Hadits: Memasukkan Kegembiraan Ke Hati Seorang Muslim

 بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

الْحَمْدُ لِلَّهِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُ

Bapak, Ibu, dan saudara-saudari sekalian yang dirahmati Allah.

Pernahkah kita berhenti sejenak di tengah kesibukan kita dan bertanya pada diri sendiri: "Untuk apa semua ini?" Kita bekerja keras mengejar karier, kita berusaha tekun membangun ibadah pribadi kita—shalat, puasa, tilawah—semua kita lakukan dengan harapan agar menjadi hamba yang lebih baik, hamba yang dicintai oleh Allah. Ini adalah sebuah niat yang mulia, tidak ada yang salah dengannya.

Namun, tanpa kita sadari, ada sebuah bahaya laten yang mengintai di tengah masyarakat modern kita. Sebuah penyakit bernama individualisme. Kita menjadi begitu fokus pada "kesuksesan saya", "kesalehan saya", dan "kebahagiaan saya", hingga terkadang kita lupa untuk menengok ke kanan dan ke kiri. Kita sibuk membangun menara kesalehan kita sendiri, namun kita tidak sadar bahwa di pondasi menara itu, ada tetangga kita yang sedang kelaparan. Kita rajin berpuasa menahan lapar, tapi kita tidak peka pada rintihan teman kita yang terjerat utang dan tidak bisa tidur nyenyak.

Di era media sosial ini, ironisnya kita semakin terhubung secara virtual, namun sering kali semakin terasing secara emosional. Kita bisa melihat ratusan kisah sedih di layar ponsel kita, tapi dengan mudah kita menggesernya dan melupakannya dalam hitungan detik. Kita terjebak dalam sebuah paradoks: kita tahu banyak masalah, tapi kita merasa tidak punya andil untuk menyelesaikannya.

Di sinilah letak urgensi kita berkumpul pada malam hari ini. Kita akan mengkaji sebuah hadits yang bukan sekadar hadits biasa. Ini adalah sebuah hadits yang meruntuhkan egoisme spiritual kita. Sebuah hadits yang memberikan kompas moral dan mendefinisikan ulang apa artinya menjadi hamba yang paling dicintai oleh Allah SWT. Hadits ini akan menjawab pertanyaan mendasar: Di antara triliunan amal baik yang bisa kita lakukan, manakah yang memiliki bobot paling berat di timbangan cinta Allah?

Maka dari itu, mempelajari hadits ini bukan lagi sekadar menambah wawasan, tetapi sebuah kebutuhan mendesak. Ini adalah upaya kita untuk mengkalibrasi ulang niat dan arah gerak kita sebagai seorang muslim. Agar ibadah kita tidak hanya berhenti di atas sajadah, tetapi memancar menjadi manfaat dan rahmat bagi seluruh alam. Mari kita sama-sama buka hati dan pikiran untuk menyerap setiap faedah dari sabda mulia Rasulullah ﷺ, agar kita bisa pulang dari majelis ini dengan pemahaman baru tentang bagaimana cara meraih cinta-Nya yang tertinggi. 


Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah bersabda:

أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ، وَأَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ سُرُورٌ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ، تَكْشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً، أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دَيْنًا، أَوْ تَطْرُدُ عَنْهُ جُوعًا، وَلَأَنْ أَمْشِيَ مَعَ أَخٍ فِي حَاجَةٍ؛ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ -يَعْنِي: مَسْجِدَ الْمَدِينَةِ- شَهْرًا، وَمَنْ كَظَمَ غَيْظَهُ وَلَوْ شَاءَ أَنْ يُمْضِيَهُ أَمْضَاهُ؛ مَلَأَ اللَّهُ قَلْبَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رِضًا، وَمَنْ مَشَى مَعَ أَخِيهِ فِي حَاجَةٍ حَتَّى يَقْضِيَهَا لَهُ؛ ثَبَّتَ اللَّهُ قَدَمَيْهِ يَوْمَ تَزُولُ الْأَقْدَامُ

