Hadits: Allah Mencintai Amalan Konsisten
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
الْحَمْدُ لِلَّهِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُ
Jama’ah sekalian yang dirahmati oleh Allah ﷻ,
Di tengah kehidupan kita yang serba cepat dan kompetitif, semangat untuk memperbaiki diri dalam agama sering kali tumbuh begitu kuat. Banyak dari kita yang tergerak untuk mulai rutin tahajud, puasa sunnah, sedekah, membaca Al-Qur’an, dan memperbanyak doa. Ini adalah hal yang sangat baik. Namun, tidak sedikit dari kita—atau orang-orang di sekitar kita—yang semangatnya begitu membara di awal, namun perlahan-lahan padam di tengah jalan. Seseorang bisa saja dalam sebulan pertama bangun malam setiap hari, namun di bulan berikutnya tidak melakukannya sama sekali. Atau ada yang mulai rajin menghadiri kajian, lalu merasa jenuh, dan akhirnya berhenti total. Fenomena ini bukan hal baru, dan Rasulullah ﷺ telah mengajarkan solusinya jauh sebelum kita mengalaminya.
Hadits yang akan kita bahas hari ini adalah salah satu wasiat penuh hikmah dari Nabi ﷺ dalam membimbing semangat beragama agar tidak hanya sesaat, tapi bertahan seumur hidup. Ini adalah hadits yang menyentuh langsung problem kita sehari-hari: bagaimana menjaga semangat beribadah, bagaimana beragama dengan seimbang, dan bagaimana memastikan bahwa amalan kita bukan hanya banyak, tapi juga konsisten dan dicintai oleh Allah ﷻ.
Urgensi hadits ini sangat besar, karena ia memberikan panduan agar semangat kita dalam agama tidak menjadi sebab kelelahan dan keterpaksaan, tapi menjadi jalan menuju kedekatan yang berkelanjutan dengan Allah ﷻ. Maka mari kita simak dan pelajari hadits ini dengan hati terbuka, karena bisa jadi ini adalah petunjuk yang selama ini kita cari agar ibadah kita tidak hanya berkobar di awal, tapi menyala hingga akhir hayat.
Dari Aisyah radhiyallahu’anha, dia berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ دَخَلَ عَلَيْهَا وَعِندَهَا امْرَأَةٌ، قَالَ: مَن
هَذِهِ؟ قَالَتْ: فُلَانَةُ، تَذْكُرُ مِن صَلَاتِهَا، قَالَ: مَهْ، عَلَيْكُمْ
بِمَا تُطِيقُونَ، فَوَاللَّهِ لَا يَمَلُّ اللَّهُ حَتَّى تَمَلُّوا وَكَانَ
أَحَبَّ الدِّينِ إِلَيْهِ مَا دَامَ عَلَيْهِ صَاحِبُهُ.
Sesungguhnya Nabi ﷺ masuk ke rumahnya dan
di sana ada seorang wanita, lalu beliau bertanya: 'Siapa ini?' Aisyah menjawab:
'Fulanah, Aisyah menyebut-nyebut
tentang shalatnya wanita itu.' Nabi ﷺ berkata: 'Tahanlah, lakukanlah apa yang
kamu mampu, karena demi Allah, Allah tidak akan bosan hingga kalian merasa
bosan. Dan agama yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling
terus-menerus dilaksanakan oleh pemeluknya
HR. Muslim (782), An-Nasa’I (1642), Ibnu Majah (4238)
Arti
dan Penjelasan Per Kalimat
قَالَ: مَنْ هَذِهِ؟
Beliau bertanya: “Siapakah wanita ini?”
Pertanyaan ini menunjukkan perhatian Nabi ﷺ terhadap siapa yang hadir di rumah Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Pertanyaan ini juga menjadi pembuka dialog yang
mengandung pelajaran penting, yakni bagaimana menanggapi seseorang yang dikenal
rajin beribadah.
Nabi ﷺ tidak
langsung memuji atau menyalahkan, tetapi bertanya terlebih dahulu sebagai
bentuk kehati-hatian dalam menilai amalan orang lain.
