Hadits: Pahala Jariyah Karena Sunnah dan Dosa Jariyah Karena Bid'ah
بِسْمِ اللَّهِ
الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلَاةُ
وَالسَّلَامُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ. أَمَّا بَعْدُ.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah…
Di zaman ini, kita hidup dalam masyarakat yang serba cepat berubah. Nilai-nilai yang dulu dijaga dengan kuat, perlahan-lahan mulai luntur. Banyak sunnah Nabi ﷺ yang ditinggalkan, entah karena dianggap kuno, tidak relevan, atau bahkan tidak dikenal sama sekali. Sebaliknya, banyak kebiasaan dan gaya hidup baru yang masuk dan diikuti oleh masyarakat—tanpa disaring apakah hal tersebut sesuai dengan syariat atau justru menyelisihi ajaran Islam.
Tak jarang, seseorang menyebarkan kebiasaan yang menyelisihi sunnah, bahkan dianggap sebagai ibadah, padahal tidak ada tuntunannya dari Nabi ﷺ. Fenomena ini bukan hanya sekadar masalah pribadi, tetapi berdampak luas, karena perbuatan yang dicontohkan akan diikuti oleh banyak orang. Dan setiap pengikut itu, baik dalam sunnah ataupun bid’ah, akan memberikan pahala atau dosa yang terus mengalir kepada si pelopor.
Di sinilah urgensi kita mempelajari hadits yang agung ini. Sebuah hadits yang memberikan harapan besar bagi siapa saja yang berjuang menghidupkan sunnah Rasulullah ﷺ, sekaligus menjadi peringatan keras bagi siapa pun yang memulai keburukan dan penyimpangan dalam agama ini.
Hadits yang akan kita kaji ini bukan sekadar informasi, tapi arahan hidup. Ia mengajarkan kepada kita pentingnya menjadi pelopor kebaikan, penyambung cahaya sunnah, dan sekaligus menjadi benteng dari penyimpangan dan kebid’ahan.
Maka dari itu, marilah kita kaji hadits ini dengan penuh perhatian, semangat, dan keinginan untuk mengamalkan serta menyebarkannya—agar kita termasuk dalam barisan para pewaris Nabi yang menyebarkan petunjuk, bukan penyimpangan.
Hadits 1:
Dari
Bilal bin Harits radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: sesungguhnya Rasulullah
shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِي قَدْ أُمِيتَتْ بَعْدِي، فَإِنَّ لَهُ
مِنَ الْأَجْرِ مِثْلَ أُجُورِ مَنْ عَمِلَ بِهَا، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ
أُجُورِهِمْ شَيْئًا، وَمَنْ ابْتَدَعَ بِدْعَةً ضَلَالَةً لَا يَرْضَاهَا اللَّهُ
وَرَسُولُهُ، كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا، لَا
يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا.
Diriwayatkan
oleh al-Baghawi dalam ((Syarah as-Sunnah)) (110)
Hadits 2:
Dari
Amr bin Auf al-Muzani radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: sesungguhnya Rasulullah
shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِي، فَعَمِلَ بِهَا النَّاسُ، كَانَ لَهُ
مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا، لَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا، وَمَنْ
ابْتَدَعَ بِدْعَةً، فَعَمِلَ بِهَا، كَانَ عَلَيْهِ أَوْزَارُ مَنْ عَمِلَ بِهَا،
لَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِ مَنْ عَمِلَ بِهَا شَيْئًا.
Artinya:
Barang
siapa menghidupkan sebuah sunah dari sunnahku, lalu diamalkan oleh manusia,
maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi
pahala mereka sedikit pun. Dan barang siapa membuat bid'ah, lalu diamalkan,
maka baginya dosa seperti dosa orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi
dosa-dosa orang yang mengamalkannya sedikit pun.
