Hadits: Nabi Ayyub dan Belalang Emas
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ
أَجْمَعِينَ. أَمَّا بَعْدُ.
Al-ḥamdulillah, segala puji hanya bagi Allah, Dzat yang memberi nikmat secara berlimpah setelah kesabaran, yang memberi ujian sebagai bentuk rahmat, dan yang membukakan pintu rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki, dari arah yang tak disangka-sangka. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi kita Muhammad ﷺ, beserta keluarga, para sahabat, dan seluruh pengikutnya hingga akhir zaman.
Jamaah yang dirahmati Allah,
Saat ini kita hidup di tengah masyarakat yang sering mengukur kebahagiaan dan kesuksesan hanya dari banyaknya harta, emas, dan kekayaan dunia. Banyak orang berlari mengejar rezeki tanpa mengindahkan dari mana datangnya dan untuk apa digunakannya. Ketika rezeki datang, mereka lalai; ketika ujian datang, mereka putus asa. Bahkan ada pula yang merasa tidak cukup meskipun hartanya berlimpah. Di sisi lain, sebagian kaum muslimin memandang bahwa zuhud harus berarti meninggalkan seluruh kenikmatan dunia, padahal Islam tidak mengajarkan demikian.
Di sinilah letak urgensi hadits Nabi Ayyub ‘alayhis-salām yang akan kita kaji. Hadits ini bukan sekadar cerita tentang mukjizat atau kisah nabi zaman dulu. Ia adalah pelajaran hidup tentang bagaimana menyikapi nikmat setelah ujian, tentang bagaimana rasa cukup tidak berarti menolak karunia, dan bagaimana kekayaan bisa menjadi ibadah jika dipahami sebagai berkah, bukan sekadar tumpukan materi.
Kajian ini penting agar kita semua belajar menyeimbangkan antara sabar dan syukur, antara tawakal dan ikhtiar, serta antara merasa cukup dan tetap berharap pada keberkahan. Ini adalah pelajaran akidah, akhlak, dan muamalah sekaligus—karena mengajarkan cara memandang rezeki dengan pandangan iman. Maka marilah kita buka hati dan pikiran untuk menyimak faedah dari hadits agung ini, semoga Allah menjadikan kita seperti Nabi Ayyub, sabar dalam ujian, syukur dalam nikmat, dan selalu merendah di hadapan karunia-Nya.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
بَيْنَما أيُّوبُ
يَغْتَسِلُ عُرْيَانًا خَرَّ عليه رِجْلُ جَرَادٍ مِن ذَهَبٍ، فَجَعَلَ يَحْثِي
فِي ثَوْبِهِ، فَنَادَى رَبُّهُ: يا أيُّوبُ أَلَمْ أكُنْ أَغْنَيْتُكَ عَمَّا
تَرَى؟ قالَ: بَلَى، يا رَبِّ، وَلَكِنْ لَا غِنَى بِيهِ عَنْ بَرَكَتِكَ.
Ketika Nabi Ayyub sedang mandi tanpa pakaian, tiba-tiba
jatuh ke atasnya segerombolan belalang emas, lalu dia mulai menyendoknya dengan
bajunya.
Maka Tuhannya memanggil, "Wahai Ayyub, bukankah Aku
telah memadai segala kebutuhanmu?"
Ayyub menjawab, "Benar, wahai Rabbku, namun aku tidak
dapat merasa cukup tanpa berkah-Mu."
HR. Al-Bukhari (7493)
Arti dan Penjelasan per Kalimat
بَيْنَما أَيُّوبُ يَغْتَسِلُ عُرْيَانًا
Ketika Ayyub sedang mandi dalam keadaan telanjang.
Perkataan ini menggambarkan kondisi manusiawi Nabi Ayyub
‘alaihissalām yang sedang mandi dalam keadaan sendirian. Mandi dalam kondisi
tanpa pakaian di tempat yang aman dan tertutup adalah hal yang mubah dalam
syariat. Keadaan ini menunjukkan bahwa para nabi pun mengalami kebutuhan
jasmani seperti manusia biasa, namun tetap dalam koridor adab. Perkataan ini
juga menyiratkan bahwa ujian Ayyub telah berlalu dan kini beliau dalam fase
pemulihan. Ini juga menunjukkan bahwa Allah mengamati hamba-Nya dalam setiap keadaan,
meskipun dalam kondisi yang paling pribadi sekalipun.