Manusia yang paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain. Amalan yang paling dicintai Allah ‘azza wa jalla adalah kegembiraan yang engkau masukkan ke hati seorang muslim, atau engkau hilangkan salah satu kesusahannya, atau engkau melunasi utangnya, atau engkau hilangkan kelaparannya. Sungguh aku berjalan bersama seorang saudara untuk menunaikan kebutuhannya, lebih aku cintai daripada aku beriktikaf di masjid ini—yaitu Masjid Madinah—selama sebulan. Barangsiapa menahan amarahnya padahal ia mampu meluapkannya, maka Allah akan memenuhi hatinya dengan keridhaan pada hari kiamat. Dan barangsiapa berjalan bersama saudaranya untuk menunaikan suatu kebutuhan hingga selesai, maka Allah akan mengokohkan kedua telapak kakinya pada hari ketika banyak telapak kaki tergelincir.

HR. At-Thabrani dalam Al-Mu'jam Al-Ausath (6026), Abu Asy-Syaikh dalam At-Taubikh wat-Tanbih (97), dan Qawam As-Sunnah Al-Ashbahani sebagaimana dalam At-Targhib wat-Tarhib (3/265).

.


Arti dan Penjelasan Per Perkataan


أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

Manusia yang paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.

Kalimat ini menetapkan sebuah kaidah emas dalam etika sosial Islam, yaitu nilai seorang hamba di sisi Allah sangat berkaitan erat dengan manfaat yang ia berikan kepada sesama.

Perkataan "paling dicintai Allah" menunjukkan bahwa ganjaran tertinggi, yaitu cinta dari Sang Pencipta, tidak hanya diraih melalui ibadah ritual, tetapi juga melalui kontribusi positif dalam kehidupan sosial.

Konsep "manfaat" di sini bersifat sangat luas, mencakup bantuan materi, tenaga, pikiran, ilmu, nasihat, hingga sekadar senyuman tulus yang dapat meringankan beban orang lain.


وَأَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ سُرُورٌ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ

Dan amalan yang paling dicintai Allah ‘azza wa jalla adalah kegembiraan yang engkau masukkan ke hati seorang muslim.

Perkataan ini mengalihkan fokus dari pelaku ("manusia") ke perbuatan ("amalan"), dan menempatkan "memberi kegembiraan" sebagai salah satu puncaknya.

Istilah "surur" (kegembiraan) memiliki dimensi emosional dan psikologis yang mendalam, menandakan bahwa Islam sangat memperhatikan kesehatan mental dan kebahagiaan individu.

Kata kerja "tudkhiluhu" (engkau masukkan) menyiratkan adanya usaha yang proaktif dan disengaja untuk membahagiakan orang lain, bukan sekadar menunggu kesempatan atau melakukannya secara pasif.


تَكْشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً، أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دَيْنًا، أَوْ تَطْرُدُ عَنْهُ جُوعًا

Engkau hilangkan salah satu kesusahannya, atau engkau lunasi utangnya, atau engkau hilangkan kelaparannya.

Ini adalah contoh-contoh konkret dari cara memasukkan kegembiraan ke dalam hati seseorang, yang menyentuh tiga aspek fundamental dalam kehidupan manusia.

"Kurbah" adalah penderitaan atau kesusahan yang berat, bisa bersifat psikologis, keluarga, atau pekerjaan, sehingga menghilangkannya adalah bentuk pertolongan yang sangat melegakan.

"Melunasi utang" secara spesifik disebutkan karena utang adalah beban yang dapat merenggut ketenangan seseorang baik di dunia maupun di akhirat.

"Menghilangkan kelaparan" adalah pemenuhan kebutuhan paling dasar dan mendesak, menunjukkan bahwa kepedulian Islam dimulai dari hal-hal yang paling esensial bagi kelangsungan hidup.


وَلَأَنْ أَمْشِيَ مَعَ أَخٍ فِي حَاجَةٍ؛ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ شَهْرًا

Sungguh aku berjalan bersama seorang saudara untuk (menunaikan) kebutuhannya, lebih aku cintai daripada aku beriktikaf di masjid ini selama sebulan.

Ini adalah sebuah perbandingan yang sangat kuat untuk menekankan betapa tingginya nilai ibadah sosial di dalam Islam.

Rasulullah membandingkan aksi membantu orang lain dengan i'tikaf (berdiam diri di masjid untuk beribadah) di Masjid Nabawi—salah satu tempat paling mulia di muka bumi—selama sebulan penuh, namun menyatakan bahwa membantu saudara lebih beliau cintai.

