Hadits: Memasukkan Kegembiraan Ke Hati Seorang Muslim
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
الْحَمْدُ لِلَّهِ،
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ
وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُ
Bapak, Ibu, dan saudara-saudari sekalian yang dirahmati Allah.
Pernahkah kita berhenti sejenak di tengah kesibukan kita dan bertanya pada diri sendiri: "Untuk apa semua ini?" Kita bekerja keras mengejar karier, kita berusaha tekun membangun ibadah pribadi kita—shalat, puasa, tilawah—semua kita lakukan dengan harapan agar menjadi hamba yang lebih baik, hamba yang dicintai oleh Allah. Ini adalah sebuah niat yang mulia, tidak ada yang salah dengannya.
Namun, tanpa kita sadari, ada sebuah bahaya laten yang mengintai di tengah masyarakat modern kita. Sebuah penyakit bernama individualisme. Kita menjadi begitu fokus pada "kesuksesan saya", "kesalehan saya", dan "kebahagiaan saya", hingga terkadang kita lupa untuk menengok ke kanan dan ke kiri. Kita sibuk membangun menara kesalehan kita sendiri, namun kita tidak sadar bahwa di pondasi menara itu, ada tetangga kita yang sedang kelaparan. Kita rajin berpuasa menahan lapar, tapi kita tidak peka pada rintihan teman kita yang terjerat utang dan tidak bisa tidur nyenyak.
Di era media sosial ini, ironisnya kita semakin terhubung secara virtual, namun sering kali semakin terasing secara emosional. Kita bisa melihat ratusan kisah sedih di layar ponsel kita, tapi dengan mudah kita menggesernya dan melupakannya dalam hitungan detik. Kita terjebak dalam sebuah paradoks: kita tahu banyak masalah, tapi kita merasa tidak punya andil untuk menyelesaikannya.
Di sinilah letak urgensi kita berkumpul pada malam hari ini. Kita akan mengkaji sebuah hadits yang bukan sekadar hadits biasa. Ini adalah sebuah hadits yang meruntuhkan egoisme spiritual kita. Sebuah hadits yang memberikan kompas moral dan mendefinisikan ulang apa artinya menjadi hamba yang paling dicintai oleh Allah SWT. Hadits ini akan menjawab pertanyaan mendasar: Di antara triliunan amal baik yang bisa kita lakukan, manakah yang memiliki bobot paling berat di timbangan cinta Allah?
Dari Abdullah bin Umar
radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ، وَأَحَبُّ
الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ سُرُورٌ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ،
تَكْشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً، أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دَيْنًا، أَوْ تَطْرُدُ عَنْهُ
جُوعًا، وَلَأَنْ أَمْشِيَ مَعَ أَخٍ فِي حَاجَةٍ؛ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ
أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ -يَعْنِي: مَسْجِدَ الْمَدِينَةِ- شَهْرًا،
وَمَنْ كَظَمَ غَيْظَهُ وَلَوْ شَاءَ أَنْ يُمْضِيَهُ أَمْضَاهُ؛ مَلَأَ اللَّهُ
قَلْبَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رِضًا، وَمَنْ مَشَى مَعَ أَخِيهِ فِي حَاجَةٍ
حَتَّى يَقْضِيَهَا لَهُ؛ ثَبَّتَ اللَّهُ قَدَمَيْهِ يَوْمَ تَزُولُ الْأَقْدَامُ
Manusia yang paling dicintai
Allah adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain. Amalan yang paling
dicintai Allah ‘azza wa jalla adalah kegembiraan yang engkau masukkan ke hati
seorang muslim, atau engkau hilangkan salah satu kesusahannya, atau engkau
melunasi utangnya, atau engkau hilangkan kelaparannya. Sungguh aku berjalan
bersama seorang saudara untuk menunaikan kebutuhannya, lebih aku cintai
daripada aku beriktikaf di masjid ini—yaitu Masjid Madinah—selama sebulan.
Barangsiapa menahan amarahnya padahal ia mampu meluapkannya, maka Allah akan
memenuhi hatinya dengan keridhaan pada hari kiamat. Dan barangsiapa berjalan
bersama saudaranya untuk menunaikan suatu kebutuhan hingga selesai, maka Allah
akan mengokohkan kedua telapak kakinya pada hari ketika banyak telapak kaki
tergelincir.