خَرَّ عَلَيْهِ رِجْلُ جَرَادٍ مِنْ ذَهَبٍ
Tiba-tiba jatuh kepadanya segerombolan belalang dari emas.
Allah mengirimkan rezeki secara luar biasa kepada Nabi
Ayyub berupa belalang emas, sebagai bentuk hadiah dan keberkahan setelah
kesabarannya dalam menghadapi ujian berat.
Bentuk emas yang berupa belalang menunjukkan betapa
berlimpahnya rezeki itu, bahkan tak terduga bentuk dan waktunya. Kata "خرّ" menandakan bahwa turunnya belalang emas ini terjadi
secara tiba-tiba, penuh keajaiban.
Hal ini mencerminkan sifat rezeki yang datang dari Allah
bisa hadir di waktu dan cara yang tidak terduga oleh akal manusia.
Ini adalah simbol bahwa ujian telah berakhir dan masa
keberkahan telah dimulai bagi Nabi Ayyub.
فَجَعَلَ يَحْثِي فِي ثَوْبِهِ
Maka dia pun mulai menyendoknya dengan bajunya.
Reaksi Nabi Ayyub yang langsung mengumpulkan emas itu
menunjukkan bahwa beliau menghargai nikmat Allah meskipun beliau seorang nabi
yang zuhud.
Menyendok dengan pakaian menunjukkan ketergesaan atau
semangat beliau dalam meraih keberkahan itu.
Ini juga menunjukkan bahwa mengambil nikmat yang halal,
bahkan dalam jumlah besar, tidak bertentangan dengan sifat wara’ jika disertai
kesadaran bahwa semua itu adalah karunia Allah.
Sikap Nabi Ayyub juga mengajarkan bahwa seorang hamba
tidak boleh menolak karunia Allah dengan alasan kerendahan hati yang
berlebihan.
Perkataan ini menegaskan bahwa kekayaan tidak tercela
selama dipahami sebagai nikmat dan bukan tujuan hidup.
فَنَادَى رَبُّهُ: يَا أَيُّوبُ أَلَمْ أَكُنْ
أَغْنَيْتُكَ عَمَّا تَرَى؟
Lalu Tuhannya memanggil: “Wahai Ayyub, bukankah Aku telah membuatmu cukup dari
apa yang engkau lihat itu?”
Pertanyaan ini merupakan bentuk teguran lembut dari
Allah kepada Nabi Ayyub, sekaligus ujian terhadap kesadaran dan prioritas
rohaninya.
Allah ingin mengingatkan bahwa kekayaan sejati adalah
dari-Nya, dan bukan dari jumlah benda yang dikumpulkan.
Meskipun Nabi Ayyub telah cukup, Allah ingin menguji
apakah ia masih tergantung pada kenikmatan duniawi atau tetap menautkan hatinya
kepada Rabbnya.
Teguran ini bukan karena keserakahan, tapi sebagai
pengingat akan hakikat keberkahan dan kecukupan yang sejati.
Ini menunjukkan bahwa Allah menginginkan para nabi-Nya
selalu dalam kondisi kesadaran spiritual tertinggi.
قَالَ: بَلَى، يَا
رَبِّ، وَلَكِنْ لَا غِنَى بِي عَنْ بَرَكَتِكَ
Ia menjawab: “Benar, wahai Rabbku, namun aku tidak dapat merasa cukup tanpa
keberkahan dari-Mu.”
Jawaban Nabi Ayyub menunjukkan adab yang luar biasa
kepada Allah.
Ia mengakui kecukupan yang Allah berikan, namun tetap
merasa butuh terhadap keberkahan yang terkandung dalam nikmat tersebut.