Ini merupakan metode pendidikan Nabi ﷺ yang mendidik dengan hikmah, bukan langsung menilai tanpa
mengetahui keadaannya.
قَالَتْ: فُلَانَةُ، تَذْكُرُ مِن صَلَاتِهَا
Aisyah menjawab: “Wanita itu adalah si fulanah, dia disebut-sebut karena
salatnya.”
Aisyah radhiyallahu ‘anha menyebutkan bahwa wanita
tersebut dikenal karena ibadah salatnya yang banyak atau panjang.
Pujian ini menunjukkan bahwa masyarakat memandang
banyaknya salat sebagai ukuran keutamaan, sesuatu yang memang benar dalam batas
kemampuan.
Namun, Nabi ﷺ akan mengarahkan
bahwa kuantitas ibadah tidak boleh mengalahkan kualitas dan kesinambungannya.
Ini mengajarkan kita untuk tidak hanya bersemangat dalam
ibadah sesaat, tetapi konsisten sesuai kemampuan.
قَالَ: مَهْ
Nabi ﷺ bersabda: “Cukup!”
Kata “مهْ” adalah bentuk
teguran yang lembut namun tegas.
Nabi ﷺ tidak langsung membantah ibadah wanita
tersebut, tetapi menghentikan pembahasan itu karena mengandung kekhawatiran
akan pemahaman keliru.
Ini menunjukkan kebijaksanaan Nabi ﷺ dalam mengarahkan pembicaraan agar tidak berlarut dalam
kekaguman terhadap ibadah yang mungkin tidak berkesinambungan.
Kalimat ini juga mengisyaratkan bahwa fokus bukan pada
kuantitas semata, tetapi pada keteguhan dalam melaksanakannya.
عَلَيْكُمْ بِمَا تُطِيقُونَ
“Lakukanlah amalan yang kalian mampu (secara konsisten).”
Perintah ini menekankan prinsip dasar dalam beribadah
dalam Islam, yaitu kemampuan dan kontinuitas.
Allah tidak membebani hamba-Nya melebihi kapasitasnya
(QS. Al-Baqarah: 286), dan Nabi ﷺ ingin umatnya menjaga
semangat ibadah tanpa berlebihan.
Beribadah di luar batas kemampuan bisa membuat seseorang
bosan, jenuh, lalu meninggalkan ibadah sama sekali.
Konsistensi yang sesuai kemampuan lebih dicintai Allah
daripada amal besar yang tidak bertahan.
فَوَاللَّهِ لَا يَمَلُّ اللَّهُ حَتَّى
تَمَلُّوا
“Demi Allah, Allah tidak akan bosan sampai kalian bosan.”
Kalimat ini bukan berarti Allah benar-benar bosan
seperti makhluk, karena Allah Mahasempurna dan tidak memiliki sifat kekurangan.
Namun, ini bentuk balasan yang sesuai dengan keadaan
hamba-Nya; ketika mereka semangat, Allah akan terus memberikan pahala dan
kemudahan.
Ketika mereka bosan, maka akibatnya mereka yang
kehilangan pahala dan kebaikan.
Ini adalah peringatan agar tidak bersikap berlebihan di
awal, lalu kehilangan semangat di pertengahan jalan ibadah.
وَكَانَ أَحَبَّ الدِّينِ إِلَيْهِ مَا دَامَ
عَلَيْهِ صَاحِبُهُ
“Dan amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang dikerjakan secara
terus-menerus oleh pelakunya.”
Ini adalah puncak pelajaran dari hadits ini: bahwa
istikamah dalam beribadah, walaupun sedikit, lebih dicintai Allah.
Amalan yang rutin menunjukkan komitmen, ketulusan, dan
kesungguhan dalam mendekatkan diri kepada Allah.
Sedikit tetapi terus-menerus akan membentuk kebiasaan
yang tertanam dalam jiwa dan berdampak jangka panjang dalam kehidupan seorang
muslim.
Inilah kunci keberhasilan dalam menempuh jalan menuju
Allah: konsistensi dan tidak mudah lelah.
