketenangan bagi beliau.
Pelajaran:
Pernikahan yang dilandasi keimanan dan akhlak akan membawa ketenangan, kebahagiaan, dan keberkahan.
Pasangan suami istri seharusnya menjadi pendukung dalam kebaikan dan perjuangan di jalan Allah.
5. Janda atau Perempuan yang Pernah Menikah Memiliki Kedudukan Mulia
Khadijah radhiyallahu 'anha adalah seorang janda sebelum menikah dengan Nabi ﷺ. Namun, hal itu tidak menjadi penghalang bagi Nabi ﷺ untuk menikahinya, bahkan beliau sangat mencintainya. Ini menunjukkan bahwa dalam Islam, status janda bukanlah sesuatu yang merendahkan derajat seorang wanita.
Pelajaran:
Seorang wanita yang pernah menikah tetap memiliki kesempatan untuk mendapatkan pasangan yang baik.
Islam tidak membeda-bedakan wanita berdasarkan status pernikahan sebelumnya, tetapi berdasarkan ketakwaan dan akhlak.
6. Pria Tidak Harus Kaya untuk Menikah
Nabi ﷺ pada saat menikah dengan Khadijah belum memiliki harta kekayaan yang banyak, sementara Khadijah adalah wanita yang kaya raya. Namun, pernikahan mereka tetap berhasil karena didasarkan pada nilai-nilai moral dan spiritual, bukan materi.
Pelajaran:
Seorang pria tidak harus kaya untuk menikah, tetapi harus memiliki tanggung jawab dan sifat-sifat mulia.
Kriteria utama dalam memilih pasangan bukanlah harta, melainkan akhlak dan ketakwaan.
7. Dukungan Keluarga dalam Pernikahan
Meskipun Nabi ﷺ awalnya ragu apakah ayah Khadijah akan menyetujui pernikahan tersebut, Khadijah menunjukkan bahwa komunikasi yang baik dengan keluarga dapat membantu melancarkan proses pernikahan.
Pelajaran:
Keluarga memiliki peran penting dalam pernikahan, tetapi mereka tidak boleh menghalangi pernikahan yang baik hanya karena faktor materi atau status sosial.
Calon pasangan harus berusaha mendapatkan restu dari keluarga dengan komunikasi yang baik.
8. Wanita Bisa Berperan sebagai Penyokong Ekonomi Keluarga
Khadijah radhiyallahu 'anha adalah seorang wanita sukses dalam perdagangan dan memiliki kekayaan yang melimpah. Ketika menikah dengan Nabi ﷺ, beliau tidak hanya menjadi istri yang setia, tetapi juga mendukung secara finansial dan emosional dalam perjalanan dakwah Nabi ﷺ.
Pelajaran:
Islam tidak melarang wanita untuk bekerja atau memiliki usaha, selama dalam batasan syariat.
Seorang istri bisa menjadi pendukung ekonomi keluarga jika diperlukan, tanpa mengurangi perannya sebagai istri dan ibu.
Keberhasilan pernikahan tidak ditentukan oleh siapa yang lebih kaya, tetapi oleh rasa saling menghormati dan kerja sama dalam rumah tangga.
9. Kesetiaan dalam Pernikahan Adalah Kunci Keberkahan
Nabi ﷺ tidak pernah menikah dengan wanita lain selama Khadijah radhiyallahu 'anha masih hidup. Beliau sangat mencintai dan menghormati istrinya, bahkan setelah Khadijah wafat, beliau masih sering mengenang kebaikannya.
Pelajaran:
Kesetiaan dan penghormatan dalam rumah tangga merupakan kunci keberkahan dalam pernikahan.
Menghargai pasangan bahkan setelah wafat adalah tanda cinta sejati.
Kenangan baik dari pasangan yang shalih atau shalihah akan tetap hidup meskipun mereka telah tiada.