HR. At-Thabrani dalam
Al-Mu'jam Al-Ausath (6026), Abu Asy-Syaikh dalam At-Taubikh wat-Tanbih (97),
dan Qawam As-Sunnah Al-Ashbahani sebagaimana dalam At-Targhib wat-Tarhib
(3/265).
.
Arti
dan Penjelasan Per Perkataan
أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى
اللَّهِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
Manusia yang paling dicintai Allah adalah yang paling
bermanfaat bagi manusia lain.
Kalimat ini menetapkan sebuah kaidah emas dalam etika
sosial Islam, yaitu nilai seorang hamba di sisi Allah sangat berkaitan erat
dengan manfaat yang ia berikan kepada sesama.
Perkataan "paling dicintai Allah" menunjukkan
bahwa ganjaran tertinggi, yaitu cinta dari Sang Pencipta, tidak hanya diraih
melalui ibadah ritual, tetapi juga melalui kontribusi positif dalam kehidupan
sosial.
Konsep "manfaat" di sini bersifat sangat luas,
mencakup bantuan materi, tenaga, pikiran, ilmu, nasihat, hingga sekadar
senyuman tulus yang dapat meringankan beban orang lain.
وَأَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ عَزَّ
وَجَلَّ سُرُورٌ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ
Dan amalan yang paling dicintai Allah ‘azza wa jalla adalah
kegembiraan yang engkau masukkan ke hati seorang muslim.
Perkataan ini mengalihkan fokus dari pelaku
("manusia") ke perbuatan ("amalan"), dan menempatkan
"memberi kegembiraan" sebagai salah satu puncaknya.
Istilah "surur" (kegembiraan) memiliki dimensi
emosional dan psikologis yang mendalam, menandakan bahwa Islam sangat
memperhatikan kesehatan mental dan kebahagiaan individu.
Kata kerja "tudkhiluhu" (engkau masukkan)
menyiratkan adanya usaha yang proaktif dan disengaja untuk membahagiakan orang
lain, bukan sekadar menunggu kesempatan atau melakukannya secara pasif.
تَكْشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً، أَوْ تَقْضِي
عَنْهُ دَيْنًا، أَوْ تَطْرُدُ عَنْهُ جُوعًا
Engkau hilangkan salah satu kesusahannya, atau engkau
lunasi utangnya, atau engkau hilangkan kelaparannya.
Ini adalah contoh-contoh konkret dari cara memasukkan
kegembiraan ke dalam hati seseorang, yang menyentuh tiga aspek fundamental
dalam kehidupan manusia.
"Kurbah" adalah penderitaan atau kesusahan
yang berat, bisa bersifat psikologis, keluarga, atau pekerjaan, sehingga
menghilangkannya adalah bentuk pertolongan yang sangat melegakan.
"Melunasi utang" secara spesifik disebutkan
karena utang adalah beban yang dapat merenggut ketenangan seseorang baik di
dunia maupun di akhirat.
"Menghilangkan kelaparan" adalah pemenuhan
kebutuhan paling dasar dan mendesak, menunjukkan bahwa kepedulian Islam dimulai
dari hal-hal yang paling esensial bagi kelangsungan hidup.
وَلَأَنْ أَمْشِيَ مَعَ أَخٍ فِي حَاجَةٍ؛
أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ شَهْرًا
Sungguh aku berjalan bersama seorang saudara untuk
(menunaikan) kebutuhannya, lebih aku cintai daripada aku beriktikaf di masjid
ini selama sebulan.
Ini adalah sebuah perbandingan yang sangat kuat untuk
menekankan betapa tingginya nilai ibadah sosial di dalam Islam.
Rasulullah ﷺ membandingkan aksi
membantu orang lain dengan i'tikaf (berdiam diri di masjid untuk beribadah) di
Masjid Nabawi—salah satu tempat paling mulia di muka bumi—selama sebulan penuh,
namun menyatakan bahwa membantu saudara lebih beliau cintai.
Hal ini mengajarkan keseimbangan antara kesalehan
pribadi (hablun minallah) dan kesalehan sosial (hablun minannas), di mana
keduanya harus berjalan seimbang dan bahkan ibadah sosial dalam konteks ini
memiliki keutamaan yang luar biasa.
وَمَنْ كَظَمَ غَيْظَهُ وَلَوْ شَاءَ أَنْ
يُمْضِيَهُ أَمْضَاهُ؛ مَلَأَ اللَّهُ قَلْبَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رِضًا
Dan barangsiapa menahan amarahnya padahal ia mampu
meluapkannya, maka Allah akan memenuhi hatinya dengan keridhaan pada hari
kiamat.