Arti dan Penjelasan Per Kalimat
مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِي
Siapa yang menghidupkan satu sunnah dari sunnah-sunnahku
Perkataan ini menunjukkan besarnya keutamaan orang yang membangkitkan kembali amalan Nabi ﷺ yang telah ditinggalkan atau dilupakan manusia.
Menghidupkan sunnah tidak hanya berarti melakukannya, tetapi juga menyebarkannya dan mengajarkannya agar dikenal kembali.
Sunnah yang dimaksud bisa dalam bentuk ucapan, perbuatan, ataupun ketetapan Nabi ﷺ yang berlandaskan dalil.
Perkataan ini mengisyaratkan pentingnya peran individu dalam menjaga kemurnian Islam dengan tindakan nyata.
Dalam konteks masyarakat hari ini, banyak sunnah ditinggalkan karena dianggap tidak populer atau tidak relevan, padahal ia adalah jalan keselamatan.
فَعَمِلَ بِهَا النَّاسُ
Lalu diamalkan oleh manusia
Perkataan ini menekankan efek sosial dari menghidupkan sunnah.
Ketika orang lain mengikuti sebuah amalan karena perantara kita, maka kita termasuk dalam penyebab kebaikan itu tersebar.
Hal ini mengajarkan bahwa setiap perbuatan kita memiliki dampak yang bisa menjalar ke orang lain, baik atau buruk.
Penting bagi seorang Muslim untuk menjadi teladan yang memotivasi orang di sekitarnya dalam ketaatan.
Jika amalan itu menjadi budaya baik di lingkungan, maka pelopor kebaikannya akan senantiasa mendapatkan bagian pahalanya.
كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا
Maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengamalkannya
Perkataan ini menunjukkan keluasan rahmat Allah dan kemurahan-Nya dalam menggandakan pahala.
Orang yang menjadi sebab kebaikan akan mendapatkan pahala yang sama seperti orang yang melakukannya, tanpa mengurangi pahala pelaku aslinya sedikit pun.
Ini adalah motivasi besar bagi siapa saja yang ingin amalnya terus mengalir meski sudah tiada.
Pahala ini bersifat terus-menerus selama sunnah itu terus diamalkan oleh orang lain.
Inilah yang disebut sebagai salah satu bentuk amal jariyah yang tidak terputus.
لَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا
Tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun
Perkataan ini menegaskan bahwa sistem pahala dalam Islam tidak bersifat kompetitif, tetapi kolektif dan saling menguntungkan.
Setiap orang mendapatkan bagian pahalanya secara utuh, baik pelaku pertama maupun pengikutnya.
Ini menunjukkan keadilan dan kesempurnaan sistem balasan dari Allah.
Tidak ada rasa rugi atau iri dalam timbangan amal, karena semua yang ikhlas akan dihitung dengan sempurna.
Hal ini juga menjadi penenang bagi para pendakwah dan pengajar agama bahwa mereka tidak mengambil bagian dari pahala murid-muridnya, melainkan sama-sama mendapat limpahan pahala.
وَمَنْ ابْتَدَعَ بِدْعَةً
Dan siapa yang mengada-adakan bid’ah
Perkataan ini mengandung peringatan keras terhadap inovasi dalam agama yang tidak memiliki dasar syar’i.
Bid’ah yang dimaksud adalah dalam perkara ibadah, bukan dalam urusan duniawi atau administratif yang tidak bertentangan dengan syariat.
Mengada-adakan bid’ah berarti menciptakan bentuk ibadah yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi ﷺ atau para sahabat.
Ini merupakan bentuk penyimpangan yang bisa menyesatkan diri sendiri dan orang lain.
Perkataan ini menunjukkan betapa seriusnya akibat dari sebuah inovasi dalam agama, walau pelakunya mungkin mengira sedang melakukan kebaikan.
فَعَمِلَ بِهَا
Lalu diamalkan (oleh manusia)
Perkataan ini menegaskan dampak sosial dari penyimpangan dalam agama.
Ketika suatu bid’ah tersebar dan diikuti, pelopornya menanggung akibat dari pengaruh buruk yang dia timbulkan.