Perkataan ini menegaskan bahwa kekayaan dunia tanpa
keberkahan tidak bernilai di sisi para nabi dan orang salih.
Nabi Ayyub tidak menginginkan emas itu karena sifat
bendanya, tetapi karena ia melihatnya sebagai manifestasi keberkahan dan rahmat
Allah.
Ini mengajarkan bahwa seorang mukmin harus senantiasa merasa butuh kepada Allah dalam segala keadaan, bahkan ketika telah diberi kelapangan.
Syarah Hadits
أَحَلَّ اللهُ
سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى لِعِبَادِهِ الطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ
Allah yang Mahasuci dan Mahatinggi menghalalkan bagi hamba-hamba-Nya yang
baik-baik dari rezeki.
وَأَمَرَهُمْ بِشُكْرِ
نِعْمَتِهِ
Dan Dia memerintahkan mereka untuk bersyukur atas nikmat-Nya.
فَالْعَبْدُ إِذَا
أَدَّى حَقَّ الْمَالِ وَشَكَرَ الْمُنْعِمَ فَقَدْ أَدَّى مَا عَلَيْهِ
Maka seorang hamba, jika menunaikan hak harta dan bersyukur kepada Pemberi
nikmat, berarti ia telah menunaikan kewajibannya.
وَالْأَنْبِيَاءُ هُمْ
أَكْمَلُ النَّاسِ وَأَكْثَرُهُمْ شُكْرًا وَأَدَاءً لِحَقِّ النِّعْمَةِ
Dan para nabi adalah manusia yang paling sempurna dan paling banyak bersyukur
serta menunaikan hak nikmat.
وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ
يُخْبِرُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dan dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan
أَنَّ نَبِيَّ اللهِ
أَيُّوبَ عَلَيْهِ السَّلَامُ كَانَ يَغْتَسِلُ مَرَّةً عُرْيَانًا وَلَكِنْ
بَعِيدًا عَنِ الْأَعْيُنِ
Bahwa Nabi Allah Ayyub ‘alaihis-salām suatu kali sedang mandi dalam keadaan
telanjang, namun jauh dari pandangan mata.
فَنَزَلَ عَلَيْهِ مِنَ
السَّمَاءِ جَرَادٌ مِنْ ذَهَبٍ مُعْجِزَةً مِنَ اللهِ تَعَالَى
Lalu turun kepadanya dari langit belalang-belalang dari emas sebagai mukjizat
dari Allah Ta‘ālā.
فَجَعَلَ أَيُّوبُ
عَلَيْهِ السَّلَامُ يَأْخُذُ بِيَدِهِ وَيَرْمِي فِي ثَوْبِهِ
Maka Nabi Ayyub ‘alaihis-salām pun mengambilnya dengan tangannya dan
melemparkannya ke dalam pakaiannya.
فَقَالَ لَهُ اللهُ
تَعَالَى: يَا أَيُّوبُ، أَلَمْ أَكُنْ أَغْنَيْتُكَ عَمَّا تَرَى
Lalu Allah Ta‘ālā berkata kepadanya: Wahai Ayyub, bukankah Aku telah membuatmu
merasa cukup dari apa yang engkau lihat itu?
وَهَذَا لَيْسَ
بِعِتَابٍ مِنْهُ تَعَالَى، بَلْ مِنْ قَبِيلِ التَّلَطُّفِ وَالِامْتِحَانِ
Ini bukanlah teguran dari-Nya, tetapi bentuk kelembutan dan ujian.
بِأَنَّهُ هَلْ
يَشْكُرُ عَلَى مَا أُنْعِمَ عَلَيْهِ فَيَزِيدَ فِي الشُّكْرِ
Apakah ia bersyukur atas apa yang telah dianugerahkan kepadanya, sehingga ia
bertambah dalam rasa syukur.
وَلِذَلِكَ أَقْسَمَ
أَيُّوبُ عَلَيْهِ السَّلَامُ بِعِزَّةِ اللهِ أَنَّهُ يَعْتَرِفُ وَيُقِرُّ
بِنِعْمَةِ اللهِ عَلَيْهِ
Maka dari itu Nabi Ayyub ‘alaihis-salām bersumpah dengan kemuliaan Allah bahwa
ia mengakui dan membenarkan nikmat Allah atas dirinya.