Syarah Hadits
الدِّينُ يُسْرٌ لَا عُسْرٌ
Agama itu mudah, bukan kesulitan.
وَقَدْ أَرْشَدَ النَّبِيُّ ﷺ أُمَّتَهُ إِلَى
الطَّرِيقِ الْأَرْشَدِ لِلْدِّينِ وَالتَّدَيُّنِ
Dan Nabi ﷺ telah menunjukkan kepada umatnya jalan yang paling tepat untuk
agama dan beragama.
فَأَوْضَحَ أَنَّهُ يَنْبَغِي عَلَى
الْمُؤْمِنِ أَنْ يَقُومَ بِمَا يُطِيقُهُ مِنَ الْعِبَادَةِ
Maka beliau menjelaskan bahwa seorang mukmin seharusnya melaksanakan ibadah
sesuai dengan apa yang mampu ia lakukan.
مَعَ التَّرْغِيبِ فِي الْقَصْدِ فِي
الْعَمَلِ
Dengan mendorong niat yang baik dalam beramal.
حَتَّى لَا يُصَابَ بِالْمَلَلِ وَالْفُتُورِ
Agar tidak merasa bosan dan lelah.
وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ تَرْوِي أُمُّ
الْمُؤْمِنِينَ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا
Dalam hadits ini, Ummul Mukminin Aisyah رضي الله عنها
meriwayatkan.
أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ دَخَلَ عَلَيْهَا يَوْمًا
وَكَانَتْ عِندَهَا امْرَأَةٌ
Bahwa Nabi ﷺ suatu hari memasuki rumahnya dan di sana ada seorang wanita.
فَلَمَّا سَأَلَ عَنْهَا النَّبِيُّ ﷺ
Ketika Nabi ﷺ bertanya tentang wanita itu.
ذَكَرَتْ عَائِشَةُ أَنَّ هَذِهِ فُلَانَةُ
وَسَمَّتْهَا
Aisyah menyebutkan bahwa wanita itu adalah si Fulan, dan ia menyebutkan
namanya.
ثُمَّ ذَكَرَتْ كَثْرَةَ صَلَاتِهَا
وَعِبَادَتِهَا
Kemudian Aisyah menyebutkan banyaknya shalat dan ibadahnya.
وَأَطْنَبَتْ فِي مَدْحِهَا
Dan ia memuji dengan panjang lebar.
فَزَجَرَهَا النَّبِيُّ
ﷺ وَقَالَ: مَهْ!
Nabi ﷺ menegurnya dan berkata: "Mah!"
أَي: كُفُّوا عَنْ مَدْحِهَا وَالثَّنَاءِ
عَلَيْهَا
Artinya: Berhentilah memujinya dan memuji dirinya.
فَمَا فَعَلَتْهُ لَا يَسْتَحِقُّ الثَّنَاءَ
Apa yang ia lakukan tidak pantas untuk dipuji.
لِمُخَالَفَتِهِ السُّنَّةَ
Karena ia menyelisihi sunnah.
فَإِنَّ الدِّينَ فِي مُتَابَعَةِ النَّبِيِّ ﷺ
Karena agama itu dalam mengikuti Nabi ﷺ.
وَالْعَمَلِ بِسُنَنِهِ
Dan beramal dengan sunnah-sunnah beliau.
وَلَيْسَ فِي التَّشْدِيدِ عَلَى النَّفْسِ
وَإِرْهَاقِهَا بِالْعِبَادَةِ
Dan bukan dalam mempersulit diri dan memberatkan diri dengan ibadah.
ثُمَّ أَرْشَدَنَا النَّبِيُّ ﷺ فَقَالَ:
«وَلَكِنْ عَلَيْكُمْ بِمَا تُطِيقُونَ»
Kemudian Nabi ﷺ memberi petunjuk dan berkata: "Tetapi kalian lakukanlah
sesuai kemampuan kalian."