Hal ini mengajarkan keseimbangan antara kesalehan pribadi (hablun minallah) dan kesalehan sosial (hablun minannas), di mana keduanya harus berjalan seimbang dan bahkan ibadah sosial dalam konteks ini memiliki keutamaan yang luar biasa.


وَمَنْ كَظَمَ غَيْظَهُ وَلَوْ شَاءَ أَنْ يُمْضِيَهُ أَمْضَاهُ؛ مَلَأَ اللَّهُ قَلْبَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رِضًا

Dan barangsiapa menahan amarahnya padahal ia mampu meluapkannya, maka Allah akan memenuhi hatinya dengan keridhaan pada hari kiamat.

Perkataan ini memperluas makna "bermanfaat bagi orang lain" dengan memasukkan aspek menahan diri dari berbuat mudarat atau menyakiti.

Menahan amarah, terutama saat memiliki kekuasaan atau kemampuan untuk melampiaskannya, adalah bentuk kekuatan jiwa yang sejati dan merupakan cara melindungi orang lain dari lisan dan perbuatan buruk kita.

Ganjaran yang disebutkan—"Allah akan memenuhi hatinya dengan keridhaan"—adalah balasan yang setimpal, di mana ketenangan batin yang ia berikan kepada orang lain dengan menahan amarah akan dibalas dengan kepuasan dan keridaan yang memenuhi hatinya di hari kiamat.


وَمَنْ مَشَى مَعَ أَخِيهِ فِي حَاجَةٍ حَتَّى يَقْضِيَهَا لَهُ؛ ثَبَّتَ اللَّهُ قَدَمَيْهِ يَوْمَ تَزُولُ الْأَقْدَامُ

Dan barangsiapa berjalan bersama saudaranya untuk (menunaikan) suatu kebutuhan hingga selesai, maka Allah akan mengokohkan kedua telapak kakinya pada hari ketika banyak telapak kaki tergelincir.

Kalimat penutup ini menegaskan kembali pentingnya membantu sesama, namun dengan menambahkan penekanan pada kata "hatta yaqdhiyaha lahu" (hingga selesai menunaikannya).

Ini mengajarkan tentang totalitas dan komitmen dalam menolong, tidak setengah-setengah, melainkan mengusahakannya sampai tuntas dan masalah saudaranya benar-benar terselesaikan.

Ganjaran yang dijanjikan sangatlah relevan secara metaforis: sebagaimana ia telah menjadi penopang dan "pengokoh" bagi saudaranya di dunia, maka Allah akan mengokohkan kakinya di atas jembatan (Shirath) pada hari kiamat, yaitu hari di mana banyak orang akan tergelincir karena beratnya pertanggungjawaban.


Syarah Hadits


Para sahabat radhiyallahu 'anhum, karena semangat mereka dalam ketaatan dan dalam hal-hal yang mendekatkan diri pada keridaan Allah 'azza wa jalla, sering kali bertanya kepada Nabi tentang amalan-amalan yang paling utama dan paling mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala. Jawaban Nabi pun berbeda-beda sesuai dengan perbedaan orang yang bertanya dan keadaan mereka, serta apa yang paling bermanfaat bagi masing-masing dari mereka.

Dalam hadits ini, Nabi bersabda:

أَحَبُّ الناسِ إلى اللهِ أنفَعُهم للناسِ

(Artinya: Manusia yang paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.)

Artinya, mereka adalah orang yang paling banyak memberikan manfaat kepada orang lain. Manfaat ini tidak hanya terbatas pada manfaat materi saja, tetapi meluas mencakup manfaat berupa ilmu, pendapat, nasihat, masukan, kedudukan (jabatan), kekuasaan, dan sejenisnya. Semua ini adalah bentuk-bentuk manfaat yang membuat pelakunya mendapatkan kemuliaan berupa cinta Allah kepadanya.

وأَحَبُّ الأعمالِ إلى اللهِ سُرورٌ يُدخِلُه على مُسلِمٍ

(Artinya: Dan amalan yang paling dicintai Allah adalah kegembiraan yang engkau masukkan ke hati seorang muslim.)