Ini menunjukkan bahwa tanggung jawab seorang Muslim tidak hanya berhenti pada dirinya, tetapi juga pada dampak dari perbuatannya terhadap orang lain.
Setiap bid’ah yang ditiru akan menambah beban dosa bagi si pencetus.
Inilah bahaya besar menjadi pelopor dalam hal-hal yang menyelisihi syariat.
كَانَ عَلَيْهِ أَوْزَارُ مَنْ عَمِلَ بِهَا
Maka atasnya dosa seperti dosa orang yang mengamalkannya
Perkataan ini merupakan kebalikan dari pahala bagi pelopor kebaikan, yaitu dosa bagi pelopor keburukan.
Orang yang memulai bid’ah tidak hanya menanggung dosanya sendiri, tapi juga dosa orang-orang yang mengikutinya.
Hal ini mengajarkan pentingnya tatsabbut (kehati-hatian) dalam urusan agama dan tidak gegabah dalam membuat atau mengikuti amalan baru.
Setiap pengaruh buruk yang dihasilkan dari bid’ah akan menambah beban dosa pelakunya.
Inilah bentuk kezaliman terhadap agama dan umat, karena menyebarkan kesesatan atas nama ibadah.
لَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِ مَنْ عَمِلَ بِهَا شَيْئًا
Tanpa mengurangi dosa orang yang mengamalkannya sedikit pun
Perkataan ini menegaskan bahwa keadilan Allah tetap terjaga—setiap pelaku dosa mendapat balasannya, tidak peduli siapa yang menjadi penyebab awalnya.
Pelaku bid’ah dan pengikutnya sama-sama menanggung dosanya masing-masing secara penuh.
Tidak ada istilah “berbagi dosa” dengan mengurangi tanggung jawab orang lain, karena setiap orang menanggung akibat perbuatannya sendiri.
Ini menunjukkan bahwa dosa dalam Islam tidak bersifat kolektif untuk meringankan, tetapi kolektif untuk menegaskan tanggung jawab ganda.
Oleh sebab itu, setiap kita harus waspada agar tidak menjadi sumber kesesatan yang terus diwariskan dari generasi ke generasi.
Syarah Hadits
قال اللهُ تعالى:
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
{مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ
اللَّهَ}
Barang siapa taat kepada Rasul, maka sungguh ia telah taat kepada Allah.
[النساء: 80]
[An-Nisa: 80]
فجعَلَ اللهُ سُبحانَه
وتعالى طاعةَ النَّبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ مِن لَوازِمِ طاعتِه سُبحانَه
Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan ketaatan kepada Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam sebagai bagian dari ketaatan kepada-Nya.
والسُّنَّةُ
النَّبويَّةُ مع القُرآنِ الكريمِ يُمَثَّلانِ المصدرَ الأوَّلَ والثَّانيَ
للتَّشريعِ الإسلاميِّ
Dan sunnah Nabi bersama Al-Qur'an Al-Karim merupakan dua sumber pertama dan
kedua dalam hukum Islam.
وعلى كلِّ مُسلمٍ أنْ
يَتَّبِعَ ما جاء فيهما مِن الأوامِرِ والنَّواهي
Dan setiap Muslim wajib mengikuti apa yang terkandung di dalamnya berupa
perintah dan larangan.
وقد رغَّب النَّبيُّ
صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ في اتِّباعِ سُنَّتِه وبيَّن أجْرَ ذلك
Dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menganjurkan untuk mengikuti sunnahnya
dan menjelaskan pahala dari hal tersebut.
وحذَّرَ مِن ترْكِ
سُنَّتِه واتِّباعِ البِدَعِ
Dan beliau memperingatkan untuk tidak meninggalkan sunnahnya dan mengikuti
bid'ah.
كما في هذا الحديثِ
Seperti dalam hadis ini.