10. Tidak Ada Batasan Umur dalam Mencari Jodoh
Khadijah radhiyallahu 'anha lebih tua dari Nabi ﷺ, namun itu tidak menjadi penghalang bagi pernikahan mereka. Mereka memiliki kehidupan rumah tangga yang harmonis dan penuh berkah.
Pelajaran:
Perbedaan usia bukanlah penghalang dalam pernikahan, selama ada kesepahaman, cinta, dan akhlak yang baik.
Fokus utama dalam memilih pasangan seharusnya adalah akhlak dan agama, bukan hanya faktor usia.
11. Perjodohan Bisa Menjadi Cara yang Baik untuk Menemukan Pasangan
Dalam kisah ini, saudari Khadijah dan orang-orang di sekitarnya menjadi perantara dalam mempertemukan Khadijah dengan Nabi ﷺ. Ini menunjukkan bahwa perjodohan yang dilakukan dengan niat baik dan proses yang benar bisa menjadi cara yang efektif dalam menemukan pasangan.
Pelajaran:
Tidak salah jika seseorang meminta bantuan orang terpercaya untuk mencarikan pasangan hidup.
Perjodohan dalam Islam tetap harus memberikan hak kepada calon pengantin untuk menerima atau menolak calon yang dijodohkan.
12. Suami-Istri Harus Saling Mendukung dalam Menghadapi Ujian Hidup
Khadijah radhiyallahu 'anha selalu mendukung Nabi ﷺ, terutama saat awal kenabian ketika beliau mengalami tekanan berat dari masyarakat Quraisy. Ketika Nabi ﷺ menerima wahyu pertama, Khadijah menenangkan dan meyakinkan beliau bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan orang sebaik beliau.
Pelajaran:
Suami istri harus saling menguatkan dalam menghadapi ujian hidup.
Seorang istri yang shalihah akan menjadi sumber ketenangan dan dukungan bagi suaminya dalam keadaan sulit.
Dalam rumah tangga, komunikasi yang baik dan saling memahami sangat penting untuk menjaga keharmonisan.
13. Keutamaan Menikah dengan Pasangan yang Memiliki Karakter Baik
Nabi ﷺ memilih Khadijah radhiyallahu 'anha sebagai istrinya bukan karena kecantikannya atau kekayaannya semata, tetapi karena akhlaknya yang mulia. Begitu pula, Khadijah memilih Nabi ﷺ karena sifat-sifatnya yang baik.
Pelajaran:
Dalam memilih pasangan hidup, yang utama adalah agama dan akhlak, bukan sekadar harta atau penampilan.
Pasangan yang baik akan membawa keberkahan dalam kehidupan rumah tangga.
Rasulullah ﷺ bersabda:
"Wanita dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka pilihlah yang memiliki agama, niscaya engkau beruntung." (HR. Bukhari & Muslim)
14. Tidak Ada Rasa Malu dalam Mengusahakan Pernikahan yang Baik
Meskipun biasanya pihak laki-laki yang melamar dalam budaya Arab saat itu, Khadijah mengambil inisiatif untuk menyatakan keinginannya menikah dengan Nabi ﷺ. Ini menunjukkan bahwa seorang wanita tidak perlu malu jika ingin menikah dengan pria yang memiliki akhlak baik, selama dilakukan dengan cara yang bermartabat.
Pelajaran:
Seorang wanita boleh berinisiatif dalam urusan pernikahan, asalkan dilakukan dengan cara yang sopan dan sesuai syariat.
Pernikahan yang baik perlu diupayakan, bukan hanya menunggu jodoh datang.
15. Keberkahan Pernikahan Berasal dari Niat yang Baik dan Restu Keluarga
Meskipun awalnya Nabi ﷺ ragu apakah ayah Khadijah akan menyetujui pernikahan mereka, Khadijah dengan bijak membantu proses tersebut hingga pernikahan berlangsung dengan restu keluarganya.
Pelajaran:
Pernikahan yang berkah adalah yang dilakukan dengan niat yang baik dan mendapatkan restu keluarga.