Artinya, amalan yang paling dicintai adalah kebahagiaan yang engkau masukkan ke dalam hati seorang muslim. Hal ini berbeda-beda tergantung keadaan dan individu. Kegembiraan itu bisa terwujud dengan saudaranya yang menanyakan kabarnya, mengunjunginya, memberinya hadiah, atau dengan hal-hal lainnya. Prinsipnya adalah memasukkan kegembiraan kepadanya dengan cara apa pun yang engkau mampu.

أو يَكشِفُ عنه كُربَةً

(Artinya: atau engkau hilangkan salah satu kesusahannya.)

Kurbah adalah kesulitan besar yang menimpa seseorang hingga membuatnya cemas dan bersedih. Barangsiapa mampu menghilangkan kesusahan saudaranya dan mengangkat kesedihannya, maka ia telah diberi taufik untuk melakukan amalan terbaik.

أو يَقضي عنه دَينًا

(Artinya: atau engkau lunasi utangnya.)

Artinya, engkau membayarkan utang untuk orang yang berutang, khususnya bagi ia yang tidak mampu melunasi utangnya.

أو تطرُدُ عنه جُوعًا

(Artinya: atau engkau hilangkan kelaparannya.)

Artinya, dengan memberinya makan atau memberikan sesuatu yang bisa menggantikan makanan.

ولِأَنْ أَمشِيَ معَ أخٍ لي في حاجَةٍ أحَبُّ إليَّ مِن أنْ أَعتكِفَ في هذا المسجِدِ، يعني: مسجِدَ المدينَةِ شَهرًا

(Artinya: Sungguh aku berjalan bersama seorang saudara untuk (menunaikan) kebutuhannya, lebih aku cintai daripada aku beriktikaf di masjid ini—yaitu Masjid Madinah—selama sebulan.)

Ucapan beliau ini mengisyaratkan keutamaan berjalan bersama kaum muslimin untuk memenuhi kebutuhan mereka dan memudahkan kesulitan mereka, hingga keutamaannya melampaui i'tikaf di masjid Nabi . Hal ini tidak lain menunjukkan betapa besarnya keutamaan berusaha di antara kaum muslimin untuk menunaikan hajat mereka.

ومَن كَفَّ غَضَبَه سَتَرَ اللهُ عَورَتَه

(Artinya: Dan barangsiapa menahan marahnya, niscaya Allah akan menutupi auratnya (kesalahannya).)

Di sini terdapat petunjuk tentang apa yang harus dilakukan seorang muslim ketika marah, yaitu menahan amarah dan menahan gejolaknya. Sesungguhnya, akibat dari perbuatan itu sangat baik, yaitu Allah 'azza wa jalla akan menutupi kesalahannya.

ومَن كَظَمَ غيظَه، ولو شاءَ أنْ يُمضِيَه أمضاهُ مَلَأَ اللهُ قلْبَه رَجاءً يومَ القيامَةِ

(Artinya: Dan barangsiapa menahan amarahnya, padahal ia mampu meluapkannya, niscaya Allah akan memenuhi hatinya dengan harapan pada hari kiamat.)

Ini adalah keutamaan bagi orang yang menahan amarahnya karena Allah, padahal ia mampu melampiaskannya, tetapi ia menahannya karena Allah. Karena perkara ini berat bagi jiwa, maka keutamaannya pun besar.

ومَن مَشى معَ أخيه في حاجَةٍ حتى تتهيَّأَ له

(Artinya: Dan barangsiapa berjalan bersama saudaranya untuk (menunaikan) suatu kebutuhan hingga kebutuhan itu tuntas baginya.)

Artinya, hingga kebutuhannya terpenuhi untuknya.

أَثْبَتَ اللهُ قَدَمَه يوم تَزولُ الأقدامُ

(Artinya: Niscaya Allah akan mengokohkan kedua telapak kakinya pada hari ketika banyak telapak kaki tergelincir.)

Artinya, Allah akan mengokohkan kakinya di atas Shirath pada hari kiamat.

Kemudian Nabi bersabda:

وإنَّ سُوءَ الخُلُقِ يُفسِدُ العَمَلَ، كما يُفسِدُ الخَلُّ العَسَلَ

(Artinya: Dan sesungguhnya akhlak yang buruk dapat merusak amalan, sebagaimana cuka merusak madu.)