حيث يقولُ رسولُ اللهِ
صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ قال:
Dimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَن أحيا سُنَّةً مِن
سُنَّتي، فعمِلَ بها النَّاسُ، كان له مثْلُ أجْرِ مَن عمِلَ بها، لا ينقُصُ مِن
أُجورِهم شيئًا
Barang siapa menghidupkan sunnah dari sunnahku, lalu diamalkan oleh
orang-orang, maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengamalkannya,
tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.
أي:
Yaitu:
يُعْطيه اللهُ أجرًا
مُساويًا لِأُجورِ كلِّ مَن عمِلَ بها مِن النَّاسِ
Allah memberikan kepadanya pahala yang setara dengan pahala setiap orang yang
mengamalkan sunnah tersebut.
والمُرادُ بالسُّنَّةِ
هنا:
Yang dimaksud dengan sunnah di sini adalah:
ما شَرَعَه رسولُ اللهِ
صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ مِن الأحكامِ
Apa yang telah disyariatkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
berupa hukum-hukum.
وهي قد تكونُ فرضًا؛
كزكاةِ الفِطْرِ، أو غيرَ فرضٍ، كقِيامِ اللَّيلِ، وصيامِ النوافِل ونحوِ ذلك
Yang bisa berupa kewajiban, seperti zakat fitrah, atau bukan kewajiban, seperti
shalat malam, puasa sunnah, dan sebagainya.
وإحياؤُها:
Dan menghidupkannya adalah:
أنْ يعمَلَ بها،
ويُحَرِّضَ النَّاسَ ويحُثَّهم على إقامتِها
Untuk mengamalkannya, mendorong orang-orang untuk mengamalkannya, dan mengajak
mereka untuk melakukannya.
ويدخُلُ في نِطاقِ
الإحياءِ أيضًا:
Dan termasuk dalam konteks menghidupkan sunnah juga adalah:
تعليمُها للنَّاسِ،
ونشْرُها بينهم قولًا وفعلًا، والتَّحذيرُ مِن مُخالفتِها
Memberikan pengajaran tentangnya kepada orang-orang, menyebarkannya di antara
mereka dengan perkataan dan perbuatan, serta memperingatkan dari
menyelisihinya.
ثُمَّ قال صلَّى الله
عليه وسلَّم:
Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
ومَن ابتدَعَ بِدعةً،
فعمِلَ بها، كان عليه أَوزارُ مَن عمِلَ بها، لا ينقُصُ مِن أَوزارِ مَن عمِلَ بها
شيئًا،
Barang siapa yang menciptakan bid'ah, lalu diamalkan, maka dia akan menanggung
dosa seperti dosa orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi dosa orang yang
mengamalkannya sedikit pun.
أي:
Yaitu:
فله مِن الإثمِ ما
يُساوي آثامَ وذُنوبَ كلِّ مَن عمِلَ بها،
Baginya dosa yang setara dengan dosa dan kesalahan setiap orang yang
mengamalkannya,
وفي روايةٍ مُوَضِّحةٍ
عندَ التِّرمذيِّ:
Dan dalam riwayat yang lebih jelas di sisi at-Tirmidzi,
ومَنِ ابتدَعَ بِدعةَ
ضلالةٍ لا تُرضِي اللهَ ورسولَه، كان عليه مثْلُ آثامِ مَن عمِلَ بها لا ينقُصُ
مِن أوزارِهم شيئًا،
Barang siapa yang menciptakan bid'ah yang sesat yang tidak disukai oleh Allah
dan Rasul-Nya, maka dia akan menanggung dosa yang setara dengan dosa orang yang
mengamalkannya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.
والبِدعةُ: هي ما لا
يُوافِقُ أُصولَ الشَّرعِ،
Bid'ah adalah sesuatu yang tidak sesuai dengan dasar-dasar syariat,
وقولُه في البِدعةِ: فعُمِلَ
بها على البِناءِ للمَفعولِ،
Dan perkataannya tentang bid'ah: 'lalu diamalkan', menggunakan bentuk pasif.