Jika ada kendala dalam restu keluarga, diperlukan komunikasi yang baik dan cara yang bijak untuk menyelesaikannya.
Restu orang tua adalah hal penting dalam pernikahan, karena doa dan ridha mereka membawa keberkahan.
Latar Belakang Khadijah radyiyallahu 'anha Sebelum Menikah dengan Nabi Muhammad ﷺ
Sebelum menikah dengan Nabi Muhammad ﷺ, Khadijah radhiyallahu ‘anha adalah seorang wanita terhormat, sukses dalam bisnis, dan memiliki pengaruh besar di masyarakat Quraisy. Ia telah menikah dua kali sebelumnya dan memilih untuk tidak terburu-buru menikah lagi meskipun banyak pria kaya yang melamarnya.
Namun, setelah mengenal Muhammad ﷺ dan melihat kejujurannya, akhlaknya yang mulia, serta tanda-tanda keistimewaannya, Khadijah merasa yakin bahwa beliau adalah pria terbaik untuk menjadi suaminya. Dengan penuh keberanian, ia mengutus sahabatnya untuk menyampaikan keinginannya kepada Nabi ﷺ, dan akhirnya mereka menikah dalam sebuah pernikahan yang penuh berkah.
Kisah ini mengajarkan bahwa keberhasilan pernikahan bukan ditentukan oleh harta atau status sosial, tetapi oleh keimanan, akhlak, dan nilai-nilai luhur yang dibawa oleh kedua belah pihak.
Latar Belakang Khadijah Sebelum Menikah dengan Nabi Muhammad ﷺ
1. Kedudukan Sosial dan Ekonomi Khadijah radhiyallahu ‘anha
Sebelum menikah dengan Nabi Muhammad ﷺ, Khadijah binti Khuwailid radhiyallahu ‘anha adalah seorang wanita yang sangat terpandang di masyarakat Makkah. Ia berasal dari Bani Asad, salah satu kabilah terhormat dalam suku Quraisy.
Khadijah dikenal sebagai seorang wanita yang kaya raya dan cerdas dalam bisnis. Ia mewarisi kekayaan ayahnya, Khuwailid bin Asad, yang merupakan seorang saudagar sukses di Makkah. Berkat kepandaiannya dalam mengelola perdagangan, ia mampu mengembangkan kekayaannya dan menjadi salah satu pengusaha paling sukses di kota tersebut.
Masyarakat Quraisy saat itu sangat menghormatinya dan memberinya gelar "At-Thahirah" (wanita suci), karena kemuliaan akhlaknya, kehormatan dirinya, serta integritasnya dalam bisnis dan kehidupan sosial. Selain itu, ia juga sering membantu orang miskin dan menjalin hubungan baik dengan banyak kabilah, yang semakin memperkuat kedudukannya di Makkah.
2. Aktivitas Bisnis Khadijah radhiyallahu ‘anha
Perdagangan merupakan aktivitas utama masyarakat Quraisy, dan Khadijah termasuk pelaku bisnis terbesar di Makkah. Ia memiliki sistem perdagangan yang luas, dengan kafilah dagangnya yang menjangkau Yaman, Syam (Suriah), dan daerah lainnya.
Khadijah sendiri tidak selalu ikut dalam perjalanan dagang, tetapi ia mempekerjakan agen atau mitra dagang untuk menjalankan perdagangannya. Ia memilih orang-orang yang terpercaya, jujur, dan berpengalaman untuk mengelola usahanya. Salah satu cara yang ia lakukan adalah memberikan sistem bagi hasil kepada para pedagang yang mengelola bisnisnya.
3. Pernikahan Khadijah Sebelum Menikah dengan Nabi ﷺ
Sebelum menikah dengan Nabi Muhammad ﷺ, Khadijah telah menikah dua kali:
Pernikahan dengan ‘Atiq bin ‘A’idh al-Makhzumi
Dari pernikahan ini, Khadijah dikaruniai seorang anak bernama Hind binti ‘Atiq.