Perkataan ini memperluas makna "bermanfaat bagi
orang lain" dengan memasukkan aspek menahan diri dari berbuat mudarat atau
menyakiti.
Menahan amarah, terutama saat memiliki kekuasaan atau
kemampuan untuk melampiaskannya, adalah bentuk kekuatan jiwa yang sejati dan
merupakan cara melindungi orang lain dari lisan dan perbuatan buruk kita.
Ganjaran yang disebutkan—"Allah akan memenuhi
hatinya dengan keridhaan"—adalah balasan yang setimpal, di mana ketenangan
batin yang ia berikan kepada orang lain dengan menahan amarah akan dibalas
dengan kepuasan dan keridaan yang memenuhi hatinya di hari kiamat.
وَمَنْ مَشَى مَعَ أَخِيهِ فِي حَاجَةٍ حَتَّى
يَقْضِيَهَا لَهُ؛ ثَبَّتَ اللَّهُ قَدَمَيْهِ يَوْمَ تَزُولُ الْأَقْدَامُ
Dan barangsiapa berjalan bersama saudaranya untuk
(menunaikan) suatu kebutuhan hingga selesai, maka Allah akan mengokohkan kedua
telapak kakinya pada hari ketika banyak telapak kaki tergelincir.
Kalimat penutup ini menegaskan kembali pentingnya
membantu sesama, namun dengan menambahkan penekanan pada kata "hatta
yaqdhiyaha lahu" (hingga selesai menunaikannya).
Ini mengajarkan tentang totalitas dan komitmen dalam
menolong, tidak setengah-setengah, melainkan mengusahakannya sampai tuntas dan
masalah saudaranya benar-benar terselesaikan.
Ganjaran yang dijanjikan sangatlah relevan secara
metaforis: sebagaimana ia telah menjadi penopang dan "pengokoh" bagi
saudaranya di dunia, maka Allah akan mengokohkan kakinya di atas jembatan
(Shirath) pada hari kiamat, yaitu hari di mana banyak orang akan tergelincir
karena beratnya pertanggungjawaban.
Syarah
Hadits
Para sahabat
أَحَبُّ الناسِ إلى
اللهِ أنفَعُهم للناسِ
(Artinya: Manusia
yang paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.)
وأَحَبُّ الأعمالِ إلى
اللهِ سُرورٌ يُدخِلُه على مُسلِمٍ
(Artinya: Dan amalan yang paling dicintai Allah adalah
kegembiraan yang engkau masukkan ke hati seorang muslim.)
أو يَكشِفُ عنه كُربَةً
(Artinya: atau engkau hilangkan salah satu
kesusahannya.)
أو يَقضي عنه دَينًا
(Artinya: atau engkau lunasi utangnya.)
أو تطرُدُ عنه جُوعًا
(Artinya: atau engkau hilangkan kelaparannya.)
ولِأَنْ أَمشِيَ معَ
أخٍ لي في حاجَةٍ أحَبُّ إليَّ مِن أنْ أَعتكِفَ في هذا المسجِدِ، يعني: مسجِدَ
المدينَةِ شَهرًا
(Artinya:
Sungguh aku berjalan bersama seorang saudara untuk (menunaikan) kebutuhannya,
lebih aku cintai daripada aku beriktikaf di masjid ini—yaitu Masjid
Madinah—selama sebulan.)
ومَن كَفَّ غَضَبَه
سَتَرَ اللهُ عَورَتَه
(Artinya: Dan barangsiapa menahan marahnya, niscaya
Allah akan menutupi auratnya (kesalahannya).)
ومَن كَظَمَ غيظَه، ولو
شاءَ أنْ يُمضِيَه أمضاهُ مَلَأَ اللهُ قلْبَه رَجاءً يومَ القيامَةِ
(Artinya: Dan barangsiapa menahan amarahnya, padahal ia
mampu meluapkannya, niscaya Allah akan memenuhi hatinya dengan harapan pada
hari kiamat.)
ومَن مَشى معَ أخيه في
حاجَةٍ حتى تتهيَّأَ له
(Artinya: Dan barangsiapa berjalan bersama saudaranya
untuk (menunaikan) suatu kebutuhan hingga kebutuhan itu tuntas baginya.)