وقد حذَّرَ النَّبيُّ
صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ الَّذين لا يأْخُذونَ بسُنَّتِه، مُكْتَفينَ بكتابِ
اللهِ وحدَه،
Dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memperingatkan mereka yang tidak
mengikuti sunnahnya, hanya puas dengan Al-Qur'an saja,
فقال- كما عند ابن ماجه-:
Beliau bersabda, seperti yang terdapat dalam riwayat Ibn Majah:
يُوشِكُ رجُلٌ منكم
مُتَّكِئًا على أريكتِه يُحَدَّثُ بحديثٍ عنِّي، فيقولُ: بيننا وبينكم كِتابُ
اللهِ، فما وجَدْنا فيه مِن حرامٍ حرَّمْناه، أَلَا وإنَّ ما حرَّمَ رسولُ اللهِ
صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ مثْلُ الَّذي حرَّمَ اللهُ عزَّ وجلَّ،
Akan segera datang seorang laki-laki dari kalian yang duduk santai di atas
sofa, lalu dia mendengar sebuah hadits dari aku, kemudian dia berkata: 'Antara
kami dan kalian hanya ada Kitabullah. Apa yang kami temukan di dalamnya sebagai
haram, maka kami haramkan. Ketahuilah bahwa apa yang diharamkan oleh Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam adalah seperti apa yang diharamkan oleh Allah
Azza wa Jalla.'
ولقدِ الْتزَمَ
الصَّحابةُ رِضوانُ اللهِ عليهم بتوجيهاتِه فيما يتعلَّقُ بلُزومِ السُّنَّةِ،
Dan para sahabat, semoga Allah meridhai mereka, mengikuti petunjuk beliau
tentang pentingnya berpegang teguh pada sunnah,
حيث كانوا يزْجُرونَ
كلَّ مَن لا يلتزِمُ بالكتابِ والسُّنَّةِ سُلوكًا وأدَبًا وعِبادةً،
Karena mereka menegur setiap orang yang tidak berpegang teguh pada Al-Qur'an
dan sunnah dalam perilaku, etika, dan ibadah,
وإنْ كان يفعَلُ ذلك
بنِيَّةٍ حَسَنةٍ قاصدًا التَّقرُّبَ إلى اللهِ تعالَى بالطَّاعاتِ.
Meski orang tersebut melakukannya dengan niat yang baik, bertujuan untuk
mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala melalui amalan-amalan ketaatan.
Pelajaran dari hadits ini
Hadits
ini mengandung banyak pelajaran penting, antara lain:
1. Jadilah Anda Penghidup Sunnah
Dalam perkataan مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِي (Siapa yang menghidupkan satu sunnah dari sunnah-sunnahku), Nabi ﷺ memberikan pesan penting bahwa setiap Muslim punya kesempatan besar untuk mendapatkan keutamaan jika ia mau menjadi penghidup ajaran beliau. Menghidupkan sunnah bukan sekadar melakukannya, tetapi juga membela, mengenalkan kembali kepada masyarakat, dan menjadikan sunnah sebagai jalan hidup. Terutama saat sunnah itu mulai ditinggalkan atau diremehkan. Allah pun menjanjikan balasan besar bagi mereka yang berusaha menjaga jalan para nabi, sebagaimana dalam firman-Nya:
وَالسَّابِقُونَ
الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم
بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ
(Dan orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama masuk Islam dari golongan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya) – QS At-Taubah: 100.
2. Dampak Teladan dalam Kebaikan
Perkataan فَعَمِلَ بِهَا النَّاسُ (lalu diamalkan oleh manusia) menekankan bahwa amalan kebaikan yang dilakukan dengan ikhlas bisa menginspirasi dan diikuti banyak orang. Orang-orang yang melihat keteladanan dalam amal akan lebih mudah menirunya dibanding hanya mendengar nasihat. Oleh sebab itu, setiap Muslim seharusnya menjadi contoh nyata dalam menjaga sunnah. Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ دَلَّ عَلَى
خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
(Barang siapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia mendapatkan pahala seperti orang yang melakukannya) – HR. Muslim no. 1893.