Suaminya meninggal dunia dan Khadijah menjadi seorang janda.
Pernikahan dengan Abu Halah bin Malik bin An-Nabbash At-Tamimi
Dari pernikahan ini, Khadijah memiliki anak bernama Hind bin Abi Halah dan Halah bin Abi Halah.
Suaminya juga meninggal dunia, sehingga ia kembali menjadi seorang janda.
Setelah dua kali menikah dan menjadi janda, Khadijah tidak terburu-buru untuk menikah lagi, meskipun banyak bangsawan Quraisy yang melamarnya karena kekayaan dan kedudukannya yang tinggi. Namun, ia tetap menolak lamaran-lamaran tersebut, karena tidak menemukan pasangan yang benar-benar sesuai dengan prinsip hidup dan nilai-nilai moralnya.
Apa yang Membuat Khadijah Tertarik untuk Menikah dengan Nabi Muhammad ﷺ?
Setelah menjadi janda, Khadijah tetap menjalankan bisnisnya dan mencari mitra dagang yang bisa dipercaya. Pada saat itu, Nabi Muhammad ﷺ masih berusia sekitar 25 tahun, seorang pemuda yang dikenal sebagai as-shadiq al-amin (jujur dan dapat dipercaya).
Beberapa faktor utama yang membuat Khadijah tertarik kepada Nabi ﷺ adalah:
1. Kejujuran dan Amanah Nabi Muhammad ﷺ dalam Bisnis
Khadijah mendengar reputasi Muhammad ﷺ sebagai orang yang sangat jujur dan dapat dipercaya. Ia kemudian menawarkan Nabi ﷺ untuk menjadi agen dagangnya dengan sistem bagi hasil. Nabi ﷺ menerima tawaran tersebut dan melakukan perjalanan dagang ke Syam bersama Maisarah, seorang pelayan Khadijah yang ditugaskan untuk mengamati Nabi ﷺ.
Setelah perjalanan dagang selesai, Maisarah melaporkan kepada Khadijah bahwa Nabi ﷺ:
Berbisnis dengan kejujuran tanpa kecurangan atau manipulasi.
Mendapat keuntungan yang lebih besar dari biasanya, tetapi tetap bersikap rendah hati.
Bersikap baik kepada semua orang, termasuk para pelayan.
Memiliki akhlak yang luhur, sabar, dan berperilaku mulia.
Kejujuran dan keamanahan Nabi ﷺ dalam berdagang semakin memperkuat keyakinan Khadijah bahwa ia adalah pria yang berbeda dari kebanyakan orang Quraisy lainnya.
2. Kesantunan dan Akhlak Mulia Nabi Muhammad ﷺ
Khadijah juga mendengar bahwa Muhammad ﷺ memiliki sifat pemalu dan sangat menjaga kehormatan diri. Dalam salah satu riwayat, ketika Nabi ﷺ harus menagih pembayaran dari salah satu pelanggan bisnisnya, beliau enggan meminta langsung karena merasa malu, sehingga meminta rekannya untuk menagihnya.
Hal ini menunjukkan bahwa Muhammad ﷺ bukan orang yang tamak terhadap harta, dan lebih mengutamakan kehormatan dan kesantunan dalam berinteraksi.
3. Kesaksian Maisarah tentang Peristiwa Ajaib di Syam
Selama perjalanan dagang ke Syam, Maisarah melihat beberapa kejadian luar biasa yang membuatnya yakin bahwa Muhammad ﷺ adalah orang istimewa:
Ketika berteduh di bawah pohon, seorang rahib melihatnya dan berkata, "Tidak ada yang berteduh di bawah pohon ini kecuali seorang Nabi."
Maisarah juga melihat bahwa di tengah panas terik, ada awan yang menaungi Muhammad ﷺ sepanjang perjalanan.
Laporan ini semakin meyakinkan Khadijah bahwa Muhammad ﷺ adalah sosok yang istimewa.
4. Rekomendasi dari Teman-Temannya
Khadijah mendiskusikan keinginannya untuk menikah dengan Muhammad ﷺ kepada salah seorang sahabatnya, yaitu Nafisah binti Munyah. Nafisah kemudian berbicara dengan Nabi ﷺ dan menanyakan apakah beliau bersedia menikah dengan Khadijah.
Nabi ﷺ pada awalnya merasa rendah diri karena beliau bukan orang kaya, tetapi Khadijah lebih melihat akhlak dan kepribadian Nabi ﷺ daripada hartanya. Setelah melalui perbincangan dan pendekatan dengan keluarga, akhirnya pernikahan mereka pun dilaksanakan.
Sistem Bagi Hasil dalam Bisnis Khadijah radhiyallahu ‘anha
Khadijah binti Khuwailid radhiyallahu ‘anha adalah seorang wanita yang sukses dalam dunia perdagangan dan memiliki jaringan bisnis yang luas. Salah satu strategi bisnis utama yang ia terapkan adalah sistem bagi hasil dengan para pedagang yang mengelola bisnisnya. Sistem ini mirip dengan konsep mudharabah dalam ekonomi Islam, di mana pemilik modal (shahibul maal) bermitra dengan pengelola usaha (mudharib).
Bagaimana Sistem Bagi Hasil dalam Bisnis Khadijah Berjalan?
1. Khadijah sebagai Pemilik Modal
Sebagai seorang pengusaha kaya, Khadijah tidak selalu turun langsung dalam perjalanan dagang. Sebaliknya, ia memiliki modal besar berupa barang dagangan seperti kain, rempah-rempah, wewangian, dan barang-barang lainnya.
Sebagai pemilik modal (shahibul maal), ia menyediakan:
Barang dagangan dalam jumlah besar untuk dijual di pasar luar Makkah (misalnya ke Syam atau Yaman).
Biaya perjalanan dagang, seperti transportasi, unta, dan logistik perjalanan.
Jaringan mitra dagang untuk mempermudah transaksi di berbagai wilayah.
2. Pedagang atau Mitra Dagang sebagai Pengelola Usaha
Khadijah merekrut para pedagang yang memiliki keterampilan dalam berdagang dan memahami pasar luar Makkah. Para pedagang ini disebut sebagai mudharib (pengelola usaha) dalam sistem mudharabah.
Mereka bertanggung jawab untuk:
Melakukan perjalanan dagang ke wilayah lain (misalnya Syam atau Yaman).
Menjual barang dagangan dengan harga terbaik.
Mengelola transaksi dan negosiasi dengan pembeli.
Membawa pulang keuntungan untuk dibagikan sesuai kesepakatan.
3. Sistem Pembagian Keuntungan
Keuntungan yang diperoleh dari perjalanan dagang dibagi antara Khadijah dan para mitra dagangnya. Secara umum, pembagian keuntungan dalam sistem bagi hasil ini mengikuti beberapa prinsip:
Sebagian keuntungan diberikan kepada pengelola usaha (pedagang) sebagai upah kerja keras mereka.
Sebagian keuntungan lainnya menjadi hak Khadijah sebagai pemilik modal.
Jika mengalami kerugian, maka pemilik modal (Khadijah) yang menanggungnya, sedangkan pedagang hanya kehilangan waktu dan tenaga.
Model ini tidak berbasis riba (bunga) seperti praktik bisnis jahiliyah lainnya, melainkan berdasarkan kepercayaan dan kerja sama yang adil.
Kisah Nabi Muhammad ﷺ dalam Sistem Bagi Hasil Khadijah
Nabi Muhammad ﷺ pertama kali bekerja dengan Khadijah melalui sistem bagi hasil ini. Ketika Khadijah mendengar tentang kejujuran, amanah, dan keterampilan dagang Nabi ﷺ, ia menawarkan beliau untuk membawa barang dagangannya ke Syam dengan sistem bagi hasil yang lebih tinggi dari pedagang lainnya.
Dalam perjalanan ini:
Nabi Muhammad ﷺ berhasil mendapat keuntungan yang lebih besar dari biasanya.
Beliau berdagang dengan penuh kejujuran dan akhlak mulia, yang membuat pembeli lebih percaya dan nyaman.
Laporan dari Maisarah (pembantu Khadijah) menunjukkan bahwa Muhammad ﷺ adalah pedagang yang sangat berbeda dari kebanyakan orang Quraisy lainnya—tidak menipu, tidak berbohong, dan memiliki sikap yang sangat baik dalam bertransaksi.
Keberhasilan dan akhlak Nabi Muhammad ﷺ dalam menjalankan bisnis inilah yang membuat Khadijah semakin tertarik dan akhirnya memilih untuk menikah dengannya.
Keunggulan Sistem Bagi Hasil yang Diterapkan oleh Khadijah
Membantu Masyarakat yang Tidak Memiliki Modal
Banyak pemuda Quraisy yang tidak memiliki modal untuk berdagang. Dengan sistem ini, mereka bisa mendapatkan penghasilan tanpa harus memiliki modal sendiri.
Meminimalkan Risiko bagi Pedagang
Jika mengalami kerugian, pedagang tidak menanggung kerugian finansial karena modal berasal dari Khadijah. Ini berbeda dari sistem utang berbunga yang bisa membebani mereka.
Membangun Kepercayaan dan Relasi Bisnis
Dengan sistem ini, Khadijah membangun jaringan bisnis yang kuat dan memiliki hubungan baik dengan banyak pedagang, termasuk Nabi Muhammad ﷺ.
Membantu Khadijah Mengelola Bisnis Secara Efektif
Karena bisnisnya sangat besar, ia tidak bisa mengelola semuanya sendiri. Dengan sistem bagi hasil, ia tetap bisa mendapatkan keuntungan tanpa harus selalu ikut dalam perjalanan dagang.
Membangun Bisnis Dengan Sistem Bagi Hasil Model Khadijah radhiyallahu 'anha
Membangun bisnis dengan sistem bagi hasil tanpa modal dari bank bisa dilakukan dengan pendekatan yang mirip dengan model bisnis Khadijah radhiyallahu ‘anha. Berikut adalah langkah-langkah strategis untuk menjalankan bisnis berbasis bagi hasil (mudharabah atau musyarakah) tanpa bergantung pada pinjaman berbunga dari bank:
1. Menentukan Model Bisnis yang Tepat
Tidak semua jenis bisnis cocok dengan sistem bagi hasil. Beberapa contoh bisnis yang bisa dijalankan dengan sistem ini adalah:
Perdagangan (ritel, ekspor-impor, e-commerce)
Jasa (transportasi, konsultasi, pelatihan, digital marketing)
Pertanian & Peternakan (usaha tani, ternak sapi, kambing, ikan)
Proyek Properti (investasi tanah, pembangunan rumah, kontrakan)
Start-up Teknologi (aplikasi, website, software development)
Pilih jenis bisnis yang memiliki potensi keuntungan yang jelas dan dapat diukur, sehingga investor atau mitra usaha tertarik untuk berkontribusi.
2. Mencari Investor atau Mitra Modal dengan Bagi Hasil
Karena tidak menggunakan modal dari bank, maka pendanaan bisa didapatkan dari:
A. Investor Individu (Angel Investor)
Cari orang-orang yang tertarik untuk menanamkan modal dengan sistem bagi hasil, seperti:
Keluarga atau teman yang memiliki dana menganggur.
Orang kaya atau pengusaha sukses yang ingin mengembangkan dananya.
Komunitas bisnis syariah yang mencari proyek halal untuk didanai.
💡 Tips: Buat proposal bisnis yang meyakinkan dan transparan, dengan proyeksi keuntungan yang realistis.
B. Kemitraan (Musyarakah)
Jika tidak punya modal sendiri, cari mitra yang bersedia berbagi modal dan menjalankan bisnis bersama. Ini bisa dilakukan dengan:
Mitra aktif (sama-sama bekerja dalam bisnis).
Mitra pasif (hanya memberikan modal, tetapi tidak ikut operasional).
Bagi hasil dilakukan berdasarkan persentase modal atau kesepakatan bersama.
C. Crowdfunding Syariah
Gunakan platform crowdfunding halal, seperti:
Saham berbasis syariah (investasi kolektif dengan pembagian dividen).
Wakaf produktif (pengumpulan dana dari banyak orang untuk bisnis yang bermanfaat).
P2P Lending Syariah (pinjaman tanpa bunga dengan sistem bagi hasil).
💡 Tips: Daftar di platform crowdfunding yang terpercaya dan sesuai dengan prinsip syariah.
3. Menyusun Kesepakatan Bagi Hasil yang Adil
Untuk menjaga kepercayaan investor dan mitra usaha, buat perjanjian bagi hasil yang jelas dan transparan:
Aspek | Ketentuan yang Perlu Disepakati |
---|---|
Modal | Siapa yang menyediakan modal dan dalam bentuk apa? (uang, aset, keahlian) |
Keuntungan | Berapa persen bagian masing-masing? (misalnya 60% pemilik modal, 40% pengelola bisnis) |
Kerugian | Jika rugi, bagaimana pembagian risikonya? Biasanya pemilik modal menanggung kerugian finansial, sedangkan pengelola usaha hanya kehilangan waktu dan tenaga. |
Jangka Waktu | Sampai kapan sistem bagi hasil berlaku? (misalnya hingga modal balik + keuntungan tertentu) |
Cara Pembayaran | Apakah keuntungan dibagi per bulan, per kuartal, atau setelah proyek selesai? |
💡 Tips: Buat perjanjian tertulis agar tidak ada perselisihan di kemudian hari.
4. Memanfaatkan Aset yang Sudah Ada
Jika tidak punya modal uang sendiri, gunakan strategi berikut:
Sistem Konsinyasi → Menjual barang milik orang lain dengan sistem bagi hasil.
Dropshipping → Menjual produk tanpa stok, hanya sebagai perantara.
Sewa atau Kerjasama → Jika butuh alat atau tempat usaha, cari sistem sewa atau barter jasa.
Kemitraan Vendor → Kerjasama dengan pemasok yang bersedia dibayar setelah barang terjual.
💡 Contoh:
✅ Bisnis kuliner tanpa modal → Titip jual makanan di warung atau restoran dengan sistem bagi hasil.
✅ Usaha pakaian → Ambil stok dari supplier yang bersedia dibayar setelah produk terjual.
5. Menjalankan Bisnis dengan Kejujuran dan Transparansi
Dalam sistem bagi hasil, kepercayaan adalah segalanya. Oleh karena itu:
✅ Catat semua pemasukan dan pengeluaran dengan rapi.
✅ Laporkan keuntungan secara berkala kepada mitra atau investor.
✅ Jangan mengambil keuntungan lebih tanpa sepengetahuan mitra.
✅ Gunakan akad syariah yang sesuai, seperti mudharabah atau musyarakah.
💡 Tips: Gunakan aplikasi keuangan untuk transparansi, seperti Excel atau software akuntansi sederhana.
6. Skalabilitas: Mengembangkan Bisnis Tanpa Bank
Setelah bisnis berjalan, reinvestasikan keuntungan untuk ekspansi, misalnya:
✅ Menambah modal dari keuntungan yang sudah ada.
✅ Mengajak lebih banyak mitra untuk proyek bisnis baru.
✅ Membangun branding agar lebih mudah mendapatkan investor baru.
💡 Kisah Nyata:
🔹 Abdurrahman bin Auf (sahabat Nabi) memulai bisnis tanpa modal, hanya dengan sistem kemitraan dan kejujuran. Dari nol, ia berkembang menjadi salah satu saudagar terkaya di Madinah.
Bisnis dengan sistem bagi hasil tanpa modal dari bank bisa dilakukan dengan strategi berikut:
- Pilih bisnis yang cocok untuk sistem bagi hasil.
- Cari investor atau mitra bisnis tanpa riba.
- Buat perjanjian yang jelas tentang modal, keuntungan, dan kerugian.
- Manfaatkan aset yang sudah ada untuk memulai bisnis.
- Jaga kejujuran dan transparansi dalam pengelolaan usaha.
- Gunakan keuntungan bisnis untuk ekspansi tanpa pinjaman berbunga.
Jika dilakukan dengan benar, model bisnis ini tidak hanya halal, tetapi juga lebih aman dan adil dibandingkan dengan sistem pinjaman berbasis bunga.
Penutup Kajian Sirah
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah memudahkan kita untuk membahas dan menggali pelajaran dari kisah pernikahan Nabi Muhammad ﷺ dan Khadijah radhiyallahu ‘anha.
Melalui kajian ini, kita telah menyaksikan bahwa pernikahan Rasulullah ﷺ dengan Khadijah bukan hanya sekadar ikatan antara dua individu, tetapi sebuah model kehidupan yang penuh dengan nilai akhlak mulia, kejujuran, dan saling mendukung dalam kebaikan. Dari kisah ini, kita bisa mengambil faedah yang sangat berharga, di antaranya:
Keutamaan memilih pasangan hidup berdasarkan akhlak dan agama – Seperti yang ditunjukkan oleh Khadijah radhiyallahu ‘anha, yang memilih Nabi Muhammad ﷺ bukan karena harta atau status sosial, tetapi karena kejujuran dan akhlak mulia.
Pernikahan sebagai landasan untuk saling mendukung – Khadijah menjadi pendukung utama Nabi ﷺ, bahkan di saat-saat awal wahyu datang, menunjukkan pentingnya kesetiaan dan pengorbanan dalam hubungan rumah tangga.
Pentingnya mahar yang sesuai dengan kesederhanaan dan niat baik – Mahar yang diberikan oleh Nabi ﷺ bukanlah hal yang berlebihan, tetapi cukup untuk menunjukkan kesungguhan dan penghormatan terhadap pasangan hidup.
Walimah sebagai bentuk syukur dan pengumuman pernikahan yang sah – Walimah yang dilakukan dengan sederhana namun penuh makna mengajarkan kita untuk menghargai pernikahan sebagai bentuk kebahagiaan yang harus dibagikan dengan orang lain.
Dengan memahami dan mengaplikasikan pelajaran ini, kita diharapkan dapat membangun rumah tangga yang tidak hanya berlandaskan pada materi atau status sosial, tetapi pada nilai-nilai moral dan agama. Semoga kita semua dapat mengikuti jejak Nabi Muhammad ﷺ dan Khadijah radhiyallahu ‘anha dalam menjalani kehidupan rumah tangga yang penuh kasih, saling mendukung, dan berlandaskan keimanan.
Mari kita bawa pelajaran dari kisah ini ke dalam kehidupan sehari-hari kita, untuk menjadi pasangan hidup yang lebih baik, memperkuat hubungan keluarga, dan menjadi pribadi yang lebih berakhlak mulia, jujur, amanah, dan saling menghargai. Semoga dengan itu, rumah tangga yang kita bina tidak hanya menjadi sumber kebahagiaan duniawi, tetapi juga mendapat keberkahan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Wallahu a'lam bish-shawab.
Semoga Allah memberkahi kita semua dalam setiap langkah hidup dan pernikahan kita.
Kita tutup dengan membaca doa kafaratul majelis:
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
وَصَلَّى اللَّهُ عَلَىٰ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَىٰ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
وَاللَّهُ الْمُوَفِّقُ إِلَى أَقْوَمِ الطَّرِيقِ،
وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