Nabi menutup dengan ungkapan dan bimbingan ini setelah beliau membimbing penanya tentang amalan yang paling dicintai Allah Ta'ala. Seolah-olah beliau ingin mengatakan kepadanya: "Jika engkau melakukan amalan-amalan saleh ini, maka jangan sampai engkau kehilangan akhlak yang baik; karena akhlak yang buruk dapat merusak amalan saleh dengan kerusakan yang parah, sebagaimana madu menjadi rusak jika dituangi cuka." Maka dari itu, engkau harus menjauhi akhlak yang buruk, karena akhlak buruk dapat menghapus amalan dan menyia-nyiakan pahala.

Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk berakhlak mulia dan peringatan terhadap akhlak yang buruk.

Maraji: https://dorar.net/hadith/sharh/113769


Pelajaran dari Hadits ini


1. Standar Kemuliaan adalah Manfaat Sosial

Pelajaran utama yang membuka hadits ini adalah sebuah definisi ulang tentang kemuliaan seorang hamba. Islam mengajarkan bahwa ukuran cinta Allah kepada seseorang tidak hanya dilihat dari seberapa banyak ia shalat atau puasa, tetapi seberapa besar dampak positif yang ia berikan kepada orang-orang di sekitarnya.

Perkataan pertama, أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ (Artinya: Manusia yang paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain), menjadi kaidah emas dalam kehidupan sosial.

Kata "manusia" (النَّاسِ) bersifat umum, menunjukkan bahwa manfaat ini tidak terbatas pada kalangan tertentu saja. Kemanfaatan ini bisa berupa ilmu yang diajarkan, harta yang disedekahkan, tenaga yang disumbangkan, atau bahkan nasihat tulus yang memperbaiki keadaan seseorang.

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

(Artinya: Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.) (QS. Al-Ma'idah: 2)


2. Prioritas Amal: Membahagiakan Hati Sesama

Setelah menetapkan standar umum, hadits ini merinci amalan spesifik yang sangat dicintai Allah. Yang menempati urutan pertama bukanlah amalan ritual, melainkan amalan yang berdimensi emosional dan psikologis.

Perkataan وَأَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ سُرُورٌ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ (Artinya: Dan amalan yang paling dicintai Allah ‘azza wa jalla adalah kegembiraan yang engkau masukkan ke hati seorang muslim) menunjukkan betapa Islam sangat peduli pada kesehatan mental dan kebahagiaan umatnya. Memberi kebahagiaan adalah sebuah tindakan proaktif; ia adalah usaha sengaja untuk mengangkat suasana hati seseorang, memberinya harapan, dan membuatnya merasa dihargai. Ini bisa diwujudkan melalui ucapan yang baik, hadiah, candaan yang sopan, atau sekadar senyuman yang tulus.

تَبَسُّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ

(Artinya: Senyummu di hadapan saudaramu adalah sedekah bagimu.) (HR. Tirmidzi)


3. Bentuk Bantuan yang Paling Nyata

Hadits ini tidak membiarkan konsep "membahagiakan" menjadi abstrak, tetapi memberikan tiga contoh konkret yang menyentuh akar permasalahan hidup manusia.

Perkataan تَكْشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً، أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دَيْنًا، أَوْ تَطْرُدُ عَنْهُ جُوعًا (Artinya: Engkau hilangkan salah satu kesusahannya, atau engkau lunasi utangnya, atau engkau hilangkan kelaparannya) adalah prioritas dalam membantu. "Menghilangkan kesusahan" (kurbah) mencakup masalah apa pun yang menyesakkan dada, baik itu masalah keluarga, pekerjaan, atau psikologis. "Melunasi utang" disebut secara khusus karena utang adalah beban berat yang bisa merenggut ketenangan di dunia dan akhirat. Terakhir, "menghilangkan kelaparan" adalah pemenuhan hak dasar untuk hidup, menunjukkan bahwa kepedulian Islam dimulai dari hal-hal yang paling esensial.


4. Nilai Ibadah Sosial yang Luar Biasa

Untuk menunjukkan betapa tingginya kedudukan menolong sesama, Rasulullah membuat perbandingan yang sangat kuat.