ثُمَّ قَالَ: وَلَكِنْ
لَا غِنَى لِي عَنْ بَرَكَتِكَ
Kemudian ia berkata: Tetapi aku tidak bisa merasa cukup tanpa keberkahan-Mu.
فَمُحَالٌ أَنْ يَكُونَ
أَيُّوبُ صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَامُهُ أَخَذَ هَذَا الْمَالَ حُبًّا
لِلدُّنْيَا
Maka mustahil bahwa Nabi Ayyub ‘alaihis-salām mengambil harta itu karena cinta
dunia.
وَإِنَّمَا أَخَذَهُ
كَمَا أَخْبَرَ هُوَ عَنْ نَفْسِهِ لِأَنَّهُ بَرَكَةٌ مِنْ رَبِّهِ تَعَالَى
Namun ia mengambilnya sebagaimana ia sendiri mengabarkan, karena itu adalah
keberkahan dari Tuhannya.
لِأَنَّهُ قَرِيبُ
الْعَهْدِ بِتَكْوِينِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
Karena ia masih dekat dengan masa penciptaan oleh Allah ‘Azza wa Jalla.
أَوْ أَنَّهُ نِعْمَةٌ
جَدِيدَةٌ خَارِقَةٌ لِلْعَادَةِ
Atau karena itu adalah nikmat baru yang luar biasa dan di luar kebiasaan.
فَيَنْبَغِي
تَلَقِّيهَا بِالْقَبُولِ، مَعَ إِظْهَارِ أَنَّهُ فَقِيرٌ إِلَى مَا أَنْزَلَهُ
اللهُ مِنْ خَيْرٍ
Maka sudah sepantasnya ia menerimanya dengan sikap menerima, sambil menunjukkan
bahwa ia butuh kepada kebaikan yang Allah turunkan.
وَفِي ذَلِكَ شُكْرٌ
عَلَى النِّعْمَةِ، وَتَعْظِيمٌ لِشَأْنِهَا
Dan itu termasuk bentuk syukur atas nikmat, serta pengagungan terhadap
nilainya.
وَفِي الْإِعْرَاضِ
عَنْهَا كُفْرٌ بِهَا
Sedangkan berpaling darinya adalah bentuk pengingkaran terhadapnya.
وَفِي الْحَدِيثِ:
مَشْرُوعِيَّةُ الْحِرْصِ عَلَى الْمَالِ الْحَلَالِ
Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk bersungguh-sungguh mencari harta yang
halal.
وَفِيهِ: بَيَانُ
فَضْلِ الْغِنَى لِمَنْ شَكَرَ لِأَنَّهُ سَمَّاهُ بَرَكَةً
Dan juga terdapat penjelasan tentang keutamaan kekayaan bagi orang yang
bersyukur, karena Nabi menyebutnya sebagai keberkahan.
Maraji: https://dorar.net/hadith/sharh/14608
Pelajaran dari Hadits ini
1. Keadaan Manusiawi Nabi Ayyub
Perkataan بَيْنَما أَيُّوبُ يَغْتَسِلُ عُرْيَانًا (Ketika Ayyub sedang mandi dalam keadaan telanjang) mengajarkan bahwa para nabi juga mengalami aktivitas manusia biasa seperti mandi dan kebutuhan fisik lainnya. Dalam Islam, mandi dalam keadaan telanjang boleh dilakukan jika di tempat tertutup dan aman dari pandangan orang lain. Ini juga menunjukkan bahwa meskipun seorang nabi memiliki derajat tinggi, ia tetap menjaga kebersihan jasmani, sebagai bagian dari kesucian diri. Mandi juga simbol bahwa Nabi Ayyub telah pulih dari penyakitnya, dan masa sulitnya telah berganti menjadi masa ketenangan.