أَثْبَتَ اللهُ قَدَمَه
يوم تَزولُ الأقدامُ
(Artinya:
Niscaya Allah akan mengokohkan kedua telapak kakinya pada hari ketika banyak
telapak kaki tergelincir.)
وإنَّ سُوءَ الخُلُقِ
يُفسِدُ العَمَلَ، كما يُفسِدُ الخَلُّ العَسَلَ
(Artinya: Dan sesungguhnya akhlak yang buruk dapat
merusak amalan, sebagaimana cuka merusak madu.)
Maraji: https://dorar.net/hadith/sharh/113769
Pelajaran dari Hadits
ini
1.
Standar Kemuliaan adalah Manfaat Sosial
Pelajaran
utama yang membuka hadits ini adalah sebuah definisi ulang tentang kemuliaan
seorang hamba. Islam mengajarkan bahwa ukuran cinta Allah kepada seseorang
tidak hanya dilihat dari seberapa banyak ia shalat atau puasa, tetapi seberapa
besar dampak positif yang ia berikan kepada orang-orang di sekitarnya.
Perkataan pertama, أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ (Artinya: Manusia yang
paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain),
menjadi kaidah emas dalam kehidupan sosial.
Kata
"manusia" (النَّاسِ) bersifat umum,
menunjukkan bahwa manfaat ini tidak terbatas pada kalangan tertentu saja.
Kemanfaatan ini bisa berupa ilmu yang diajarkan, harta yang disedekahkan,
tenaga yang disumbangkan, atau bahkan nasihat tulus yang memperbaiki keadaan
seseorang.
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى
الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
(Artinya: Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.) (QS. Al-Ma'idah: 2)
2.
Prioritas Amal: Membahagiakan Hati Sesama
Setelah
menetapkan standar umum, hadits ini merinci amalan spesifik yang sangat
dicintai Allah. Yang menempati urutan pertama bukanlah amalan ritual, melainkan
amalan yang berdimensi emosional dan psikologis.
Perkataan وَأَحَبُّ الْأَعْمَالِ
إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ سُرُورٌ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ (Artinya: Dan amalan
yang paling dicintai Allah ‘azza wa jalla adalah kegembiraan yang engkau
masukkan ke hati seorang muslim) menunjukkan betapa Islam sangat peduli
pada kesehatan mental dan kebahagiaan umatnya. Memberi kebahagiaan
adalah sebuah tindakan proaktif; ia adalah usaha sengaja untuk mengangkat
suasana hati seseorang, memberinya harapan, dan membuatnya merasa dihargai. Ini
bisa diwujudkan melalui ucapan yang baik, hadiah, candaan yang sopan, atau
sekadar senyuman yang tulus.
تَبَسُّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ
(Artinya: Senyummu
di hadapan saudaramu adalah sedekah bagimu.) (HR. Tirmidzi)
3.
Bentuk Bantuan yang Paling Nyata
Hadits
ini tidak membiarkan konsep "membahagiakan" menjadi abstrak, tetapi
memberikan tiga contoh konkret yang menyentuh akar permasalahan hidup manusia.
Perkataan تَكْشِفُ عَنْهُ
كُرْبَةً، أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دَيْنًا، أَوْ تَطْرُدُ عَنْهُ جُوعًا (Artinya: Engkau
hilangkan salah satu kesusahannya, atau engkau lunasi utangnya, atau engkau
hilangkan kelaparannya) adalah prioritas dalam membantu. "Menghilangkan
kesusahan" (kurbah) mencakup masalah apa pun yang menyesakkan dada, baik
itu masalah keluarga, pekerjaan, atau psikologis. "Melunasi utang"
disebut secara khusus karena utang adalah beban berat yang bisa merenggut
ketenangan di dunia dan akhirat. Terakhir, "menghilangkan kelaparan"
adalah pemenuhan hak dasar untuk hidup, menunjukkan bahwa kepedulian Islam
dimulai dari hal-hal yang paling esensial.
4.
Nilai Ibadah Sosial yang Luar Biasa
Untuk
menunjukkan betapa tingginya kedudukan menolong sesama, Rasulullah ﷺ membuat perbandingan yang sangat kuat.