3. Pahala Mengalir Tanpa Berkurang
Perkataan كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا (maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengamalkannya) memberikan kabar gembira bahwa siapa pun yang menjadi sebab tersebarnya sunnah, maka ia akan memperoleh pahala orang-orang yang mengikutinya. Ini berlaku tanpa batas jumlah, selama amal itu terus diamalkan. Inilah bentuk amal jariyah yang terus hidup meski pelakunya sudah wafat. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
إِذَا مَاتَ الإِنسَانُ
انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلاثٍ... أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ
(Jika seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat...) – HR. Muslim no. 1631.
4. Pahala Tidak Terkurangi
Perkataan لَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا (tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun) menegaskan bahwa pemberian pahala dari Allah tidak terbatas dan tidak saling mengurangi. Setiap orang mendapat haknya secara penuh. Ini menunjukkan keadilan dan kemurahan Allah yang tidak seperti manusia. Dalam Al-Qur’an ditegaskan:
إِنَّ رَبَّكَ وَاسِعُ
الْمَغْفِرَةِ
(Sesungguhnya Tuhanmu Maha Luas ampunan-Nya) – QS An-Najm: 32.
Ini juga mengajarkan kepada kita bahwa kebaikan bisa dibagi tanpa merugikan siapa pun.
5. Bahaya Memulai Bid’ah
Perkataan وَمَنْ ابْتَدَعَ بِدْعَةً (dan siapa yang mengada-adakan bid’ah) adalah peringatan keras agar tidak membuat ajaran baru dalam agama. Dalam hal ibadah, setiap amalan harus memiliki dasar dari Rasulullah ﷺ, dan tidak boleh dibuat-buat walau dengan niat baik. Karena agama ini sudah sempurna. Allah berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ
لَكُمْ دِينَكُمْ
(Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu) – QS Al-Mā’idah: 3.
Nabi ﷺ bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي
أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
(Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan kami ini (agama) yang tidak berasal darinya, maka ia tertolak) – HR. Bukhari dan Muslim.
6. Penyebaran Keburukan
Dalam perkataan فَعُمِلَ بِهَا (lalu diamalkan oleh manusia), kita diberi gambaran betapa bahayanya suatu penyimpangan jika dibiarkan berkembang. Satu bid’ah yang tampak kecil bisa menjadi kebiasaan luas di masyarakat. Ini menekankan bahwa kita tidak boleh hanya berpikir "asal saya tidak ikut", tetapi juga peduli terhadap dampak dari sebuah penyimpangan terhadap umat. Seperti sabda Nabi ﷺ:
مَنْ سَنَّ سُنَّةً
سَيِّئَةً...
(Barang siapa yang memulai suatu kebiasaan buruk...) – HR. Muslim no. 1017.
Ini mengajarkan bahwa setiap Muslim punya tanggung jawab terhadap arah yang ditempuh oleh lingkungannya.
7. Dosa Mengalir Tanpa Putus
Perkataan كَانَ عَلَيْهِ أَوْزَارُ مَنْ عَمِلَ بِهَا (maka atasnya dosa seperti dosa orang yang mengamalkannya) adalah bentuk ancaman yang sangat berat bagi siapa pun yang memulai keburukan. Ia akan menanggung bukan hanya dosanya sendiri, tapi juga dosa semua orang yang menirunya. Maka seorang Muslim harus berpikir panjang sebelum menyebarkan sesuatu, apalagi dalam urusan agama. Dalam QS An-Nahl: 25 Allah berfirman:
لِيَحْمِلُوا
أَوْزَارَهُمْ كَامِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمِنْ أَوْزَارِ الَّذِينَ
يُضِلُّونَهُم
(Agar mereka memikul dosa-dosa mereka secara penuh pada hari kiamat, dan juga sebagian dosa orang-orang yang mereka sesatkan).