2. Rezeki Bisa Datang Secara Tiba-tiba dan Ajaib
Perkataan خَرَّ عَلَيْهِ رِجْلُ جَرَادٍ مِنْ ذَهَبٍ (Tiba-tiba jatuh kepadanya segerombolan belalang dari emas) menggambarkan betapa rezeki dari Allah bisa datang dalam bentuk yang luar biasa dan tidak disangka-sangka. Bentuk emas yang menyerupai belalang memperlihatkan bahwa Allah Maha Kuasa untuk memberikan nikmat dalam bentuk apa pun, kapan pun, dan dengan cara yang tak terduga. Ini menjadi penghibur bagi orang-orang yang sedang dalam ujian, bahwa setelah sabar, datanglah balasan yang sangat besar.وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا * وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
(Artinya: Dan barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan jalan keluar baginya, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka) — QS. At-Talaq: 2–3
3. Menyambut Rezeki dengan Syukur dan Semangat
Perkataan فَجَعَلَ يَحْثِي فِي ثَوْبِهِ (Maka dia pun mulai menyendoknya dengan bajunya) menunjukkan bahwa menerima rezeki Allah dengan penuh semangat tidak bertentangan dengan rasa syukur dan tawakal. Nabi Ayyub mengumpulkan emas tersebut karena ia memandangnya sebagai karunia dari Allah, bukan karena rakus atau cinta dunia. Ini memberi pelajaran bahwa selama harta itu halal dan dilihat sebagai amanah dari Allah, maka tidak ada salahnya menyambutnya dengan penuh kegembiraan dan segera dimanfaatkan untuk kebaikan.4. Allah Mengingatkan Agar Hamba Tidak Terlena
Perkataan فَنَادَى رَبُّهُ: يَا أَيُّوبُ أَلَمْ أَكُنْ أَغْنَيْتُكَ عَمَّا تَرَى؟ (Lalu Tuhannya memanggil: “Wahai Ayyub, bukankah Aku telah membuatmu cukup dari apa yang engkau lihat itu?”) adalah bentuk panggilan penuh cinta dari Allah kepada hamba-Nya. Ini menunjukkan bahwa Allah senantiasa memperhatikan kondisi hati hamba-Nya, bahkan ketika sedang menikmati nikmat. Allah ingin mengingatkan bahwa rasa cukup seharusnya tidak diukur dari banyaknya harta, tetapi dari keyakinan bahwa Allah-lah yang mencukupkan segalanya.وَاللَّهُ يُقَدِّرُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ ۚ عَلِمَ أَنْ لَنْ تُحْصُوهُ فَتَابَ عَلَيْكُمْ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ ۚ عَلِمَ أَنْ سَيَكُونُ مِنكُم مَّرْضَىٰ وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِن فَضْلِ اللَّهِ
(Artinya: Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Dia mengetahui bahwa kamu tidak dapat menghitungnya, maka Dia memberi keringanan kepadamu. Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an. Dia mengetahui akan ada di antara kamu orang yang sakit, dan orang-orang yang berjalan di bumi mencari karunia Allah) — QS. Al-Muzzammil: 20
5. Merasa Cukup Tidak Berarti Menolak Berkah
Perkataan قَالَ: بَلَى، يَا رَبِّ، وَلَكِنْ لَا غِنَى بِي عَنْ بَرَكَتِكَ (Ia menjawab: “Benar, wahai Rabbku, namun aku tidak dapat merasa cukup tanpa keberkahan dari-Mu”) adalah jawaban Nabi Ayyub yang sangat penuh adab dan keimanan. Ia tidak mengingkari bahwa Allah telah mencukupkannya, tetapi ia tetap merasa butuh terhadap keberkahan dari Allah. Ini mengajarkan bahwa bukan jumlah harta yang penting, tetapi keberkahannya. Berkah itu membuat yang sedikit menjadi cukup dan yang banyak menjadi bermanfaat. Inilah inti dari rezeki dalam pandangan Islam.وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ
(Artinya: Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi) — QS. Al-A'raf: 96
6. Keberkahan Itu Lebih Penting dari Kekayaan