Melalui perkataan وَلَأَنْ أَمْشِيَ مَعَ أَخٍ فِي حَاجَةٍ؛ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ شَهْرًا (Artinya: Sungguh aku berjalan bersama seorang saudara untuk (menunaikan) kebutuhannya, lebih aku cintai daripada aku beriktikaf di masjid ini selama sebulan), beliau mengajarkan bahwa ibadah sosial yang berdampak langsung pada kehidupan orang lain memiliki nilai yang sangat istimewa. I'tikaf di Masjid Nabawi selama sebulan penuh adalah sebuah ibadah personal yang agung, namun kesediaan untuk keluar dari zona nyaman ibadah pribadi demi menyelesaikan urusan seorang saudara ternyata lebih dicintai oleh Rasulullah . Ini adalah pelajaran tentang keseimbangan antara kesalehan individu dan kesalehan sosial.


5. Mencegah Keburukan adalah Sebuah Kebaikan

Manfaat bagi orang lain tidak hanya datang dari tindakan memberi, tetapi juga dari tindakan menahan diri dari berbuat buruk.

Ini dijelaskan dalam perkataan وَمَنْ كَظَمَ غَيْظَهُ وَلَوْ شَاءَ أَنْ يُمْضِيَهُ أَمْضَاهُ؛ مَلَأَ اللَّهُ قَلْبَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رِضًا (Artinya: Dan barangsiapa menahan amarahnya padahal ia mampu meluapkannya, maka Allah akan memenuhi hatinya dengan keridhaan pada hari kiamat). Menahan amarah saat kita punya kekuatan dan kesempatan untuk melampiaskannya adalah sebuah bentuk manfaat yang besar, karena kita telah melindungi orang lain dari lisan dan tangan kita. Balasannya pun setimpal: ketenangan yang kita berikan kepada orang lain dengan menahan amarah, akan dibalas oleh Allah dengan perasaan ridha dan puas yang memenuhi hati kita di hari kiamat.


6. Pentingnya Komitmen dalam Menolong

Pelajaran terakhir dari hadits ini adalah tentang pentingnya totalitas dan komitmen. Perkataan

 وَمَنْ مَشَى مَعَ أَخِيهِ فِي حَاجَةٍ حَتَّى يَقْضِيَهَا لَهُ؛ ثَبَّتَ اللَّهُ قَدَمَيْهِ يَوْمَ تَزُولُ الْأَقْدَامُ 

(Artinya: Dan barangsiapa berjalan bersama saudaranya untuk (menunaikan) suatu kebutuhan hingga selesai, maka Allah akan mengokohkan kedua telapak kakinya pada hari ketika banyak telapak kaki tergelincir) memberi penekanan pada frasa "hingga selesai". Ini mengajarkan kita untuk tidak membantu setengah-setengah. Pertolongan yang tulus adalah yang diupayakan hingga masalahnya benar-benar tuntas. Balasannya pun sangat relevan: karena ia telah menjadi penopang dan pengokoh bagi saudaranya di dunia, Allah akan mengokohkan kakinya di atas jembatan Shirath pada hari ketika banyak kaki tergelincir.


7. Kebaikan yang Melintasi Batas

Meskipun beberapa perkataan menyebut "muslim" atau "saudara", pelajaran pembuka hadits ini menggunakan kata "manusia" (an-naas), yang memberikan sinyal universalitas. Prinsip menjadi bermanfaat adalah untuk semua orang, tanpa memandang suku, ras, atau agama. Menebar manfaat kepada seluruh umat manusia sejalan dengan misi utama diutusnya Nabi Muhammad . Sikap membantu dan berbuat baik kepada siapa pun adalah cerminan dari akhlak Islam yang agung dan menjadi bukti bahwa Islam adalah rahmat bagi seluruh alam.

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

(Artinya: Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.) (QS. Al-Anbiya: 107)


8. Balasan yang Selaras dengan Perbuatan

Hadits ini secara indah menunjukkan bagaimana Allah memberikan balasan yang sesuai (jaza' min jinsil 'amal). Siapa yang menahan amarah dan memberi ketenangan, hatinya akan dipenuhi ketenangan (ridha) di akhirat. Siapa yang menjadi penopang bagi saudaranya hingga urusannya selesai, maka kakinya akan ditopang oleh Allah saat semua orang butuh penopang. Ini mengajarkan bahwa setiap kebaikan yang kita lakukan, sekecil apa pun, akan kembali kepada kita dalam bentuk balasan yang paling kita butuhkan di hari kiamat kelak.