Melalui perkataan وَلَأَنْ أَمْشِيَ مَعَ أَخٍ فِي حَاجَةٍ؛ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ
أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ شَهْرًا (Artinya: Sungguh aku berjalan bersama seorang saudara
untuk (menunaikan) kebutuhannya, lebih aku cintai daripada aku beriktikaf di
masjid ini selama sebulan), beliau mengajarkan bahwa ibadah sosial yang
berdampak langsung pada kehidupan orang lain memiliki nilai yang sangat
istimewa. I'tikaf di Masjid Nabawi selama sebulan penuh adalah sebuah
ibadah personal yang agung, namun kesediaan untuk keluar dari zona nyaman
ibadah pribadi demi menyelesaikan urusan seorang saudara ternyata lebih
dicintai oleh Rasulullah ﷺ. Ini adalah pelajaran tentang keseimbangan
antara kesalehan individu dan kesalehan sosial.
5.
Mencegah Keburukan adalah Sebuah Kebaikan
Manfaat
bagi orang lain tidak hanya datang dari tindakan memberi, tetapi juga dari
tindakan menahan diri dari berbuat buruk.
Ini
dijelaskan dalam perkataan وَمَنْ كَظَمَ غَيْظَهُ وَلَوْ شَاءَ أَنْ
يُمْضِيَهُ أَمْضَاهُ؛ مَلَأَ اللَّهُ قَلْبَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رِضًا (Artinya:
Dan barangsiapa menahan amarahnya padahal ia mampu meluapkannya, maka Allah
akan memenuhi hatinya dengan keridhaan pada hari kiamat). Menahan amarah
saat kita punya kekuatan dan kesempatan untuk melampiaskannya adalah sebuah
bentuk manfaat yang besar, karena kita telah melindungi orang lain dari lisan
dan tangan kita. Balasannya pun setimpal: ketenangan yang kita berikan kepada
orang lain dengan menahan amarah, akan dibalas oleh Allah dengan perasaan ridha
dan puas yang memenuhi hati kita di hari kiamat.
6.
Pentingnya Komitmen dalam Menolong
Pelajaran
terakhir dari hadits ini adalah tentang pentingnya totalitas dan komitmen. Perkataan
وَمَنْ مَشَى مَعَ
أَخِيهِ فِي حَاجَةٍ حَتَّى يَقْضِيَهَا لَهُ؛ ثَبَّتَ اللَّهُ قَدَمَيْهِ يَوْمَ
تَزُولُ الْأَقْدَامُ
(Artinya: Dan barangsiapa berjalan
bersama saudaranya untuk (menunaikan) suatu kebutuhan hingga selesai, maka
Allah akan mengokohkan kedua telapak kakinya pada hari ketika banyak telapak
kaki tergelincir) memberi penekanan pada frasa "hingga selesai". Ini
mengajarkan kita untuk tidak membantu setengah-setengah. Pertolongan yang tulus
adalah yang diupayakan hingga masalahnya benar-benar tuntas. Balasannya pun
sangat relevan: karena ia telah menjadi penopang dan pengokoh bagi saudaranya
di dunia, Allah akan mengokohkan kakinya di atas jembatan Shirath pada hari
ketika banyak kaki tergelincir.
7.
Kebaikan yang Melintasi Batas
Meskipun
beberapa perkataan menyebut "muslim" atau "saudara",
pelajaran pembuka hadits ini menggunakan kata "manusia" (an-naas),
yang memberikan sinyal universalitas. Prinsip menjadi bermanfaat adalah untuk
semua orang, tanpa memandang suku, ras, atau agama. Menebar manfaat kepada
seluruh umat manusia sejalan dengan misi utama diutusnya Nabi Muhammad ﷺ. Sikap membantu dan berbuat baik kepada siapa pun adalah
cerminan dari akhlak Islam yang agung dan menjadi bukti bahwa Islam adalah
rahmat bagi seluruh alam.
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
(Artinya: Dan
tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.)
(QS. Al-Anbiya: 107)
8.
Balasan yang Selaras dengan Perbuatan
Hadits
ini secara indah menunjukkan bagaimana Allah memberikan balasan yang sesuai
(jaza' min jinsil 'amal). Siapa yang menahan amarah dan memberi ketenangan,
hatinya akan dipenuhi ketenangan (ridha) di akhirat. Siapa yang menjadi
penopang bagi saudaranya hingga urusannya selesai, maka kakinya akan ditopang
oleh Allah saat semua orang butuh penopang. Ini mengajarkan bahwa setiap
kebaikan yang kita lakukan, sekecil apa pun, akan kembali kepada kita dalam
bentuk balasan yang paling kita butuhkan di hari kiamat kelak.