8. Dosa Tidak Terbagi
Perkataan لَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِ مَنْ عَمِلَ بِهَا شَيْئًا (tanpa mengurangi dosa orang yang mengamalkannya sedikit pun) menunjukkan bahwa sistem dosa dalam Islam tidak mengurangi tanggung jawab siapa pun. Semua orang menanggung penuh dosanya masing-masing. Ini menegaskan keadilan Allah yang tidak mengurangi hak siapa pun dalam hukuman atau pahala. Dalam QS Al-An’ām: 164 Allah berfirman:
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ
وِزْرَ أُخْرَى
(Dan seseorang tidak akan memikul dosa orang lain).
Namun, ini tidak meniadakan kenyataan bahwa pelopor keburukan tetap ikut menanggung dosa yang ditiru orang lain.
9. Pentingnya Menjaga Ilmu dan Amalan Sunnah
Banyak dari kita semangat mengamalkan sunnah, namun tidak menjaga keberlangsungannya. Padahal, menjaga sunnah bukan hanya dengan melakukan, tapi juga dengan mendokumentasikan, mengajarkan, dan membiasakan dalam kehidupan sehari-hari. Allah memerintahkan agar kita tidak menyembunyikan ilmu dalam QS Al-Baqarah: 159:
إِنَّ الَّذِينَ
يَكْتُمُونَ مَا أَنزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى...
(Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk...).
Maka menghidupkan sunnah juga berarti menjaga eksistensinya secara berkelanjutan dalam masyarakat.
10. Bijak dalam Mengikuti Tren Keagamaan
Di zaman digital, banyak tren keagamaan baru yang menyebar cepat. Sebagian tampak menarik, namun tidak memiliki dasar syariat. Kita perlu hati-hati agar tidak asal ikut tanpa ilmu. Rasulullah ﷺ telah mengingatkan agar kita selalu berpegang pada sunnah:
فَعَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ...
(Maka wajib atas kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk...) – HR. Abu Dawud no. 4607.
Hendaknya kita selektif, menimbang setiap amalan dengan ilmu dan bukan sekadar ikut-ikutan.
Secara keseluruhan, hadits ini memberi kita peta jalan hidup: menjadi pelopor kebaikan, menjaga warisan Rasulullah ﷺ, dan menjauhi penyimpangan dalam agama. Setiap amal baik yang diteladani akan menjadi pahala tak terputus, dan sebaliknya, setiap keburukan yang diwariskan menjadi dosa berlipat. Dengan memahami hadits ini, semoga kita menjadi bagian dari orang-orang yang mewarisi cahaya, bukan kegelapan.
Penutup Kajian
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah…
Setelah kita mempelajari hadits yang mulia ini, kita menyadari bahwa menjadi bagian dari sunnah Nabi ﷺ bukan hanya kewajiban, tapi sebuah kehormatan. Hadits ini mengajarkan kepada kita bahwa menghidupkan sunnah adalah ladang pahala yang terus mengalir, bahkan ketika kita telah tiada. Sebaliknya, memulai kebid’ahan adalah pintu dosa yang tak berhenti, selama ia terus diikuti oleh orang lain.
Di antara faedah besar dari hadits ini adalah:
-
Motivasi untuk menjaga dan menyebarkan sunnah, walau tampak sederhana di mata manusia, karena setiap orang yang mengikuti kita akan menambah pahala tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.
-
Peringatan dari bahaya menjadi pelopor kebid’ahan, karena setiap yang menirunya akan menambah dosa yang terus mengalir kepada si pelaku awal, tanpa mengurangi dosa pengikutnya.
-
Pentingnya teladan dalam kebaikan, karena satu perbuatan baik bisa menjadi jalan hidayah bagi banyak orang.
-
Peran individu dalam masyarakat, bahwa setiap kita punya kontribusi dalam membentuk arah umat—menuju cahaya atau menuju kegelapan.