Secara keseluruhan, hadits ini mengajarkan bahwa puncak kecintaan Allah diraih melalui manfaat sosial yang nyata. Ia mendorong kita untuk aktif membawa kebahagiaan, menyelesaikan masalah mendasar seperti utang dan lapar, serta menolong dengan tuntas. Nilai membantu sesama bahkan bisa melampaui ibadah ritual khusus. Dengan mengendalikan diri dari menyakiti dan berkomitmen penuh pada kebaikan, seorang hamba tidak hanya mengangkat derajat saudaranya, tetapi juga menjamin keridaan dan pertolongan Allah bagi dirinya di hari akhir kelak.


Penutup Kajian


Bapak, Ibu, dan saudara-saudari sekalian, 

Kita telah sama-sama menyelami lautan hikmah dari sepotong sabda Rasulullah yang begitu agung pada malam hari ini. Jika kita harus menarik satu benang merah dari seluruh pelajaran yang kita dapatkan, maka benang merah itu adalah: Islam tidak menginginkan kita menjadi muslim yang saleh sendirian.

Hadits ini telah memberikan kita sebuah checklist cinta dari Allah. Ia mengajarkan kita bahwa:

Faedah terbesar dari hadits ini adalah pergeseran paradigma. Ukuran kesuksesan kita di mata Allah bukan lagi sekadar "seberapa banyak ibadahku", melainkan "seberapa besar manfaatku bagi orang lain". Inilah standar kemuliaan yang sejati.

Kita juga belajar bahwa amalan-amalan yang tampak sederhana, seperti memasukkan kegembiraan di hati saudara kita, ternyata memiliki bobot yang luar biasa di sisi Allah. Menghilangkan duka, melunasi utang, dan memberi makan orang yang lapar adalah pilar-pilar utama dari kesalehan sosial.

Dan yang paling menakjubkan, kita melihat bagaimana Rasulullah menempatkan nilai meluangkan waktu untuk membantu satu orang saudara, nilainya lebih beliau cintai daripada berdiam diri beribadah di masjidnya yang mulia selama sebulan penuh. Ini adalah sebuah penegasan bahwa ibadah kita kepada Allah haruslah berbuah menjadi rahmat bagi sesama manusia.

Maka dari itu, harapan terbesar setelah kita meninggalkan majelis ini adalah agar hadits ini tidak hanya berhenti di catatan atau ingatan kita. Harapan kita adalah agar hadits ini hidup dalam keseharian kita.

Mari kita mulai dengan yang paling dekat. Mungkin ada tetangga kita yang sedang sakit dan butuh diantarkan ke dokter. Mungkin ada teman kerja kita yang sedang murung dan hanya butuh didengarkan keluh kesahnya. Itulah ladang amal kita untuk "memasukkan kegembiraan".

Saat kita memiliki sedikit kelapangan rezeki, mari kita ingat saudara-saudara kita yang mungkin terjerat utang atau kesulitan memenuhi kebutuhan pokoknya. Jangan menunggu mereka meminta, jadilah tangan yang proaktif dalam "menghilangkan kesusahan" mereka.

Dan saat amarah memuncak, ingatlah janji Allah bagi mereka yang mampu menahannya. Menahan amarah adalah bentuk manfaat, karena kita telah melindungi orang lain dari keburukan lisan dan perbuatan kita.

Semoga Allah memberikan kita taufik dan kekuatan untuk tidak hanya menjadi penghafal hadits ini, tetapi menjadi pengamal sejati dari hadits ini. Semoga setiap langkah kita keluar dari masjid ini, dihitung sebagai langkah untuk mencari kebutuhan saudara kita, sehingga Allah kelak akan mengokohkan langkah kita di atas jembatan Shirath pada hari di mana banyak kaki-kaki yang tergelincir.

Saya mohon maaf atas segala kekurangan dan kekhilafan. Apa yang benar datangnya dari Allah, dan yang salah murni dari keterbatasan ilmu saya. 

 

وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ، وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْـحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

 

Tampilkan Kajian Menurut Kata Kunci