فَاشْتَغِلُوا مِنَ الْأَعْمَالِ بِمَا
تَسْتَطِيعُونَ الْمُدَاوَمَةَ عَلَيْهِ
Maka lakukanlah pekerjaan yang dapat kalian lakukan secara terus-menerus.
وَافْعَلُوا مَا تَقْدِرُونَ عَلَيْهِ مِنَ
الصِّيَامِ وَالْقِيَامِ
Dan lakukanlah apa yang kalian mampu lakukan dari puasa dan qiyam.
وَلَا تَشُقُّوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ
Dan jangan memberatkan diri kalian.
وَقَوْلُهُ: فَوَاللَّهِ لَا يَمَلُّ اللَّهُ
حَتَّى تَمَلُّوا
Dan perkataannya: "Demi Allah, Allah tidak bosan sampai kalian
bosan."
مِنَ الْعُلَمَاءِ مَنْ قَالَ: إِنَّ هَذَا
دَلِيْلٌ عَلَى إِثْبَاتِ صِفَةِ الْمَلَلِ لِلَّهِ تَعَالَى
Dari kalangan ulama ada yang berkata: Bahwa ini adalah dalil untuk membuktikan
adanya sifat bosan pada Allah.
لَكِنَّ مَلَلَ اللَّهِ لَيْسَ كَمَلَلِ
الْمَخْلُوقِ
Namun bosannya Allah tidak seperti bosannya makhluk.
إِذْ إِنَّ مَلَلَ الْمَخْلُوقِ نَقْصٌ
Karena bosannya makhluk adalah kekurangan.
لِأَنَّهُ يَدُلُّ عَلَى سَأَمِهِ وَضَجَرِهِ
مِنْ هَذَا الشَّيْءِ
Karena itu menunjukkan rasa jenuh dan kesal terhadap sesuatu.
أَمَّا مَلَلُ اللَّهِ فَهُوَ كَمَالٌ
وَلَيْسَ فِيهِ نَقْصٌ
Sedangkan bosannya Allah adalah sempurna dan tidak ada kekurangan di dalamnya.
وَيَجْرِي هَذَا كَسَائِرِ الصِّفَاتِ الَّتِي
نُثْبِتُهَا لِلَّهِ عَلَى وَجْهِ الْكَمَالِ وَإِنْ كَانَتْ فِي حَقِّ
الْمَخْلُوقِ لَيْسَتْ كَمَالًا
Dan ini berlaku sebagaimana sifat-sifat lainnya yang kita tetapkan untuk Allah
dalam kesempurnaan, meskipun dalam hak makhluk tidaklah sempurna.
وَمِنَ الْعُلَمَاءِ مَن يَقُولُ: إِنَّ
قَوْلَهُ: «لَا يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا» يُرَادُ بِهِ بَيَانُ أَنَّهُ مَهْمَا
عَمِلْتَ مِنْ عَمَلٍ فَإِنَّ اللَّهَ يُجَازِيكَ عَلَيْهِ
Dan dari kalangan ulama ada yang mengatakan bahwa perkataan "Allah tidak
bosan sampai kalian bosan" dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa apapun yang
kalian lakukan, Allah akan memberikan balasan atasnya.
فَاعْمَلْ مَا بَدَا لَكَ
Maka kerjakanlah apa yang kalian kehendaki.
فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَمَلُّ مِنْ ثَوَابِكَ
حَتَّى تَمَلَّ مِنَ الْعَمَلِ
Karena Allah tidak bosan memberi pahala sampai kalian bosan dari beramal.
وَعَلَى هَذَا فَيَكُونُ الْمَرَادُ
بِالْمَلَلِ لَازِمَ الْمَلَلِ
Maka pada pandangan ini, yang dimaksud dengan "bosan" adalah
keharusan dari kebosanan itu sendiri.
وَمِنْهُمْ مَن قَالَ: إِنَّ هَذَا الْحَدِيثَ
لَا يَدُلُّ عَلَى صِفَةِ الْمَلَلِ لِلَّهِ إِطْلَاقًا
Dan di antara mereka ada yang mengatakan bahwa hadits ini tidak menunjukkan
sifat kebosanan pada Allah secara mutlak.