Maka harapan kita setelah mempelajari hadits ini adalah, semoga kita semua:
-
Menjadi pelopor kebaikan dan penghidup sunnah di lingkungan kita, meski itu hal kecil.
-
Berhati-hati dalam setiap perkataan dan perbuatan, jangan sampai menjadi penyebab tersebarnya kebid’ahan atau penyimpangan agama.
-
Mengajarkan hadits ini kepada keluarga, sahabat, dan masyarakat, agar semakin banyak yang sadar akan pentingnya mengikuti sunnah dan menjauhi kebid’ahan.
Semoga Allah jadikan kita sebagai penerus risalah Nabi ﷺ, penghidup sunnah beliau, dan penjaga kemurnian agama ini. Semoga ilmu yang kita pelajari hari ini menjadi amal jariyah yang terus mengalir sampai akhirat kelak. Aamiin Yā Rabbal ‘Ālamīn.
وَاللَّهُ الْمُوَفِّقُ
إِلَىٰ أَقْوَمِ الطَّرِيقِ.
🌿 سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا
أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ.
وَالسَّلَامُ
عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ.
Belajar membaca dan menerjemahkan syarah hadits tanpa
harakat
قال الله تعالى: {من يطع الرسول فقد أطاع الله} [النساء: 80]؛ فجعل الله
سبحانه وتعالى طاعة النبي صلى الله عليه وسلم من لوازم طاعته سبحانه، والسنة
النبوية مع القرآن الكريم يمثلان المصدر الأول والثاني للتشريع الإسلامي، وعلى كل
مسلم أن يتبع ما جاء فيهما من الأوامر والنواهي، وقد رغب النبي صلى الله عليه وسلم
في اتباع سنته وبين أجر ذلك، وحذر من ترك سنته واتباع البدع، كما في هذا الحديث،
حيث يقول رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: من أحيا سنة من سنتي، فعمل بها الناس،
كان له مثل أجر من عمل بها، لا ينقص من أجورهم شيئا، أي: يعطيه الله أجرا مساويا
لأجور كل من عمل بها من الناس، والمراد بالسنة هنا: ما شرعه رسول الله صلى الله
عليه وسلم من الأحكام، وهي قد تكون فرضا؛ كزكاة الفطر، أو غير فرض، كقيام الليل،
وصيام النوافل ونحو ذلك. وإحياؤها: أن يعمل بها، ويحرض الناس ويحثهم على إقامتها،
ويدخل في نطاق الإحياء أيضا: تعليمها للناس، ونشرها بينهم قولا وفعلا، والتحذير من
مخالفتها.
ثم قال صلى الله عليه وسلم: ومن ابتدع بدعة، فعمل بها، كان عليه أوزار من
عمل بها، لا ينقص من أوزار من عمل بها شيئا، أي: فله من الإثم ما يساوي آثام وذنوب
كل من عمل بها، وفي رواية موضحة عند الترمذي: ومن ابتدع بدعة ضلالة لا ترضي الله
ورسوله، كان عليه مثل آثام من عمل بها لا ينقص من أوزارهم شيئا، والبدعة: هي ما لا
يوافق أصول الشرع، وقوله في البدعة: فعمل بها على البناء للمفعول، وقد حذر النبي
صلى الله عليه وسلم الذين لا يأخذون بسنته، مكتفين بكتاب الله وحده، فقال- كما عند
ابن ماجه-: يوشك رجل منكم متكئا على أريكته يحدث بحديث عني، فيقول: بيننا وبينكم
كتاب الله، فما وجدنا فيه من حرام حرمناه، ألا وإن ما حرم رسول الله صلى الله عليه
وسلم مثل الذي حرم الله عز وجل، ولقد التزم الصحابة رضوان الله عليهم بتوجيهاته
فيما يتعلق بلزوم السنة، حيث كانوا يزجرون كل من لا يلتزم بالكتاب والسنة سلوكا
وأدبا وعبادة، وإن كان يفعل ذلك بنية حسنة قاصدا التقرب إلى الله تعالى بالطاعات.