Secara
keseluruhan, hadits ini mengajarkan bahwa puncak kecintaan Allah diraih melalui
manfaat sosial yang nyata. Ia mendorong kita untuk aktif membawa kebahagiaan,
menyelesaikan masalah mendasar seperti utang dan lapar, serta menolong dengan
tuntas. Nilai membantu sesama bahkan bisa melampaui ibadah ritual khusus.
Dengan mengendalikan diri dari menyakiti dan berkomitmen penuh pada kebaikan,
seorang hamba tidak hanya mengangkat derajat saudaranya, tetapi juga menjamin keridaan
dan pertolongan Allah bagi dirinya di hari akhir kelak.
Penutup
Kajian
Bapak, Ibu, dan saudara-saudari sekalian,
Kita telah sama-sama menyelami lautan hikmah
dari sepotong sabda Rasulullah ﷺ yang begitu agung pada malam hari ini.
Jika kita harus menarik satu benang merah dari seluruh pelajaran yang kita
dapatkan, maka benang merah itu adalah: Islam tidak menginginkan kita
menjadi muslim yang saleh sendirian.
Hadits
ini telah memberikan kita sebuah checklist cinta dari Allah. Ia
mengajarkan kita bahwa:
Faedah
terbesar dari hadits ini adalah pergeseran paradigma. Ukuran kesuksesan
kita di mata Allah bukan lagi sekadar "seberapa banyak ibadahku",
melainkan "seberapa besar manfaatku bagi orang lain". Inilah standar
kemuliaan yang sejati.
Kita
juga belajar bahwa amalan-amalan yang tampak sederhana, seperti memasukkan
kegembiraan di hati saudara kita, ternyata memiliki bobot yang luar biasa di
sisi Allah. Menghilangkan duka, melunasi utang, dan memberi makan orang yang
lapar adalah pilar-pilar utama dari kesalehan sosial.
Dan
yang paling menakjubkan, kita melihat bagaimana Rasulullah ﷺ menempatkan nilai
meluangkan waktu untuk membantu satu orang saudara, nilainya lebih beliau
cintai daripada berdiam diri beribadah di masjidnya yang mulia selama sebulan
penuh. Ini adalah sebuah penegasan bahwa ibadah kita kepada Allah haruslah
berbuah menjadi rahmat bagi sesama manusia.
Maka
dari itu, harapan terbesar setelah kita meninggalkan majelis ini adalah agar
hadits ini tidak hanya berhenti di catatan atau ingatan kita. Harapan kita
adalah agar hadits ini hidup dalam keseharian kita.
Mari
kita mulai dengan yang paling dekat. Mungkin ada tetangga kita yang sedang
sakit dan butuh diantarkan ke dokter. Mungkin ada teman kerja kita yang sedang
murung dan hanya butuh didengarkan keluh kesahnya. Itulah ladang amal kita
untuk "memasukkan kegembiraan".
Saat
kita memiliki sedikit kelapangan rezeki, mari kita ingat saudara-saudara kita
yang mungkin terjerat utang atau kesulitan memenuhi kebutuhan pokoknya. Jangan
menunggu mereka meminta, jadilah tangan yang proaktif dalam "menghilangkan
kesusahan" mereka.
Dan
saat amarah memuncak, ingatlah janji Allah bagi mereka yang mampu menahannya.
Menahan amarah adalah bentuk manfaat, karena kita telah melindungi orang lain
dari keburukan lisan dan perbuatan kita.
Semoga
Allah memberikan kita taufik dan kekuatan untuk tidak hanya menjadi penghafal
hadits ini, tetapi menjadi pengamal sejati dari hadits ini. Semoga setiap
langkah kita keluar dari masjid ini, dihitung sebagai langkah untuk mencari
kebutuhan saudara kita, sehingga Allah kelak akan mengokohkan langkah kita di
atas jembatan Shirath pada hari di mana banyak kaki-kaki yang
tergelincir.
Saya
mohon maaf atas segala kekurangan dan kekhilafan. Apa yang benar datangnya dari
Allah, dan yang salah murni dari keterbatasan ilmu saya.
وَصَلَّى
اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ، وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْـحَمْدُ لِلَّهِ
رَبِّ الْعَالَمِينَ.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ
وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ
إِلَيْكَ