لِأَنَّ قَوْلَ القَائِلِ: «لَا أَقُومُ
حَتَّى تَقُومَ» لَا يَسْتَلْزِمُ قِيَامَ الثَّانِي
Karena perkataan seseorang "Saya tidak akan berdiri sampai Anda
berdiri" tidak memerlukan berdirinya orang kedua.
وَهَذَا أَيْضًا: «لَا يَمَلُّ حَتَّى
تَمَلُّوا» لَا يَسْتَلْزِمُ ثُبُوتَ الْمَلَلِ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
Dan perkataan ini juga: "Allah tidak bosan sampai kalian bosan" tidak
mengharuskan terbuktinya sifat kebosanan pada Allah عزَّ وجلَّ.
قَالَتْ: وَكَانَ أَحَبَّ الدِّينِ إِلَى
رَسُولِ اللَّهِ ﷺ -وَفِي رِوَايَةِ الصَّحِيحَيْنِ: «إِلَى اللَّهِ»- مَا دَامَ
وَاسْتَمَرَّ عَلَيْهِ صَاحِبُهُ وَإِنْ قَلَّ
Aisyah berkata: Dan agama yang paling disukai oleh Rasulullah ﷺ -dalam riwayat
Shahihain: "oleh Allah"- adalah yang terus menerus dilakukan oleh
pemiliknya meskipun sedikit.
كَمَا فِي رِوَايَةِ مُسْلِمٍ
Sebagaimana dalam riwayat Muslim.
لِأَنَّ بِالدَّوَامِ عَلَى الْقَلِيلِ
تَدُومُ الطَّاعَةُ وَالذِّكْرُ
Karena dengan terus-menerus melakukan sedikit, maka ketaatan dan dzikir akan
terus berlangsung.
وَالْمُرَاقَبَةُ وَالنِّيَّةُ وَالْإِخْلَاصُ
Dan pengawasan diri, niat, dan keikhlasan.
وَالْإِقْبَالُ عَلَى الْخَالِقِ سُبْحَانَهُ
وَتَعَالَى
Dan berfokus pada Sang Pencipta, Maha Suci dan Maha Tinggi.
وَيُثْمِرُ الْقَلِيلُ الدَّائِمُ حَتَّى
يَزِيدُ عَلَى الْكَثِيرِ الْمُنْقَطِعِ أَضعَافًا كَثِيرَةً
Dan sedikit yang terus menerus itu akan berbuah banyak, bahkan melebihi
banyaknya yang terputus-putus.
وَفِي الْحَدِيثِ: بَيَانُ شَفَقَتِهِ
وَرَأْفَتِهِ بِأُمَّتِهِ ﷺ
Dan dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang rasa kasih sayang dan
perhatian beliau ﷺ kepada umatnya.
وَفِيهِ: أَنَّ الْعَمَلَ الْقَلِيلَ
الدَّائِمَ خَيْرٌ مِنَ الْكَثِيرِ الْمُنْقَطِعِ
Dan dalam hadits ini juga menunjukkan bahwa amal yang sedikit namun terus
menerus lebih baik daripada amal yang banyak tetapi terputus-putus.
Maraji:
https://dorar.net/hadith/sharh/42034
Pelajaran dari Hadits ini
1. Menghormati Tamu dan Bertanya dengan Lembut
Perkataan: قَالَ: مَنْ هَذِهِ؟
(“Beliau bersabda: Siapa ini?”)
Nabi ﷺ menunjukkan teladan dalam adab bertanya. Saat masuk dan melihat ada seorang wanita di rumah ‘Aisyah, beliau tidak langsung menebak atau bersu’uzan, melainkan bertanya dengan lembut: "مَنْ هَذِهِ؟" (Siapa ini?). Ini memberi pelajaran bahwa jika kita melihat sesuatu yang tidak biasa di tempat kita, bertanyalah secara santun dan tidak langsung menghakimi. Ini juga mengajarkan sikap empatik dalam berinteraksi, terutama kepada tamu atau orang yang belum dikenal.
2. Menyebut Kebaikan Orang Lain adalah Hal yang Baik
Perkataan: قَالَتْ: فُلَانَةُ، تَذْكُرُ مِنْ صَلَاتِهَا
(“‘Aisyah berkata: Ini Fulanah, dia dikenal karena salatnya.”)
‘Aisyah menanggapi pertanyaan Nabi ﷺ dengan menyebut kebaikan wanita itu, yaitu tentang ibadah salatnya. Ini mengajarkan bahwa menyebut kebaikan orang lain di hadapan orang yang bisa menghargainya bukanlah riya’, tapi bentuk penghormatan. Menyebut amal baik orang lain juga bisa menjadi motivasi bagi kita untuk meneladani kebaikan tersebut. Namun, tetap harus menjaga niat agar tidak berubah menjadi pujian berlebihan yang bisa menjerumuskan orang tersebut dalam ujian.
3. Menjaga Keseimbangan dalam Ibadah
Perkataan: قَالَ: مَهْ، عَلَيْكُمْ بِمَا تُطِيقُونَ
(“Beliau bersabda: Sudahlah, beramallah sesuai kemampuan kalian.”)
Nabi ﷺ menanggapi dengan sabda: "مَهْ، عَلَيْكُمْ بِمَا تُطِيقُونَ", yang bermakna: Sudahlah, beramallah sesuai kemampuan kalian. Ini menunjukkan bahwa Islam bukan agama yang memaksa di luar batas. Ibadah harus disesuaikan dengan kemampuan fisik, waktu, dan kondisi masing-masing orang. Tidak semua orang harus beribadah dengan cara yang berat atau banyak. Lebih baik sedikit tapi rutin dan konsisten. Allah berfirman:
لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
(Artinya: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.)
(QS Al-Baqarah: 286)
4. Allah Tidak Pernah Bosan, Tapi Kita yang Sering Lelah
Perkataan: فَوَاللَّهِ لَا يَمَلُّ اللَّهُ حَتَّى تَمَلُّوا
(“Demi Allah, Allah tidak bosan sampai kalian bosan.”)
Sabda Nabi ﷺ ini mengandung makna mendalam. Allah ﷻ tidak akan berhenti memberikan pahala atas amal baik kita, kecuali kita sendiri yang berhenti. Ungkapan "لَا يَمَلُّ اللَّهُ حَتَّى تَمَلُّوا" bukan berarti Allah memiliki sifat bosan seperti manusia, tetapi ini untuk memahamkan manusia bahwa kontinuitas kita dalam beribadah yang menjadi sebab diterimanya amal. Jika kita semangat di awal lalu berhenti karena bosan, maka amalan tersebut bisa kehilangan nilainya. Maka, jagalah ritme ibadah agar terus berjalan, meski tidak banyak.
5. Konsistensi Lebih Dicintai oleh Allah
Perkataan: وَكَانَ أَحَبَّ الدِّينِ إِلَيْهِ مَا دَامَ عَلَيْهِ صَاحِبُهُ
(“Dan agama yang paling dicintai oleh-Nya adalah yang dijalani terus-menerus oleh pelakunya.”)
Nabi ﷺ mengajarkan bahwa amal yang paling dicintai oleh Allah adalah yang dilakukan secara konsisten. Kata-kata "مَا دَامَ عَلَيْهِ صَاحِبُهُ" menekankan pentingnya istiqamah, bukan banyaknya amal. Satu halaman Al-Qur’an setiap hari lebih baik daripada membaca satu juz hanya sebulan sekali. Nabi ﷺ juga bersabda:
أَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
(Artinya: Amal yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling terus-menerus walaupun sedikit.)
(HR. Bukhari dan Muslim)
6. Pentingnya Mengenali Diri Sendiri dalam Beribadah
Hadits ini juga mengajarkan agar kita mengenal batas kemampuan kita. Jangan meniru ibadah orang lain tanpa melihat kondisi pribadi kita. Orang yang kuat mungkin bisa salat malam sepanjang malam, tapi yang lain cukup dengan dua rakaat. Allah mencintai orang yang bijak dalam beribadah. Jangan sampai karena ingin terlihat hebat, akhirnya meninggalkan ibadah sama sekali karena kelelahan.
7. Peran Guru atau Orang Berilmu dalam Menuntun Semangat Beragama
Nabi ﷺ dalam hadits ini bukan hanya menanggapi, tapi juga mengarahkan semangat yang berlebihan agar tidak salah arah. Ini menunjukkan pentingnya keberadaan guru yang membimbing umat agar tidak ekstrem dalam beragama. Guru berfungsi untuk menjaga keseimbangan antara semangat dan kelurusan jalan. Tanpa bimbingan, semangat bisa berubah menjadi beban yang menyesatkan.
8. Ibadah Harus Menumbuhkan Rasa Cinta, Bukan Keterpaksaan
Salah satu pelajaran penting adalah bahwa ibadah harus dilakukan karena cinta dan pengharapan, bukan karena keterpaksaan atau hanya mengejar pujian. Jika ibadah dilakukan dengan cinta, maka akan ringan, terus-menerus, dan penuh makna. Jika karena keterpaksaan, ibadah menjadi beban dan akhirnya ditinggalkan. Maka niat yang lurus dan rasa cinta kepada Allah harus senantiasa diperbarui.
9. Lingkungan Bisa Membentuk Semangat Beragama
Perkataan ‘Aisyah yang menyebut wanita itu dikenal karena salatnya menunjukkan bahwa lingkungan yang baik bisa membentuk semangat ibadah. Orang-orang yang berada dalam komunitas saleh akan termotivasi untuk lebih baik. Maka penting memilih lingkungan yang mendorong kita untuk istiqamah, bukan sebaliknya. Nabi ﷺ bersabda:
الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
(Artinya: Seseorang tergantung agama temannya. Maka hendaklah kalian melihat siapa yang dijadikan teman.)
(HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
10. Semangat Berlebihan Tanpa Ilmu Bisa Menjerumuskan
Hadits ini juga menjadi pelajaran bahwa semangat beragama harus dibarengi dengan ilmu. Jika hanya berbekal semangat, tanpa tahu tuntunan Nabi ﷺ, seseorang bisa jatuh dalam sikap berlebih-lebihan (ghuluw) yang dibenci dalam agama. Ibadah bukan soal siapa yang paling banyak, tapi siapa yang paling mengikuti tuntunan. Allah berfirman:
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِى يُحْبِبْكُمُ ٱللَّهُ
(Artinya: Katakanlah (Muhammad), "Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian.")
(QS Āli ‘Imrān: 31)
Secara keseluruhan, hadits ini menegaskan pentingnya keseimbangan, konsistensi, dan kesadaran diri dalam beribadah. Semangat beragama sangat baik, tapi harus dipandu dengan ilmu dan kemampuan diri agar tidak menjadi beban. Ibadah yang sederhana namun dilakukan terus-menerus lebih dicintai Allah daripada yang besar tapi putus di tengah jalan.
Penutup
Kajian
Hadirin yang dirahmati Allah,
Alhamdulillah, setelah kita menyimak dan mengkaji hadits yang agung ini, kita dapat memahami betapa dalamnya perhatian Rasulullah ﷺ terhadap keadaan jiwa umatnya. Hadits ini bukan hanya nasihat bagi mereka yang terlalu berlebihan dalam beribadah, tapi juga pengingat bagi kita semua bahwa keistiqamahan dalam amal lebih utama daripada banyaknya amal yang tidak bertahan lama.
Nabi ﷺ mengajarkan bahwa agama ini dibangun di atas rahmat, bukan beban. Beliau tidak ingin kita merasa lelah lalu meninggalkan ibadah, tapi menginginkan kita untuk terus bertahan dalam ketaatan dengan cara yang paling sesuai dengan kekuatan kita masing-masing. Maka, mulai hari ini, mari kita ukur diri kita sendiri, pilih amalan yang bisa kita lakukan secara konsisten, dan jaga amalan itu dengan niat yang tulus dan cinta kepada Allah.
Harapannya, hadits ini tidak hanya berhenti sebagai ilmu di kepala, tetapi menjadi kompas dalam hidup kita sehari-hari. Semoga setelah ini kita menjadi hamba-hamba yang lebih bijak dalam beribadah, lebih tenang dalam melangkah, dan lebih tekun dalam menjaga rutinitas kebaikan. Semoga Allah ﷻ menjadikan setiap amal kita bernilai di sisi-Nya dan menuntun kita dengan cahaya istiqamah sampai akhir hayat. Aamiin ya Rabbal ‘alamin.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ
وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ
إِلَيْكَ
وَصَلَّى اللَّهُ
عَلَىٰ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَىٰ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ
رَبِّ الْعَالَمِينَ
Belajar membaca dan menerjemahkan syarah hadits tanpa
harakat
الدين
يسر لا عسر، وقد أرشد النبي صلى الله عليه وسلم أمته إلى الطريق الأرشد للدين
والتدين، فأوضح أنه ينبغي على المؤمن أن يقوم بما يطيقه من العبادة، مع الترغيب في
القصد في العمل؛ حتى لا يصاب بالملل والفتور.وفي هذا الحديث تروي أم المؤمنين
عائشة رضي الله عنها أن النبي صلى الله عليه وسلم دخل عليها يوما وكانت عندها
امرأة، فلما سأل عنها النبي صلى الله عليه وسلم، ذكرت عائشة أن هذه فلانة، وسمتها،
ثم ذكرت كثرة صلاتها وعبادتها، وأطنبت في مدحها، فزجرها النبي صلى الله عليه وسلم
وقال: «مه»! أي: كفي عن مدحها والثناء عليها؛ فما فعلته لا يستحق الثناء؛ لمخالفته
السنة؛ فإن الدين في متابعة النبي صلى الله عليه وسلم، والعمل بسننه، وليس في
التشديد على النفس وإرهاقها بالعبادة. ثم أرشدنا النبي صلى الله عليه وسلم فقال:
«ولكن عليكم بما تطيقون»، فاشتغلوا من الأعمال بما تستطيعون المداومة عليه،
وافعلوا ما تقدرون عليه من الصيام والقيام، ولا تشقوا على أنفسكم.وقوله: «فوالله
لا يمل الله حتى تملوا»، من العلماء من قال: إن هذا دليل على إثبات صفة الملل لله
تعالى، لكن ملل الله ليس كملل المخلوق؛ إذ إن ملل المخلوق نقص؛ لأنه يدل على سأمه
وضجره من هذا الشيء، أما ملل الله فهو كمال وليس فيه نقص، ويجري هذا كسائر الصفات
التي نثبتها لله على وجه الكمال وإن كانت في حق المخلوق ليست كمالا. ومن العلماء
من يقول: إن قوله: «لا يمل حتى تملوا» يراد به بيان أنه مهما عملت من عمل فإن الله
يجازيك عليه، فاعمل ما بدا لك؛ فإن الله لا يمل من ثوابك حتى تمل من العمل، وعلى
هذا فيكون المراد بالملل لازم الملل. ومنهم من قال: إن هذا الحديث لا يدل على صفة
الملل لله إطلاقا؛ لأن قول القائل: «لا أقوم حتى تقوم» لا يستلزم قيام الثاني،
وهذا أيضا: «لا يمل حتى تملوا» لا يستلزم ثبوت الملل لله عز وجل.قالت: وكان أحب
الدين إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم -وفي رواية الصحيحين: «إلى الله»- ما دام
واستمر عليه صاحبه وإن قل، كما في رواية مسلم؛ لأن بالدوام على القليل تدوم الطاعة
والذكر، والمراقبة، والنية والإخلاص، والإقبال على الخالق سبحانه وتعالى، ويثمر
القليل الدائم بحيث يزيد على الكثير المنقطع أضعافا كثيرة.وفي الحديث: بيان شفقته
ورأفته بأمته صلى الله عليه وسلم.وفيه: أن العمل القليل الدائم خير من الكثير
المنقطع.