Meskipun tidak secara langsung disebutkan dalam hadits, kita belajar bahwa keberkahan adalah sesuatu yang harus selalu diminta oleh seorang hamba, bahkan ketika sudah kaya. Nabi Ayyub tidak berkata bahwa ia ingin menambah harta, tapi ia menyatakan bahwa ia tidak bisa lepas dari keberkahan Allah. Ini mengajarkan bahwa orang yang beriman bukan hanya mengejar jumlah harta, tapi kualitasnya—apakah harta itu membawa manfaat, ketenangan, dan kedekatan kepada Allah.7. Sabar dan Tawakal Mendatangkan Pertolongan Allah
Kisah ini datang setelah Nabi Ayyub melewati masa panjang sakit dan kesulitan. Allah tidak hanya menyembuhkannya, tapi juga memberinya kekayaan. Ini menguatkan prinsip bahwa sabar yang disertai tawakal pasti akan diganjar oleh Allah dengan pertolongan dan balasan yang indah. Maka, siapa pun yang sedang diuji harus terus berharap dan bersabar.إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ
(Artinya: Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas) — QS. Az-Zumar: 10
8. Nikmat Dunia Tidak Diharamkan Selama Tidak Melalaikan
Hadits ini juga mengajarkan bahwa Islam tidak mengharamkan kenikmatan dunia seperti emas dan harta. Selama seseorang menggunakannya dengan benar dan tidak membuatnya lalai dari ibadah, maka harta itu bisa menjadi sarana mendekat kepada Allah. Nabi Ayyub adalah teladan bahwa memiliki harta tidak bertentangan dengan kesalehan.Secara keseluruhan, hadits ini mengajarkan bahwa nikmat Allah bisa datang setelah ujian panjang, dan seorang hamba harus menyambutnya dengan syukur, tetap merasa butuh kepada keberkahan-Nya, dan tidak tertipu oleh banyaknya harta. Nabi Ayyub adalah contoh bahwa kekayaan bukan untuk disombongkan, tapi dimaknai sebagai karunia Allah yang harus dimanfaatkan dalam kebaikan.
Penutupan Kajian
Hadits ini mengajarkan kita untuk tidak malu menerima rezeki yang halal, sekalipun kita sudah merasa berkecukupan, karena sesungguhnya yang kita cari bukan hanya jumlah, tapi keberkahan. Ini juga menjadi pelajaran besar bahwa dunia bukanlah tujuan, tapi sarana untuk mendekat kepada Allah. Maka siapa pun di antara kita yang diuji dengan kekurangan, semoga tetap sabar dan yakin akan datangnya ganti. Dan siapa pun yang telah diberi kelapangan, semoga tetap tunduk dan terus meminta keberkahan.
Harapannya, setelah keluar dari majelis ini, kita semua membawa semangat baru untuk memandang rezeki bukan sebagai tujuan utama, tapi sebagai ladang pahala. Kita jadi lebih tenang dalam menghadapi ujian, lebih bersyukur dalam menerima nikmat, dan lebih jujur dalam mencari harta. Semoga Allah jadikan kita hamba-hamba yang sabar seperti Ayyub, dan hamba yang tahu cara menyikapi kekayaan dengan kerendahan hati, seperti Ayyub juga.
اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا
مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ بِرَحْمَتِكَ، وَاجْعَلْ خَيْرَ أَيَّامِنَا يَوْمَ
نَلْقَاكَ، وَاخْتِمْ لَنَا بِالْإِيمَانِ وَحُسْنِ الْخَاتِمَةِ.
Ya Allah, jadikanlah kami termasuk penghuni surga dengan
rahmat-Mu. Jadikanlah hari terbaik kami adalah hari ketika kami berjumpa
dengan-Mu. Dan wafatkanlah kami dalam keadaan beriman serta dengan akhir yang
baik.
وَاللَّهُ الْمُوَفِّقُ
إِلَىٰ أَقْوَمِ الطَّرِيقِ.
Kita tutup kajian dengan doa kafaratul majelis:
🌿 سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا
أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ.
وَالسَّلَامُ
عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ.